Paparan Topik | Koperasi

Koperasi Sokoguru Ekonomi Indonesia

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Pasal 33 ayat 1 menegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Salah satu bentuk badan hukum Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang ini adalah Koperasi.

KOMPAS/SHARON PATRICIA

Menteri Kemenkop dan UKM, Teten Masduki dalam acara Peluncuran Pusat Informasi Pelaksanaan Pemulihan Ekonomi Nasional UMKM di Kantor Kemenkop dan UKM, Jakarta Selatan, Kamis (2/7/2020).

Fakta Singkat

Hari Koperasi
Diperingati 12 Juli

Jumlah Koperasi  Aktif
127.124 (Data Kemenkop dan UKM 2020)

Jumlah Anggota
25.098.807 (Data Kemenkop dan UKM 2020)

Lembaga Terkait
Kementerian Koperasi dan UMKM

Regulasi
Undang-Undang 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Pasal 33 ayat (1) menegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Ketentuan tersebut sesuai dengan prinsip koperasi. Oleh karena itu, koperasi mendapat misi untuk berperan nyata dalam menyusun perekonomian yang berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi yang mengutamakan kemakmuran masyarakat.

Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 juga menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Pada 2012, pemerintah menerbitkan UU Nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian sebagai pengganti  UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

Dalam bagian penjelasan UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian dijelaskan pemerintah memberdayakan koperasi agar tumbuh dan mampu meningkatkan kesejahteraan anggota. Di samping itu, koperasi berperan mengembangkan dan memberdayakan tata ekonomi nasional yang berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi dalam rangka mewujudkan masyarakat maju, adil, dan makmur.

Untuk mencapai hal tersebut, keseluruhan kegiatan koperasi harus diselenggarakan berdasarkan nilai yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta nilai dan prinsip koperasi.

Penyelenggaraan koperasi telah dimulai sebelum kemerdekaan RI. Ditinjau dari segi kuantitas, hasil pembangunan koperasi menunjukkan hasil dengan jumlah koperasi di Indonesia yang terus meningkat. Namun, jika ditinjau dari segi kualitas, masih perlu diperbaiki sehingga mencapai kondisi yang diharapkan. Sebagian koperasi belum berperan secara signifikan kontribusinya terhadap perekonomian nasional.

Salah satu sektor yang digarap koperasi adalah sektor keuangan. Sektor ini merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting dalam mendorong peningkatan perekonomian nasional dan ekonomi masyarakat. Dalam laman Otoritas Jasa Keuangan dijelaskan salah satu bentuk badan hukum Lembaga Keuangan Mikro adalah Koperasi. Bentuk lainnya adalah Perseroan Terbatas.

Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) disebutkan perkembangan dan kemajuan pada sektor keuangan, baik bank maupun lembaga keuangan bukan bank perlu dipertahankan. Dalam aspek kelembagaan, organisasi, regulasi (kebijakan), dan sumber daya manusia (SDM) perlu adanya peningkatan dan perbaikan, khususnya pada lembaga keuangan bukan bank.

Di Indonesia banyak berkembang lembaga keuangan bukan bank yang melakukan kegiatan usaha bidang keuangan yang banyak membantu kepada masyarakat. Lembaga-lembaga tersebut perlu dikembangkan terutama secara kelembagaan dan legalitasnya karena telah banyak membantu peningkatan perekonomian masyarakat, khususnya masyarakat miskin atau berpenghasilan rendah.

Keberadaan lembaga keuangan yang menyediakan dana atau modal bagi usaha skala mikro dan usaha skala kecil sangat penting. Lembaga keuangan skala mikro ini memang hanya difokuskan kepada usaha-usaha masyarakat yang bersifat mikro. Lembaga keuangan berskala mikro ini dikenal dengan sebutan Lembaga Keuangan Mikro (LKM).

LKM pada dasarnya dibentuk berdasarkan semangat yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (2) serta Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945. Keberadaan LKM pada prinsipnya sebagai lembaga keuangan yang menyediakan jasa Simpanan dan Pembiayaan skala mikro, kepada masyarakat, memperluas lapangan kerja, dan dapat berperan sebagai instrumen pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro  memuat substansi pokok mengenai ketentuan lingkup LKM, konsep Simpanan dan Pinjaman dan Pembiayaan. Undang-Undang ini juga mengatur kelembagaan, baik yang mengenai pendirian, bentuk badan hukum, permodalan, maupun kepemilikan. Disebutkan dalam penjelasan UU ini, salah satu bentuk badan hukum LKM menurut undang-undang ini adalah Koperasi.

Sokoguru Perekonomian

Koperasi merupakan sokoguru perekonomian nasional. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sokoguru diartikan sebagai tiang tengah atau tonggak. Dari istilah tersebut dapat dimaknai koperasi merupakan tonggak atau pilar perekonomian Indonesia.

Koperasi merangkul setiap aspek kehidupan secara menyeluruh, substantif, dan makro. Selain itu, koperasi adalah wadah untuk menampung pesan politik setiap bangsa yang terjajah oleh kemiskinan. Hal ini karena koperasi mampu menyadarkan kepentingan bersama dan saling menolong terutama diri sendiri hingga mampu mensejahterakan kemampuan produktif.

