KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Warga memadati kawasan Pasar Asemka, Jakarta Barat, Minggu (27/2/2022). Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Dukcapil memperbaharui data kependudukan semester II tahun 2021 yang mencatat jumlah penduduk Indonesia adalah 273.879.750 jiwa. Dari jumlah tersebut terdapat kenaikan sebesar 2.529.861 jiwa dibandingkan tahun 2020. Indonesia saat ini memasuki era bonus demografi dimana penduduk usia produktif (15-64 tahun) mendominasi jumlah penduduk di dalam negeri.
Fakta Singkat
- Hari Populasi diperingati setiap tanggal 11 Juli.
- Peringatan ini terinspirasi dari Hari Lima Miliar pada 11 Juli 1987, yang menandai jumlah populasi manusia mencapai 5 miliar saat itu.
- Peringatannya secara serentak mulai diperingati pada tahun 1990 di lebih dari 90 negara oleh berbagai lembaga.
- Berdasarkan Resolusi 45/216, tujuan dari Hari Populasi Sedunia adalah untuk meningkatkan kesadaran akan masalah kependudukan, dan hubungannya dengan lingkungan serta pembangunan.
Populasi Indonesia
- Pada 2024, jumlah penduduk Indonesia mencapai 281.603 juta jiwa, 3,4 persen dari total penduduk dunia.
- Jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki adalah sebesar 142.188 juta jiwa atau 50,49 persen dan penduduk perempuan sebesar 139.415 juta jiwa atau 49,51 persen.
- Rata-rata jumlah anak per perempuan di Indonesia sudah mendekati 2,1 anak.
- Pada tahun 2023, angka harapan hidup Indonesia 73,93 tahun.
- Indonesia mulai mengalami fase penuaan penduduk, penduduk lansia di Indonesia pada 2023 berjumlah 32,9 juta jiwa atau 11,75 persen dari total penduduk.
Jumlah penduduk bumi yang semakin besar akan memunculkan berbagai tantangan, mulai dari ketahanan pangan, lingkungan, ekonomi, sosial, dan lain sebagainya. Tantangan ini harus dijawab dengan solusi nyata demi keberlanjutan kehidupan manusia maupun Bumi.
Terkait dengan hal itu, tanggal 11 Juli setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Populasi Sedunia. Merujuk situs resmi United Nations, peringatan ini terinspirasi dari Hari Lima Miliar pada 11 Juli 1987, yang menandai jumlah populasi manusia mencapai 5 miliar saat itu. Dari situ, pada tahun 1989, Dewan Pengurus Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa memutuskan untuk terus memperingati 11 Juli sebagai Hari Populasi Sedunia.
Peringatannya secara serentak mulai diperingati pada tahun 1990 di lebih dari 90 negara oleh berbagai lembaga. Berdasarkan Resolusi 45/216 pada Desember 1990 yang disusun Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, tujuan dari Hari Populasi Sedunia adalah untuk meningkatkan kesadaran akan masalah kependudukan, dan hubungannya dengan lingkungan serta pembangunan. Termasuk juga mempromosikan upaya global untuk mengatasi masalah kependudukan, seperti promosi layanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi, pemberdayaan perempuan dan anak perempuan, dan promosi praktik pembangunan berkelanjutan.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Pemukiman penduduk di pinggir Kali Ciliwung di Kecamatan Jatinegara dan Kecamatan Tebet, Jakarta, Rabu (21/6/2023). Menurut data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, penduduk Jakarta pada 2022 mencapai 10,679 juta jiwa. Jumlah tersebut naik tipis 0,66 persen dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 10,609 juta jiwa.
Pertumbuhan Populasi
Berdasarkan laporan World Population Prospects 2022: Summary of Results PBB, jumlah manusia yang menghuni Bumi genap mencapai 8 miliar jiwa pada 15 November 2022. Sebelumnya, penduduk Bumi mencapai 7 miliar jiwa pada 31 Oktober 2011 atau hanya butuh 11 tahun untuk bertambah 1 miliar penduduk.
