Paparan Topik | Koperasi

Koperasi: Sokoguru Perekonomian yang Tak Lekang oleh Waktu

Koperasi berakar dari semangat gotong royong dan keinginan untuk menyejahterakan rakyat.

KOMPAS/IRMA TAMBUNAN

Koperasi Unit Desa Karya Mukti di Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo, Jambi, tumbuh pesat sejak 5 tahun terakhir. Dengan menegakkan prinsip keterbukaan dan kebersamaan, koperasi telah mengembangkan 18 unit usaha dengan nilai omset lebih dari Rp 100 miliar per tahun. Aktivitas layanan simpan pinjam di KUD Karya Mukti, Jumat (5/7/2019).

Fakta Singkat

Koperasi

  • De Purwokertosche Hulp-en Spaarbank der Inlandsche Hoofden oleh Raden Aria Wiriaatmadja di tahun 1896 menjadi embrio awal koperasi di Indonesia.
  • Pada awal abad ke-20, berbagai organisasi pribumi (seperti BO dan SI) menunjukkan semangat untuk membangun ekonomi rakyat melalui koperasi.
  • Pada masa Jepang, koperasi dimanfaatkan untuk mengumpulkan keperluan logistik dalam rangka perang melawan pihak sekutu.
  • Rumusan pasal Undang-Undang Dasar 1945, yakni Pasal 33 ayat (1) yang menyatakan “Perkonomian disusun bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”.
  • Menurut penjelasan Pasal 33 menyebutkan “Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi”.

Hari Koperasi Nasional atau dikenal juga dengan Hari Koperasi Indonesia diperingati setiap tanggal 12 Juli. Tahun ini, merupakan peringatan Hari Koperasi Nasional ke-77.

Pada laman Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin), Hari Koperasi ke-77 mengangkat tema “Koperasi Maju, Indonesia Emas”. Tema ini bertujuan untuk membangkitkan semangat baru gerakan Koperasi dalam menyambut Indonesia Emas.

Tema ini juga bertujuan mendorong gerakan koperasi untuk mempersiapkan diri dan potensi masing-masing koperasi dalam mengambil posisi di era industrialisasi yang akan mulai dibangun secara masif dalam skala menengah yg melibatkan koperasi sebagai lokomotifnya.

Selain itu,  mendorong kekuatan bersama gerakan koperasi agar arah pembangunan yang melibatkan koperasi dalam skema industri skala menengah ini mendapat dukungan iklim politik, sosial dan ekonomi yang mensukseskan program tersebut.

Di momen ini, penting kiranya untuk juga menilik kembali perjalanan panjang koperasi di Tanah Air, melihat semangat awal dan kontribusinya dalam membantu perekonomian bangsa.   

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Kesibukan UMKM pembuatan tahu di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (23/7/2020). Total penyaluran anggaran program pemulihan ekonomi nasional untuk koperasi dan UMKM, per 21 Juli 2020, mencapai Rp11,84 triliun. Angka itu 9,59 persen dari total dana yang dianggarkan untuk koperasi dan UMKM yang sebesar Rp123,46 triliun.

Jejak Sejarah Koperasi

Embrio Koperasi

Sejarah mencatat bahwa gerakan koperasi di Indonesia memiliki akar yang kuat, berakar dari semangat gotong royong dan keinginan untuk mensejahterakan rakyat.

Pujiyono dalam buku Hukum Koperasi Dalam Potret Sejarah di Indonesia menyebutkan bahwa embrio gerakan koperasi di Indonesia muncul pada akhir abad ke-19, diawali dengan didirikannya De Purwokertosche Hulp-en Spaarbank der Inlandsche Hoofden oleh Raden Aria Wiriaatmadja di tahun 1896, dengan dukungan E. Siegberg, seorang Asisten Residen Purwokerto, menjadi penanda awal gerakan ini.

Cara kerjanya mirip dengan koperasi simpan pinjam, yaitu memberikan bantuan kredit atau pinjaman kepada pegawai negeri bumiputera. Pendiriannya didorong oleh keprihatinan Wiriaatmadja melihat banyak pegawai negeri yang terjerat hutang oleh para pemberi hutang yang kerap memberlakukan bunga yang tinggi.

