Paparan Topik | Hari Konferensi Asia Afrika

Sejarah Konferensi Asia Afrika : Bangkitnya Kekuatan dari Bandung

Pada tahun 1955, Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika meskipun baru genap 10 tahun merdeka. Penyelenggaraan KAA di Bandung semakin membuat dunia membuka mata terhadap kehadiran Indonesia dalam usahanya mewujudkan perdamaian dunia.

KOMPAS/MOHAMMAD NASIR

Gedung Merdeka hasil sentuhan arsitek Prof Ir CP Wolff Schoemaker, guru Bung Karno, terkenal di seluruh penjuru dunia, setelah dijadikan tempat Konferensi Asia Afrika tahun 1955.

Fakta Singkat

Waktu Penyelenggaraan:
18 – 24 April 1955

Tempat:
Gedung Merdeka di Bandung

Negara Penyelenggara:
Indonesia, Burma, Sri Lanka,India, Pakistan

Pidato Pembuka:
Presiden Soekarno

Ketua Konferensi :
Ali Sastroamidjojo (Perdana Menteri Indonesia)

Total Negara Peserta:
29 Negara

Bidang kerjasama :
Ekonomi, Budaya, Politik

Dokumen :
Dasasila Bandung

Situasi dunia internasional cukup menegang di era 1950-an. Di satu sisi ketegangan terjadi akibat Perang Korea dan Perang Dingin, di sisi lain negara-negara terjajah mulai berhasil memperjuangkan dan merebut kemerdekaannya, terutama negara-negara di wilayah Asia dan Afrika.

Penjajahan yang dialami oleh negara-negara di kawasan Asia dan Afrika merupakan masalah krusial sejak abad ke-15. Walaupun sejak tahun 1945 banyak negara, terutama di Asia, kemudian memperoleh kemerdekaannya, seperti : Indonesia (17 Agustus 1945), Republik Demokrasi Vietnam (2 September 1945), Filipina (4 Juli 1946), Pakistan (14 Agustus 1947), India (15 Agustus 1947), Birma (4 Januari 1948), Ceylon (4 Februari 1948), dan Republik Rakyat Tiongkok (1 Oktober 1949), namun masih banyak negara lainnya yang berjuang bagi kemerdekaannya seperti Aljazair, Tunisia, Maroko, Kongo, dan di wilayah Afrika lainnya.

Beberapa negara Asia Afrika yang telah merdeka pun masih banyak yang menghadapi masalah sisa penjajahan seperti daerah Irian Barat, Kashmir, Aden, dan Palestina. Selain itu konflik antarkelompok masyarakat di dalam negeri pun masih berkecamuk akibat politik devide et impera.

Lahirnya dua blok kekuatan yang bertentangan secara ideologi, yaitu Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat (kapitalis) dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet, semakin memanaskan situasi dunia. Perang Dingin berkembang menjadi konflik perang terbuka, seperti di Jazirah Korea dan Indo-Cina. Perlombaan pengembangan senjata nuklir meningkat. Hal tersebut menumbuhkan ketakutan dunia akan kembali dimulainya Perang Dunia.

Walaupun pada masa itu telah ada badan internasional yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfungsi menangani masalah dunia, namun pada kenyataannya badan ini belum berhasil menyelesaikan persoalan tersebut, sementara akibat yang ditimbulkan oleh masalah-masalah ini sebagian besar diderita oleh bangsa-bangsa di Asia dan Afrika.

Salah satu momentum kebangkitan negara-negara Asia-Afrika dalam kancah internasional adalah Konferensi Asia-Afrika yang diselenggarakan di Bandung dari tanggal 18 hingga 24 April 1955. Meski demikian terwujudnya Konferensi Asia-Afrika tidak bisa dilepaskan dari dua konferensi pendahulunya, yaitu Konferensi Kolombo dan Konferensi Bogor.

