Paparan Topik | Kesehatan

Hari Kesehatan Jiwa Sedunia

Di era yang semakin kompleks ini, sudah saatnya perusahaan mengambil langkah nyata untuk menciptakan lingkungan kerja yang tidak hanya produktif, tetapi juga penuh empati.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Warga menyalakan lilin sebagai bentuk kepedulian terhadap orang dengan skizofrenia dalam puncak acara Hari Kesehatan Jiwa Sedunia di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Jumat (10/10/2014) malam.

Fakta Singkat

  • Setiap 10 Oktober diperingati sebagai Hari Kesehatan Mental Sedunia
  • Pada 2024, tema yang diusung adalah It is Time to Prioritize Mental Health in the Workplace(Saatnya Memprioritaskan Kesehatan Mental di Tempat Kerja)
  • Sekitar 40 persen Gen Z dan 35 persen milenial melaporkan mengalami stres atau kecemasan yang terus-menerus, yang mana salah satu penyebabnya adalah kelelahan yang mendalam di tempat kerja.
  • Laporan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas pada Agustus 2024 mengungkapkan bahwa aspek pekerjaan merupakan salah satu pemicu utama gangguan kesehatan mental, dengan keluhan terkait tuntutan pekerjaan, gaji stagnan, ketidakpastian karier, dan lingkungan kerja yang toksik.
  • Tantangan kesehatan mental juga dialami oleh wirausaha, kenaikan harga bahan baku dan ketidakpastian usaha sebagai penyebab utama gangguan kesehatan mental mereka.
  • Data dari International Labour Organization (ILO) 2022 menunjukkan bahwa sekitar 12 miliar hari kerja hilang setiap tahun akibat depresi, kecemasan, dan kelelahan, mengakibatkan kerugian ekonomi hampir satu triliun dolar AS bagi ekonomi global.
  • Harvard Business Review menyebutkan bahwa karyawan yang merasa dihargai lebih terlibat, dan perusahaan dengan keterlibatan tinggi mencatatkan laba 22 persen lebih tinggi.

Di tengah arus kompetisi yang kian ketat, perhatian terhadap kesehatan jiwa tak bisa dipandang sebelah mata. Kesehatan jiwa yang baik bukan hanya sekadar aset, melainkan fondasi penting yang dapat mendorong produktivitas, kreativitas, dan loyalitas karyawan.

Dalam konteks ini, Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang diperingati setiap 10 Oktober menjadi momentum refleksi bagi perusahaan untuk menilai komitmen mereka terhadap kesehatan jiwa para pekerjanya. Pertama kali diperingati pada tahun 1992, hari ini bertujuan meningkatkan kesadaran global tentang isu-isu kesehatan jiwa dan masalah yang terkait.

Tahun ini, tema yang diusung adalah It is Time to Prioritize Mental Health in the Workplace (Saatnya Memprioritaskan Kesehatan Mental di Tempat Kerja). Tema ini menyoroti urgensi menciptakan lingkungan kerja yang mendukung, di mana setiap karyawan merasa aman dan dihargai.

Dalam kondisi ideal, pekerjaan seharusnya memberikan penghidupan serta menjadi sumber makna, tujuan, dan kegembiraan. Namun, kenyataannya sering kali berbeda. Banyak orang menghabiskan lebih banyak waktu di tempat kerja dibandingkan dengan aktivitas lainnya, sehingga pekerjaan tidak hanya menjadi beban, tetapi juga mengurangi kualitas hidup dan kesehatan mental.

Akibatnya, tekanan berlebihan sering muncul, yang berdampak negatif pada kesejahteraan para pekerja. Pekerjaan yang tidak memenuhi potensinya justru mengakibatkan stres dan masalah kesehatan mental yang serius.

Dampak kesehatan mental yang buruk di tempat kerja tak bisa diabaikan. Penurunan produktivitas, meningkatnya angka absensi, dan berkurangnya kepuasan kerja adalah masalah nyata yang dihadapi banyak perusahaan. Sebaliknya, organisasi yang mampu memberikan perhatian pada kesehatan mental karyawan justru meraih hasil yang lebih positif.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa lingkungan kerja yang ramah terhadap kesehatan mental mampu meningkatkan motivasi dan loyalitas karyawan. Dalam ekosistem yang sehat, karyawan akan merasa lebih dihargai dan terlibat dalam pekerjaan mereka.