Usaha Wiriatmadja ini juga mendapat dukungan dari De Wolf van Westerrode, pengganti Siegberg. Bahkan, ketika sedang cuti ke Eropa, secara khusus De Wolf mempelajari tentang cara kerja Wolksbank (koperasi simpan-pinjam untuk kaum tani) dan Schulze-Delitzsch (koperasi simpan-pinjam untuk kaum buruh di kota) di Jerman.

Setelah kembali dari Eropa, De Wolf kemudian mengembangkan koperasi dengan sistem Raiffeisen (koperasi simpan pinjam untuk kaum tani), seperti koperasi di Jerman. Membuat lumbung-lumbung desa dan sekaligus menyarankan petani untuk menyimpan panennya disana, sebagai kompensasinya lumbung-lumbung tersebut dapat memberi pinjaman padi pada musim paceklik. Hal ini dilakukan untuk membantu petani yang menderita karena ulah tuan tanah, lintah darat dan para pengijon.

Sayangnya, usaha De Wolf ini tidak sejalan dengan pemikiran Pemerintah Hindia Belanda. Alih-alih mengubah bank simpan pinjam menjadi koperasi, mereka justru mendirikan bank-bank desa, lumbung desa baru, rumah gadai, dan Bank Desa dan Kas Sentral. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Algemene Volkscrediet Bank, yang dikenal dengan Rural Bank atau Bank Rakyat Indonesia sekarang.

Keengganan pemerintah ini dilandasi alasan politik. Mereka khawatir koperasi akan dikuasai oleh politikus pribumi dan digunakan untuk mengagitasi rakyat, sehingga memperkuat perlawanan terhadap kolonialisme.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NGROHO

Menyetor Susu Perah – Sejumlah peternak anggota Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara menyetor hasil perahan mereka di pos penjemputan Bukanegara, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Minggu (9/7/2017). Koperasi peternak hingga kini masih menjadi wadah yang mengayomi dan menguntungkan bagi para peternak untuk usahanya. Harga susu saat ini bagi peternak cukup memuaskan dengan kisaran Rp4.700 per liter.

Meskipun demikian, gairah berkoperasi tidak surut. Koperasi semakin berkembang bersamaan dengan zaman pergerakan nasional. Sejak awal abad ke-20, berbagai organisasi pribumi menunjukkan semangat untuk membangun ekonomi rakyat melalui koperasi.

Pada tahun 1908, organisasi pemuda Boedi Oetomo, yang digagas oleh dr. Wahidin Sudirohusodo dan didirikan oleh sejumlah siswa di STOVIA, prihatin dengan kondisi tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah. Sebagai responsnya, Boedi Oetomo memanfaatkan koperasi sebagai alat untuk membantu rakyat.

Organisasi ini mendirikan dan memperkenalkan koperasi rumah tangga (konsumsi) yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari. Koperasi ini bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan menyediakan akses yang lebih mudah dan terjangkau terhadap kebutuhan pokok.

Pada tahun 1909, cabang-cabang BO seperti di Jakarta dan Tangerang telah membuka koperasi, yang diberi nama Toko Andel, dengan modal dari sumbangan sukarela anggota. Sayangnya, usaha ini ini tidak mampu bertahan lama.

Menurut R.M. Notosewo dalam Soembangsih Gedenboek Boedi Oetomo, kurangnya pengetahuan dan pengalaman dalam pengelolaan koperasi serta persaingan sengit dari toko-toko Tionghoa yang menawarkan harga lebih murah menjadi faktor utama kegagalannya.

Namun semangat untuk berkoperasi tidak padam begitu saja. Organisasi pribumi lainnya seperti Syarikat Dagang Islam (SDI), yang kemudian menjadi Sarekat Islam (SI), melanjutkan semangat ini. Organisasi ini awalnya merupakan perkumpulan pedagang-pedagang batik di Solo, yang terancam oleh menggeliatnya pedagang Tionghoa.

Untuk memperjuangkan posisi ekonomi para pengusaha pribumi, SI mendirikan koperasi yang menjual barang kebutuhan sehari-hari dan bahan baku batik, yang dijual di pasar-pasar desa. Koperasi ini juga memperluas kegiatan ke sektor industri kecil dan kerajinan. Koperasi SI banyak berkembang di kalangan santri, didirikan di lingkungan pondok pesantren, dan didorong oleh para Kyai.