IPPHOS

Presiden Soekarno ketika menyampaikan pidato pembukaan Konferensi Asia Afrika di Bandung (18/04/1955). Di latar belakang antara lain tampak PM India Nehru, PM Birma U Nu, Pm Ali Sastroamidjojo serta para pemimpin negara sponsor KAA lainnya.

Konferensi Kolombo

Pada awal tahun 1954, Perdana Menteri Indonesia Ali Sastroamidjojo menerima surat dari Perdana Menteri Sri Lanka, Sir John Kotelawala. Dalam surat tersebut, Kotelawala menyampaikan niatnya untuk mengundang Ali Sastroamidjojo dalam sebuah konferensi yang beranggotakan lima negara. Adapun kelima negara itu, yakni Sri Lanka, Indonesia, Birma, India dan Pakistan. Konferensi ini rencananya akan digelar pada bulan April 1954 di Kolombo.

Surat tersebut dibalas oleh Ali Sastroamidjojo dengan kesediaanya untuk menghadir Konferensi Kolombo tersebut. Namun, ada dua syarat yang diajukan oleh pihak Indonesia.

Pertama, dalam konferensi tersebut diharapkan tidak dibahas soal sengketa yang terjadi di antara peserta konferensi, dalam hal ini ketegangan antara India dan Pakistan soal Kashmir.

Kedua, Indonesia meminta kesempatan untuk mengungkapkan gagasan di depan para peserta konferensi. Gagasan Indonesia adalah konferensi lanjutan dengan skala lebih luas meliputi negara-negara Asia dan Afrika.

Delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo berangkat untuk menghadiri Konferensi Kolombo pada tanggal 26 April 1954 pukul 10.30. Sesaat sebelum menaiki pesawat, Ali Sastroamidjojo menegaskan dalam siaran pers dua agenda utama Indonesia dalam Konferensi Kolombo adalah menyerukan gagasan untuk mengadakan Konferensi yang melibatkan lebih banyak negara-negara Asia dan Afrika.

Selain itu, ia ingin menegaskan kembali politik luar negeri bebas aktif yang bersandarkan pada kepentingan rakyat sebagai prinsip politik luar negeri Indonesia. Selain Ali Sastroamidjojo, delegasi Indonesia yang hadir dalam Konferensi Kolombo adalah Mr. Ahmad Subardjo, Ir. Djuanda, J.D. de Fretes dan M. Maramis.

Masalah utama yang dibahas dalam Konferensi Kolombo adalah gawatnya situasi politik internasional di wilayah Indocina (Asia) yang dipicu oleh Perang Dingin. Bahaya yang akan timbul adalah kemungkinan adanya kolonialisme dalam bentuk yang lama maupun baru.

Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru membuka konferensi dengan menegaskan bahwa kemerdekaan negara-negara Indocina harus diterima secara penuh. Untuk itu ia mengusulkan agar Perancis menyerahkan kekuasaan kedaulatan Indocina secara penuh. Selain itu, ia juga berpendapat bahwa negara-negara besar seperti Inggris, Amerika Serikat, Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina tidak perlu ikut campur lagi dalam masalah Indocina. Sebab intervensi negara-negara tersebut dianggap membuat pertikaian Indocina sulit dipecahkan.

Indonesia mendapat kesempatan untuk berbicara di depan peserta konferensi pada sidang ke-6. Dalam kesempatan itu Ali Sastroamidjojo segera menyampaikan gagasan Indonesia untuk menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika. Sayangnya, keempat perdana menteri yang lain tidak menanggapi secara antusias.

Dalam catatannya di buku Tonggak-tonggak di Perjalananku, Ali Sastroamidjojo menyatakan bahwa sepertinya keempat perdana menteri yang lain meragukan kemampuan Indonesia untuk menyelenggarakan Konferensi dengan skala besar mencakup negara-negara Asia Afrika. Namun, pihak Indonesia masih optimis dengan ide ini sebab meski diragukan namun inisiatif Indonesia tidak ditolak oleh peserta.

IPPHOS

Presiden Soekarno dan wakil presiden Hatta di depan Gedung Merdeka tempat pelaksanaan Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung.

