Paparan Topik | Kesehatan

Kesehatan Mental Gen Z di Zaman yang Sulit

Kesehatan mental generasi Z menjadi perhatian sangat penting karena generasi ini adalah penerus pembangunan bangsa. Namun, generasi ini harus berjibaku dengan tantangan yang semakin berat.

KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA

Suasana Jakarta Book Party di Taman Lapangan Banteng, Jakarta, yang melibatkan generasi Z (15/6/2024).

Kesehatan mental kini menjadi sorotan, selain dampak dari pandemi, tekanan sosial dan ekonomi juga menjadi faktor yang mendorong aspek krusial dalam kesejahteraan individu dan masyarakat. Masalah kesehatan mental dapat terjadi di berbagai kalangan usia dan kelompok kelas sosial. Tahun 2022, kelas menengah paling banyak mengalami gangguan mental sebanyak 49 persen, disusul 27,5 persen pekerja atas dan 23,8 persen pekerja kelas bawah (KOMPAS, 12 agustus 2024).

Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh tim Jurnalisme Data Kompas, pekerja kelas menengah yang bekerja di sektor informal lebih banyak (58 persen) mengalami gangguan kesehatan mental level tinggi dibandingkan dengan pekerja formal (42 persen). Artinya, pekerjaan informal, seperti wirausaha, yang diandalkan pekerja formal saat mengalami PHK, pun berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan mental.

Tak hanya terjadi dalam kelompok kelas sosial, guncangan kesehatan mental juga terjadi di berbagai kalangan usia muda. Mengacu pada data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), jumlah penduduk Indonesia per 31 Desember 2022 mencapai 277,75 juta jiwa dan didominasi usia remaja. Sebanyak 24,5 juta jiwa adalah penduduk berusia 10-14 tahun, sedangkan jumlah penduduk di rentang usia 15-19 tahun sebanyak 21,7 juta jiwa.

Jika ditotal, jumlah remaja berusia 10-19 tahun mencapai 46,2 juta jiwa. Dengan persentase survei di atas, jumlah remaja tergolong ODGJ sebanyak 2,54 juta orang dan 16,1 juta remaja tergolong orang dengan masalah kejiwaan atau ODMK. Angka ini tergolong sangat besar (KOMPAS, 10 Juli 2023).

Dalam lingkungan keluarga utuh yang terdiri dari suami, istri, dan anak, faktanya posisi anak dengan masuk dalam generasi Z mengalami gangguan mental paling banyak. Persentase generasi Z (kelahiran tahun 1997 hingga 2012) yang mengalami gangguan mental  sebesar 40,7 persen. Kemudian, kedua, generasi Y atau milenial (kelahiran tahun 1981-1996) sebesar 26,7 persen. Selanjutnya, generasi alpha (kelahiran tahun 2012 ke atas) sebesar 26,2 persen.

Dengan usia generasi Z masa kini, mereka sudah memasuki dunia kerja dan tantangan hidup semakin berat. Berdasarkan survei merupakan kerja sama para peneliti FKKMK UGM dengan The University of Queensland, Australia, dan Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, Amerika Serikat (AS) menemukan, gangguan cemas merupakan gangguan mental paling banyak dialami remaja, yakni 26,7 persen.

Berikutnya masalah terkait kesehatan mental berupa pemusatan perhatian dan atau hiperaktivitas 10,6 persen, depresi 5,3 persen, masalah perilaku 2,4 persen, dan stres pascatrauma 1,8 persen. Definisi gangguan kesehatan mental yang merujuk data Sakernas adalah pekerja dengan gangguan emosional atau perilaku, mengingat atau berkonsentrasi, serta mengurus diri dengan intensitas rendah, sedang, dan tinggi.

Memahami Kesehatan Mental

Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia 2023, prevalensi depresi orang Indonesia mencapai 1,4 persen. Artinya, secara nasional ada sekitar 1 dari 100 orang yang mengalami depresi. Prevalensi depresi paling banyak dirasakan oleh kelompok usia 15-24 tahun atau generasi Z, yakni 2 persen (KOMPAS.ID, 9 Oktober 2024).

