KOMPAS/ALIF ICHWAN
Untuk memperingati Hari Antikorupsi Sedunia pada 9 Desember, sejumlah aktivis yang tergabung dalam Cinta Indonesia Cinta Anti Korupsi (CICAK) memasang spanduk raksasa berukuran 20 meter x 20 meter di sisi utara gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Minggu (25/11/2012) pagi, di Jakarta. Spanduk dengan tulisan “Berani Jujur Hebat” menjadi simbol bagi masyarakat untuk terus memberantas korupsi.
Artikel Terkait
Sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pemerintahan Presiden Soekarno belum memiliki sebuah aturan yang mengatur tentang penyalahgunaan anggaran oleh para pejabat. Tahun 1955 Kabinet Burhanuddin Harahap mulai serius untuk membuat undang-undang tersebut. Namun, usahanya membuat undang-undang terkait penyalahgunaan anggaran oleh pejabat gagal. Presiden Soekarno kemudian membentuk lembaga-lembaga yang mengatur aparatur negara untuk mencegah terjadinya korupsi. Tetapi lembaga-lembaga ini pun juga tidaklah berumur panjang.
Pemerintahan Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi di awal dia menjabat sebagai presiden. Hasilnya tidak mengecewakan. Banyak pejabat yang ditangkap terutama para mantan menteri era Presiden Soekarno yang dicurigai banyak memiliki barang-barang mewah. Namun,upaya tim tersebut juga berhenti di tengah jalan.
Lembaga-lembaga pemberantasan korupsi yang telah dibentuk pada akhirnya belum mampu menindak koruptor-koruptor besar yang mencuri uang negara. Alasannya sama yakni kedua pemerintahan sama-sama masih dibayangi kepentingan politik maupun keluarga.
Krisis ekonomi 1997-1998 menjadi puncak dari praktik korupsi yang terus dibiarkan pada masa Orde Baru. Presiden B.J. Habibie kemudian mengeluarkan Undang-Undang Anti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kedua undang-undang inilah yang kemudian menjadi embrio lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk di era Presiden Megawati Soekarnoputri tahun 2002.
Era Orde Lama (1945-1968)
Agustus 1955
Penguduran diri Kabinet Ali Sastroamidjojo membuat Burhanuddin Harahap dari Partai Masyumi naik sebagai Perdana Menteri. Ketika memimpin Burhanuddin menyadari bahwa peraturan dan perundang-undangan saat itu belum memadai untuk menindak para pejabat yang melakukan korupsi. Padahal jumlah pejabat dengan aset yang mencurigakan semakin meningkat. Burhanuddin pun berencana membuat rancangan undang-undang anti korupsi yang mewajibkan para pejabat dengan kekayaan mencurigakan dapat membuktikan sumbernya.
September 1955
Kabinet Burhanuddin Harahap memutuskan bahwa rancangan undang-undang anti korupsi harus menjadi undang-undang darurat. Keputusan ini muncul setelah melihat korupsi di Indonesia saat itu telah merajalela. Namun, ditengah pembahasan rancangan undang-undang beberapa partai menolak. Partai yang menolak terutama yang memiliki perwakilan di dalam kabinet.
November 1955
Presiden Soekarno menolak menandatangani rancangan undang-undang anti korupsi menjadi undang-undang. Bung Karno menyatakan bahwa rancangan undang-undang itu harus dibahas terlebih dahulu di tingkat parlemen. Burhanuddin pun berencana mengajukan rancangan undang-undang itu ke komite parlemen dan siap menerima setiap masukan bagi rancangan undang-udang anti koruspi. Kenyataannya, undang-undang tersebut tidak pernah sampai ke parlemen.
Maret 1957
Rapat pimpinan Angkatan Darat menyetujui langkah darurat tentara untuk menjalankan sejumlah langkah pemberantasan korupsi. Tentara diberikan kewenangan untuk menyita aset tersangka dan menyelidiki para politisi yang memiliki aset mencurigakan dengan memeriksa rekening pribadi mereka.