Konferensi Bogor

Usaha Indonesia untuk mewujudkan gagasan Konferensi Asia Afrika dilakukan dengan pendekatan strategis terhadap Perdana Menteri Nehru. Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo singgah di New Delhi setelah Konferensi  Pendekatan tersebut berhasil, sebab Nehru akhirnya yakin dan mendukung terselenggaranya Konferensi Asia Afrika.

Setelah dari New Delhi, Ali Sastroamidjojo tidak langsung kembali ke Jakarta, namun singgah terlebih dahulu di Rangoon untuk menemui Perdana Menteri Birma, U Nu. Senada dengan Nehru, U Nu menyatakan dukungannya terhadap Konferensi Asia Afrika.

Setelah mendapatkan dukungan, Indonesia kemudian mempersiapkan Konferensi Asia Afrika secara lebih intensif. Keseriusan ini dengan terselenggaranya Konferensi Bogor atau juga dikenal dengan Konferensi Lima Negara dari tanggal 28 sampai 30 Desember. Indonesia mengundang lima negara peserta Konferensi Kolombo, yaitu India, Sri Lanka, Pakistan dan Birma.

Dalam Konferensi Bogor, Indonesia delegasi Indonesia terdiri dari 14 orang, yakni Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, Menlu Sunario, Penasehat Deplu Mr. Ahmad Subardjo, Sekjen Deplu Dr. Roeslan Abdulgani, Sukardjo Wiryo Pranoto, Mr. Nazir Datuk Pamontjak, Mr. Sujono Hadinoto, Ir. Djuanda, Mr. Utojo Ramelan, Mr. Tirtawinata, Palar, Max Maramis, Mr. Suwanto, dan de Fretes.

Sementara itu delegasi India dipimpin oleh Perdana Menteri Jawaharlal Nehru, delegasi Birma dipimpin oleh Perdana Menteri U Nu, delegasi Pakistan dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Ali, serta delegasi Sri Lanka dipimpin oleh Perdana Menteri Sir John Kotelawala.

Pokok pembahasan Konferensi Bogor secara umum terkait dengan perjuangan perdamaian di negara-negara Asia-Afrika secara khusus dan perdamaian dunia secara luas. Selain itu, pembicaraan lebih rinci mengenai persiapan Konferensi Asia-Afrika menjadi pokok terpenting dalam konferensi ini.

Setelah melalui pembahasan intensif Konferensi Bogor menghasilkan beberapa hasil yang disepakati oleh kelima negara anggota konferensi atau negara sponsor Konferensi Asia-Afrika. Disebut negara sponsor sebab segala pembiayaan terkait KAA ditanggung oleh kelima negara tersebut.

Hasil pertama, waktu pelaksanaan Konferensi Asia-Afrika (KAA) disepakati pada minggu terakhir April 1955 dengan Indonesia sebagai tuan rumah. Kedua, dibentuk sekretariat bersama sebagai wadah komunikasi dalam masa persiapan menjelang KAA yang beranggotakan wakil dari masing-masing negara sponsor.

IPPHOS

Massa memadati ujung Jalan Braga tempat Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung berlangsung. Titik ini saat ini masih persis seperti tampak pada foto.

Negara Peserta KAA

Pada 15 Januari 1955, surat undangan Konferensi Asia Afrika dikirimkan kepada kepala pemerintah dari 25 Negara Asia dan Afrika. Dari seluruh negara yang diundang hanya satu negara yang menolak undangan itu, yaitu Federasi Afrika Tengah, karena memang negara itu masih dikuasai oleh orang-orang bekas penjajahnya, sedangkan 24 negara lainnya menerima baik undangan itu, meskipun pada mulanya ada negara yang masih ragu-ragu.