Namun, mirip dengan nasib koperasi BO, koperasi SI juga tidak berumur panjang. Kurangnya pengetahuan dan pengalaman mengelola koperasi menjadi penyebabnya.

Meski begitu, semangat koperasi terus menyebar dan tumbuh sebagai bagian dari pergerakan ekonomi untuk melawan dominasi kolonialisme. Melihat gejala ini, pada 1915 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Undang-Undang Koperasi pertama yang disebut Verordening op de Cooperative Vereenigingen (Konimklijk Besluit 7 April 1915 stbl.431), yang mengatur perkumpulan koperasi di Hindia Belanda. Undang-undang ini sendiri di ambil dari Undang-Undang Koperasi di Belanda yang dibuat tahun 1876.

Regulasi ini berlaku untuk semua golongan penduduk. Akan tetapi, aturan ini, walau dimaksudkan untuk menertibkan, justru menyulitkan pendirian koperasi karena persyaratan yang rumit dan biaya mahal. Beberapa ketentuan yang dianggap menyulitkan tersebut, antara lain:

  1. Pendirian koperasi harus mendapat izin dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda
  2. Akta koperasi harus dibuat dalam bahasa Belanda dan dibuat oleh notaris
  3. Biaya pajak berupa materai sebesar 50 golden
  4. Harus diumumkan di surat kabar

Persyaratan ini banyak ditentang kaum pergerakan nasional karena dianggap hanya untuk menghambat tumbuhnya koperasi. Dalam respons terhadap kritik tersebut, pemerintah Hindia Belanda kemudian membentuk Cooperative Commissie atau Komisi Koperasi yang diketuai oleh J. H. Boeke. Berdasarkan masukan dari panitia tersebut, maka pada tahun 1927 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan regulasi koperasi khusus bumiputera atau Regeling Inlandschhe Cooperatieve.

Regulasi baru ini memuat ketentuan-ketentuan lebih ringan atau memudahkan dibandingkan Undang-Undang Koperasi 1915. Beberapa perubahan tersebut antara lain:

  1. Akta tidak perlu dengan perantaraan notaris, tetapi cukup didaftarkan pada Penasehat Urusan Kredit Rakyat dan Koperasi
  2. Akta tidak harus berbahasa Belanda namun serta dapat ditulis dalam Bahasa Daerah
  3. Biaya pajak berupa ongkos materi tidak 50 Gulden, tetapi menjadi 3 Gulden

Sejak itu, koperasi-koperasi bumiputera pun bermunculan. Pada tahun 1928 jumlahnya tercatat masih 22, lalu pada 1930 menjadi 89, dan 574 pada 1939. Jumlah ini terdiri dari koperasi yang bermacam-macam jenisnya seperti koperasi kredit yaitu koperasi yang menyimpan dan meminjamkan uang, koperasi produksi atau koperasi untuk menghasilkan, koperasi konsumen atau koperasi pemakai barang dan koperasi lumbung.

Sumber: Kompas, 16 Juli 1966

Salah satu koperasi yang cukup berhasil adalah koperasi yang didirikan oleh Persatuan Bangsa Indonesia (PBI), yang bergerak di sektor pertanian dan diberi nama Roekoen Tani. Tujuan koperasi ini adalah menghindarkan para petani dari para rentenir dan pengijon, sehingga petani petani dapat meningkatkan produksi dan pendapatannya. Ini kemudian berlanjut dengan pembentukan sejumlah Pusat Koperasi Kredit (Crediet Centrale) di Batavia, Malang, Tasikmalaya, Surabaya, dan beberapa kota lainnya.

Pada masa berkuasanya Jepang, segala aturan yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda dianggap tidak berlaku. Koperasi-koperasi yang sudah ada tidak dibubarkan, namun direorganisasi menyesuaikan dengan aturan pemerintah Jepang.

