KOMPAS/Pat Hendranto
Sekitar 10.000 kaum ibu menghadiri peringatan Hari Ibu di Istora Senayan Jakarta Pusat (22/12/1972). Empat Ibu yang memelopori Kongres Perempuan di Yogyakarta pada 22 Desember 1928 yakni Ibu Soenarto Mangunpuspito, Ibu Kartowijono, Ibu Dr Moewardi dan Ibu Soelarso diberi tanda penghargaan oleh Ibu Negara Tien Soeharto.
Fakta Singkat
- Kongres Nasional Perempuan Pertama dilaksanakan 22 Desember 1928.
- Hari Ibu ditetapkan 22 Desember sejak Kongres Perempuan III 1938.
- Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 316 Tahun 1959, salah satunya menetapkan Hari Ibu tanggal 22 Desember sebagai Hari Nasional yang bukan hari libur.
- Berbagai komponen gerakan perempuan sebelum Indonesia merdeka hingga kejatuhan Orde Lama memperjuangkan harkat martabat perempuan dan kritis pada poligami.
- Pada masa Orde Baru di bawah Kowani, PKK, Dharma Wanita, dan Perwari harus satu tujuan mendukung program pemerintah.
- Sejak era 1980-an mulai muncul gerakan kritis pada progam pembangunan pemerintah Orde Baru yang dianggap merugikan kaum perempuan.
Kesadaran perempuan ikut terlibat dalam persoalan masyarakat dan bangsa telah ada sejak tahun 1912 dengan lahirnya organisasi perempuan pertama, yaitu Poetri Mardika. Hal itu mendorong munculnya berbagai terbitan perempuan yang banyak menggugat perkawinan anak dan permaduan (poligami). Selanjutnya, muncul kelompok perempuan Putri Sejati dan Wanita Utama.
Pada 1917 muncul kelompok perempuan berbasis agama, yaitu Aisyah dari Muhammadiyah, kemudian muncul pula organisasi Perempuan Kristen, Perempuan Katolik. Dalam tingkat lokal, menyusul kemudian muncul kelompok Perempuan Maluku, Minahasa dan Minangkabau.
Di wilayah Jawa Barat ada kelompok Majoe Kemoeliaan di Bandung dan Siti Fatimah di Garut Pada 1918. Di Yogyakarta ada Wanodya Oetomo yang dalam perkembangannya hingga tahun 1925 organisasi ini kemudian melebur menjadi Serikat Putri Islam.
Meskipun kelompok perempuan tersebut berbeda afiliasi, persoalan yang mereka hadapi seragam, yaitu subordinasi perempuan dalam budaya, tradisi, dan agama, seperti isu perkawinan anak, perdagangan perempuan, pelacuran dan poligami. Namun, kelompok perempuan yang telah hadir itu hanya berjuang secara sporadis di wilayah masing-masing dan memperjuangkan isu sendiri-sendiri.
Kongres Perempuan dan Hari Ibu
Kesadaran memikirkan nasib perempuan dan anak memunculkan Kongres Perempuan Pertama pada 22 Desember 1928 di Djojodipuran, Yogyakarta. Kala itu muncul perbedaan antara kelompok agama Islam yang masih menolak sekolah campur antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dari kelompok agama Islam juga tidak ingin menolak poligami, tetapi hak perempuan harus ditingkatkan dan dilindungi.
Kongres pertama ini membentuk Persatuan Perempuan Indonesia. Setahun kemudian namanya berubah menjadi Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII) yang berbentuk federasi. PPII sangat giat mengampanyekan kemajuan pendidikan perempuan, dan membentuk panitia penghapusan perdagangan perempuan dan anak.
Meskipun kongres pertama ini menghasilkan terobosan luar biasa saat itu, kelompok perempuan Isteri Sedar menolak hadir, karena Isteri Sedar militan menolak poligami dan perceraian. Hal itu membuat Isteri Sedar berjauhan dengan kelompok perempuan berbasis agama Islam, tetapi dia merupakan satu-satunya kelompok perempuan yang secara tegas dan sistematis menolak kolonialisme Belanda.