Oleh karena itu, penting bagi manajemen untuk mengembangkan kebijakan yang mendukung kesehatan mental. Kesejahteraan karyawan adalah investasi yang akan memberikan imbal hasil berkelanjutan bagi semua pihak. Di era yang semakin kompleks ini, sudah saatnya perusahaan mengambil langkah nyata untuk menciptakan lingkungan kerja yang tidak hanya produktif, tetapi juga penuh empati.

KOMPAS/RIZA FATHONI 

Peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia. Stan cek-up mental disediakan dalam acara Festival yang mengambil tema “Mental Health among Youth” di Indonesian Medical Education and Research Institute (Imeri) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Jumat (12/10/2018). Festival ini diselenggarakan untuk memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Oktober.

Apa itu Kesehatan Jiwa?

Dalam percakapan sehari-hari tentang kesehatan, sering kali fokus kita tertuju pada kesehatan fisik. Namun, penting untuk menyadari bahwa kesehatan mental merupakan komponen yang tidak kalah penting. Kesehatan mental yang baik berkontribusi secara signifikan terhadap kualitas hidup dan kemampuan kita untuk menghadapi tantangan sehari-hari.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kesehatan jiwa adalah keadaan di mana seseorang merasa sejahtera secara mental, mampu menghadapi tekanan hidup, mengenali potensi diri, belajar, bekerja dengan baik, dan berkontribusi kepada masyarakat.

Kesehatan mental bukan hanya hak dasar setiap individu, tetapi juga merupakan fondasi penting bagi perkembangan pribadi dan komunitas. Kesehatan mental yang baik sangat penting dalam menghadapi segala tahapan kehidupan, memengaruhi kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan, membangun hubungan, dan berpartisipasi aktif dalam masyarakat, sehingga berperan krusial dalam kemajuan sosial dan ekonomi.

Kesehatan mental dipengaruhi oleh berbagai faktor individu, sosial, dan struktural yang dapat memperkuat atau melemahkannya. Faktor psikologis dan biologis, seperti keterampilan emosional, penggunaan zat terlarang, dan genetika, dapat meningkatkan kerentanan terhadap masalah kesehatan mental. Selain itu, kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan yang tidak menguntungkan, seperti kemiskinan, kekerasan, dan ketidaksetaraan, uga berkontribusi pada risiko tersebut.

Risiko kesehatan mental dapat terjadi pada siapa saja, termasuk anak-anak, remaja, dewasa, dan lansia, namun anak-anak dan remaja lebih rentan. Meskipun banyak faktor risiko dapat memengaruhi kesehatan mental, tidak semua individu yang terpapar faktor tersebut akan mengalami masalah. Banyak orang tanpa faktor risiko juga bisa menghadapi kondisi kesehatan mental, menunjukkan kompleksitas yang ada dalam pengaruh faktor-faktor tersebut.

Ada beberapa tanda yang menunjukkan bahwa seseorang memiliki kesehatan kejiwaan yang optimal, seperti kemampuan untuk mengatasi tekanan hidup, menyadari potensi diri, melakukan kegiatan secara produktif, membangun hubungan sosial yang baik, dan dapat mengekspresikan perasaan dengan baik.

Di sisi lain, gejala masalah kesehatan mental dapat bervariasi, namun beberapa tanda umum meliputi perubahan suasana hati yang drastis, gangguan tidur, dan kehilangan minat pada aktivitas yang biasanya disukai. Kesulitan berkonsentrasi, perubahan nafsu makan, dan perubahan perilaku juga sering kali menjadi indikator adanya masalah. Hal ini dapat mempengaruhi kualitas hidup secara signifikan.

Rasa cemas, bingung, atau menarik diri dari interaksi sosial adalah gejala lain yang patut diwaspadai. Penting untuk diingat bahwa gejala fisik seperti sakit kepala atau masalah pencernaan bisa jadi merupakan tanda adanya masalah kesehatan mental yang mendasari. Kesadaran akan gejala ini sangat penting untuk mengambil langkah pencegahan.