Kenaikan itu terjadi sedikit lebih cepat dibanding pertambahan 1 miliar penduduk sebelumnya, saat penduduk Bumi mencapai 6 miliar jiwa pada 12 Oktober 1999. Diperkirakan angka ini akan terus naik, tetapi diprediksi akan sedikit melambat. Untuk mencapai 9 miliar jiwa diperkirakan butuh 15 tahun atau terjadi pada 2037, kemudian 9,7 miliar pada 2050, dan 10,4 miliar pada 2100.
Merujuk artikel Kompas, (15/11/2022), berjudul “Hanya dalam 200 Tahun, Populasi Manusia Meledak 8 Kali Lipat”. Pertama kalinya populasi manusia mengalami lompatan besar ialah ketika manusia mengenal pertanian sekitar tahun 10.000 sebelum Masehi (SM) atau dikenal juga sebagai zaman Neolitikum, yaitu saat manusia mulai menggunakan peralatan dari batu yang dihaluskan.
Sebelumnya, nenek moyang kita adalah masyarakat pemburu dan pengumpul. Mereka memiliki sedikit anak karena hidup secara nomaden. Jumlah anak yang kecil akan memudahkan mereka saat harus berpindah tempat tinggal.
Namun, ketika mengenal pertanian, mereka menjadi kurang banyak bergerak dibandingkan masyarakat pemburu-pengumpul. Mereka pun tinggal menetap sehingga mampu mengembangkan kemampuan untuk mengolah dan menyimpan makanan. Hal ini memberi kesempatan bagi mereka untuk menata kehidupan secara teratur, termasuk memudahkan untuk memiliki anak.
Memiliki banyak anak dianggap hal yang menguntungkan dalam masyarakat pertanian saat itu. Sebab, mampu menyediakan tenaga tambahan untuk membuat pekerjaan lebih ringan. Dampaknya, jumlah kelahiran pun meningkat pesat.
KOMPAS/LASTI KURNIA
Suasana Markas Besar Sekretariat Sensus Penduduk 2020 di Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta, Minggu (16/2/2020). Badan Pusat Statistik (BPS) memulai sensus penduduk 2020 secara online dan offline. Sensus penduduk 2020 secara online mulai tanggal 15 Februari hingga 31 Maret 2020. Sementara sensus penduduk 2020 secara offline dilaksanakan 1-31 Juli 2020 oleh petugas sensus yang akan mendata melalui sensus penduduk wawancara.
Menurut peneliti Institut Studi Demografi Perancis (INED) Herve Le Bras, seperti dikutip AFP, 10 November 2022, pada masa ini, kaum ibu sudah memiliki kemampuan untuk memberi makan bayi mereka dengan bubur. Pemberian bubur ini mempercepat proses penyapihan bayi dan memperpendek jarak antarwaktu kelahiran.
Ledakan kelahiran itu membuat dari 6 juta manusia di Bumi pada tahun 10.000 SM melonjak menjadi 100 juta jiwa pada tahun 2000 SM atau naik hampir 17 kali lipat dalam 8.000 tahun. Dari jumlah itu, jumlah manusia kembali meledak menjadi 250 juta jiwa pada abad pertama Masehi atau 2,5 kali lipat dalam dua milenium.
Meski demikian, karena kualitas hidup yang masih rendah, jumlah kematian saat itu juga sangat tinggi. Penyakit infeksi menular yang tidak terkendali menjadi salah satu penyebab utama tingginya tingkat kematian. Contohnya adalah wabah pes yang melanda Kekaisaran Romawi Timur pada abad ke-6 di bawah pimpinan Kaisar Yustinianus I.
Wabah yang dikenal sebagai Wabah Yustinianus (Plague of Justinian) ini menyebar ke sejumlah wilayah sekitar, seperti Jazirah Arab, Afrika Utara, Asia Selatan, hingga Eropa dan China. Menyebabkan sekitar 30 hingga 50 juta orang yang meninggal. Bahkan, sang kaisar juga terkena virus tersebut, namun bisa selamat.
Kematian masif global karena wabah terjadi kembali saat pandemi Black Death atau Kematian Hitam selama abad pertengahan. Kematian Hitam itu juga dipicu oleh merebak dan tak terkendalinya wabah pes atau sampar, penyakit menular yang disebabkan oleh enterobakteri dan disebarkan oleh hewan pengerat, khususnya tikus. Bakteri ini mudah mengontaminasi makanan, baik berupa makanan matang maupun makanan beku.
