Paparan Topik | Hari Antikorupsi Sedunia

Perjalanan Politik Antikorupsi di Indonesia

Hari Antikorupsi sedunia diperingati setiap tanggal 9 Desember. Di negeri ini kesadaran politik antikorupsi menjadi dinamika yang menyertai perjalanan hidup bangsa sejak Proklamasi Kemerdekaan.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Aktivis antikorupsi dari sejumlah organisasi menggelar aksi teatrikal menyerukan perlawanan terhadap korupsi di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Rabu (8/12/2021). Aksi ini juga sebagai refleksi peringatan Hari Antikorupsi Sedunia pada 9 Desember. Dalam aksinya ini mereka menilai adanya kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi seperti melemahnya lembaga penegak hukum kasus korupsi, maraknya kasus korupsi, hingga penanganan kasus korupsi yang tebang pilih.

Fakta Singkat

Politik Antikorupsi

  • Orde Lama: Perspektif Administrasi
  • Orde Baru: Perpektif Penghambat Pembangunan Nasional
  • Reformasi: Perspektif Kerugian Ekonomi Negara dan Pelanggaran HAM

Cakupan Kejahatan Korupsi

  • Dalam konteks sebuah negara, korupsi sering diistilahkan dengan ungkapan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
  • Dalam konteks internasional, korupsi menjadi kejahatan lintas-negara (transnational border crime).

Korupsi menjadi masalah bernegara yang senantiasa berkelindan dalam perjalanan Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan. Di lain pihak kesadaran antikorupsi tumbuh secara bertahap. Dalam konteks sebuah negara, korupsi sering diistilahkan dengan ungkapan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Sementara dalam konteks internasional, korupsi menjadi kejahatan lintas-negara (transnational border crime).

Di Indonesia beberapa pihak menganggap korupsi sudah terjadi secara meluas dan mendalam sehingga menjadi kejahatan yang menghancurkan masyarakatnya. Satjipto Raharjo (2006) pernah mengungkapkan, jika masyarakat dan negara adalah pohon, maka korupsi adalah parasit. Keberadaan korupsi menghisap pohon yang akan menyebabkan pohon ini lama-kelamaan mati.

Dalam perjalanan Indonesia sejak kemerdekaan hingga saat ini pemerintah selalu mengambil langkah-langkah politik antikorupsi untuk memberantas korupsi. Dalam masing-masing periode politik sejak kemerdekaan, terdapat dinamika perspektif terhadap korupsi beserta langkah-langkah strategis untuk memberantasnya.

KOMPAS/PAT HENDRANTO

Demonstrasi mahasiswa Bandung menyoal korupsi yang dilakukan pejabat negara. Mahasiswa menuntut transparansi kekayaan pejabat negara (20/10/1977).

Politik antikorupsi Orde Lama

Pada awal pemerintahan Orde Lama, perhatian negara sebagian besar tertuju pada persiapan lembaga dan institusi dalam rangka melaksanakan pembangungan. Pada masa ini, korupsi sudah dipandang sebagai sebuah ancaman, meski belum dianggap sangat mengancam negara. Secara hukum, korupsi masuk dalam kategori hukum pidana sebagai delik biasa, bukan delik khusus.

Kurang lebih sepuluh tahun perjalanan rezim Orde Lama, pemerintah mulai menyadari ancaman korupsi makin serius. Bahkan lembaga  pemerintahan ditengarai menjadi lahan subur bagi korupsi. Situasi ini mulai memunculkan anggapan umum bahwa perilaku korup adalah perbuatan yang tidak manusiawi.

Kondisi ini kemudian membuat negara mengambil tindakan yang lebih tegas. Pemberantasan korupsi diambil dengan basis hukum militer. Pasalnya, dominasi militer kuat kala itu. Aturan yang terbit pertama demi memberantas korupsi adalah Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi.

Meski sudah muncul aturan dari pemerintah, dalam perjalanannya laju korupsi masih sulit dihentikan. Langkah lebih lanjut yang dilakukan pemerintah adalah dengan memperbarui peraturan di atas. Setahun kemudian terbit Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor PRT/Peperpu/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilaian Harta Benda. Aturan ini dipandang lebih tegas secara normatif. Korupsi dianggap sebagai perbuatan tercela dengan konsekuesi harta benda hasil korupsi dapat dirampas dari pelaku.

Namun korupsi yang makin menjalar menjadi fakta yang membuat aturan itu pun masih dianggap belum ampuh. Pada tahun 1960, pemerintah mengambil langkah penting dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.