Peran koperasi tidak hanya menampung anggota saja, namun lebih dari itu koperasi juga dapat mempertahankan dan memperkuat identitas budaya bangsa Indonesia, yakni budaya gotong royong. Lebih dari itu, koperasi dapat menumbuhkan kekuatan ekonomi secara bersama dalam menghadapi kekuatan besar yang dapat merugikan masyarakat ekonomi kalangan kurang mampu.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Pameran UMKM dan Koperasi. Pengunjung melihat stan peserta Pameran UMKM dan Koperasi dalam rangka Peringatan Hari Koperasi ke 69 di Dyandra Convention Center, Surabaya, Kamis (11/8/2016). Pameran bertujuan untuk memperkenalkan produk-produk UMKM kepada pasar.

Sejarah koperasi di Indonesia

Asal usul Koperasi diawali oleh R. Aria Wiraatmadja pada tahun 1896. Dengan bantuan E Siegberg, asisten residen Purwokerto, Wiraatmadja yang juga patih di Purwokerto, Jawa Tengah, mendirikan Bank Simpan Pinjam para Priyayi Purwokerto (De Poerwokertosche Hulp-en Spaarbank der Inlandsche Hoofden). Ada juga yang mengistilahkannya sebagai Bank Pertolongan Tabungan (BPT) untuk pegawai negeri.

Bank ini dimaksudkan untuk membantu kondisi pegawai yang sering terjerat hutang oleh para pemberi hutang yang kerap memberlakukan bunga yang tinggi. Siegberg kemudian digantikan De Wolf van Westerode yang pernah belajar koperasi di Jerman. Selama di Jerman, Westerode mempelajari konsep koperasi simpan pinjam untuk kaum tani dan buruh.

Upaya Wiraatmadja diteruskan oleh Westerrode yang mengusulkan kepada pemerintah Hindia Belanda agar BPT diubah menjadi Bank Pertolongan, Tabungan dan Pertanian. Selain itu, Westerrode juga membangun sejumlah lumbung desa dan menganjurkan para petani agar menyimpan padinya pada musim panen sekaligus memberi bantuan pinjaman padi saat paceklik. Lumbung ini akan dijadikan semacam Koperasi Kredit Padi.

Namun, semua itu tidak disetujui. Pemerintah Hindia Belanda malah membentuk bank-bank desa lumbung desa baru rumah gadai, dan kas sentral. Semua ini kemudian menjadi cikal bakal Algemene Volkscrediet Bank, atau Rural Bank, atau yang kemudian hari dikenal sebagai Bank Rakyat Indonesia.

Menurut Hendrayogi (Azas-azas, Teori dan Praktek Koperasi, 2002), sebelum ada undang-undang perkoperasian pada1915, koperasi di Indonesia mendapat status badan hukum sebagai Zedelijk Lichaam (sesuai Undang-Undang Tahun 1855 yang berlaku di Belanda).

Beberapa aturan terkait koperasi pada masa pendudukan Belanda:

1. Peraturan Perkumpulan Koperasi Nomor 431 (1915)

Gairah masyarakat untuk berkoperasi dan munculnya sejumlah koperasi membuat pemerintah Hindia Belanda memberlakukan “Verordening op de Cooperative Vereeniging”, berdasarkan Koninklijk Besluit (7 April 1915). Ini disebut juga sebagai Peraturan tentang Perkumpulan-perkumpulan Koperasi (Staatsblad Nomor 431) Tahun 1915, yang sama seperti Undang-Undang Tahun 1876 yang berlaku di Belanda.

Undang-undang itu mengatur sejumlah hal terkait tata cara mendirikan koperasi, antara lain:
a. Koperasi yang akan didirikan harus dimintakan izin terlebih dulu kepada Gubernur Jenderal Belanda di Batavia
b. Anggaran Dasar harus dalam bahasa Belanda
c. Akta pendirian harus dibuat di hadapan Notaris
d. Ada biaya pendirian dan pengesahan

Masalah biaya itu bisa dibilang cukup mahal untuk sebuah badan usaha pada saat itu. Biaya notaris misalnya, disebutkan mencapai F1.115,-, izin pemerintah dan biaya pengumuman di berita negara dan surat kabar F1.31,50, dan biaya pajak usaha F1.25. Sebagai pembanding, uang senilai F1.50 setara dengan sembilan kwintal beras pada saat itu. Itu sebabnya masyarakat tak setuju dengan undang-undang tersebut.

2. Peraturan Perkumpulan Koperasi Bumiputera (Lembaran Negara Nomor 91 Tahun 1927)

Reaksi masyarakat terkait Peraturan Nomor 431 tersebut ditanggapi pemerintah Hindia Belanda melalui Komisi Koperasi. Penggagasnya adalah Prof.Dr. JH Boeke. Komisi ini diatur melalui Peraturan Tentang Perkumpulan Koperasi Bumiputera (Regeling lnlandsche Cooperative Vereeniging) Nomor 91 Tahun 1927.

Realisasi dari hal itu adalah dibentuknya Jawatan Koperasi (Cooperatie Dienst) pada tahun 1930 yang statusnya di bawah Departemen Dalam Negeri (Department van Binnenlandsche Bestuur). Tahun 1935, jawatan itu dikelola Jawatan Koperasi dan Perdagangan Dalam Negeri (Cooperative enr Binnenlandsche Handel).