Wabah pes ini bermula di wilayah yang saat ini masuk negara Kirgistian di Asia Tengah pada awal abad ke-14. Selanjutnya, penyakit ini mencapai Eropa pada tahun 1346 melalui kapal-kapal yang membawa aneka barang melalui Laut Hitam.
Hasilnya, diperkirakan 60 persen populasi manusia di Eropa, Timur Tengah, dan Afrika musnah hanya dalam delapan tahun. Jumlah manusia anjlok dari 429 juta jiwa pada tahun 1300 menjadi 374 juta jiwa pada tahun 1400.
Selain oleh penyakit, pertumbuhan manusia juga terhambat oleh perang. Besarnya kematian akibat perang di masa ini juga membawa konsekuensi besar bagi pertambahan umat manusia.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Warga duduk di tepian rel kereta api yang berada di sekitar perkampungan padat penduduk di Empang, Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat (11/12/2020). Pemerintah pusat melalui Kementrian PUPR memberikan dana bantuan sebesar Rp 68 miliar, dari jumlah dana total Rp 382 miliar untuk seluruh Indonesia, kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk pelaksanaan program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku).
Seiring berakhirnya abad pertengahan atau era kegelapan di Eropa, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Industrialisasi pertanian berkembang hingga menciptakan pasokan pangan yang lebih baik. Selain itu, obat-obatan modern juga banyak ditemukan yang membuat penyakit menular mulai bisa dikendalikan.
Keberhasilan itu membuat jumlah manusia akhirnya mencapai 1 juta jiwa pada tahun 1803. Jumlah tersebut terus berkembang dengan cepat, menjadi 2 miliar (1927), 3 miliar (1960), 4 miliar (1974), 5 miliar (1987), 6 miliar (1999), 7 miliar (2011), dan 8 miliar (2022).
Grafik:
Afrika menjadi benua dengan laju pertumbuhan penduduk tertinggi (2,5 persen), dan Eropa yang terendah (hanya sekitar 0,01 persen) pada tahun 2022. Adapun wilayah terpadat di dunia adalah Asia Timur dan Tenggara, dengan 2,3 miliar orang, mewakili 29 persen populasi dunia, dan Asia Tengah dan Selatan, dengan 2,1 miliar (26 persen).
China saat ini masih menjadi negara berpenduduk terbanyak di dunia, dengan populasi diperkirakan sebesar 1,426 miliar jiwa. Disusul India sebanyak 1,412 miliar jiwa. Di urutan berikutnya ada Amerika Serikat (337 juta), Indonesia (275 juta), dan Pakistan (234 juta). Kemudian diikuiti Nigeria (216 juta), Brasil (215 juta), Banglades (170 juta), Rusia (145 juta), dan Meksiko (127 juta).
Secara global, jumlah pria di dunia sedikit lebih banyak (50,3 persen) daripada wanita (49,7 persen). Namun, angka ini diproyeksikan akan berbalik secara perlahan selama abad ini. Pada tahun 2050, diperkirakan jumlah perempuan akan sama dengan jumlah laki-laki.
Anomali
Meskipun jumlah penduduk dunia terus meningkat, tren pertumbuhannya kian menurun. PBB menyebutkan populasi dunia tumbuh paling cepat pada periode 1962-1965, dengan peningkatan rata-rata sebesar 2,1 persen per tahun. Namun, sejak saat itu, laju pertumbuhan penduduk melambat lebih dari setengahnya karena berkurangnya tingkat kesuburan.
Pada tahun 2020, dan untuk pertama kalinya sejak 1950, laju pertumbuhan penduduk turun di bawah 1 persen per tahun. Pertumbuhan populasi global diproyeksikan akan terus melambat sepanjang abad ini, mencapai tingkat peningkatan tahunan sekitar 0,5 persen pada tahun 2050 dan kurang dari 0,03 persen pada tahun 2100.
Mulai banyak negara mengalami penyusutan populasi. Dari laporan PBB terdapat 61 negara atau wilayah yang populasinya diproyeksikan menurun sebesar 1 persen atau lebih antara tahun 2022 dan 2050. Lebih dari separuh proyeksi peningkatan populasi global hingga tahun 2050 hanya akan terkonsentrasi di delapan negara saja: Republik Demokratik Kongo, Mesir, Ethiopia, India, Nigeria, Pakistan, Filipina, dan Republik Persatuan Tanzania.