Pemerintah Jepang membentuk sebuah lembaga ekonomi yang bernama kumiai. Lembaga ini adalah koperasi model Jepang, ditugasi untuk memobilisasi potensi ekonomi pribumi. Tugas lain dari kumiai adalah menyalurkan barang-barang kebutuhan rakyat yang pada waktu itu sudah sulit didapatkan karena kondisi ketika itu rakyat sudah kesulitan dengan kehidupannya. Hal ini merupakan cara Jepang untuk menarik simpati rakyat.

Pemerintah pendudukan Jepang menganjurkan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk mendirikan koperasi. Sejumlah kumiai, atau semacam koperasi pertanian, banyak didirikan hingga ke pelosok. Masyarakat pun cukup antusias untuk mengumpulkan hasil pertanian.

Menurut Berita dari SK Asia Raya 29 April 1943, untuk menunjukan perhatian Jepang dalam membangun koperasi juga terlihat pada komite yang dikelola sejumlah tokoh, seperti Mohammad Hatta dan Margono Djojohadikusumo, Prawoto Sumodilogo, dan Raden S Suriatmadja. Komite ini bertujuan untuk mengatur koperasi pertanian, pembagian barang, pembagian makanan, pedagang beras, distribusi, penggilingan padi, perahu, hingga perikanan.

Namun apa yang menjadi tujuan Jepang sebenarnya adalah untuk mengumpulkan keperluan logistik dalam rangka perang melawan pihak sekutu. Alhasil, lama kelamaan pembinaan koperasi pun menjadi terbengkalai.

Era Kemerdekaan

Setelah memproklamasikan kemerdekaan di tahun 1945, semangat berkoperasi terus tumbuh. Tercermin dari rumusan pasal Undang-Undang Dasar 1945, yakni Pasal 33 ayat (1) yang menyatakan “Perkonomian disusun bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Menurut penjelasan Pasal 33 menyebutkan “Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi”. Ketentuan pasal ini mengakui eksistensi koperasi sebagai basis ekonomi di Indonesia.

Kemudian, menindaklanjuti amanat Pasal 33 UUD 1945, pemerintah RI melalui kabinet Syahrir melakukan perubahan dan reorganisasi Jawatan Koperasi dan Perdagangan Dalam Negeri. Mulai Desember 1946, Perdagangan Dalam Negeri dimasukkan dalam Jawatan Perdagangan, sementara Jawatan Koperasi berdiri sendiri mengurus dan menangani pembinaan gerakan koperasi.

Pada tahun yang sama dilakukan pula pendataan eksistensi koperasi di Indonesia. Hasilnya, di Jawa saja tercatat ada sekitar 2.500 perkumpulan koperasi.

Tonggak penting sejarah koperasi pasca kemerdekaan ditandai dengan penyelenggaraan Kongres Koperasi di Tasikmalaya pada tahun 1947. Kongres Koperasi pertama ini dilaksanakan pada tanggal 11-14 Juli 1947. Tapi sebenarnya acara kongresnya dimulai pada tangal 12 Juli 1947, yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Koperasi Nasional.

Kongres ini menghasilkan beberapa keputusan penting, antara lain:

  1. Mendirikan Sentral Organisasi Koperasi Rakyat (SOKRI) yang berkedudukan di Tasikmalaya
  2. Menetapkan Kekeluargaan dan Gotong Royong sebagai asas koperasi
  3. Memperluas pendidikan koperasi kepada kalangan pengurus dan pegawai koperasi serta masyarakat
  4. Mengusulkan berdirinya Koperasi Desa untuk mengatur perekonoman perdesaan
  5. Menetapkan tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi

Seiring berjalannya waktu, koperasi mulai bermunculan di berbagai sektor, dibentuk berdasarkan jenis usaha dan profesi. Jika pada tahun 1939 hanya terdapat 574 koperasi, jumlah koperasi yang ada di Indonesia meningkat hingga 10 kali lipat menjadi 5.770 koperasi pada tahun 1951. Bahkan, jelang Pemilu 1955, jumlah koperasi di Indonesia telah mencapai 9.614.

Meskipun mengalami kemajuan, koperasi di era ini juga dihadapkan pada berbagai tantangan. Gejolak politik dan ekonomi yang mewarnai masa itu turut memengaruhi perkembangan koperasi.