KOMPAS/NAWA TUNGGAL

Bertepatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, pada 10 Oktober 2023 dibuka pameran lukisan bertajuk, Tombo Ati, di Artotel Suites Mangkuluhur, Jakarta. Tiga perupa perempuan meliputi Rosita Rose, Kana Fuddy Prakoso, dan Sari Koeswoyo, menampilkan karya-karya dilatari cerita dan peristiwa yang dialami masing-masing.

Kondisi Kesehatan Jiwa Secara Global

Idealnya, terdapat sinergi yang harmonis antara pekerjaan yang optimal dan kesehatan yang baik. Namun, kenyataan yang dihadapi oleh banyak pekerja saat ini seringkali menunjukkan hal yang sebaliknya.

Penelitian terbaru dari Deloitte, yang bertajuk “2024 Gen Z and Millennial Survey: Living and Working with Purpose in a Transforming World,” mengungkapkan bahwa lingkungan kerja sering kali menjadi sumber gangguan kesehatan mental, terutama di kalangan generasi muda.

Survei ini melibatkan lebih dari 22.800 responden di 44 negara, dan hasilnya tingkat stres yang tinggi menjadi masalah yang mengganggu kesejahteraan banyak pekerja. Ironisnya, banyak dari mereka adalah individu muda yang seharusnya berada di puncak produktivitas dan kreativitas.

Sekitar 40 persen Gen Z dan 35 persen milenial melaporkan mengalami stres atau kecemasan yang terus-menerus. Tidak hanya itu, hampir setengah dari mereka juga merasakan kelelahan yang mendalam di tempat kerja, menunjukkan bahwa masalah ini lebih dari sekadar fenomena sesaat.

Stresor di tempat kerja beragam dan kompleks. Survei menemukan bahwa ketidakpuasan terkait pengakuan atas pekerjaan menjadi salah satu faktor utama yang memicu stres. Sebanyak 51 persen Gen Z dan 53 persen milenial merasa bahwa usaha mereka tidak dihargai. Kondisi ini diperparah dengan jam kerja yang panjang. Sekitar 51 persen dari kedua generasi melaporkan waktu kerja yang berlebihan, yang mengikis waktu untuk beristirahat dan memulihkan diri.

Selain itu, tekanan untuk memenuhi tenggat waktu yang ketat juga memengaruhi kesejahteraan mental. Sekitar 50 persen Gen Z dan 45 persen milenial merasa tidak memiliki cukup waktu untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Ini menciptakan suasana yang mencekam, di mana kualitas pekerjaan sering kali terkompromi, dan stres semakin meningkat.

Lebih jauh lagi, banyak pekerja muda mengungkapkan ketidakpuasan terhadap kendali yang minim atas cara dan tempat mereka bekerja. Sekitar 44 persen dari kedua generasi merasa tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan bagaimana mereka menjalankan tugas mereka. Kondisi ini menciptakan rasa terasing yang mendalam dan menambah beban psikologis, yang pada gilirannya berdampak negatif pada produktivitas dan kesehatan mental mereka.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Paradoks Kesendirian. Kesendirian menjadi tantangan masyarakat modern (10/3/2018). Studi terbaru justru menunjukkan kesendirian dapat meningkatkan kreativitas, kesehatan mental hingga kepemimpinan.

Kondisi di Indonesia

Fenomena yang sama juga terjadi di Indonesia. Laporan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas pada awal Agustus 2024 mengungkapkan bahwa aspek-aspek kehidupan yang memicu gangguan kesehatan mental telah menjadi isu yang semakin mendesak (Kompas, 19/8/2024).

Melalui wawancara dengan 17 psikolog klinis dari berbagai pulau, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Maluku, serta Papua, ditemukan sejumlah pola yang mencolok dalam pengalaman konseli layanan psikolog. Salah satu temuan utama dari laporan ini adalah bahwa aspek pekerjaan atau karier menjadi salah satu pemicu gangguan kesehatan mental yang paling sering dialami.

Dari 85 jawaban yang dikumpulkan, kategori ini menduduki peringkat kedua dalam frekuensi keluhan konseli. Tuntutan pekerjaan, gaji yang stagnan, ketidakpastian karier, serta gap generasi antarpekerja menjadi masalah yang sering dihadapi. Lingkungan kerja yang toksik, kurangnya komunikasi, dan manajemen stres yang buruk semakin memperburuk keadaan.