Dengan persentasi depresi yang paling banyak pada generasi Z, lalu apakah depresi masuk kedalam ‘penyakit mental’? Dan apakah pemahaman mengenai kesehatan mental?

Untuk memahami kesehatan mental selalu berhubungan dengan emosi, Kendra Cherry, seorang ahli rehabilitasi psikososial dan pendidik psikologi, menjelaskan bahwa emosi adalah reaksi yang dialami manusia sebagai respons terhadap suatu peristiwa atau situasi. Jenis emosi yang dibalami seseorang ditentukan oleh keadaan yang memicu emosi tersebut. Sebagai contoh, seseorang mengalami kegembiraan saat menerima kabar baik dan ketakutan saat diancam (KOMPAS, 3 Februari 2024).

Tak hanya itu, emosi juga memiliki pengaruh dalam membuat keputusan di kehidupan sehari-hari. Emosi marah, bahagia, sedih, atau frustasi menunjukan emosi kita yang dapat membantu untuk menjalani hidup lebih mudah dan stabil.

Berdasarkan buku Indonesian Mental Health First Aid Booklet (PBK, 2021) satu dari setiap empat orang akan mengalami tantangan masalah mental dalam hidup. Tak hanya itu, angka statistic juga menunjukan bahwa mereka yang mengalami masalah mental tidak melakukan kejahatan kriminal, tetapi justru menjadi korban tindakan kriminal.

Perihal kesehatan mental ini juga berkaitan dengan psikologi kesehatan yang berkembang di Amerika Serikat tahun 1970an. Perkembangan ini merupakan akibat transisi kesehatan dari penyakit infeksi ke penyakit degenerative yang umumnya dipengaruhi oleh perilaku individu yang penyembuhan dan pemulihannya membutuhkan waktu lama, dan biaya yang besar.

Paparan tersebut tercantum dalam buku Psikologi Kesehatan (PBK, 2023) dengan menambahkan psikologi kesehatan melihat peran kondisi psikis pada pengalaman sakit individu yang ternyata mempunyai latar belakang panjang berdasarkan hubungan jiwa yakni mental dan pikiran.

Dinamika “mind and body relationship” dipengaruhi oleh peran agama dan perkembangan ilmu pengetahuan modern. Meski psikologi kesehatan masih relatif baru di Indonesia, tapi mempunyai potensi berkembang lebih cepat mengingat kerumitan beban ganda masalah kesehatan.

KOMPAS.ID, 11 Agustus 2023

Dari gejala-gejala yang telah disebutkan seseorang bisa saja didiagnosis mengalami depresi jika gejala tersebut muncul  bukan karena efek obat atau kondisi medis lainnya. Contohnya, seseorang didiagnosisi penyakit kronis dan akut. Orang tersebut akan merasakan kesedihan luar biasa dan patah semangat.

Bisa jadi hal itu hanya sementara, dan orang tersebut tidak mengalami gejala depresi lainnya. Namun, ada kemungkinan depresi di kemudian hari dan semakin kehilangan semangat untuk hidup.

Masalahnya, depresi adalah pemicu bunuh diri tertinggi. Orang depresi memiliki ide bunuh diri lima kali lebih banyak dibandingkan dengan yang tidak mengalami depresi (KOMPAS, 11 September 2024).

Pada dasarnya, bunuh diri dipicu oleh keberadaan berbagai faktor pencetus yang menyebabkan nyeri jiwa atau nyeri emosional, tetapi sumber daya untuk mengatasinya tidak seimbang dengan penderitaan yang dirasakan. Ketidakseimbangan itu memicu terjadinya mental breakdown atau gangguan mental yang menyebabkan depresi, keputusasaan, dan merasa tidak ada lagi harapan.