Problem populasi yang menyusut terutama disebabkan oleh angka kelahiran yang rendah. Hal ini menunjukan pertumbuhan penduduk yang tinggi sejak memasuki abad ke-21 bukan berkat tingginya angka kelahiran, melainkan karena tingginya angka harapan hidup.
PBB mencatat penurunan angka kelahiran global. Jumlah anak per perempuan (total fertility rate/TFR) terus turun dari sekitar 3,7 anak (1980) menjadi 2,4 anak (2022). Angka itu mendekati angka minimum 2,1 kelahiran yang diperlukan untuk memastikan regenerasi penduduk berjalan dan menghindari penurunan populasi dalam jangka panjang tanpa adanya migrasi yang terjadi.
China, misalnya, dalam policy brief PBB yang membidangi masalah ekonomi dan sosial edisi April 2023 lalu menyebutkan status China yang selama ini menjadi negara berpenduduk terbesar dunia akan digantikan oleh India. China kini telah memulai periode penurunan populasi yang diperkirakan berlanjut pada tahun-tahun mendatang. Angka kelahiran di China merupakan salah satu yang terendah saat ini, yaitu di angka 1,7 kelahiran per perempuan.
Angka kelahiran di Jepang lebih rendah lagi, yaitu di angka 1,33 kelahiran per perempuan. Jepang bahkan sudah mengalami penurunan jumlah penduduk sejak satu setengah dekade yang lalu. Puncak tertinggi jumlah penduduk Jepang sudah tercapai pada tahun 2008. Saat itu tercatat jumlah penduduk Jepang sebanyak 128.084.000 jiwa. Setelah itu, jumlah penduduk Jepang menurun secara bertahap. Pada Oktober 2022 lalu, jumlah penduduk Jepang tercatat 124.947.000 jiwa atau berkurang 3,1 juta jiwa lebih (2,5 persen) (Kompas, 5/5/2023).
Angka kelahiran terendah di dunia dipegang oleh Korea Selatan, yaitu 0,78 kelahiran per perempuan. Menjadikan Korea Selatan menjadi satu-satunya negara di dunia dengan tingkat kesuburan di bawah satu.
Ada banyak faktor yang menyebabkan menurunnya angka kelahiran. Kekhawatiran soal pendapatan menjadi salah satu penyebab banyak orang muda khawatir untuk menikah dan punya anak. Punya anak berarti harus mempersiapkan setidaknya biaya pendidikan dan biaya kesehatan. Selain itu, tentu saja tempat tinggal, pangan, dan pakaian. Tekanan ekonomi yang tinggi ini membuat orang lebih memprioritaskan kestabilan finansial ketimbang membangun keluarga.
Dosen Komunikasi dan Budaya Universitas Hati Suci, Tokyo, David McNeill, menjelaskan di harian Manichi bahwa keengganan generasi muda berkeluarga ini tidak sebatas soal uang, tetapi juga definisi kebahagiaan hidup (Kompas, 1/3/2023). Baik laki-laki maupun perempuan menginginkan hidup yang bahagia dan berkualitas sesuai minat masing-masing. Pemudi sekarang tidak berminat menjadi ibu rumah tangga yang berjibaku sendirian di rumah, sementara suami bekerja hingga larut malam. Di sisi lain, pemudanya juga tidak mau terjebak kehidupan sebagai salaryman.
Adapun faktor lainnya yang cukup berperan besar adalah peningkatan partisipasi angkatan kerja perempuan, perluasan akses ke layanan keluarga berencana, hingga membaiknya tingkat pendidikan formal.
Grafik:
Populasi Menua
Di saat angka harapan hidup di banyak negara semakin membaik, angka kelahiran cenderung menurun. Secara global, angka harapan hidup mencapai 72,8 tahun pada 2019 atau meningkat hampir sembilan tahun dari tahun 1990-an. Angka harapan hidup adalah perkiraan rata-rata jumlah tahun seseorang dapat hidup sejak lahir.