1959
Presiden Soekarno membentuk Badan Pengawasan Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan) yang bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh aktivitas aparatur negara dan melakukan penelitian. Bapekan juga memiliki kewenangan memberi masukan kepada aparatur negara berdasarkan penelitian yang mereka peroleh dari publik. Posisi Bapekan setingkat dengan para menteri di kabinet. Sultan Hamengkubuwono IX ditunjuk Presiden Soekarno sebagai ketua Bapekan. Sejak dibentuk Bapekan kemudian banyak menerima ratusan laporan kasus korupsi dari masyarakat.
Januari 1960
Presiden Soekarno membentuk Panitia “Retooling” Aparatur Negara (Paran) yang diprakarsai dan diketuai oleh Jenderal Nasution. Soekarno menghendaki lembaga ini melakukan indoktrinasi tentang revolusioner kepada aparatur negara. Namun, Nasution memiliki fokus yang lain di mana Paran berfokus pada upaya-upaya reformasi tata kelola pemerintahan, manajemen personel, dan pemberantasan korupsi.
November 1960
Muncul ketegangan antara Bapekan dan Paran karena kedua lembaga ini memiliki tugas yang saling tumpang tindih. Ketegangan semakin meningkat ketika Paran mengumumkan rencana untuk “mereetol” Bapekan. Namun, masalah ini dapat diatasi setelah Sultan Hamengkubuwono IX dan Nasution bertemu. Kedua lembaga menyepakati bahwa Bapekan fokus pada pengawasan dan penelitian, sementara Paran fokus pada “retooling” dan penindakan korupsi.
Mei 1962
Presiden Soekarno membubarkan Bapekan setelah tidak dimasukkan ke dalam jajaran kabinet saat reshuffle. Hal ini dipicu ketika Indonesia terpilih sebagai tuan rumah Asian Games 1962 sehingga proyek-proyek pembangunan di sekitar Jakarta dan fasilitas olahraga membutuhkan sumber keuangan besar dipercepat. Saat proses pembangunan tersebut, Bapekan menerima banyak laporan korupsi dari masyarakat. Atas peristiwa itu Presiden Soekarno tidak memasukkan lagi Bapekan di dalam kabinetnya.
Desember 1963
Jenderal Nasution selaku Ketua Paran melakukan upaya pemberantasan korupsi secara intensif dalam operasi militer bernama Operasi Budhi. Operasi ini mengusung misi pencegahan dan penindakan korupsi yang dilakukan di perusahaan negara dan lembaga pemerintah. Mantan menteri, anggota parlemen, dan para politisi menjadi sasaran dalam operasi ini.
April-Mei 1964
Operasi Budhi yang dilakukan oleh Paran membuat beberapa partai gelisah. Maka partai-partai yang dekat dengan Soekarno meminta untuk membubarkan Paran. Soekarno kemudian membentuk Komando Tertinggi Retooling Alat Revolusi (Kotrar) yang dipimpinnya sendiri dan Mayor Jenderal Ahmad Yani sebagai wakilnya. Kotrar bertugas untuk memelihara dan mengusahakan alat-alat revolusi agar lebih efektif dan efisien. Tidak lama setelah Kotrar dibentuk, Presiden Soekarno membubarkan Paran. Namun, pemberantasan korupsi di tangan Kotrar belum membuahkan hasil yang baik.
Artikel Terkait
KOMPAS/DUDY SUDIBYO
Delapan anggota Dewan Mahasiswa Universitas Gajahmada yang dipimpin oleh Ketua Umumnya L.B. Mokoginta (kanan duduk dideret kursi depan), diterima Kaskopkamtib Sudomo selaku Ketua Opstib Sabtu lalu diruang kerjanya (11/9/1977). Sudomo (kiri) dalam pertemuan dengan mereka menjelaskan antara lain soal Operasi Tertib yang dewasa ini sedang aktif dilaksanakan. Salah satu tugas Operasi Tertib adalah menindak praktik korupsi yang dilakukan oleh para pejabat.