Pada periode 1959-1965, yang sering disebut sebagai periode Demokrasi Terpimpin yang dipenuhi dengan slogan “politik adalah panglima”. Koperasi tak luput dari pengaruh politik dan intervensi pemerintah. Agenda sejumlah partai politik (PNI, Masyumi, PKI, dan NU) menyusup ke dalam gerakan dan organisasi koperasi, sehingga terjadi politisasi gerakan koperasi.

KOMPAS/PRAMONO BS

Para petani di Bojonegoro, Jawa Timur, sedang menanami sawahnya, (21/1/1986). Namun, sebagian besar petani Jawa Timur terlambat menerima Kredit Usaha Tani (KUT) yang disalurkan melalui Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai ganti kredit pola Bimas yang dihapus sejak 31 Oktober 1984. Akibatnya banyak petani terjerat rentenir yang memberi pinjaman pupuk dengan pengembalian berupa gabah setelah panen.

Sebagai puncak politisasi koperasi, pada tahun 1965 dibuat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1965 tentang Perkoperasian. Undang-Undang ini dengan jelas dan tegas menempatkan koperasi dibawah intervensi politik. Pasal 5 menegaskan “koperasi,  struktur, aktivitas dari alat pembinaan serta alat perlengkapan organisasi koperasi, mencerminkan kegotong-royongan nasional progresif revolusioner berporoskan NASAKOM.”

Memasuki era Orde Baru (1967-1998), hampir semua kebjiakan yang diambil oleh era Demokrasi Terpimpin dianulir. Undang-Undang Nomor 14 tahun 1965 Perkoperasian, yang dianggap telah mencampuradukkan fungsi dan peranan koperasi ke dalam politik, dicabut. Diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian. Menurut UU ini, “Koperasi Indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat berwatak sosial, beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.”

Kebijakan penting pasca UU baru tersebut adalah program nasional Badan Usaha Unit Desa (BUUD), yang kemudian berganti nama menjadi Koperasi Unit Desa (KUD). KUD merupakan kesatuan usaha ekonomi terkecil dari kerangka pembangunan pedesaan yang didesain oleh pemerintah. KUD pada awalnya merupakan penyatuan dari beberapa koperasi pertanian kecil di pedesaan.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Alin dari Lembaga Kewirausahaan IPNU Trenggalek membuat hiasan kayu saat berlangsung Pameran One Pesantren One Product (OPOP) di JX International, Surabaya, Jumat (29/11/2019). Kegiatan yang memamerkan sekitar 150 produk usaha santri pondok pesantren, koperasi pesantren dan alumni pesantren. Melakui program OPOP pelaku usaha berbasis pesantren baik santri, koperasi pesantren maupun alumni pesantren mendapatkan pembinaan untuk bisa menciptakan produk unggul.

Tugas KUD adalah untuk membantu para petani produsen dalam mengatasi masalah proses produksi (termasuk kredit dan ketentuan bagi hasil), penyediaan sarana produksi, serta pengolahan dan pemasaran hasil produksi.

Selain KUD, jenis koperasi yang sangat pesat perkembangannya dalam era Orde Baru adalah koperasi golongan fungsional, khususnya koperasi pegawai negeri dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

Pada masa reformasi, pembangunan koperasi mengalam kemajuan yang cukup baik. Secara umum koperasi mengalami perkembangan usaha dan kelembagaan. Koperasi  juga mulai berkembang di sektor modern. Jika pada akhir 1997 jumlah koperasi baru mencapai 49 ribu unit, pada akhir 2001 tercatat ada 103 ribu unit koperasi.

Seiring waktu, jumlah koperasi terus meningkat. Mengutip data Kementerian Koperasi dan UKM, saat ini terdapat lebih dari 130.000 koperasi yang aktif dengan aset lebih dari Rp 280 triliun dan nilai usaha yang mencapai Rp 197 triliun. Adapun jumlah anggota koperasi lebih dari 35 juta orang (“Tata Kelola Koperasi Tuntans di 2024,” Kompas, 22 Desember 2023).

Era Digital

Kini, dalam dimensi digitalisasi, sejumlah koperasi di Indonesia pun mulai menunjukkan respon adaptif. Gebrakan digitalisasi turut dilakukan. Sejumlah koperasi tercatat sudah menyediakan layanan berbasis digital.