Hal itu menyebabkan komposisi usia yang terbalik, di mana akan lebih banyak orang tua ketimbang kaum muda. Berubahnya komposisi penduduk dunia dengan membesarnya penduduk lansia ini disebut juga dengan ageing population atau penuaan penduduk.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan pada tahun 2030, jumlah penduduk yang berusia 60 tahun ke atas akan meningkat dari 1 miliar jiwa pada tahun 2020 menjadi 1,4 miliar jiwa. Pada tahun 2050 jumlahnya akan meningkat hampir dua kali lipat menjadi 2,1 miliar jiwa (Kompas, 29/5/2023).
Sebuah negara dianggap masuk kelompok populasi menua apabila jumlah penduduk lansia berumur lebih dari 60 tahun mencapai lebih dari 10 persen dari total populasi. Berdasarkan data Population Reference Bureau, Asia dan Eropa adalah rumah bagi beberapa populasi tertua di dunia, mereka yang berusia 65 tahun ke atas. Di urutan teratas adalah Jepang dengan 28 persen, diikuti Italia dengan 23 persen. Finlandia, Portugal, dan Yunani melengkapi lima besar dengan mendekati 22 persen.
Penelitian Universitas Oxford mencatat peningkatan umur median, dari 20 tahun (1970) menjadi 30 tahun (2022). Artinya, 50 persen penduduk global saat ini berusia di atas 30 tahun. Umur median biasa digunakan sebagai ukuran statistik kependudukan yang mewakili usia tengah populasi. Monako memiliki umur median penduduk tertua di dunia (53 tahun), diikuti Jepang (48 tahun) dan Italia (47 tahun) (Kompas, 8/4/2023).
Penuaan penduduk ini mulanya terjadi di negara-negara maju yang merupakan negara dengan pendapatan tinggi (high-income countries). Namun, sekarang penuaan penduduk juga terjadi pada negara berkembang atau negara yang termasuk dalam kelompok berpendapatan rendah dan menengah.
Pergeseran komposisi usia ini dikhawatirkan akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi dunia. Kekurangan jumlah penduduk produktif akan berdampak buruk pada perekonomian karena kekurangan tenaga kerja, menurunnya penerimaan pajak, hingga hilangnya konsumen potensial. Sementara itu, beban ekonomi akan bertambah, baik di level rumah tangga maupun negara. Bagi negara, pemerintah harus mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk kelompok lansia, terutama untuk anggaran kesehatan dan jaminan sosial.
Negara yang mengalami penuaan dan penurunan jumlah penduduk akan mengalami penurunan kekuatan dan pengaruhnya di dunia, mengubah peta geopolitik. Kondisi ini tentu memunculkan kecemasan akan masa depan negara.
Karena kekhawatiran itu, beberapa negara berusaha mengatasi angka kelahiran yang sangat rendah dengan berbagai kebijakan untuk mendorong kelahiran anak dan mendukung keluarga. Kebijakan itu antara lain dengan memberikan dukungan keuangan hingga menyediakan pengaturan kerja yang fleksibel dan akses ke pengasuhan anak berkualitas tinggi.
Di Korea Selatan yang memiliki angka kelahiran terendah, terdapat skema insentif bagi orang tua baru sebesar 540 dollar AS per bulan selama satu tahun pertama kelahiran anaknya. Kebijakan yang sama juga ditempuh pemerintah Jepang dengan memberi subsidi bagi keluarga untuk membantu biaya melahirkan dan biaya sekolah anak hingga remaja. Jepang juga memperpanjang usia pensiun.
Sementara di China, kebijakan satu anak dicabut setalah berpuluh-puluh tahun diberlakukan. Tahun 2015, pasangan suami-istri diperbolehkan memiliki dua anak dan pada 2021 ditingkatkan menjadi tiga anak. Pemerintah China juga menyusun kebijakan untuk meringankan biaya selama kehamilan, melahirkan, pengasuhan, hingga biaya sekolah anak (Kompas, 5/5/2023).
Di beberapa negara-negara berpendapatan tinggi untuk mempertahankan tingkat populasi dan pertumbuhan ekonomi adalah dengan membuat kebijakan imigrasi. Contohnya Amerika Serikat, pada Maret lalu, Presiden AS Joe Biden mengutarakan ingin menambah jumlah imigran legal ke dalam negaranya. Imigran legal ini adalah mereka yang telah disaring bibit, bebet, dan bobotnya sehingga bisa menjadi warga negara atau setidaknya memperoleh izin tinggal tetap (Kompas, 25/5/2023).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Pegawai Badan Pusat Statistik mengamati papan informasi hasil simulasi sementara Sensus Penduduk 2020 secara online (dalam jaringan/daring) di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Selasa (4/2/2020).