Era Orde Baru (1966-1998)
30 April 1966
Soeharto yang menjabat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat dan Wakil Perdana Menteri Bidang Pertahanan dan Keamanan membentuk Tim Pengawasan Keuangan Negara (Pekuneg) untuk mencegah terjadinya korupsi. Tim ini dipimpin oleh Mayor Jenderal Suryo. Pembentukan Pekuneg ini dilakukan setelah Soeharto menerima laporan kecurigaan terhadap para menteri Presiden Soekarno yang hidup bermewah-mewahan.
September 1966
Pekuneg berhasil membongkar kasus-kasus korupsi yang dilakukan para bekas menteri kabinet Presiden Soekarno. Mereka menuduh Dr. Subandrio, Chaerul Saleh dan Jusuf Muda Dalam melakukan praktik-praktik bisnis yang mencurigakan. Pekuneg mengklaim telah menyelamatkan keuangan negara sebesar Rp 374 milyar dari hasil pembongkaran kasus ini
5 Desember 1967
Pejabat Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai oleh Jaksa Agung Mayjen Sugih Arto. TPK yang bertanggungjawab langsung kepada Pejabat Presiden berfungsi melakukan pengawasan dan penertiban terhadap aparatur negara baik sipil maupun tentara. Selain itu mereka juga bertugas untuk melakukan pemberantasan korupsi secepat-cepatnya dan mengawasi penggunaan anggaran oleh para menteri.
27 Maret 1968
Dalam Sidang Umum MPRS Soeharto dilantik sebagai Presiden Indonesia secara penuh yang setahun sebelumnya menjabat sebagai Pejabat Presiden. Salah satu yang dijanjikan oleh Presiden Soeharto pada awal dia menjabat adalah memberantas korupsi yang dilakukan semasa kepemimpinan Presiden Soekarno.
1969
Pada saat pembentukannya hingga di tahun 1968 TPK telah menunjukkan beberapa hasil. Mereka mengklaim telah mengumpulkan 144 perkara korupsi yang dilaporkan. Namun, beberapa pihak menilai bahwa TPK masih belum bisa memberikan vonis hukuman pada perkara-perkara korupsi yang besar. Hal inilah yang menimbulkan kekecewaan hingga muncul beragam aksi ketidakpuasan terhadap kinerja TPK.
31 Januari 1970
Presiden Soeharto membentuk Komisi Empat setelah usaha pemberantasan korupsi yang dilakukan TPK masih belum membuahkan hasil. Komisi Empat diketuai oleh mantan Perdana Menteri Wilopo dan mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditunjuk sebagai penasihatnya. Namun, komisi ini dianggap lemah karena tidak memiliki kewenangan menindak perkara korupsi. Mereka hanya diberikan kewenangan untuk meninjau kebijakan pemerintah dan memberikan rekomendasi kebijakan untuk menangani korupsi.
Juli 1970
Komisi Empat melaporkan hasil temuannya di mana beberapa lembaga pemerintahan salah urus keuangan dan tidak ada akuntabilitas dalam perusahaan-perusahaan negara. Akibatnya, kondisi terseut memicu korupsi besar-besaran. Komisi Empat juga melaporkan adanya korupsi yang cukup besar di dalam tubuh Pertamina dan Bulog. Namun, laporan tersebut dikesampingkan oleh Presiden Soeharto. Sejak saat itu Komisi Empat mengakhiri tugasnya.
12 Maret 1971
Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan adanya undang-undang ini tindakan korupsi dapat didefinisikan sebagai kejahatan, sebelumnya korupsi hanya dikaitkan dengan pelanggaran-pelanggaran lain.