No Negara Peserta KAA
1 Afghanistan 16 Libya
2 Arab Saudi 17 Mesir
3 Birma 18 Nepal
4 Ceylon 19 Pakistan
5 Ethiopia 20 Pantai Emas
6 Filipina 21 Republik Rakyat Tiongkok
7 India 22 Sudan
8 Indonesia 23 Suriah
9 Irak 24 Thailand
10 Iran 25 Turki
11 Jepang 26 Vietnam Selatan
12 Kamboja 27 Vietnam Utara
13 Laos 28 Yaman
14 Libanon 29 Yordania
15 Liberia

Dengan demikian, keseluruhan dari negara yang berpartisipasi dalam Konferensi Asia-Afrika direncanakan berjumlah 29 dengan rincian 5 negara sponsor, 12 negara Asia, 8 negara Arab dan 4 negara Afrika.

Berakhirnya Konferensi Bogor, menjadi awal lebih intensif persiapan menuju Konferensi Asia-Afrika. Praktis Indonesia memiliki waktu kurang lebih tiga bulan saja untuk mempersiapkan KAA. Dalam panitia internal Indonesia, Gubernur Jawa Barat Sanusi Hardjadinata ditunjuk menjadi ketua panitia lokal yang bertanggung jawab untuk melaksanakan persiapan tekhnis, administratif dan keamanan terkait Kota Bandung dan sekitarnya.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Jalan Asia Afrika, Bandung sudah disterilkan, Kamis (23/4/2015) malam. Rencananya, delegasi KTT Asia Afrika akan mengenang Konferensi Asia Afrika 60 tahun lalu dengan berjalan (historical walk) di sepanjang Jalan Asia Afrika dan Gedung Merdeka.

Persiapan KAA

Dalam persiapan pelaksanaan Konferensi Asia Afrika, dibentuk Sekretariat Bersama yang diwakili oleh lima negara penyelenggara. Indonesia diwakili oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri, Roeslan Abdulgani, yang juga menjadi ketua badan itu, dan 4 negara lainnya diwakili oleh kepala-kepala perwakilan mereka masing-masing di Jakarta, yaitu Kuasa Usaha U Mya Sein (Birma), Duta Besar M. Saravanamuttu (Ceylon), Duta Besar B.F.H.B. Tyabji (India), dan Duta Besar Choudhri Khaliquzzaman (Pakistan).

Pemerintah Indonesia sendiri membentuk Panitia Interdepartemental pada 11 Januari 1955 yang diketuai oleh Sekretaris Jenderal Sekretariat Bersama dengan anggota-anggota dan penasehatnya berasal dari berbagai departemen guna membantu persiapan-persiapan konferensi tersebut.

Di Bandung, tempat diadakannya konferensi, dibentuklah Panitia Setempat pada 3 Januari 1955, dengan ketuanya Sanusi Hardjadinata, Gubernur Jawa Barat. Panitia Setempat bertugas mempersiapkan dan melayani hal-hal yang bertalian dengan akomodasi, logistik, transportasi, kesehatan, komunikasi, keamanan, hiburan, protokol, penerangan, dan lain-lain.

Gedung Concordia dan Gedung Dana Pensiun dipersiapkan sebagai tempat sidang-sidang konferensi. Hotel Homann, Hotel Preanger, dan 12 hotel lainnya serta 31 bungalow di sepanjang Jalan Cipaganti, Lembang, dan Ciumbuleuit dipersiapkan sebagai tempat menginap para peserta yang berjumlah lebih kurang 1.500 orang. Selain itu, disediakan juga fasilitas akomodasi untuk lebih kurang 500 wartawan dalam dan luar negeri.

Keperluan transportasi dilayani oleh 143 mobil, 30 taksi, 20 bus, dengan jumlah 230 orang sopir dan 350 ton bensin tiap hari serta cadangan 175 ton bensin.

Dalam kesempatan memeriksa persiapan-persiapan  terakhir di Bandung pada 7 April 1955, Presiden Indonesia Soekarno meresmikan penggantian nama Gedung Concordia menjadi Gedung Merdeka, Gedung Dana Pensiun menjadi Gedung Dwiwarna, dan sebagian Jalan Raya Timur menjadi Jalan Asia Afrika. Penggantian nama tersebut dimaksudkan untuk lebih menyemarakkan konferensi dan menciptakan suasana konferensi yang sesuai dengan tujuannya.