Daya Dukung Bumi
Pertumbuhan populasi yang diproyeksikan akan masih terus berlangsung meski melambat menimbulkan pertanyaan, sampai sejauh mana kemampuan Bumi menopang kehidupan manusia? Bertambahnya jumlah populasi berarti meningkatnya tekanan terhadap Bumi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran, khususnya di tengah daya dukung Bumi yang kian menurun.
Pengalaman sejauh ini menunjukkan penggunaan sumber daya alam (SDA) untuk pemenuhan kebutuhan manusia seringkali menggunakan pola penggunaan sumber daya yang tidak berkelanjutan, mengabaikan dampak terhadap ekosistem. Sebanyak tiga perempat daratan dan dua pertiga wilayah perairan di Bumi telah diubah dan dieksploitasi manusia (Kompas, 21/11/2022).
Aktivitas manusia tersebut telah menyebabkan degradasi lingkungan. Kondisi itu terlihat dari kerusakan lingkungan dan perubahan iklim yang terjadi saat ini. Sejak revolusi industri dimulai pada akhir abad ke-18 hingga sekarang, suhu permukaan Bumi telah naik hampir 1,5 derajat celsius.
Kenaikan suhu bumi dan perubahan iklim menjadi ancaman paling besar yang dihadapi manusia saat ini. Berdasarkan temuan yang dipublikasikan Timothy M Lenton dari Global Systems Institute, University of Exeter, Inggris, dan Chi Xu dari School of Life Sciences, Nanjing University, China, serta tim di jurnal Nature Sustainability, Senin (22/5/2023). Dengan proyeksi kenaikan suhu bumi hingga 2,7 derajat celsius pada akhir abad ini, setidaknya 2 miliar orang bakal tinggal di zona yang terlalu panas dan sulit untuk ditinggali (Kompas, 25 Mei 2023).
Peningkatan suhu Bumi dan kerusakan lingkungan juga memaksa sebagian hewan liar melakukan migrasi tempat tinggal. Interaksi manusia dengan hewan liar meningkat, memunculkan risiko transmisi virus, dan berpotensi menciptakan pandemi.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Seorang warga menggendong anak menembus banjir di kawasan Karet Kuningan, Jakarta, Selasa (4/10/2022). Berdasarkan data dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta memberi peringatan terkait adanya cuaca ekstrem di Jakarta mulai 2-8 Oktober 2022.
Perubahan iklim juga memicu kejadian cuaca ekstrem, seperti banjir dan kekeringan yang berdampak buruk pada produksi pangan sehingga mengancam ketahanan pangan dunia. Isu ancaman krisis pangan global ini telah disampaikan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan lembaga-lembaga internasional lain pada April 2020.
Krisis pangan itu dapat berujung pada bencana kelaparan secara global. Secara global, berdasarkan data FAO terdapat 828 juta orang terkena dampak kelaparan pada 2021. Sementara 924 juta orang mengalami kerawanan pangan pada tingkat parah.
Kekeringan yang dipicu perubahan siklus air Bumi juga menambah parah krisis air dunia yang saat ini terjadi. Berdasarkan data UN Water, saat ini saja 4 miliar orang atau dua pertiga penduduk dunia hidup dalam kekurangan air minimal dalam sebulan. Permasalahan air ini menyangkut hidup mati manusia. Bahkan, krisis air manjadi penyebab konflik di sejumlah negara (Kompas, 19/9/ 2021).
Tekanan terhadap lingkungan sebenarnya tidak serta-merta disebabkan pertumbuhan penduduk. Dari sejumlah penelitian, menurunnya kemanfaatan lingkungan tidak ditentukan oleh sedikitnya penduduk, tetapi bagaimana pola hidup dan pola konsumsi masyarakat. Meski penduduknya lebih sedikit, banyak negara maju justru paling boros dalam menghasilkan emisi gas rumah kaca akibat pola hidupnya yang tidak mendukung keberlanjutan lingkungan.