Aturan di atas mencabut Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat No PRT/Peperpu/013/1958 dan Peraturan Penguasa Perang Kepala Staf Angkatan Laut No. PRT/Z.I./17 tanggal 17 April 1958. Peraturan terbaru tahun 1960 ini dikeluarkan dengan tujuan utama memberantas korupsi secara lebih singkat dan efektif.

KOMPAS/BAMBANG SP

Pimpinan bagian pembayaran gaji BKN II Jakarta, berinisial S (membelakangi lensa) nampak berhadapan dengan Menkeu Ali Wardhana dan Menpan Sumarlin (berbaju batik) yang menyamar sebagai pegawai RSTM bernama Sidik untuk mengurus empat buah mandat (16/7/1974). Pelaku berinisial S tidak dapat mengungkiri perbuatannya menarik uang pelicin. Tarip uang pelicin Rp. 25.000 per mandat khusus untuk S (pimpinan bagian pembayaran gaji KBN II) dan Rp. 15.000 per mandat untuk empat karyawan lainnya.

Politik antikorupsi Orde Baru

Langkah pertama rezim Orde Baru terkait penanganan korupsi adalah dengan membentuk tim pemberantasan korupsi pada tahun 1967. Koordinator penyidik tim ini adalah Jaksa Agung. Selanjutnya pada tahun 1970, dengan Keppres No. 12 Tahun 1970, Komisi Empat ditugasi untuk melakukan penelitian dan penilaian terhadap kebijakan dan pencapaian dalam pemberantasan korupsi. Pada waktu yang bersamaan, Mohammad Hatta ditunjuk sebagai penasihat presiden guna memberi pertimbangan upaya pemberantasan korupsi.

Pada tahun 1971 terbit Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam masa ini, korupsi dipandang dengan perspektif yang makin serius. Aturan tersebut memberi penegasan bahwa korupsi adalah perbuatan yang merugikan keuangan atau ekonomi negara. Dampak lebih parahnya, pembangunan sosial akan terhambat. Dari sini nampak pula bahwa korupsi sudah menyangkut keberlangsungan sebuah negara, bukan hanya masalah administrasi dan moralitas seperti pada era sebelumnya.

Kebaruan yang juga muncul dalam UU No. 3/1971 ini juga terkait dengan subjek pelaku korupsi. Sebelumnya di tahun 1960 pemberantasan korupsi hanya tertuju kepada pelaku pegawai negeri. Pada tahun 1971 tindakan korupsi yang diberantas juga mencakup pelaku di luar pegawai negeri yang secara hukum melakukan tindakan yang merugikan perekonomian negara.

Masih dalam aturan ini, disebutkan pula bahwa korupsi dipahami sebagai perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain maupun suatu badan yang secara langsung maupun tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara.

Dengan perspektif korupsi sebagai masalah yang dapat menghambat pembangunan nasional, maka perkara korupsi ditempatkan dalam kasus hukum prioritas. Pasal 4 UU No. 3/1971 menyebutkan bahwa perkara korupsi musti didahulukan dari perkara-perkara yang lain untuk diajukan ke pengadilan. Tujuannya, pemeriksaan dan penyeleseainnya bisa dilakukan dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Memasuki tahun 1980, tindakan suap menjadi perilaku yang termasuk dalam spektrum pemberantasan korupsi. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap. Ditegaskan dalam UU ini bahwa suap adalah tindakan yang bertentangan dengan kesusilaan dan moral Pancasila.

KOMPAS/AM DEWABRATA

Majelis Hakim sidang yang mengadili tertuduh DPS, bekas Walikota Jakarta Utara yang dituduh melakukan korupsi sehubungan dengan kasus pembangunan perumahan di Pluit, memeriksa barang bukti berupa rumah dan mobil tertuduh di Pluit pada Jumat 18 Maret 1983. DPS diadili Mahmilti (Mahkamah Militer Tinggi) II Barat, dipimpin Kolnel (KUM) Moh. Isa SH.

Politik antikorupsi Era Reformasi

Tumbangnya kekuasaan Orde Baru utamanya disebabkan krisis moneter yang terjadi di tahun 1998. Kondisi ini menjadi ironi dalam konteks perilaku korupsi. Di satu sisi, kesadaran antikorupsi meningkat dan korupsi makin dipandang sebagai permasalahan bangsa yang urgen untuk diselesaikan. Namun di sisi lain, krisis moneter yang terjadi ditengarai akibat korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh rezim orde baru.

Pada tahun 1999 dibentuklah Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Di tahun yang sama, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengganti UU Nomor 23 Tahun 1971.

Sebelumnya, pada tahun 1998 MPR mengeluarkan Tap MPR RI No. XI/MOR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Tap MPR ini diharapkan dapat menjadi sarana rehabilitasi aspek kehidupan nasional dalam situasi krisis ekonomi yang disebabkan oleh banyaknya korupsi.