Konsep ini dinilai meringankan karena pribumi yang akan berkoperasi tak perlu lagi menggunakan jasa notaris, dan cukup mendaftarkan pada pemerintah atau Jawatan Koperasi. Biayanya pun cukup murah, sekitar F1.3. Di samping itu, ada juga Dana Jaminan (Garantie Funds) yang diupayakan Pemerintah Hindia Belanda. Modal awalnya berasal dari pemerintah sebesar F1.120.000. Ini menjadi semacam jaminan untuk koperasi yang meminjam uang atau kredit kepada Bank Rakyat.

Berlakunya undang-undang ini bisa dibilang menjadi momen penting keterlibatan pemerintah dalam koperasi di Indonesia. Sebelum lahirnya Parindra, Belanda sudah mengeluarkan Peraturan Perkumpulan Koperasi (Verordening op de Cooperatieve Verenigingen) (1915) yang juga berlaku di negeri kincir angin tersebut. Peraturan ini ditentang sejumlah pergerakan nasional karena dianggap hanya untuk menghambat tumbuhnya koperasi.

Jawatan koperasi

Menurut Soesilo (Dinamika Gerakan Koperasi Indonesia, 2008), koperasi bisa dibilang baru tumbuh di awal tahun 1900-an melalui tokoh-tokoh pergerakan nasional. Beberapa di antaranya adalah Budi Utomo, tokoh-tokoh Serikat Dagang Islam, Sarekat Islam, PNI, Partindo, Parindra, dan lainnya. Begitu pula dengan koperasi di kalangan pondok pesantren, namun akhirnya tak berkembang.

Menurut Hendroyogi (Azas-azas, Teori dan Praktek Koperasi, 2002), sebelum ada undang-undang perkoperasian tahun 1915, koperasi di Indonesia mempunyai status badan hukum sebagai perkumpulan berbadan hukum yang tidak mencari keuntungan (Zedelijk Lichaam).

Hadirnya Perkumpulan Budi Utomo (PBU) yang didirikan Dr. Sutomo (Mei 1908) menjadi dasar gerakan koperasi untuk memperbaiki kehidupan rakyat. Pada tahun 1927, Dr Soetomo menggagas Studie Club yang kemudian menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) (1932). PBI kemudian berfusi dengan sejumlah perkumpulan lain. Lahirlah kemudian Partai Indonesia Raya (Parindra) di tahun 1939.

Pada awalnya terbentuknya Parindra untuk mempelajari berbagai hal seputar perkoperasian. Ini berlanjut dengan kerja sama dengan Jawatan Koperasi untuk membentuk Komisi Pengawasan Koperasi.

Belanda kemudian mulai curiga akan perkembangan ini, dan menilai ada tujuan politik di balik misi Parindra. Ini kemudian berlanjut dengan pembentukan sejumlah Pusat Koperasi Kredit (Crediet Centrale) di Batavia, Malang, Tasikmalaya, Surabaya, dan beberapa kota lainnya.

Sejak tahun 1927, jumlah koperasi terus bertambah. Pada tahun 1928 jumlahnya masih 22, lalu pada 1930 menjadi 89, dan 574 pada 1939. Ini bisa dibilang tak lepas dari kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang menetapkan bahwa koperasi yang dibentuk berdasarkan Staatsblad Tahun 1927 Nomor 91 bebas pajak selama sepuluh tahun sejak didirikan.

Perkembangan Koperasi 1927–1939

Tahun Jumlah
1927 1
1928 22
1930 89
1938 540
1939 574
1940 656
1941 721
1942 728

Sumber : Buku “Dinamika Gerakan Koperasi Indonesia, Mohammad Iskandar Soesilo (2008)”

Begitu Undang-Undang Koperasi Belanda tahun 1876 diganti Undang-Undang Tahun 1925, pada 11 Maret 1933 pemerintah Hindia Belanda menerbitkan Peraturan Umum Perkumpulan Koperasi (Algemeene Regeling op de Cooperative Vereeniiging). Undang-undang ini mengganti Peraturan Nomor 431 (1915).

Pada tahun 1929, pemerintah Hindia Belanda membentuk tim yang bertugas menelaah apakah peraturan badan hukum pribumi lain masih diperlukan atau tidak di samping Undang-undang nomor 91 (1927). Tim yang diketuai Prof.Mr. J.B.. Zeylemaker ini akhirnya memutuskan untuk menerbitkan Undang-Undang Tahun 1939 Nomor 717 tentang Maskapai Andil Bumiputera. Ordonansi ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada bumiputera untuk membuka usaha berbadan hukum namun tidak dalam bentuk koperasi.

Kecurigaan Hindia Belanda juga terlihat saat Jawatan Koperasi mengusulkan gabungan sejumlah koperasi di tahun 1936. Usulan ini melahirkan Gabungan Pusat Koperasi Indonesia (GAPKI). Sebetulnya tujuan GAPKI lebih untuk memperkuat permodalan, namun ternyata Belanda khawatir penggabungan ini dimanfaatkan sebagai alat politik.

Logistik perang

Dari waktu ke waktu, setidaknya hingga tahun 1940, jumlah koperasi sebetulnya berkembang cukup banyak. Menurut G Karta Saputra (1987), jumlah anggotanya mencapai 52.555 orang yang mayoritas berstatus pegawai (47 persen).