KOMPAS/RONY ARIANTO NUGROHO

Sejumlah pejalan kaki melintasi gambar lima tokoh pencetus Konferensi Asia Afrika 1955 yang dipajang di Jalan Asia Afrika, Bandung, Jawa Barat, untuk menyambut Peringatan 60 Tahun KAA, Selasa (21/4/15). Kelima tokoh tersebut antara lain Ali Sastroamidjojo (Indonesia), U Nu (Myanmar), Jawaharlal Nehru (India), Mohammad Ali Bogra (Pakistan), dan Sir John Kotelawala (Sri Lanka). Enam dekade berlalu, isu kesehatan dan kemiskinan masih menjadi persoalan di banyak negara Asia Afrika.

Pelaksanaan Konferensi Asia-Afrika

Menjelang pelaksanaan Konferensi Asia-Afrika, terjadi peristiwa yang menegangkan negara panitia dan peserta. Pesawat udara Kashmir Princess yang membawa penumpang delegasi China jatuh di sekitar perairan Natuna. Namun, Perdana Menteri China Chou En-lai dan Dubes Indonesia untuk China belum ikut dalam penerbangan naas tersebut.  Dalam pesawat yang jatuh tersebut terdapat 16 anggota staff delegasi China, 2 wartawan China dan 3 awak pesawat.

Di tengah kabar duka tersebut, panitia penyelenggara mendapat suntikan motivasi dari kabar lain. Beberapa pakar Amerika Serikat menyatakan dukungannya terhadap Konferensi Asia Afrika. Para pakar tersebut di antaranya dua pemenang nobel Miss Emily G. Bach dan Pearl S. Buck serta dua profesor yakni S.R. Marlow dan Lewis Mumford. Mereka menyatakan bahwa dunia sudah muak dengan dogma dan perang. KAA diharapkan bisa mendorong dunia internasional untuk mau mewujudkan perdamaian dunia.

Sehari sebelum dimulainya KAA, para peserta berkumpul di Gedung Merdeka untuk membahas tata cara dan agenda konferensi. Sidang persiapan ini diketuai oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo didampingi oleh Perdana Menteri Nehru dan Perdana Menteri U Nu. Dalam pembahasan tersebut disampaikan bahwa tata cara konferensi diciptakan sesederhana mungkin dan tidak terlalu kaku. Selain itu, tidak perlu juga ada pidato pembukaan dari masing-masing ketua delegasi.

Selanjutnya ada dua macam rapat selama konferensi berlangsung, yakni rapat terbuka dan tertutup. Yang dimaksud dengan rapat terbuka adalah rapat yang dihadiri oleh seluruh delegasi. Sementara itu rapat tertutup adalah rapat khusus panitia.

Adapun panitia yang dimaksud adalah panitia politik, panitia ekonomi dan panitia kebudayaan. Panitia politik terdiri dari seluruh ketua delegasi dan penasehat-penasehatnya. Sementara panitia ekonomi dan kebudayaan terdiri dari anggota-anggota delegasi. Panitia politik diketuai oleh ketua konferensi Ali Sastroamidjojo, panitia ekonomi diketuai oleh Menteri Perekonomian Ir. Rooseno, sementara panitia kebudayaan diketuai oleh Menteri Pendidikan, Pelajaran dan Kebudayaan Mr. Moh. Yamin.

Pada Senin, 18 April 1955, sejak pagi menjelang matahai terbit telah tampak kesibukan di Kota Bandung untuk menyambut pembukaan Konferensi Asia Afrika. Sejak pukul 07.00 WIB kedua tepi sepanjang Jalan Asia Afrika dari mulai depan Hotel Preanger sampai dengan kantor pos penuh sesak oleh warga yang ingin menyambut dan menyaksikan para tamu dari berbagai negara. Sementara itu, para petugas keamanan yang terdiri dari tentara dan polisi telah siap di tempat tugas mereka untuk menjaga keamanan dan ketertiban.