Kongres Isteri Sedar tahun 1932 diketuai oleh Suwarni Pringgodigdo mendukung pidato Soekarno yang berjudul “Gerakan Politik dan Emansipasi Wanita” dengan mengeluarkan pernyataan bahwa untuk mencapai kesetaraan dan hak rakyat Indonesia maka laki-laki dan perempuan harus berjuang bersama menghadapi kolonialisme, karena hanya kemerdekaan yang memungkinkan persamaan hak kemanusiaan. Selain itu, Isteri Sedar juga menilai PPII harus terlibat upaya perbaikan bagi nasib para perempuan miskin (proletar).
Kongres Perempuan berikutnya diselenggarakan pada 20–24 Juli 1935 di Jakarta yang mengubah PPII menjadi Kongres Perempuan. Dalam kongres ini dibentuk Badan Pemberantasan Buta Huruf. Selain itu, kongres mengambil sikap menentang perlakuan sewenang wenang pada buruh perempuan di industri batik Lasem, Rembang, Jawa Tengah.
Kongres Perempuan III pada 23–27 Juli 1938 di Bandung menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu, sesuai tanggal pertama kali diselengarakanannya Kongres Perempuan.
Setelah Kongres Perempuan III, gerakan perempuan mengambil inisiatif untuk melakukan reformasi dalam bidang perkawinan. Karenanya, pada tahun 1939, dibentuk sebuah badan yang bertugas meneliti hak-hak perempuan dalam perkawinan, dilihat dari berbagai perspektif, yaitu hukum adat, hukum Islam (fiqh), dan hukum Eropa. Sayangnya, sebelum lembaga ini berjalan Belanda kalah oleh Jepang hingga semua gerakan dan kelompok perempuan mati suri kecuali Fujinkai.
Fujinkai adalah organisasi perempuan bentukan Jepang yang mengikat perempuan pada posisi dan peran suami. Mereka harus mengkampanyekan Asia Raya dan hanya bergerak dibidang sosial seperti pemberantasan buta huruf. Namun, kelompok Perempuan sosialis mencoba mengambil manfaat latihan militer untuk persiapan merebut kemerdekaan dan sebagian terlibat gerakan bawah tanah dalam jaringan Syahrir dan Amir Syarifuddin.
Artikel Terkait
Setelah Indonesia Merdeka
Setelah Jepang kalah gerakan perempuan mendukung revolusi kemerdekaan tampil lagi dengan Kongres Nasional Perempuan tahun 1945 di Klaten, setahun kemudian dilaksanakan kongres kembali di Solo. Kongres Solo salah satunya melahirkan penggabungan Perwani dan Wani menjadi Perwari di bawah pimpinan Sri Mangunsarkoro.
Gerakan perempuan saat itu mengemban tugas mendukung kemerdekaan Indonesia dengan berbagai peran, bahkan ada yang turut memanggul senjata dalam perang gerilya. Sebagian lagi berada di belakang medan perang, menyediakan dapur umum, membangun jalur komunikasi antara berbagai jalur gerilya, di samping tetap menyuarakan perbaikan hukum perkawinan, pendidikan untuk perempuan serta perbaikan upah buruh perempuan.
Pada masa itu, Soekarno merangkul gerakan kelompok perempuan dengan menyebut dirinya sebagai Pemimpin Tertinggi Gerakan Wanita Revolusioner. Namun, setelah Indonesia merdeka tidak ada perubahan pada situasi politik perempuan. Ketika Soekarno menikah lagi memadu istri, gerakan perempuan menghadapi dilema antara mendukung gagasan revolusioner Soekarno, tetapi ia berpoligami.
Mulai tahun 1950-an, semangat para perempuan terpecah menjadi friksi yang makin tajam. Situasi ini diperburuk oleh perpecahan gerakan perempuan karena bergabung dalam partai politik menjelang pemilu tahun 1955. Dalam kondisi ini, gerakan perempuan terikat pada gerakan politis laki-laki dan partai politik saat itu, sebuah kemunduran dari cita-cita awal Kongres Perempuan. Bahkan, segregasi antara kelompok perempuan nasionalis dengan kelompok perempuan berbasis agama Islam semakin nyata.