Hanya saja tidak semuanya bertahan. Sekitar 12 persen bubar, dan yang masih bertahan sebagian bersar merupakan koperasi pensiunan yang bergerak di bidang simpan pinjam. Beberapa contoh yang bertahan, antara lain, koperasi batik Trusmi Cirebon, perusahaan batik Bumiputera Surakarta, koperasi Batik Pekalongan, koperasi Teh di Sukabumi, dan  koperasi Pertenunan Majalaya.

Pada masa penjajahan Jepang, jumlah koperasi bertambah, dan tetap dilandasi undang-undang tahun 1927. Jawatan Koperasi saat itu berganti nama menjadi “Syomin Kumiai Tyo Dyomusyo” (tingkat pusat) dan “Syomin Kumiai Tyo Sadansya” (tingkat daerah).

Pada 1 April 1943, Jawatan Koperasi berada langsung di bawah Syuchokan (semacam gubernur). Istilah syu mengacu pada masa pemerintahan sipil pada saat itu (setingkat karesidenan di masa Hindia Belanda). Jawatan yang berganti nama menjadi Kumiaka bertugas mendistribusi barang-barang pemerintah kepada masyarakat, dan juga untuk kepentingan peperangan Jepang.

Jepang bisa dibilang cukup banyak menyentuh perekonomian rakyat. Sejumlah kumiai, atau semacam koperasi pertanian, banyak didirikan hingga ke pelosok. Masyarakat pun antusias untuk mengumpulkan hasil pertanian. Beberapa di antaranya adalah koperasi pertanian, pembagian barang, pembagian makanan, pedagang beras, distribusi, penggilingan padi, perahu, hingga perikanan.

Menurut Berita dari SK Asia Raya 29 April 1943, perhatian Jepang dalam membangun koperasi juga terlihat pada komite yang dikelola sejumlah tokoh, seperti Mohammad Hatta dan Margono Djojohadikusumo, Prawoto Sumodilogo, dan Raden S Suriatmadja. Komite ini bertujuan untuk mengatur koperasi pertanian, industri, dan niaga.

Ternyata upaya tersebut dimanfaatkan Jepang untuk keperluan logistik dalam rangka perang melawan pihak Sekutu. Pembinaan koperasi pun menjadi terbengkalai, dan Jepang memisahkan urusan perkoperasian dengan perekonomian.

Kongres koperasi

Pujiyono dalam buku Hukum Koperasi dalam Potret Sejarah di Indonesia (2015) menjelaskan selepas kemerdekaan, pemerintah mulai membenahi masalah koperasi, yaitu perubahan dan reorganisasi Jawatan Koperasi dan Perdagangan Dalam Negeri. Mulai Desember 1946, Perdagangan Dalam Negeri dimasukkan dalam Jawatan Perdagangan, sementara Jawatan Koperasi berdiri sendiri mengurus dan menangani pembinaan gerakan koperasi. Jawatan Perdagangan menangani bimbingan perdagangan.

Pada tahun yang sama dilakukan pula pendataan eksistensi koperasi di Indonesia. Hasilnya, di Jawa saja tercatat ada sekitar 2.500 perkumpulan koperasi. Karena situasi saat itu masih cukup tegang, sejumlah koperasi masih belum bisa lepas dari masalah politik.

Baru pada akhir tahun 1946 ada gerakan Koperasi Jawa Barat yang mengadakan rapat dan membentuk Pusat Koperasi Primer. Selain mengkoordinir dan mendorong pembentukan koperasi, organisasi ini juga ditugasi menyelenggarakan Kongres Koperasi Seluruh Indonesia.

Sejumlah referensi umumnya menyebut ide kongres itu digagas Mohammad Hatta. Ada sejumlah tokoh yang juga berperan, yaitu mereka yang terlibat dalam Pusat Koperasi Priangan di Bandung. Beberapa di antaranya adalah Niti Soemantri, Kastura, Much. Muchtar, dan Kyai Lukman Hakim.

Hanya saja, tanpa dorongan Bung Hatta yang dianggap sebagai tokoh penting dalam perkembangan koperasi di Indonesia, kongres mustahil terlaksana. Lancarnya kongres juga tak lepas dari tokoh lain seperti R.S. Soeria Atmadja (Kepala Jawatan Koperasi Pusat, Magelang), dan R.M. Margono Djojohadikusumo (Presiden Direktur Bank Negara Indonesia/BNI).

Kendati masih di bawah ancaman politik Belanda, Kongres I berhasil dilaksanakan di Tasikmalaya pada 11–14 Juli 1947. Acara ini sebetulnya baru berlangsung pada tanggal 12 Juli, dan tanggal inilah yang kemudian disepakati sebagai hari Koperasi Indonesia.

Beberapa hasil kongres itu adalah:

  1. Mendirikan Sentral Organisasi Koperasi Rakyat (SOKRI) yang berkedudukan di Tasikmalaya.
  2. Menetapkan Kekeluargaan dan Gotong Royong sebagai asas koperasi.
  3. Memperluas pendidikan koperasi kepada kalangan pengurus dan pegawai koperasi serta masyarakat.
  4. Mengusulkan berdirinya Koperasi Desa untuk mengatur perekonoman perdesaan
  5. Menetapkan tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi.