2 September 1977
Pemerintah meluncurkan sebuah kampanye pemberantasan korupsi yang dikenal dengan nama Operasi Tertib dipimpin oleh J.B. Sumarlin, Menteri Negara Penertiban dan Aparatur Negara dan penindakannya dibantu oleh Sudomo, Panglima Kopkamtib. Tugas dari Operasi Tertib adalah untuk membantu mengusahakan reformasi organisasi dan administratif di dalam lembaga pemerintahan sehingga dapat meminimalkan terjadinya tindakan korupsi.
2 Oktober 1980
DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap sebagai bagian untuk memperkuat pemberantasan korupsi di tingkat lembaga pemerintahan.
1981
J.B. Sumarlin ketua dari Operasi Tertib mengklaim sejak dibentuk tahun 1977 hingga 1981 telah banyak menindak para pejabat yang tertangkap melakukan korupsi. Bahkan pada Januari 1980 dilaporkan bahwa Operasi Tertib berhasil menyelamatkan aset negara senilai Rp 200 miliar dan menghindarkan kerugian negara sebesar Rp 337 miliar pada 1981. Meskipun begitu Operasi Tertib mencapai batasnya bahkan penyelidikannya dihentikan ketika menemui perlawanan yang kuat.
Artikel Terkait
KOMPAS/JULIAN SIHOMBING
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki (kanan) didampingi para wakilnya (dari kiri), Syahruddin Rasul, Erry Riyana Hardjapamekas, Amien Sunaryadi, dan Tumpak H Panggabean (tak tampak), memberikan keterangan pers setelah mengucapkan sumpah di hadapan Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara, Jakarta, Senin (29/12/2003).
Era Reformasi
20 Januari 1999
Pemerintah berencana untuk memperbaiki Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berlaku sejak masa pemerintahan Orde Baru. Revisi undang-undang ini tidak hanya sebagai bentuk penindakan terhadap koruptor, namun juga sebagai cara untuk mencegah terjadinya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan semasa pemerintahan Presiden Soeharto.
24 April 1999
DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang biasa disebut RUU Anti KKN menjadi undang-undang.
19 Mei 1999
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme disahkan oleh Presiden B.J. Habibie. Sejalan dengan diberlakukannya Undang-Undang Anti KKN, pemerintah juga membentuk lembaga yang bertugas untuk mengawasi para pejabat dari praktik KKN dan pemberantasan korupsi. Lembaga itu bernama Komisi Pengawasan Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN).
16 Agustus 1999
Presiden B.J. Habibie mengesahkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Peberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini salah satunya memuat tentang pembentukan komisi anti korupsi yang harus dibentuk paling lama duan tahun sejak undang-undang ini diresmikan.
5 April 2000
Presiden Abdurrahman Wahid membentuk sebuah tim khusus untuk memberantas korupsi yang bernama Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) yang diketuai mantan Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto. Tim Gabungan yang beranggotakan 25 orang-terdiri dari jaksa dan anggota Polri aktif, praktisi hukum, serta wakil masyarakat-bertugas menyidik dan menuntut perkara korupsi yang dianggap sulit. Pembentukan tim ini juga seturut dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
30 Maret 2000
Mahkamah Agung membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Majelis hakim agung yang diketuai Paulus E Lotulung dalam uji materiil (judicial review) menyimpulkan PP itu batal demi hukum, sebab materi yang diatur telah melampaui kewenangan. Hal ini membuat TGPTPK dibubarkan.
11 Januari 2001
Presiden Abdurrahman Wahid melantik 35 anggota KPKPN di Bina Graha Jakarta setelah melalui proses seleksi yang cukup alot. KPKPN diketuai oleh Jusuf Syakir dengan anggota dari beragam latar belakang profesi. Tugas dari KPKPN adalah memeriksa kekayaan penyelenggara negara, sekaligus mencermati pertambahan setiap kekayaan penyelenggara negara sebelum dan sesudah menjabat. Penyelenggara negara yang bakal diperiksa KPKPN mulai dari Presiden dan Wakil Presiden, menteri, gubernur, bupati, jaksa, komisaris BUMN/BUMD, sampai anggota DPR/DPRD.