Pencegahan bunuh diri dapat dilakukan dengan menurunkan nyeri emosional yang dirasakan dan meningkatkan kemampuan dalam mengatasi masalah yang dihadapi alias coping resources. Ketangguhan mental juga bisa dibangun dengan terus menjaga hubungan sosial dengan orang lain, baik keluarga, sahabat karib, maupun pertemanan lain yang akrab. Hal lain yang tak kalah penting adalah meningkatkan citra diri (self-esteem) dengan memahami kelebihan dan kekurangan setiap individu.

Untuk mencegah terus meningkatnya bunuh diri pada generasi Z, dapat dimulai dari keluarga. Orangtua harus hadir menemani dan mendampingi setiap proses perkembangan anak dari kecil hingga dewasa. Namun, melepas anak saat dewasa bukan berarti orangtua menjadi tidak tahu sama sekali kondisi anak atau memutus komunikasi dengan mereka (KOMPAS, 11 September 2024).

Gejala Depresi

1. Depressed Mood. Mengalami suasana hati yang depresif hampir setiap hari. Mood ini dapat dinilai secara subjektif (seperti merasakan kesedihan, kekosongan, dan kehilangan harapan) atau berdasarkan pengamatan orang lain (terlihat sedih dan “ada yang salah”).
2. Kehilangan minat dan kesenangan dalam semua atau hampir semua kegiatan sepanjang hari.
3. Penurunan atau kenaikan berat badan yang signifikan (perubahan sekitar 5% dari berat badan dalam sebulan) dan penurunan atau peningkatan nafsu makan hampir setiap hari ketika sedang tidak melakukan diet atau program apapun.
4. Insomnia (sulit tidur) atau hipersomnia (tidur berlebihan) hampir setiap hari.
5. Psikomotor lamban (berbicara lebih lamban, volume suara mengecil, gerakan menjadi lamban, dll.) atau justru menunjukkan kegelisahan (tidak mampu duduk diam, berjalan mondar-mandir, meremas-remas tangan, dll.) hampir setiap hari.
6. Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari. Orang-orang dengan depresi kadang mudah sekali merasakan energinya terkuras habis untuk aktivitas sederhana.
7. Perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang berlebihan.
8. Berkurangnya kemampuan untuk berpikir, berkonsentrasi, atau tidak bisa mengambil keputusan hampir setiap hari.
9. Pikiran berulang tentang kematian, ide bunuh diri yang berulang tanpa rencana khusus, atau adanya rencana spesifk untuk melakukan bunuh diri atau sekadar keinginan pasif untuk tidak terbangun dari tidur di pagi hari atau keyakinan bahwa orang lain akan lebih baik tanpa dirinya.

Depresi adalah salah satu ‘penyakit mental’ yang berbeda dengan sakit fisik. Padahal sakit mental disini tertuju pada ketika seseorang tidak berfungsi secara optimal sebagai manusia, baik itu sedih, bad mood, atau sedang mengalami episode depresi klinis.

Menurut Buku Loving the Wounded Soul (GPU, 2020), depresi adalah kekacauan terkait aspek bio-psiko-sosial. Secara aspek biologis, depresi terkait dengan landasan gen, struktur otak, dan senyawa kimia yang ada di dalam tubuh. Aspek psikologis disebut karena depresi didasari oleh suasana hati negatif yang berkepanjangan.

Sementara aspek sosial, depresi terkait dengan hubungan seorang individu dan orang-orang di sekitarnya. Selain itu, ilmuan psikologi juga menambahkan bahwa depresi juga dapat dilihat dari aspek spiritual yakni pemaknaan dan tujuan hidup yang bisa selaras ataupun tidak selaras dengan agama.

Dampak depresi seperti mual-mual, lelah, sakit, dan nyeri di seluruh badan, konstipasi, insomnia, radang, imunitas tubuh menurun. Bahkan jantung koroner dan diabetes bisa dialami oleh orang depresi. Untuk depresi berat, selain terapi psikologi terdapat obat antidepresan untuk mengaktifjan senyawa kimia di otak.