FOTO: KOMPAS/PRIYOMBODO/HENDRA A SETYAWAN

Pelaku UMKM di Indonesia di berbagai jenis usaha. Koperasi membantu pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah dalam permodalan usaha.

Penggerak industri

Jika dilihat dari sejarah perkembangan koperasi, mulai dari era Budi Utomo hingga tahun 1950-an. Perkembangan koperasi pada dasarnya bersumber pada tiga jalur. Hal ini diungkapkan oleh Dr Saroso Wirodihardjo pada Seminar Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) tahun 1954.

Pertama, (koperasi) berkembang karena digerakkan oleh organisasi sosial politik, seperti Budi Utomo, Sarekat Dagang Islam, dan lainnya. Kedua, digerakkan atau dibantu oleh pemerintah, baik pada masa lalu (pemerintah Hindia Belanda) maupun pemerintah Republik Indonesia pasca Proklamasi. Ketiga, lebih karena inisiatif seseorang, kelompok masyarakat, maupun dunia usaha, sebagai bagian dari masyarakat (civil society).

Sementara, koperasi pada masa pemerintah Hindia Belanda dan setelah proklamasi terbagi atas tiga masa:

Pertama, pada masa ormas dan parpol berhasil menggerakkan masyarakat untuk mendirikan koperasi dengan semangat menentang kapitalisme dan politik ekonomi pemerintah Hindia Belanda.

Kedua, pada masa Ekonomi Terpimpin (1959–1965) di mana pemerintah menempatkan koperasi dalam konteks ideologi sosialis. Saat itu agenda sejumlah parpol seperti PNI, Masyumi, PKI dan NU menyusup ke dalam gerakan dan organisasi koperasi, sehingga ada politisasi gerakan koperasi.

Ketiga, saat pemerintahan Orde Baru di mana pemerintah banyak campur tangan dalam perkembangan koperasi. Hal ini tampak dari reformasi organisasi koperasi, menjadikan koperasi sebagai alat kebijaksanaan (terutama dalam program pembangunan pertanian), penyediaan faktor produksi, dan pendidikan tentang modernisasi organisasi. Selain itu, ada juga pengembangan Koperasi Unit Desa (KUD) dan kemitraaan koperasi dengan BUMN atau perusahaan swasta.

Contoh kasus dari keterlibatan pemerintah adalah Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI). Pada awalnya koperasi ini menjadi importir tunggal kain mori. GKBI pun aktif sebagai penyalur bahan baku bagi pengusaha yang juga anggota koperasinya.

Pada awalnya peran koperasi bertujuan agar para anggota mengolah sendiri bahan baku. Ternyata yang terjadi selanjutnya adalah bahan baku dijual ke pasar sehingga ada perdagangan di luar koperasi. Dengan keuntungan yang ada, pabrik pun didirikan. Artinya, ada proses industrialisasi.

Di sini terlihat bahwa koperasi menjadi penggerak industri sekaligus distributor bagi anggotanya. Hasil perdagangan yang didapat merupakan kebijaksanaan yang memihak atau pro koperasi. Hal yang kurang lebih sama terjadi pula pada KUD, koperasi fungsional berbasis profesi (atau koperasi karyawan dan pegawai negeri).

 KOMPAS/MJ KASIJANTO

Hatta didampingi Ketua Umum Dekopin, R Iman Pandji Soeroso dan pejabat-pejabat perkoperasian lain, tengah memberikan ceramah di muka pengurus koperasi di Gedung Bioskop Gita Bahari, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Sabtu (13/Juli/1974). Dalam ceramah pada Hari Koperasi ke-27 itu, Hatta mengatakan bahwa koperasi merupakan satu-satunya jalan paling tepat untuk mengangkat golongan ekonomi lemah.

Koperasi Simpan Pinjam

Jenis koperasi di jalur ketiga yang perkembangannya pesat adalah koperasi kredit.

Ini diawali oleh koperasi yang diprakarsai Aria Wiriaatmadja (1895). Penerusnya, Westerrode, rupanya berobsesi mewujudkan koperasi kredit pertanian yang pernah digagas oleh Friedrich Wilhelm Raiffeisen (1818–1888) di Jerman.

Di samping Raiffeisen, di Indonesia juga pernah berkembang model koperasi konsumsi Schulze Delitz yang tumbuh dari kalangan buruh dan penduduk perkotaan. Model Delitz ini lah yang nantinya berkembang menjadi koperasi perdagangan.

Koperasi lahir sebagai respon terhadap kondisi kemiskinan atau tingkat kesejahteraan yang rendah. Ini menjadi asal-usul aliran pemikiran koperasi yang melihat koperasi sebagai lembaga pengentasan masyarakat dari kemiskinan atau tingkat kesejahteraan yang rendah.

Bung Hatta sudah memprediksi tahap-tahap perkembangan ekonomi dan koperasi sejak masa kemerdekaan. Awalnya, masyarakat akan cenderung mengembangkan koperasi konsumsi. Tetapi biasanya tidak berhasil karena kurang terampilnya kemampuan berdagang dan modal yang kecil.