Menurut perhitungan jejak ekologi oleh Global Footprint Network dan WWF, jika pola konsumsi warga dunia sama seperti pola konsumsi masyarakat Singapura (5,64 juta), setidaknya dibutuhkan 3,7 Bumi untuk menopang segala kebutuhan mereka. Sementara jika semua orang di planet ini hidup dengan gaya hidup seperti rata-rata warga negara India (1,4 miliar), kita hanya membutuhkan kapasitas 0,8 Bumi per tahun. Ini menunjukan, dampak manusia yang memicu krisis iklim di planet ini, terutama didorong oleh perilaku kita daripada jumlah kita.
Karena itu, manusia harus mengubah pola hidup dengan mempertimbangkan berbagai dampak pada lingkungan agar lebih berkelanjutan. Pengurangan ketergantungan pada sumber daya yang tidak dapat diperbarui, pengurangan emisi dan limbah, efisiensi produksi dan konsumsi, hingga penggunaan energi terbarukan. Keberlanjutan kehidupan di Bumi sangat bergantung pada pilihan dan keputusan manusia, seberapa hati-hati sumber daya planet ini dikelola dan seberapa adil sumber daya tersebut dibagi.
Populasi Indonesia
Jumlah Populasi
Badan Pusat Statistik melaporkan, jumlah penduduk Indonesia mencapai 275,773 juta jiwa pada tahun 2022. Jumlah tersebut naik 1,13% dibandingkan pada tahun lalu yang sebanyak 272,68 juta jiwa. Jumlah penduduk Indonesia saat ini merupakan 3,4 persen dari total penduduk dunia.
Jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki adalah sebesar 136,66 juta jiwa atau 50,58 persen dan penduduk perempuan sebesar 133,54 juta jiwa atau 49,42 persen.
Penduduk Indonesia terbanyak berada di Pulau Jawa, yakni 154,34 juta. Artinya lebih dari separuh atau 56,05 persen penduduk terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Jumlah penduduk terbanyak di Indonesia pada level provinsi terdapat di Provinsi Jawa Barat yaitu 49,40 juta orang. Diikuti Jawa Timur 41,15 juta orang dan Jawa Tengah 37,03 juta orang. Sementara, provinsi dengan jumlah penduduk paling sedikit adalah Kalimantan Utara 727,8 ribu orang. Di atas Kalimantan Utara atau di posisi kedua dan ketiga terbawah ada Papua Barat 1,183 juta orang dan Gorontalo: 1,19 juta orang.
Grafik:
Tren Pertumbuhan
BPS memproyeksikan penduduk Indonesia akan terus bertambah hingga tahun 2050. Meskipun pertumbuhan penduduk diproyeksikan tetap positif, Laporan Proyeksi Penduduk Indonesia 2020-2050 berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2020 yang dirilis Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada Selasa (16/5/2023) menunjukkan, laju pertumbuhan penduduk pada periode 2020-2050 melambat secara bertahap dari tahun ke tahun.
Bappenas membagikan proyeksi penduduk berdasarkan tiga skenario. Pertama, skenario tren (berjalan seadanya atau business as usual). Kedua, skenario dengan intervensi kebijakan yang dibagi menjadi skenario optimistis dan moderat. Semua skenario itu menunjukkan laju pertumbuhan penduduk akan semakin melambat.
Dengan skenario tren, laju pertumbuhan penduduk Indonesia melambat dari 1,08 persen (periode 2020-2025) menjadi 0,57 persen (periode 2035-2040) dan menjadi 0,30 persen (periode 2045-2050). Demikian pula, pada skenario optimis, laju pertumbuhan penduduk melambat dari 1,09 persen (2020-2025), menjadi 0,64 persen (periode 2035-2040), dan 0,53 persen (2045-2050). Adapun pada skenario moderat, laju pertumbuhan penduduk pada periode 2020–2025 sebesar 1,09 persen, secara bertahap menurun menjadi 0,60 persen pada 2035–2040, dan 0,42 persen pada tahun 2045–2050
Pada skenario tren, jumlah penduduk diproyeksikan mencapai 328,93 juta jiwa pada tahun 2050. Pada skenario optimis, jumlah penduduk mencapai 337,99 juta jiwa pada tahun 2050. Sedangkan pada skenario moderat, jumlah penduduk mencapai 333,57 juta pada tahun 2050. Indonesia diperkirakan turun dari peringkat ke-4 negara dengan jumlah penduduk terbesar menjadi peringkat ke-6, disalip oleh Nigeria dan Pakistan.