Sekitar pukul 08.30 WIB, para delegasi dari berbagai negara berjalan meninggalkan Hotel Homann dan Hotel Preanger menuju Gedung Merdeka secara berkelompok untuk menghadiri pembukaan Konferensi Asia Afrika. Banyak di antara mereka memakai pakaian nasional masing-masing yang beraneka corak dan warna. Mereka disambut hangat oleh rakyat yang berderet di sepanjang Jalan Asia Afrika dengan tepuk tangan dan sorak sorai riang gembira. Perjalanan para delegasi dari Hotel Homann dan Hotel Preanger ini kemudian dikenal dengan nama “Langkah Bersejarah” (The Bandung Walks). Kira-kira pukul 09.00 WIB, semua delegasi masuk ke dalam Gedung Merdeka.

Tidak lama kemudian rombongan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, Soekarno dan Mohammad Hatta, tiba di depan Gedung Merdeka dan disambut oleh rakyat dengan sorak-sorai dan pekik “merdeka”. Di depan pintu gerbang Gedung Merdeka kedua pimpinan Pemerintah Indonesia itu disambut oleh lima perdana menteri negara sponsor.

Pada pukul 10.20 WIB setelah diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia : “Indonesia Raya”, Presiden Indonesia, Soekarno, mengucapkan pidato pembukaan yang berjudul “Let a New Asia And a New Africa be Born” (Mari Kita Lahirkan Asia Baru dan Afrika Baru). Dalam kesempatan tersebut Presiden Soekarno menyatakan bahwa kita, peserta konferensi, berasal dari kebangsaan yang berlainan, begitu pula latar belakang sosial dan budaya, agama, sistem politik, bahkan warna kulit pun berbeda-beda, namun kita dapat bersatu, dipersatukan oleh pengalaman pahit yang sama akibat kolonialisme, oleh keinginan yang sama dalam usaha mempertahankan dan memperkokoh perdamaian dunia. Pada bagian akhir pidatonya beliau mengatakan :

“Saya berharap konferensi ini akan menegaskan kenyataan, bahwa kita, pemimpin-pemimpin Asia dan Afrika, mengerti bahwa Asia dan Afrika hanya dapat menjadi sejahtera, apabila mereka bersatu, dan bahkan keamanan seluruh dunia tanpa persatuan Asia Afrika tidak akan terjamin. Saya harap konferensi ini akan memberikan pedoman kepada umat manusia, akan menunjukkan kepada umat manusia jalan yang harus ditempuhnya untuk mencapai keselamatan dan perdamaian. Saya berharap, bahwa akan menjadi kenyataan, bahwa Asia dan Afrika telah lahir kembali. Ya, lebih dari itu, bahwa Asia Baru dan Afrika Baru telah lahir!”

Pidato tersebut berhasil menarik perhatian dan mempengaruhi hadirin yang dibuktikan dengan adanya usul Perdana Menteri India dan didukung oleh semua peserta konferensi untuk mengirimkan pesan ucapan terimakasih kepada presiden atas pidato pembukaannya.

Pada pukul 10.45 WIB., Presiden Indonesia, Soekarno, mengakhiri pidatonya, dan selanjutnya sidang dibuka kembali. Secara aklamasi, Perdana Menteri Indonesia terpilih sebagai ketua konferensi. Selain itu, Ketua Sekretariat Bersama, Roeslan Abdulgani, dipilih sebagai sekretaris jenderal konferensi.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Widodo bersama para pemimpin negara Asia dan Afrika berjalan bersama dalam “Historical Walk” untuk memeringati 60 tahun Konferensi Asia Afrika di Jalan Asia Afrika, Bandung, Jumat (24/4/15). Mereka berjalan dari Hotel Savoy Homann menuju ke Gedung Merdeka.