Tidak berhenti di sana, UU 31/1999 yang baru saja keluar dua tahun diubah dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Produk hukum ini terbit pada tanggal 21 November 2001.

Salah satu perspektif baru yang diusung oleh UU 20/2001 adalah korupsi bukan hanya merugikan keuangan dan perekonomian negara serta menghambat pembangunan nasional, melainkan juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Artinya korupsi dipandang dengan perspektif tindakan yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

Meskipun usaha pemerintah terus dilakukan, namun publik masih belum yakin akan wibawa negara dalam menghadang korupsi. Untuk itu dibentuklah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau KPTPK. Upaya keras untuk memberantas korupsi akhirnya melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi pada tahun 2003. Lembaga ini yang hingga saat ini menjadi garda terdepan dalam usaha memberantas korupsi di Indonesia.

Mantan Menteri Keuangan periode 1968-1983 Ali Wardhana (70), bungkam seribu bahasa saat diminta pendapatnya mengenai pemeriksaan atas dirinya di Kejaksaan Agung (7/1/1999). Ali Wardhana diperiksa terkait adanya kewajiban menyetor lima persen dari laba bersih bank milik pemerintah kepada yayasan sosial yang dipimpin mantan Presiden Soeharto.

Hari Antikorupsi Sedunia 2021

Sejak ditetapkan oleh Majelis Umum PBB ditandai dengan penandatanganan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan Korupsi, tanggal 9 Desember diperingati sebagai Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia). Tema yang diusung oleh Indonesia pada peringatan ini di tahun 2021 adalah “Satu Padu Bangun Budaya Antikorupsi”.

Untuk mengisi acara dalam peringatan ini, KPK menyusun lima kegiatan utama Hakordia 2021 yang dirangkai sejak tanggal 1—9 Desember 2021. Acara pertama dilangsungkan pada 1 Desember 2021. Berlokasi di Kendari, Sulawesi Tenggara, KPK menginisiasi Seminar Nasional bertajuk “Transformasi Perizinan Berbasis Risiko dalam Perizinan Tambang.”

Seminar nasional berikutnya dilangsungkan pada tanggal 2 Desember 2021 bertempat di Banjarmasin. Dalam seminar kedua ini tema yang diangkat adalah Penguatan Transparansi dan Akuntabilitas Pengadaan Barang dan Jasa.

Selanjutnya rangkaian agenda memeringati Hakordia 2021 adalah rapat koordinasi aparat penegak hukum pertambangan pada tanggal 6 Desember 2021 berlokasi di Pekanbaru, Riau. Hari berikutnya, pada tanggal 7 Desember dilangsungkan seminar nasional dengan tema “Sertifikasi dan Penyelamatan Aset BUMN dan Daerah, serta Launching Modul JAGA PPJ” berlokasi di Nusa Tenggara Timur.

Acara puncak Hakordia 2021 dilakukan pada tanggal 9 Desember 2021 di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta. Pidato utama disampaikan oleh Presiden RI Joko Widodo. Salah satu poin utama yang ditekankan oleh presiden dalam pidatonya adalah korupsi harus diberantas dengan upaya pencegahan, bukan soal banyaknya kasus korupsi yang ditangani.

Presiden Jokowi memandang korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang semestinya ditangani dengan usaha yang luar biasa pula. ”Kita semua menyadari korupsi merupakan extraordinary crime (kejahatan luar biasa) yang berdampak luar biasa. Oleh karena itu, harus ditangani secara extraordinary (luar biasa) juga,” tutur Presiden Jokowi dalam pidatonya.

Dalam kesempatan ini pula Jokowi menyinggung soal RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang diharapkan dapat menjadi langkah penting dalam pencegahan korupsi. Presiden menunjukkan keseriusan pemerintah untuk merealisasikan hal ini. ”Ini juga penting sekali dan terus kita dorong dan diharapkan tahun depan, insya Allah, bisa selesai,” ujarnya. (LITBANG KOMPAS)

BIRO PERS SEKRETARIAT PRESIDEN/MUCHLIS JR

Presiden saat memberikan sambutan pada Hari Antikorupsi Sedunia Tahun 2021 di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, 9 Desember 2021.

Referensi

Buku
  • Ruslan, Malik.2017. Politik Antikorupsi di Indonesia.Jakarta:LP3ES
  • Khoirul Umam, Ahmad.2014. Pergulatan Demokrasi dan Politik Antikorupsi di Indonesia. Jakarta:Pustaka Pelajar