Melambatnya laju pertumbuhan penduduk Indonesia ini disebabkan oleh sejumlah faktor, khususnya angka kelahiran yang menurun. Saat ini, rata-rata jumlah anak per perempuan di Indonesia sudah mendekati 2,1 anak. Setelah 2035, diproyeksikan jumlah anak per perempuan turun di bawah dua anak, hingga mencapai 1,97 anak per perempuan pada 2045 (Kompas, 27/6/2023).
Grafik:
Memasuki Fase Penuaan
Seperti banyak negara lain, Indonesia mulai mengalami fase penuaan penduduk. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, penuaan penduduk terjadi karena angka harapan hidup yang semakin membaik, namun angka kelahiran cenderung menurun. Pada tahun 2023, angka harapan hidup 73,93 tahun. Meningkat 0,23 tahun dibanding tahun sebelumnya yang sebesar 73,70 tahun.
Pada tahun 2023, BPS mencatat, penduduk lansia di Indonesia pada 2023 berjumlah 32,9 juta jiwa atau 11,75 persen dari total penduduk. Artinya sekitar 1 dari 10 penduduk Indonesia sudah berusia lanjut. Angka tersebut meningkat signifikan sejak 1971 yang tercatat 4,5 persen. Diproyeksi pada 2045 akan meningkat menjadi 19,9 persen (Kompas, 29/5/2023).
Berdasarkan Statistik Penduduk Lanjut Usia 2023, terdapat 18 provinsi di Indonesia sudah mengalami penuaan penduduk dengan presentase lansia di atas 10 persen. Persentase lansia tertinggi terdapat di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebanyak 16,02 persen, disusul Jawa Timur dengan 15,57 persen, Jawa Tengah 15,05 persen, Bali 13,97 persen, dan Sulawesi Utara 13,70 persen. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- “Countries With the Oldest Populations in the World”, Population Reference Bureau, diakses dari prb.org.
- “Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2045”, diakses dari indonesia.unfpa.org
- “Proyeksi Penduduk Indonesia 2020-2050”, diakses dari bappenas.go.id
- “World Population Prospect 2022”, diakses dari un.org
- “Global Population Growth and Sustainable Development 2022”, diakses dari un.org
- “Statistik Penduduk Lanjut Usia 2022”, diakses dari bps.go.id
- “Bayang-bayang Depopulasi”, Kompas, 1 Maret 2021.
- “Hanya dalam 200 Tahun, Populasi Manusia Meledak 8 Kali Lipat”, Kompas, 15 November 2022.
- “Delapan Miliar Jiwa Bukan Sekadar Angka”, Kompas, 16 November 2022.
- “Menghidupi 8 Miliar Manusia”, Kompas, 21 November 2022.
- “Populasi Kian Menua, Bagai Berpacu Melawan Waktu”, Kompas, 29 Januari 2023.
- “Jepang-China Pusing Memikirkan Turunnya Angka Kelahiran”, Kompas, 1 Maret 2023.
- “Perubahan Demografi Global dan Masa Depan Indonesia”, Kompas, 8 April 2023.
- “Menjaga Keseimbangan Pertumbuhan Penduduk”, Kompas, 27 April 2023.
- “Tren Populasi yang Menyusut dan Kecemasan Dunia”, Kompas, 5 Mei 2023.
- “AS Pun Dihantui Krisis Kelahiran”, Kompas, 25 Mei 2023.
- “Tantangan Indonesia Menghadapi Penuaan Penduduk”, Kompas, 29 Mei 2023.
- “Sisa Waktu Bonus Demografi”, Kompas, 27 Juni 2023.
- “Indonesia Memasuki Periode Aging Population”, diakses dari kemenkes.go.id
- “Ageing and Health”, diakses dari who.int
- “Krisis Pangan dan Tantangan Masa Depan”, diakses dari greenpeace.org
- Laman: data.worldbank.org