Namun demikian, masih ada kelompok perempuan yang kritis menolak poligami, yaitu Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari) dan Isteri Sedar yang bermetamorfosis menjadi Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) tahun 1950. Persoalan poligami sempat dibawa ke DPR dari kelompok perempuan sayap PNI, suatu hal yang masih sangat tabu dan dipandang radikal saat itu.
Pada awal tahun 1950, Gerwis sudah beranggotakan 500 wanita yang pada umumnya berpendidikan tinggi dan kesadaran politik, tahun 1954 mengubah namanya menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dengan 80.000 anggota. Gerwani memiliki visi meningkatkan derajat hidup dan hak-hak perempuan melalui langkah nyata baik di tingkat parlemen maupun akar rumput. Tahun 1957 Gerwani telah memiliki 183 cabang dengan anggota lebih dari 700 ribu.
Gerwani yang berasal dari Isteri Sedar memiliki gerakan yang terbilang radikal dengan menolak poligami, mendobrak tradisi dengan kampanye pemilu langsung bahkan duduk di kursi parlemen. Gerwani bahkan mengajak perempuan menjadi guru dengan mendirikan Taman Kanak-kanak di sekitar area pasar tradisional saat itu, membantu membuka warung serta dana simpan pinjam bagi anggotanya. Di desa-desa, Gerwani berkampanye mendukung perempuan menjadi lurah, meskipun hal itu bertentangan dengan hukum kolonial, juga membantu buruh perempuan dan petani yang memiliki masalah dengan majikan mereka.
Visi dan aksi Gerwani yang terbilang radikal tentunya tidak cocok dengan partai yang berlandaskan agama, dan tidak sepaham lagi dengan PNI karena tokohnya berpoligami. Maka dari itu, partai politik yang dapat menerima militansi Gerwani adalah Partai Komunis Indonesia hingga terjalin hubungan sangat dekat antara kedua organ tersebut. Gerwani tidak pernah secara struktur berada dalam badan PKI, bahkan hingga PKI dibubarkan.
Dalam situasi politik yang makin terbelah antara nasionalis, kelompok Islam, Angkatan Darat dan Komunis saat itu Presiden Soekarno masih mencoba meraih simpati gerakan perempuan dengan mengeluarkan Keputusan Presiden No. 316 tahun 1959 menetapkan Hari Nasional yang bukan hari libur, salah satunya Hari Ibu tanggal 22 Desember.
Waktu bergulir dan situasi politik makin tidak menentu hingga akhirnya terjadi peristiwa berdarah 1965 yang memberangus PKI serta semua yang dianggap dekat dengan komunis termasuk gerakan perempuan. Gerwani pun dihancurkan tanpa ampun, para perempuan Gerwani ditangkap, dipenjara dan banyak diantara mereka yang dipaksa mengaku melakukan hal keji yang tidak pernah mereka lakukan.
Gerwani merupakan kelompok aktifis perempuan yang sangat radikal secara terang terangan membenci kolonialisme dan menolak poligami, langsung turun ke masyarakat desa dan mengajarkan wanita miskin untuk mendapatkan haknya. Keberanian dan nyali Gerwani tentunya sangat menakutkan bagi penguasa Orde Baru maka harus diberangus habis hingga hilang nyali dan jiwa mereka.
Bahkan, Harian Angkatan Bersenjata menggambarkan anggota Gerwani sebagai perempuan cantik dan amoral, tahun 1966 Gerwani secara resmi dikeluarkan dari Kowani. Dahulu semua organisasi perempuan berada di bawah naungan Kowani (Kongres Wanita Indonesia), setelah itu semua gerakan perempuan yang berkaitan dengan perempuan miskin dan perempuan desa dihapuskan.
