KOMPAS/BENNY DWI KOESTANTO
Sebanyak 1.200 ibu-ibu dari 50 desa di Kabupaten Klungkung, Bali, menari pendet di Lapangan Puputan Klungkung, Rabu (22/12/2010), yang bertepatan dengan Hari Ibu. Kegiatan itu untuk menunjukkan bahwa kaum ibu adalah penjaga identitas dan kebudayaan bangsa.
Fakta Singkat
- Kongres Perempuan Pertama menjadi cikal bakal peringatan Hari Ibu nasional di Indonesia, yang diperingati setiap tanggal 22 Desember sebagai penghormatan terhadap perjuangan perempuan.
- Kongres Perempuan Pertama diadakan di Yogyakarta, dari tanggal 22 – 25 Desember 1928.
- Kongres ini dihadiri oleh lebih dari 1.000 orang dari sekitar 30 organisasi perempuan yang berasal dari berbagai daerah di Jawa dan Sumatera.
- Tujuan utama kongres adalah untuk menyatukan cita-cita dan usaha memajukan perempuan Indonesia serta menjalin hubungan antar organisasi perempuan.
- Beberapa organisasi yang berperan dalam penyelenggaraan kongres termasuk Wanita Oetomo, Wanita Taman Siswa, Putri Indonesia (PI), Aisyiyah, Jong Islamieten Bond (JIB), dan Wanita Katholik.
- Di antara keputusan penting yang dihasilkan adalah pembentukan federasi perkumpulan perempuan yang dinamakan Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI)
Penetapan Hari Ibu berakar pada Kongres Perempuan Indonesia pertama yang diadakan di Yogyakarta pada 22-25 Desember 1928. Kongres ini menjadi titik awal konsolidasi perempuan Indonesia untuk memperjuangkan hak-hak mereka, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan partisipasi politik.
Kongres Perempuan Indonesia pertama berhasil mengumpulkan sekitar 30 organisasi perempuan dari berbagai daerah dengan semangat kebangsaan yang dipengaruhi oleh Sumpah Pemuda di tahun yang sama.
Kongres tersebut menjadi ruang bagi perempuan untuk menyuarakan aspirasinya dalam upaya melawan kolonialisme dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Salah satu isu penting yang diangkat adalah pendidikan bagi perempuan, yang dianggap sebagai kunci kemajuan bangsa.
Penetapan 22 Desember sebagai Hari Ibu baru dilakukan pada tahun 1959 oleh Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden No. 316 tahun 1959. Hal ini dimaksudkan untuk mengenang semangat dan perjuangan kaum perempuan Indonesia dalam upaya mencapai kemerdekaan dan memperbaiki kehidupan bangsa.
Tujuan peringatan Hari Ibu adalah untuk menghormati peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, baik sebagai ibu rumah tangga, pejuang emansipasi, maupun bagian dari pembangunan bangsa.
Peringatan ini menjadi momentum untuk merefleksikan capaian dan tantangan perempuan Indonesia di tengah perubahan sosial, politik, dan budaya. Dengan demikian, Hari Ibu memiliki makna yang lebih luas, yaitu sebagai simbol penghormatan atas perjuangan perempuan yang terus relevan hingga kini.
Penghormatan terhadap peran ibu dalam keluarga dan masyarakat merupakan inti dari peringatan Hari Ibu. Ibu tidak hanya berperan sebagai pengasuh dan pendidik utama dalam keluarga, tetapi juga sebagai pilar penting dalam membangun karakter dan moral generasi penerus bangsa.
Dalam masyarakat, ibu sering menjadi penggerak perubahan sosial, baik melalui peran langsungnya maupun melalui kontribusi yang ditanamkan pada anak-anaknya. Oleh karena itu, menghormati peran ibu berarti mengakui kontribusi mereka yang tidak tergantikan dalam kehidupan pribadi maupun sosial.
Selain itu, pengakuan terhadap peran ibu juga menjadi refleksi nilai-nilai budaya yang menghargai kesetaraan dan keadilan gender. Di tengah dinamika sosial yang terus berubah, penting bagi masyarakat untuk mendukung perempuan, termasuk ibu, dalam menjalankan peran mereka dengan optimal tanpa mengabaikan hak-haknya.