Sidang KAA

Sidang konferensi terdiri atas sidang terbuka untuk umum dan sidang tertutup hanya bagi peserta konferensi. Dibentuk tiga komite, yaitu Komite Politik, Komite Ekonomi, dan Komite Kebudayaan. Semua kesepakatan tersebut selanjutnya disetujui oleh sidang dan susunan pimpinan konferensi adalah sebagai berikut :

  • Ketua Konferensi                       : Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri Indonesia
  • Ketua Komite Politik                  : Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri Indonesia
  • Ketua Komite Ekonomi             : Roosseno, Menteri Perekonomian  Indonesia
  • Ketua Komite Kebudayaan        : Muhammad Yamin, Menteri  Pendidikan,  Pengajaran,  dan Kebudayaan Indonesia
  • Sekretaris Jenderal Konferensi : Roeslan Abdulgani, Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri Indonesia

Dalam sidang-sidang selanjutnya muncul beberapa kesulitan yang bisa diduga sebelumnya. Kesulitan-kesulitan itu terutama terjadi dalam sidang-sidang Komite Politik. Perbedaan pandangan politik dan masalah-masalah yang dihadapi antara Negara-negara Asia Afrika muncul ke permukaan, bahkan sampai pada tahap yang relatif panas.

Namun berkat sikap yang bijaksana dari pimpinan sidang serta hidupnya rasa toleransi dan kekeluargaan di antara peserta konferensi, maka jalan buntu selalu dapat dihindari dan pertemuan yang berlarut-larut dapat diakhiri.

Sidang Umum hari terakhir Konferensi Asia  Afrika dilaksanakan pada tanggal 24 April 1955. Dalam Sidang Umum itu sekretaris jenderal konferensi membacakan rumusan pernyataan dari tiap-tiap panitia (komite) sebagai hasil konferensi. Selurh peserta pada sidang umum menyetujui seluruh pernyataan tersebut, kemudian sidang dilanjutkan dengan pidato sambutan para ketua delegasi. Setelah itu, ketua konferensi menyampaikan pidato penutupan dan menyatakan bahwa Konferensi Asia Afrika ditutup.

Konsensus KAA

Konsensus KAA oleh negara-negara peserta dituangkan dalam komunike akhir, yang berisi:

  • Kerja sama ekonomi
  • Kerja sama kebudayaan
  • Hak-hak asasi manusia dan hak menentukan nasib sendiri
  • Masalah rakyat jajahan
  • Masalah-masalah lain
  • Deklarasi tentang memajukan perdamaian dunia dan kerja sama internasional.

Konferensi Asia-Afrika membahas beberapa pokok terkait situasi negara-negara Asia-Afrika serta kerja sama ke depan. Pertama-tama dari bidang ekonomi, KAA menyepakati bahwa memajukan perkembangan ekonomi menjadi hal mendesak yang perlu dilakukan. Konferensi ini kemudian mendorong terjalinnya kerja sama ekonomi yang makin solid di antara negara-negara Asia dan Afrika.

Selain kerja sama ekonomi, KAA juga mendorong adanya kerja sama kebudayaan di negara-negara Asia dan Afrika. Di kedua benua ini, kebudayaan-kebudayaan besar telah dilahirkan. Walaupun keterhubungan budaya antara negara-negara di wilayah ini sempat terputus, salah satunya akibat penjajahan. Untuk itu KAA menjadi momentum untuk memperkuat relasi kebudayaan di antara negara-negara Asia dan Afrika.

Selanjutnya KAA juga menyokong sepenuhnya prinsip hak-hak asasi manusia dan hak untuk menentukan nasib sendiri. Hal ini juga berkaitan dengan penghapusan diskiriminasi terhadap negara dan wilayah tertentu di Asia dan Afrika. Dengan demikian, KAA mengecam segala bentuk diskriminasi yang melanggar hak asasi manusia.

Masih berkaitan dengan hak asasi manusia, KAA juga membahas masalah bangsa-bangsa yang belum merdeka dari kolonialisme. KAA mengecam segala bentuk kolonialisme dan berseru kepada bangsa kolonial agar memberikan kebebasan dan kemerdekaan bagi bangsa yang dijajah. Selain bertentangan dengan piagam PBB, kolonialisme juga menjadi hambatan utama tercapainya perdamaian dunia.