6 Juni 2001
Pemerintah secara resmi mengajukan RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Komisi Antikorupsi) kepada DPR. RUU itu diserahkan dengan surat pengantar dari Presiden Abdurrahman Wahid Nomor R.13/PU/VI/2001 tertanggal 5 Juni 2001. Hal ini sesuai dengan amanat dari UU No 31/1999, Komisi Antikorupsi harus sudah terbentuk paling lambat dua tahun setelah UU diberlakukan.
23 Oktober 2001
RUU mengenai Perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Antikorupsi) disetujui untuk diundangkan dalam rapat paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketua Soetardjo Soerjogoeritno. RUU ini juga memuat aturan mengenai gratifikasi yang diterima pegawai negeri atau pejabat negara harus dilaporkan pada Komisi Antikorupsi apabila jumlahnya mencapai Rp 10 juta atau lebih. Apabila tidak dilaporkan akan dianggap sebagai penyuapan.
21 November 2001
Pemerintah mengeluarkan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang itu juga menempatkan korupsi sebagai tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia.
27 November 2002
DPR mengusulkan kepada pemerintah untuk melikuidasi KPKPN menjadi bagian dari Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Komisi Antikorupsi). Pemerintah menyetujui likuidasi karena memang tidak perlu ada penumpukan kewenangan yang terkait dengan pemberantasan korupsi pada beberapa lembaga.
27 Desember 2002
Presiden Megawati mengesahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sekaligus menjadi langkah awal lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi.
21 September 2003
Presiden Megawati Soekarnoputri menandatangani Keputusan Presiden Nomor 73 Tahun 2003 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketua Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK adalah Prof Dr Romli Atmasasmita SH LLM, Wakil Ketua I Prof Dr Abdul Gani Abdullah SH, Wakil Ketua II Dr Adnan Buyung Nasution, dan Sekretaris Abdul Wahid SH. Sementara sepuluh anggota panitia seleksi terdiri dari beragam latar belakang.
26 Oktober 2003
Sejak pendaftaran calon pimpinan KPK dibuka banyak dari masyarakat yang tertarik untuk mendaftar. Sebanyak 513 orang telah mencalonkan diri, namun hanya 223 orang yang lolos verifikasi. Dari sini nantinya panitia akan menyeleksi beberapa nama-nama calon pmipinan KPK tersebut hingga kemudian diajukan kepada DPR sebelum terpilih.
16 Desember 2003
Setelah melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test), Komisi II DPR memilih lima dari sepuluh calon pimpinan KPK. Taufiequrachman Ruki terpilih menjadi pucuk pimpinan KPK. Sementara itu empat calon pimpinan KPK lainnya adalah Amien Sunaryadi, Sjahruddin Rasul, Tumpak Hatorangan Panggabean, dan Erry Riyana Hardjapamekas.
29 Desember 2003
Presiden Megawati Soekarnoputri melantik lima orang pimpinan KPK untuk periode jabatan 2003-2007 di Istana Negara, Jakarta. Selain itu berdasarkan Pasal 69 UU No 30/2002, setelah terbentuknya KPK, maka KPKPN menjadi bagian dari bidang pencegahan KPK. Selengkapnya pasal itu berbunyi: Dengan terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, maka Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam UU No 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menjadi bagian bidang pencegahan pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Referensi
- “15 Menteri Diamankan oleh Men-Pangad atas Nama Presiden”. KOMPAS, 19 Maret 1966, hal. 1.
- “Fakta2 penjelewengan ekonomi terbongkar”. KOMPAS, 7 Juli 1966, hal. 1.
- “Pemasukan uang ke kas Negara hasil Pekuneg”. KOMPAS, 29 September 1966, hal. 1.