Yang selanjutnya terjadi adalah koperasi simpan pinjam yang dikelola pemilik modal (atau uang), sehingga bisa terkumpul modal untuk memperkuat perdagangan. Berikutnya, munculah koperasi produksi di bidang pertanian, pertukangan, kerajinan, dan industri.

Singkatnya, koperasi menjadi semacam persemaian usaha-usaha individual, yang kemudian semakin lama menjadi usaha skala menengah dan besar.

Jumlah Koperasi

Tahun Koperasi Aktif
(berdasarkan nomor induk yang terdaftar)
Jumlah Anggota
2020* 127.124 25.098.807
2019* 123.048 22.463.738
2018 126.343 20.049.995
2017 152.174 18.228.682
2016 151.170 11.842.415

Keterangan: *2019/2020 data sementara, Sumber : Kemenkkopukm.go.id

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Penjahit di usaha rumah tangga pembuatan perlengkapan pendukung fotografi Artrek menyiapkan bahan saat proses membuat tas di Manggarai, Jakarta, Kamis (27/8/2020). Dengan jumlah lebih dari 64 juta unit atau 99 persen dari total unit usaha nasional dan menyerap 97 persen tenaga kerja, menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, UMKM menyumbang 60 persen pada perekonomian Indonesia. Salah satu program pemulihan ekonomi nasional yang dilakukan pemerintah adalah dengan memberi stimulus dan bantuan produktif kepada para pelaku UMKM.

Pengganti rentenir

Dalam kenyataannya, koperasi yang juga perkumpulan orang hanya bisa berkembang jika para anggotanya mempunyai usaha. Atau, yang penghasilannya yang lebih besar dibanding keperluan konsumsinya, sehingga mereka bisa menabung. Dalam konteks koperasi simpan pinjam atau kredit, syarat ini jelas  menjadi penting.

Hal tersebut menjadi berbeda bagi koperasi di daerah-daerah yang miskin. Artinya, mereka butuh modal dari ‘luar’ supaya bisa memberikan kredit kepada anggotanya yang mempunyai usaha. Pinjaman yang kemudian diberikan diharapkan bisa menghasilkan keuntungan sehingga bisa menjadi simpanan untuk koperasi.

Dalam masyarakat tradisional, sumber kredit  kebanyakan berasal dari orang kaya atau pengusaha yang meminjamkan uang dengan tingkat bunga yang tinggi. Mereka sering disebut sebagai pembunga uang, tukang kredit, mindering (rentenir), atau riba. Kondisi inilah yang menjadikan koperasi sebagai pengganti rentenir dalam melayani keperluan kredit dengan bunga rendah.

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, koperasi kredit sulit berkembang bagi penduduk kota maupun desa. Menurut Sumitro Djojohadikusumo, kredit bukanlah pemecahan masalah. Ia menekankan, untuk meningkatkan pendapatan rakyat perlu pembangunan ekonomi terlebih dahulu.

Pada masa Orde Baru, pembangunan yang dimaksudkan adalah menghasilkan pertumbuhan ekonomi, kendati hasilnya belum merata. Setidaknya ini bisa dilihat dari meningkatnya pendapatan masyarakat dan menurunnya persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, yaitu dari sekitar 60 persen di awal 1970-an menjadi sekitar 11 persen pada 1997.

Kondisi itu berarti muncul sumber-sumber dana pada masyarakat yang bisa dihimpun. Pada tahun 1984, Bank Indonesia melakukan reformasi moneter. Bentuknya adalah, memberi kesempatan bank untuk mengumpulkan dana masyarakat dengan membebaskan penentuan suku bunga simpanan dan kredit.

Sejak itu komponen dana pihak ketiga pada bank bertambah drastis dan menjadi potensi untuk melakukan ekspansi kredit kepada masyarakat. Bank Rakyat Indonesia, yang lahir dari lembaga perkreditan rakyat, bisa menjadi penghimpun dana untuk daerah miskin seperti Gunung Kidul, Yogyakarta, dan Wonogiri. Singkatnya, koperasi, yang anggotanya adalah pelaku ekonomi rakyat, punya potensi besar untuk berkembang.

Menurut laporan “International Cooperative Alliance” (ICA), di tahun 2004 sekitar 40 persen koperasi adalah koperasi kredit dan asuransi. Berikutnya adalah koperasi pertanian (sekitar 25 persen), dan perdagangan ritel dan grosir (sekitar 15 persen).

Pada masa Orde Baru, koperasi yang menonjol pertumbuhannya adalah koperasi kredit. Konsepnya adalah credit union (CU) yang berkembang lebih dulu di Kanada dan Amerika Serikat. Ciri koperasi ini adalah mampu berkembang di kalangan masyarakat yang perekonomiannya masih lemah, baik di kota maupun desa.

Ada sejumlah koperasi kredit yang terbilang sukses karena mempunyai aset di atas 1 miliar rupiah dengan anggota lebih dari seribu orang. Tiga di antaranya adalah, Koperasi Peternak Bandung Selatan, Koperasi Simpan Pinjam (Kospin) Jasa Pekalongan (sekitar Rp. 1,8 triliun), Koperasi Setia Bhakti Wanita Surabaya (sekitar Rp. 1,09 triliun).