Dasasila Bandung

Deklarasi yang tercantum pada komunike negara-negara peserta KAA, selanjutnya dikenal dengan sebutan Dasasila Bandung, yaitu suatu pernyataan politik berisi prinsip-prinsip dasar dalam usaha memajukan perdamaian dan kerja sama dunia.

Pokok-pokok penting bahasan KAA ini tertuang dalam sepuluh prinsip Bandung atau yang sering disebut Dasasila Bandung. Isi Dasasila Bandung seperti ditulis dalam Buku Sejarah Konferensi Asia Afrika (e-book hlm. 100) :

  1. Menghormati hak-hak asasi manusia dan menghormati tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip dalam Piagam PBB.
  2. Menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah semua negara.
  3. Mengakui persamaan derajat semua ras serta persamaan derajat semua negara besar dan kecil.
  4. Tidak campur tangan di dalam urusan dalam negeri negara lain.
  5. Menghormati hak setiap negara untuk mempertahankan dirinya sendiri atau secara kolektif, sesuai dengan Piagam PBB.
  6. (a)Tidak menggunakan rencana pertahanan kolektif untuk kepentingan khusus negara besar mana pun.
    (b) Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain mana pun.
  7. Tidak melakukan tindakan atau ancaman agresi atau menggunakan kekuatan terhadap keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara mana pun.
  8. Menyelesaikan semua perselisihan internasional dengan cara-cara damai, seperti melalui perundingan, konsiliasi, arbitrasi, atau penyelesaian hukum, ataupun cara-cara damai lainnya yang menjadi pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan Piagam PBB.
  9. Meningkatkan kepentingan dan kerja sama bersama.
  10. Menjunjung tinggi keadilan dan kewajiban-kewajiban internasional.

Tanggal 24 April 1955 pukul 21.30, berakhirlah seluruh rangkaian KAA yang ditandai dengan pidato penutupan oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang disambut tepuk tangan seluruh delegasi. Konferensi Asia-Afrika berarti penting bagi Indonesia sebagai tuan rumah dalam usahanya untuk terlibat secara bebas-aktif dalam kancah politik internasional.

Konferensi Asia Afrika menumbuhkan semangat solidaritas di antara Negara-negara Asia Afrika, baik dalam menghadapi masalah internasional maupun regional. Beberapa konferensi antarorganisasi dari negara-negara tersebut diselenggarakan, seperti Konferensi Mahasiswa Asia Afrika, Konferensi Setiakawan Rakyat Asia Afrika, Konferensi Wartawan Asia Afrika, dan Konferensi Islam Afrika Asia.

Jiwa Bandung dengan Dasasilanya mengubah pandangan dunia tentang hubungan internasional. Bandung telah melahirkan faham Dunia Ketiga atau “Non-Aligned” terhadap Dunia Pertama Washington, dan Dunia Kedua Moscow. Jiwa Bandung telah mengubah struktur Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Forum PBB tidak lagi menjadi forum eksklusif Barat atau Timur saja. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Panitia Penulisan Sejarah Diplomasi RI: Sejarah Konperensi Asia-Afrika, Kementerian Luar Negeri RI, 2017
  • Sena Utama, Wildan, Konferensi Asia Afrika: Asal Usul Intelektual dan Warisannya bagi Gerakan Global Antiimperialisme, Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2017
  • Syafii, Sulhan, Story of The Bandung Conference Commite.Bandung:TNC Publishing,2015
  • Syaffi, Sulhan dan Rangktui, Ully, Di Balik Layar Warna Warni Konferensi Asia Afrika 1955 di Mata Pelakunya.Bandung:TNC Publishing, 2014
  • Seri Buku Tempo,60 Tahun Konferensi Asia Afrika, Jakarta: KPG, 2015
  • E-book Sejarah Konferensi Asia Afrika: https://museumkaa.iheritage.id/ebook/11/