Istilah gangguan depresi mayor digunakan karena depresi adalah kumpulan gejala-gejala seperti sedih berkepanjangan, kehilangan minat akan aktivitas sehari-hari, tidak merasakan bahagia, merasa tidak berharga, insomnia, terjadi perubahan pola makan dan berat badan, tidak bisa konsentrasi, dan memiliki pikiran tentang kematian atau bunuh diri.

Perbedaan antara depresi dan sedih biasa bukan terletak pada pemicunya, melainkan ketika diri sendiri tidak bisa mengendalikan pikiran dan perasaan segala kejadian pahit yang pernah dialami meski itu sudah terjadi dalam waktu lama.

Untuk mengamati gejala depresi perlu seorang professional di bidang kesehatan mental seperti psikolog atau psikiater. Buku cetakan ketiga ini juga mengutip Diagnostic and statistical Manual of Mental Disorder untuk mengamati gejala depresi. Jika mengalami lima atau lebih dari gejala berikut secara konsisten selama dua minggu, maka perlu berkonsultasi dengan psikolog maupun psikiater:

KOMPAS.ID, 10 Oktober 2024

Generasi Z Jalani Zaman Sulit

Realitanya, generasi Z semakin sulit mencari kerja. Ketimbang menganggur dan tidak melakukan apa-apa, banyak dari mereka yang akhirnya menjadi pekerja lepas atau berjibaku di sektor informal.

Data BPS menunjukkan, sebagian besar dari angkatan kerja lulusan baru (usia 15-24 tahun) yang terserap di sektor informal memiliki status pekerja tak dibayar atau pekerja keluarga (unpaid/contributing family worker).

Per Februari 2024, ada 18,4 juta pekerja berusia 15-24 tahun di Indonesia. Sebanyak 8,3 juta orang atau 45,1 persen di antaranya bekerja di sektor informal. Dari kelompok anak muda yang bekerja informal itu, 61 persen atau 5,07 juta orang berstatus pekerja keluarga tak dibayar.

Secara rinci, kelompok yang paling banyak menjadi pekerja tak dibayar adalah anak muda usia 15-19 tahun atau baru lulus sekolah (79,79 persen), diikuti anak muda usia 20-24 tahun atau baru lulus perguruan tinggi (50,5 persen).

BPS mendefinisikan status pekerjaan informal ke dalam lima kategori, yaitu berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar, pekerja bebas di pertanian, pekerja bebas di nonpertanian, serta pekerja keluarga/pekerja tak dibayar.

Jumlah pekerja muda yang ”terpaksa” menjadi pekerja keluarga tak dibayar pun semakin banyak. Pada tahun 2011, hanya ada 64,9 persen pekerja keluarga tak dibayar dari total pekerja informal usia 15-19 tahun. Pada 2024, jumlahnya meningkat menjadi 79,79 persen.

Artinya, gen Z menghadapi tantangan lebih sulit dalam mencari pekerjaan formal dibandingkan dengan milenial pada fase yang sama. Penyebabnya macam-macam. Saat ini lapangan kerja di sektor formal semakin terbatas. Lulusan baru tidak hanya mesti bersaing dengan pekerja lain seusianya, tetapi juga dengan pekerja lama (KOMPAS, 3 Agustus 2024).

KOMPAS/PRIYOMBODO

Para pencari kerja antre untuk memasuki ruangan Mega Career Expo 2023 di Gedung Serbaguna Senayan, Jakarta Pusat (4/10/2023).

Berdasarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 29 Agustus 2024, kasus bunuh diri paling banyak terjadi pada penduduk berusia 15-29 tahun, sedangkan generasi Z tahun 2024 berumur sekitar 12 hingga 27 tahun. Sebagian besar masih sekolah atau kuliah, tetapi ada juga yang sudah masuk pasar kerja, mengawali karier, menganggur, mulai membina hubungan romantis, menikah, bahkan sebagian sudah mengurus anak.

Dengan data tersebut Generasi Z lahir di tengah perkembangan internet dan teknologi digital yang masif. Semua itu membuat mereka lebih pintar dan memiliki akses cepat dan tak terhingga atas berbagai hal. Namun, situasi itu juga membuat otak dan mental mereka lebih lambat matang hingga menempatkan mereka dalam berbagai kerentanan kesehatan mental, termasuk bunuh diri (KOMPAS.ID, 24 Oktober 2024).