Ibu pada Era Orde Baru
Setelah Soekarno jatuh, situasi politik berubah haluan termasuk gerakan perempuan, salah satunya adalah Perwari. Perwari merupakan organisasi istri angkatan bersenjata yang harus tunduk pada aturan baru Rezim Soeharto. Jika pada masa Orde Lama Perwari bersifat otonom, punya hak untuk memilih pemimpinnya sendiri, sebaliknya pada era Soeharto harus berubah menjadi organsasi yang melekat pada posisi suami. Perwari pun diberlakukan sama dengan Dharma Wanita, yaitu mendukung karier suami dan progam pemerintah, berbeda dengan sebelumnya yaitu memperjuangkan hak perempuan.
Sebelum Dharma Wanita dibentuk, telah ada organisasi perempuan (istri) di beberapa instansi, yaitu Pertiwi di Departemen Dalam Negeri, Persatuan Wanita Departemen Luar Negeri, Rukun Istri Departemen Perindustrian (RIAN), Persatuan Wanita Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Rukun Wanita Bank Pembangunan Indonesia, dan lain-lain. Semua organisasi ini berdiri sendiri-sendiri dan memiliki kedaulatan masing-masing.
Pemerintah Orde Baru membentuk Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) sejak 29 November 1971, sebagai wadah atau ikatan bagi pegawai pemerintah. Pada 5 Agustus 1974 dibentuk Dharma Wanita melalui SK No. 01/WAN/74, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah ditentukan langsung ditentukan oleh Ketua Dewan Korpri Pusat.
Keanggotaan Dharma Wanita menganut stelsel pasif, dengan kata lain semua wanita yang bersuamikan anggota PNS maka otomatis dia menjadi anggota, sedangkan ketua ditetapkan secara fungsional bahkan hierarkis. Organisasi perempuan kemudian melekat pada struktur jabatan suami dan institusi bahkan dari level terendah di kecamatan hingga propinsi dan pusat.
Sebagai Pembina Utama Dharma Wanita, Presiden Soeharto menegaskan bahwa organisasi tersebut menggalang persatuan dan kesatuan istri pegawai negeri ini untuk menciptakan stabilitas nasional, baik politik dan ekonomi agar tercapai masyarakat yang adil dan makmur.
Pada 6 Maret 1979 Menteri Dalam Negeri, Amir Machmud menegaskan agar Dharma Wanita dibentuk di setiap daerah hingga wilayah kecamatan dengan melibatkan gubernur dan bupati. Dengan terbentuknya Dharma Wanita hingga tingkat kecamatan aktifitas dan peran perempuan diharapkan hingga menjangkau ke desa-desa.
Struktur di bawah Departemen Dalam Negeri dan melekat pada Korpri maka segala tindak tanduk Dharma Wanita tidak boleh melenceng dari tujuan pembangunan dan stabilitas negara bahkan harus sesuai dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Maka Dharma Wanita juga harus ikut mendukung untuk menyukseskan pemilu 1982.
Selanjutnya Mendagri juga meminta sebagai istri Dharma Wanita harus berlaku sebagai pendamping suaminya ikut menyukseskan suami dalam perjuangan sebagai aparatur negara. Oleh karena itu pasangan suami istri harus searah dan tidak boleh berbeda ideologi dalam menunjang pembangunan perjuangan Orde Baru. Di luar Dharma Wanita dan Perwari perempuan masuk dalam Kowani tetap di bawa struktur pemerintah.
Pada Munas II Oktober 1983 Dharma Wanita membentuk Badan Pembinaan, Pengamanan dan Pengamalan Pancasila (BPPPP) dengan tujuan utama menyukseskan Sidang Umum MPR 1983 serta tujuan jangka panjang membimbing generasi muda mengamalkan pancasila dan turut menyukseskan pemilu. Selain membentuk BPPPP Munas II juga mengusulkan pelaksanaan PP 10 untuk melindungi perempuan, PP 10 adalah aturan larangan bagi PNS untuk berpoligami tanpa izin istri pertama.
Kelahiran Dharma Wanita oleh Presiden Soeharto dan melekat pada Korpri membuat organisasi perempuan itu menjadi salah satu unsur pendukung kekuasaan Orde Baru. Pada Hari Ibu 1986 Dharma Wanita bersama Kowani, Dharma Pertiwi dan Tim Penggerak PKK Pusat menandatangani kesepakatan kebulatan tekad untuk menyukseskan pemilu 1987 dan mengusulkan Bapak Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. PKK singkatan dari Pembinaan Kesejahteraan Keluarga sebagai ujung tombak menyukseskan program pemerintah Orde Baru yang bergerak turun di kelurahan, desa hingga kampung seluruh pelosok negeri.