Ada juga CU yang awalnya melayani kredit konsumtif, tetapi berkembang menjadi kredit produktif atau kredit usaha. Contohnya adalah Kopdit Lantang Tipo di Kalimantan Barat, yang beranggotakan 104.927 orang dengan nilai aset Rp1,01 triliun, atau nilai kepemilikan aset koperasi sekitar Rp9,6 juta per orang.

Koperasi Terbaik (2017)

No

Nama

Kriteria  Penghargaan

1 Kopdit Lantang Tipo (Sanggau, Kalimantan Barat) Koperasi kredit dengan aset, volume usaha dan lT Terbaik
2 KSPPS UGT Sidogiri (Pasuruan, Jawa Timur) Koperasi syariah dengan aset, volume usaha dan IT terbaik
3 Koperasi Setia Bakti Wanita Surabaya (Jawa Timur) Koperasi konsumen dengan aset terbesar dan lT terbaik
4 Koperasi Telekomunikasi Seluler (Kisel) Jakarta Koperasi fungsional dengan volume usaha terbesar dan IT terbaik
5 Kospin Jasa Pekalongan (Jawa Tengah) Koperasi simpan pinjam dengan aset dan volume usaha terbesar
6 Koperasi Pusat Susu Bandung Utara  (Lembang, Jawa Barat) Koperasi produsen dengan aset dan volume usaha terbesar
7 Koperasi Syariah Benteng Mikro lndonesia (Banten) Koperasi syariah dengan CSR terbaik
8 Koperasi Astra International Koperasi fungsional dengan CSR terbaik
9 Koppas Srinadi (Bali) Koperasi konsumen dengan aset terbesar
10 Kopdit Keling Kuman (Sintang, Kalimantan Barat) Koperaasi kredit dengan CSR terbaik
11 Koperasi Agro Niaga Jabung (Malang, Jawa Timur) Koperasi produsen dengan CSR terbaik
12 Koperasi Simpan Pinjam Sejahtera Bersama (Bogor) Koperasi simpan pinjam dengan IT terbaik
13 Healthcare Mandiri Jakarta Koperasi fungsional dengan aset terbesar

Sumber : 100 Koperasi Besar Indonesia 2017

Mengembangkan bisnis

Pada masa Orde Baru, koperasi sebetulnya menjadi sokoguru perekonomian desa melalui model koperasi unit desa (KUD). Namun pada masa reformasi, perkembangan koperasi menunjukkan tahap baru, yaitu berkembang di sektor modern. Walaupun credit union tergolong kredit yang terlembaga, ada kecenderungan koperasi-koperasi lainnya berkiblat bisnis.

Ada dua aspek dari orientasi tersebut. Pertama, koperasi cenderung menjadi badan usaha yang berorientasi pada investor. Padahal, hakikat koperasi adalah melayani pengguna. Kedua, koperasi menjadi perusahaan yang memenuhi kebutuhan masyarakat non-anggota, padahal yang utama adalah kebutuhan anggota.

Permasalahan yang muncul yakni jika koperasi hanya terfokus pada kebutuhan anggota; dan tidak merespon kebutuhan pasar, perkembangan koperasi menjadi terbatas. Agar tetap maju, terutama dalam menghadapi kondisi ekonomi global, koperasi harus berkiblat pada pasar.

Permasalahan berikutnya, yakni koperasi menggunakan badan usaha perseoran terbatas untuk mengembangkan bisnis. Bahkan, tidak sedikit yang struktur kepengurusannya diubah menjadi struktur perseroan terbatas. Banyak yang menganggap hal ini merupakan proses de-mutualisasi. Masalah lainnya ada sebagian yang visi misinya cenderung pada keuntungan, walaupun untuk anggota.

Waspada penipuan berlatar koperasi

Koperasi simpan pinjam bisa dibilang menjadi daya tarik tersendiri. Ada empat manfaat yang bisa didapat jika menjadi anggota koperasi ini. Mulai dari modal usaha, alternatif penyimpanan selain bank, proses peminjaman yang tidak berbelit-belit, dan tentunya meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat.

Koperasi seharusnya mendatangkan kesejahteraan. Namun, nyatanya ada juga kesialan. Sejumlah kasus yang mengatasnamakan koperasi simpan pinjam (KSP, atau kospin) cukup marak. Ini terjadi setidaknya sudah terjadi sejak 1990-an.

“Datanglah dan bicarakan keinginan Anda dengan customer service kami yang ramah dan berpengalaman”. Itulah salah satu iklan Wijaya Bank (grup koperasi) di kawasan Jalan Jendral Sudirman, Jakarta Pusat, yang menyatakan resmi beroperasi melayani perbankan untuk para anggota koperasi dan masyarakat umum (Kompas, 31 Agustus 1992).

Pengelola bank tersebut berhasil mengumpulkan dana masyarakat melalui deposito dan tabungan, namun ternyata tidak legal. Izin operasi yang dimiliki pengelola hanya izin koperasi simpan pinjam dari Kanwil Departemen Koperasi DKI Jakarta, padahal setidaknya harus ada dari Bank Indonesia.

Penipuan berkedok koperasi hingga kini masih terus terjadi. Sebagian ada yang bermodus phising, atau mencuri akun target, lalu membuat website perbankan palsu untuk meyakinkan korban. Nama koperasi pun dipasang untuk menambah daya tarik. Mengenai tindakan, sebagian besar yang mencatut nama koperasi akhirnya dihentikan. Tetapi tidak jarang juga ada koperasi simpan pinjam yang kemudian mengalami gagal bayar.