Tumbuh dengan iringan kemajuan teknologi membuat generasi Z mau tidak mau keberadaan gawai sudah membuat kecanduan dan berpotensi menghambat pembangunan karakter pada anak. Hal yang paling mengkhawatirkan ada konten yang mengarahkan anak untuk bunuh diri

Namun, hal ini tidak serta-merta bisa melabeli generasi Z sebagai generasi lemah. Sebab, setiap orang memiliki masanya dalam kehidupan. Sisi positifnya, media sosial telah memfasilitasi gen Z dalam hal koneksi sosial, pembelajaran, dan dukungan daring. Mereka menggunakan platform digital untuk mendapatkan informasi, terlibat dalam kegiatan sosial, dan mengekspresikan diri melalui berbagai konten yang dibagikan (KOMPAS, 9 Oktober 2024).

Gen Z, yang terdiri atas 30 persen populasi dunia, dianggap sebagai generasi yang akan mendominasi dunia kerja pada tahun 2025. Mereka dikenal menghargai otonomi, mengedepankan transparansi, menyukai tantangan, dan fokus pada keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi. Mereka juga menunjukkan ketidaknyamanan dengan pengawasan yang ketat dan lebih memilih model manajemen yang fleksibel.

Generasi Z menginginkan bekerja sebagai penunjang aktualisasi diri. Artinya, bekerja itu demi membiayai kebutuhan untuk menjelajah tempat-tempat baru, mengenal kebudayaan dan orang-orang baru, serta menambah keterampilan. Bekerja itu untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja.

Generasi Z memiliki nilai hidup yang berbeda dengan Generasi X ke atas. Pola hidup generasi tua adalah sekolah, kuliah, bekerja, menikah, dan berkeluarga. Bagi Generasi Millenial dan Z, ini sudah ketinggalan zaman karena kebahagiaan dan kesejahteraan hanya bisa dihasilkan dengan berinvestasi kepada diri sendiri dan lingkungan sehingga tercipta keselarasan hidup. (KOMPAS.ID, 23 Januari 2024)

Referensi

Arsip Kompas
  • “Kesehatan Mental Gen Z Tidak Bisa Dibentuk dengan Cara ”Baby Boomer””, Kompas.id, 11 Agustus 2023.
  • “Gen Z Memilih Hidup Seimbang, Bekerja, Menjadi Aktual dan Bahagia
    ”, Kompas.id, 23 Januari 2024.
  • “Psikologi: Emosi dan Kesehatan Mental”, Kompas, 3 Februari 2024, hlm. 13.
  • “Remaja Bunuh Diri di Bekasi, Gambaran Kerapuhan Mental Generasi Muda”, Kompas.id, 24 Oktober 2024.
  • “Bunuh Diri dan Kerapuhan Mental Gen Z”, Kompas, 25 Oktober 2024, hlm. 12.
  • “Fenomena ”Second Account” Gen Z Penanda Depresi”, Kompas, 9 Oktober 2024, hlm. 05.
  • “Banyak Gen Z Jadi Pekerja Infor,al, Sukarela, atau Terpaksa?”, Kompas, 3 Agustus 2024, hlm. 10.
  • “Generasi Z dan Kerentanan Bunuh Diri?”, Kompas, 11 September 2024, hlm. 08.
Buku

Eunike Sri Tyas Suci (Eds) (2023), Psikologi Kesehatan: Konsep, Masalah, dan Pemikiran Untuk Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Dwiputri, Agustine. (2020). Menjaga Kesehatan Mental: Diri Sendiri, Keluarga, dan Relasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Onie, Sandersan. (2021). Indonesian Mental Health First Aid Booklet: Panduan Perolongan Pertama Kesehatan Jiwa Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Machdy, Regis. (2020).Loving the Wounded Soul: Alasan dan Tujuan Depresi Hadir di Hidup Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.