Peringatan Hari Ibu tidak hanya sekadar mengenang peran tradisional, tetapi juga menegaskan pentingnya pemberdayaan ibu untuk berkontribusi lebih luas dalam berbagai bidang kehidupan, baik di ranah domestik maupun publik.
KOMPAS/DUDY SUDIBYO
Lomba Lari Keluarga Sehat Hari Ibu 1981 yang diikuti oleh kelompok keluarga mulai dari kakek, nenek, bapak, ibu, anak, menantu sampai cucu. Perlombaan dimulai Pukul 06.30, start dan finish di Silang Monas Jakarta (20/12/1981).
Hari Ibu dan Isu Kesehatan
Kesehatan ibu merupakan isu krusial yang menjadi perhatian dalam peringatan Hari Ibu Nasional. Berdasarkan sistem pencatatan kematian ibu Kementerian Kesehatan yaitu Maternal Perinatal Death Notification (MPDN), angka kematian ibu di Indonesia pada tahun 2023 mengalami peningkatan dibanding tahun 2022.
Hal yang sama juga terjadi pada angka kematian bayi yang juga mengalami peningkatan. Tren peningkatan kematian ibu dan bayi ini menunjukkan bahwa meskipun telah terjadi berbagai upaya, tantangan dalam meningkatkan kesehatan ibu dan bayi masih sangat besar.
Menurut WHO, sebagian besar kematian ibu secara global disebabkan oleh komplikasi saat kehamilan dan persalinan, yang sebenarnya dapat dicegah dengan layanan kesehatan yang memadai. Di Indonesia, ketimpangan akses terhadap fasilitas kesehatan, terutama di daerah terpencil, menjadi salah satu kendala utama dalam menurunkan angka kematian ibu dan bayi.
Pentingnya peningkatan layanan kesehatan ibu juga ditekankan oleh UNICEF, yang menyebutkan bahwa akses terhadap tenaga kesehatan terlatih dan fasilitas bersalin yang aman dapat mengurangi risiko kematian secara signifikan. Sayangnya, masih banyak ibu di Indonesia tidak mendapatkan layanan kesehatan optimal karena keterbatasan ekonomi dan geografis. Hal ini memperburuk risiko komplikasi yang mengancam keselamatan ibu dan bayi.
Artikel Terkait
Beban Ganda dan Kontribusi Ekonomi Ibu
Perempuan Indonesia menghadapi tantangan besar dengan menjalankan peran ganda, yakni sebagai pengelola rumah tangga sekaligus pekerja di sektor publik. Menurut Hidayati (2015) beban ini diperparah oleh budaya patriarki yang menempatkan tanggung jawab domestik sepenuhnya pada perempuan, bahkan ketika mereka juga menjadi pencari nafkah. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada kesejahteraan individu tetapi juga membatasi produktivitas perempuan di dunia kerja.
Deputi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Woro Srihastuti Sulistyaningrum, menyatakan bahwa pilihan perempuan untuk bekerja atau fokus pada pengasuhan anak dipengaruhi oleh faktor budaya, agama, dan dukungan keluarga. Selain itu, kesiapan infrastruktur seperti transportasi, layanan penitipan anak, ruang laktasi, serta regulasi kerja yang ramah perempuan juga memainkan peran penting dalam keputusan mereka.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa kontribusi ekonomi perempuan mengalami tren penurunan dari 37,26 persen pada 2020 menjadi 37,09 persen pada 2023. Penurunan ini mengindikasikan bahwa hambatan struktural, seperti kurangnya akses ke pekerjaan berkualitas dan infrastruktur pendukung, masih menjadi tantangan signifikan. Kondisi ini semakin membatasi kemampuan perempuan untuk berkontribusi secara optimal dalam perekonomian nasional.