Dharma Wanita yang memiliki jangkauan hingga ke pelosok Indonesia tentunya dianggap penting untuk dilibatkan dalam parlemen sehingga beberapa anggota Dharma Wanita diangkat menjadi anggota MPR, DPR, DPRD Tingkat I, dan DPRD Tingkat II.
Monolitik gerakan perempuan di era Orde Baru terjadi sejak 1966 – 1980, perempuan masuk PKK dan Dharma Wanita untuk “berpartisipasi”dalam pembangunan. Pada Era 1980 – 1998 terbentuk dua kelompok besar yaitu mendukung program pemerintah seperti PKK, Dharma Wanita dan Perwari. Kemudian kelompok perempuan non-pemerintah yang melihat dampak buruk pembangunan pada perempuan, mereka bergerak di bidang advokasi, litigasi dan informasi masalah perempuan.
Reformasi politik yang diawali dengan kerusuhan tahun 1998 membuat perubahan konstelasi politik Indonesia. Segala yang berbau monolitik dan hegemoni mulai dipertanyakan masyarakat apalagi jika hal tersebut merupakan bentukan Orde Baru. Dharma Wanita yang telah menjadi salah satu mesin pendukung Orde Baru pun akhirnya dipertanyakan bahkan tidak sedikit desakan pembubaran organisasi perempuan itu.
Dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa pada 7 Desember 1999 Dharma Wanita berubah menjadi Dharma Wanita Persatuan, hal itu dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan jaman. Perubahan pertama dan paling mendasar adalah ikatan perempuan istri PNS ini tidak lagi terkait dengan kekuatan politik manapun dengan tetap menghargai hak politik individu yang dapat disalurkan melalui organisasi lain di luar Dharma Wanita Persatuan.
Perbedaan kedua adalah setiap ketua pada tiap tingkat kepengurusan dipilih secara demokratis. Lalu setiap tingkat kepengurusan dapat memiliki program berbeda sesuai dengan kondisi lingkungannya, dana yang dimiliki serta kemampuan sumber daya anggotanya.
Reformasi Warna Warni
Sebelum kejatuhan Soeharto tidak ada PNS yang berani memilih selain Golkar di setiap pemilu. Rezim Soeharto pun memobilisasi para istri anggota Dharwa Pertiwi dan Dharma Wanita untuk mendukung pemerintah Orde Baru. Namun, setelah Soeharto tidak lagi berkuasa maka PNS dan keluarganya dibebaskan dari afiliasi sebagai mesin politik Golkar. Politik boleh bebas, tetapi gerakan perempuan Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi tetap harus berfokus pada dukungan suami dan kegiatan sosial.
Sementara itu, gerakan perempuan bidang advokasi dan litigasi makin menguat apalagi mereka tidak berada di dalam struktur pemerintahan, membuatnya makin kritis dan makin berani bersuara. Hal itu ditunjukkan dengan makin banyaknya organisasi non pemerintah mendukung perempuan seperti lembaga advokasi dan lembaga swadaya masyarakat.
Akan tetapi, setelah rezim otoriter Soeharto tumbang, gerakan Islam salafi makin menguat dengan konsekuensi menguatnya dukungan pada poligami dan hubungan yang patriarkal. Meskipun belum menjadi fenomena utama, hal itu merupakan kemunduran luar biasa dibandingkan dengan semangat Kongres Perempuan Pertama tahun 1928. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Hamid, Yayah S. 2002. Terbentuknya Dharma Wanita Persatuan, Hamid, Yayah S. Tim Penyusun Dharma Wanita Pusat, Jakarta: Dharma Wanita Pusat
- Wieringa, Saskia. 1988. “Kuntilanak Wangi”. Jakarta: Kalyanamitra
- Wieringa, Saskia. 2010. Penghancuran Gerakan Perempuan Indonesia. Yogyakarta: Galang Press