Contohnya adalah aplikasi bernama Nasari Digital atau Nadi yang dikembangkan oleh anggota Koperasi Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah (KSPPS) Nasari Syariah. Ketua KSP Nasari, Sahala Panggabean, menyampaikan bahwa dalam aplikasi itu telah termuat fitur-fitur seperti simpanan, pinjaman, epayment, dan sarana untuk melihat rapat tahunan anggota secara live atau langsung dan ke depan akan dikembangkan untuk e-commerce.

Upaya digitalisasi juga dilakukan oleh KSP Sahabat Mitra Sejati dengan meluncurkan aplikasi Sobatku. Aplikasi yang diluncurkan pada tahun 2017 itu menyediakan fasilitas simpanan online yang memberikan layanan modern kepada anggota dalam melakukan berbagai transaksi keuangan.

Aplikasi Sobatku telah memfasilitasi kebutuhan anggota di tengah kondisi pandemi. Anggota dapat menabung dengan mudah melalui smartphone tanpa perlu keluar rumah. KSP Sahabat Mitra Sejati telah mencatatkan 30.343 anggota di seluruh Indonesia. Kebanyakan dari anggotanya berasal dari pemilik UMKM seperti usaha makan minum, ritel, kesehatan, pertanian, dan bangunan.

Dalam rangka menjaring lebih banyak keanggotaan dan keterlibatan UMKM yang dirangkul koperasi, Kemenkopukm mendukung dan membantu koperasi di Indonesia untuk mewujudkan inovasi digitalisasi. Salah satu dukungan yang diberikan adalah dengan peluncuran Innovation and Digital Transformation for Cooperative atau IDX COOP pada 2020 (“Transformasi Koperasi di Era Digital,” Kompaspedia, 11 Juli 2022).

Kehadiran IDX COOP menjadi portal berbasis digital mengenai informasi inovasi koperasi. Dalam portal tersebut, termuat dokumentasi berbagai gagasan dan praktik inovasi perkoperasian.

IDXCOOP merupakan kolaborasi antara Kemenkopukm dengan Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI). Wujud konkret dari IDX COOP ini adalah portal yang memuat dua hal: dokumentasi inovasi koperasi yang berkembang di masyarakat dan pendaftaran program transformasi digital bagi koperasi.

Koperasi-koperasi di Indonesia dapat mendaftarkan diri untuk mengakses IDX COOP dengan pembebasan biaya akses dan guna teknologi selama satu tahun. Selain itu, juga tersedia enam perusahaan penyedia teknologi (technology provider) yang dapat dipilih oleh koperasi untuk membantu langkah digitalisasi mereka. Dalam peluncuran IDX COOP ini, telah terdapat 370-an koperasi yang mendaftarkan diri. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
Jurnal
  • Widayanti, Dwi Lestari. 1991. Pertumbuhan Koperasi di Jawa (1915-1930) Usaha Bumiputra Menumbuhkan Koperasi Pada Masyarakat dan Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda di Bidang Perkoperasian. Skripsi. Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.
  • Zain, M.A., 2015. Politik hukum koperasi di Indonesia (tinjauan yuridis historis pengaturan perkoperasian di Indonesia). Jurnal Penelitian Hukum2(3), pp.160-177.
Arsip Kompas
  • “Pasang Surut Koperasi Indonesia,” Kompaspedia, 16 September 2020
  • “Koperasi Sokoguru Ekonomi Indonesia,” Kompaspedia, 11 Juli 2021.
  • “Demokrasi, Koperasi, dan Politik Kemakmuran Bung Hatta,” Kompaspedia, 14 Juli 2021.
  • “Transformasi Koperasi di Era Digital,” Kompaspedia, 11 Juli 2022.
  • “Mewujudkan Perekonomian Koperasi,” Kompas, 29 Agustus 2023.
  • “Tata Kelola Koperasi Tuntans di 2024,” Kompas, 22 Desember 2023.
Internet
  • “Panduan Peringatan Hari Koperasi Indonesia ke-77,” diakes dari dekopin.coop pada 9 Juli 2024.