- “Team pemberantasan korupsi terbentuk: Ketua & kelompok penasehat sepakat segera lakukan tindakan”. KOMPAS, 6 Desember 1967, hal. 1.
- “Team Pemberantasan Korupsi dilantik * Prioritas penindakan tertudju pada penjelewengan 9 bahan pokok”. KOMPAS, 18 Desember 1967, hal. 1.
- “Tadjuk Rentjana : “Komisi Empat””. KOMPAS, 2 Februari 1970, hal. 2.
- “Tadjuk rentjana: Setelah Komisi Empat”. KOMPAS, 3 Juli 1970, hal. 2.
- “Presiden: Saja Memimpin Langsung Pimpin Pemberantasan Korupsi”. KOMPAS, 17 Agustus 1970, hal. 1.
- “RUU Anti Korupsi disahkan”. KOMPAS, 13 Maret 1971, hal. 1.
- “Opstib pada prinsipnya hanya membantu”. KOMPAS, 3 September 1977, hal. 1.
- “RUU tentang “tindak pidana suap” disetujui untuk disahkan”. KOMPAS, 3 Oktober 1980, hal. 1.
- “Pemerintah Segera Ajukan RUU Bebas KKN”. KOMPAS, 21 Januari 1999, hal. 1.
- “Dihadiri 162 dari 498 Anggota: DPR Sepakati RUU Anti-KKN”. KOMPAS, 23 April 1999, hal. 8.
- “Tim Gabungan Pemberantasan Korupsi: Bukan Sekadar Tong Sampah dan Bumper”. KOMPAS, 26 Mei 2000, hal. 7.
- “Ketua KPKPN Jusuf Syakir: Anggota KPKPN Harus Lebih Dahulu Bersih”. KOMPAS, 12 Januari 2001, hal. 6.
- “Dasar Hukum Pembentukan TGPTPK Dibatalkan MA”. KOMPAS, 31 Maret 2001, hal. 7.
- “Pemerintah Ajukan RUU Komisi Antikorupsi”. KOMPAS, 7 Juni 2001, hal. 7.
- “RUU Perubahan UU No 31/1999 Disetujui: Gratifikasi Dianggap Suap”. KOMPAS, 24 Oktober 2001, hal. 7.
- “UU No 20/2001 Tempatkan Korupsi sebagai Pelanggaran HAM”. KOMPAS, 13 Desember 2001, hal. 7.
- “Pemerintah Setuju Likuidasi KPKPN”. KOMPAS, 28 November 2002, hal. 9.
- “Akhirnya Dibentuk Tim Seleksi KPTPK”. KOMPAS, 25 September 2003, hal. 7.
- “Seleksi Calon Pimpinan KPK Dari 513 Calon, 223 Lolos Verifikasi”. KOMPAS, 27 Oktober 2003, hal. 7.
- “DPR Pilih 5 Pimpinan KPK * Taufiequrachman Ruki Menjadi Ketua”. KOMPAS, 17 Desember 2003, hal. 1.
- “KPK Tidak Akan Bisa Diintervensi”. KOMPAS, 30 Desember 2003, hal. 9.
- Carey, Peter dan Suhardiyoto, Haryadi. 2016. Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia: dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi. Depok: Komunitas Bambu.
- Juwono, Vishnu. 2018. Melawan Korupsi: Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia 1945-2014. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- Wijayanto dan Zachrie, Ridwan, dkk. 2009. Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Zukifli, Arif, dkk. 2013. Seri Buku Tempo: KPK Tak Lekang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- 2008. “Sejarah Panjang Korupsi di Indonesia dan Upaya Pemberantasannya”, dalam Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik, Volume 12 Nomor 2.
- Syuraida, Hikmatus. 2015. “Perkembangan Pemberantasan Korupsi di Indonesia Era Orde Lama hingga Era Reformasi”, dalam E-Jurnal Avatara, Volume 3 Nomor 2.
Penulis
Martinus Danang
Editor
Susanti Agustina Simanjuntak