Ciri koperasi yang menawarkan investasi abal-abal gampang diketahui. Salah satunya adalah memberikan pinjaman di luar anggota. Padahal, menurut PP Nomor 9 Tahun 1995 ditegaskan bahwa koperasi dilarang memberikan pinjaman selain anggotanya. Selain itu, ada juga iming-iming keuntungan yang bisa didapat setiap bulan.

Berikut ini adalah beberapa contoh kasus penipuan :
1. Koperasi Cipaganti (2014)
Dengan anggota sekitar 250 orang, pada awalnya disebutkan total dana investasi yang tersedia sekitar Rp90 miliar. Setiap anggota dijanjikan keuntungan 10 persen setiap bulan.
Pemberian profit (keuntungan) ternyata dilakukan dengan sistem ponzi. Uang nasabah baru diputar untuk membayar nasabah lama. Para anggota pun diharuskan merekrut calon sebanyak-banyaknya agar bisa mendaat profit yang semakin besar.

2. KSP Pandawa Mandiri Group (PMG) (2017)
Koperasi yang berlokasi di Depok, Jawa Barat ini, menjadi perhatian publik saat 173 investor melapor pada pihak kepolisian karena mengalami kerugian miliaran rupiah.

3. Koperasi Indosurya Cipta (2017)
Sejumlah anggota koperasi ini tergiur untuk menabung karena dijanjikan mendapat keuntungan dari suku bunga sebesar 9 sampai 12 persen per tahun. Pengelola koperasi juga mengiming-iming deposito dengan suku bunga yang sama.

4. Koperasi 212 (2018)
Kasus yang sering disebut Koperasi Syariah 212 Mart ini mengajak anggotanya untuk berinvestasi melalui pendirian toko. Nilai investasinya bervariasi, mulai dari Rp500 ribu hngga Rp20 juta per orang, dengan janji keuntungan yang akan dibagikan setiap akhir tahun.

Istilah-istilah perkoperasian

Mengacu UU 17/2012 tentang Perkoperasian, berikut istilah-istilah dalam koperasi:

  1. Koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi.
  2. Perkoperasian adalah segala sesuatu yang menyangkut kehidupan Koperasi.
  3. Koperasi Primer adalah Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan orang perseorangan.
  4. Koperasi Sekunder adalah Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan badan hukum Koperasi.
  5. Rapat Anggota adalah perangkat organisasi Koperasi yang memegang kekuasaan tertinggi dalam Koperasi.
  6. Pengawas adalah perangkat organisasi Koperasi yang bertugas mengawasi dan memberikan nasihat kepada Pengurus.
  7. Pengurus adalah perangkat organisasi Koperasi yang bertanggung jawab penuh atas kepengurusan Koperasi untuk kepentingan dan tujuan Koperasi, serta mewakili Koperasi baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar.
  8. Setoran Pokok adalah sejumlah uang, yang wajib dibayar oleh seseorang atau badan hukum Koperasi pada saat yang bersangkutan mengajukan permohonan keanggotaan pada suatu Koperasi.
  9. Sertifikat Modal Koperasi adalah bukti penyertaan Anggota Koperasi dalam modal Koperasi.
  10. Hibah adalah pemberian uang dan/atau barang kepada Koperasi dengan sukarela tanpa imbalan jasa, sebagai modal usaha.
  11. Modal Penyertaan adalah penyetoran modal pada Koperasi berupa uang dan/atau barang yang dapat dinilai dengan uang yang disetorkan oleh perorangan dan/atau badan hukum untuk menambah dan memperkuat permodalan Koperasi guna meningkatkan kegiatan usahanya.
  12. Selisih Hasil Usaha adalah Surplus Hasil Usaha atau Defisit Hasil Usaha yang diperoleh dari hasil usaha atau pendapatan Koperasi dalam satu tahun buku setelah dikurangi dengan pengeluaran atas berbagai beban usaha.
  13. Simpanan adalah sejumlah uang yang disimpan oleh Anggota kepada Koperasi Simpan Pinjam, dengan memperoleh jasa dari Koperasi Simpan Pinjam sesuai perjanjian.
  14. Pinjaman adalah penyediaan uang oleh Koperasi Simpan Pinjam kepada Anggota sebagai peminjam berdasarkan perjanjian, yang mewajibkan peminjam untuk melunasi dalam jangka waktu tertentu dan membayar jasa.
  15. Koperasi Simpan Pinjam adalah Koperasi yang menjalankan usaha simpan pinjam sebagai satu-satunya usaha.
  16. Unit Simpan Pinjam adalah salah satu unit usaha Koperasi non-Koperasi Simpan Pinjam yang dilaksanakan secara konvensional atau syariah.
  17. Gerakan Koperasi adalah keseluruhan organisasi Koperasi dan kegiatan Perkoperasian yang bersifat terpadu menuju tercapainya cita-cita dan tujuan Koperasi.
  18. Dewan Koperasi Indonesia adalah organisasi yang didirikan dari dan oleh Gerakan Koperasi untuk memperjuangkan kepentingan dan menyalurkan aspirasi Koperasi.

(LITBANG KOMPAS)