Solusi terhadap beban ganda ini memerlukan pendekatan holistik, termasuk peningkatan kesadaran akan kesetaraan gender dalam rumah tangga, regulasi kerja yang lebih fleksibel, dan fasilitas publik yang mendukung perempuan bekerja. Dengan menciptakan lingkungan yang inklusif, perempuan dapat lebih leluasa menjalankan peran produktif tanpa harus menanggung beban kerja yang tidak proporsional, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Enam ibu yang mewaliki organisasi perempuan di Tanah Air tampil membacakan Deklarasi Banten pada Peringatan Hari Ibu ke-88 Tahun 2016 di Pelataran Masjid Raya Al-Bantani di Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B), di Kota Serang, Kamis (22/12/2016). Pada acara yang dihadiri Presiden Joko Widodo dan Nyonya Iriana, para ibu menyampaikan deklarasi yang intinya menyampaikan tentang penghapusan atas kekerasan terhadap perempuan dan anak, perdagangan orang, dan kesenjangan akses perempuan pada sumber daya ekonomi.
Peran ‘Ibu Ideal’ dalam Masyarakat Indonesia
Persepsi masyarakat terhadap peran ibu cenderung didominasi oleh stereotip yang mengaitkan ibu dengan tanggung jawab utama dalam pengasuhan anak dan urusan rumah tangga. Penelitian oleh Xiao, et al. (2024) menunjukkan bahwa peran ibu sering kali dianggap lebih representatif dari kategori orang tua dibandingkan dengan peran ayah. Hal ini mencerminkan anggapan bahwa tanggung jawab pengasuhan adalah tugas utama perempuan.
Dalam banyak budaya, pembagian peran gender secara tradisional memengaruhi stereotip ini. Williamson, et. al (2022) mengemukakan bahwa perempuan lebih sering dikaitkan dengan kualitas kehangatan dan moralitas yang tinggi, sedangkan laki-laki lebih sering diasosiasikan dengan sifat tegas dan kompeten. Dalam konteks pengasuhan, peran ibu dipandang lebih “alami” karena keterlibatan mereka yang lebih intens dalam aktivitas pengasuhan sehari-hari dibandingkan ayah.
Namun, stereotip ini memiliki dampak sosial yang signifikan. Feminine default atau anggapan bahwa ibu harus menjadi pengasuh utama dapat menciptakan tekanan besar bagi perempuan untuk memenuhi standar pengasuhan ideal. Akibatnya, banyak perempuan mengalami konflik peran yang memengaruhi kesejahteraan emosional mereka, termasuk perasaan bersalah yang sering disebut maternal guilt.
Mengubah persepsi ini membutuhkan pendekatan holistik yang melibatkan dukungan kebijakan serta transformasi norma sosial. Sebagai contoh, kesetaraan gender dalam pengasuhan dapat didorong dengan memberikan akses yang setara bagi ayah untuk terlibat langsung dalam pengasuhan anak, serta memastikan ketersediaan fasilitas seperti cuti orang tua yang inklusif. Upaya ini diharapkan dapat menciptakan ruang yang lebih adil bagi perempuan dan laki-laki dalam menjalankan peran sebagai orang tua. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- “Sejarah Hari Ibu: Perjuangan Perempuan “di Bawah” Restu Negara”, Kompaspedia, 22 Desember 2023
- “Akar Sejarah Hari Ibu dalam Kongres Perempuan Indonesia”, Kompaspedia, 21 Desember 2020
- “Perempuan Indonesia dan Kompromi antara Pekerjaan dan Pengasuhan Anak’’, Kompas.id, 7 September 2024
- Hidayati, N. (2015). Beban ganda perempuan bekerja (antara domestik dan publik). Muwazah: Jurnal Kajian Gender, 7(2).
- Xiao, H., Gustafsson Sendén, M., & Sczesny, S. (2024, April 26). Think Parent–Think Mother: Perceptions of mothers shape the stereotype of parents. https://doi.org/10.31219/osf.io/ume6z
- Williamson, T., Wagstaff, D. L., Goodwin, J., & Smith, N. (2023). Mothering ideology: A qualitative exploration of mothers’ perceptions of navigating motherhood pressures and partner relationships. Sex Roles, 88(1), 101-117.
- “Agar Ibu dan Bayi Selamat”, Kementerian Kesehatan, 25 Januari 2024
- “Maternal mortality”, UNICEF Data, 2024
- “Sumbangan Pendapatan Perempuan (Persen)’’, Badan Pusat Statistik, 19 Juni 2024