Tantangan kesehatan mental tidak hanya dirasakan oleh para karyawan, namun juga para wirausaha perorangan dan rumah tangga. Menurut data yang dihimpun oleh Tim Jurnalisme Data dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS 2022, tekanan mental yang dialami oleh kelompok ini cukup signifikan. Dari 589.619 wirausaha yang disurvei, sekitar 88 persen melaporkan bahwa kenaikan harga bahan baku dan ketidakpastian usaha adalah penyebab utama gangguan kesehatan mental mereka.

Di antara kelompok ini, 196.597 orang (33,3 persen) berusaha sendiri, menjadikannya sebagai kelompok dengan tingkat gangguan mental tertinggi. Selain itu, kelompok pekerja yang mengalami gangguan mental di usaha perorangan atau rumahan terdapat 151.493 orang (25,7 persen) dengan status berusaha dibantu buruh tidak tetap atau tidak dibayar. Dalam kelompok yang sama, terdapat 23.469 orang berstatus pekerja keluarga tidak dibayar

Di sisi lain, ada juga 17.757 orang (3 persen) yang berstatus wirausaha dibantu buruh tetap dan dibayar yang mengalami gangguan serupa. Jumlah karyawan di usaha perorangan atau rumahan yang mengaku mengalami gangguan mental sebanyak 38.017 orang (6,5 persen). Sisanya merupakan pekerja keluarga tak dibayar dan pekerja bebas nonpertanian (11 persen). 

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Bermain dengan Gawai – Anak-anak menggunakan gawai untuk bermain di Desa Socokangsi, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Jumat (14/7/2017). Perkembangan teknologi membuat mainan tradisional semakin tersisih dari kehidupan sehari-hari anak-anak.

Dampak Signifikan Kesehatan Mental

Hubungan antara kesehatan mental dan performa kerja saling memengaruhi secara signifikan. Dokter spesialis okupasi, Palupi Agustina Djayadi, mengungkapkan, masalah psikososial yang dialami pekerja dapat menimbulkan perubahan perilaku yang merugikan, baik bagi pekerja maupun perusahaan (Kompas, 2/10/2024).

Pekerja yang mengalami tekanan psikososial kemungkinan besar akan sering izin tidak masuk kerja, hadir dengan fisik namun tidak berkontribusi secara optimal, atau cenderung menarik diri dari interaksi sosial dengan rekan-rekannya. Hal ini tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga menciptakan suasana kerja yang kurang baik.

Data dari International Labour Organization (ILO) pada tahun 2022 menyebutkan bahwa sekitar 12 miliar hari kerja hilang setiap tahunnya akibat kondisi seperti depresi, kecemasan, dan kelelahan. Dampak ekonominya sangat signifikan, dengan kerugian hampir mencapai satu triliun dolar AS bagi ekonomi global.

Di Amerika Serikat, misalnya, American Institute of Stress melaporkan bahwa stres di tempat kerja menyebabkan kerugian hingga 300 miliar dolar AS setiap tahunnya bagi pengusaha. Kerugian ini mencakup biaya ketidakhadiran, pergantian karyawan, penurunan produktivitas, serta biaya medis, hukum, dan asuransi yang melonjak.

Namun, masalah kesehatan mental tidak hanya berdampak pada perilaku kerja. Individu yang mengalami masalah psikososial sering kali mengalami perubahan fisik yang signifikan. Misalnya, peningkatan hormon stres seperti adrenalin dan kortisol dapat menyebabkan gejala fisik, seperti jantung berdebar, tekanan darah tinggi, dan gangguan pencernaan, seperti diare atau gastritis. American Psychological Association mengingatkan bahwa stres kronis dapat mengarah pada masalah kesehatan jangka panjang, seperti penyakit kardiovaskular, obesitas, dan diabetes.

Dari segi psikologis, rasa cemas, depresi, dan kelelahan emosional (burnout) adalah beberapa contoh kondisi yang sering terjadi. Dalam kasus yang lebih ekstrem, individu dapat berisiko melakukan tindakan melukai diri sendiri (selfharm).

Infografik: Kesehatan Jiwa pada Anak

Pentingnya Kesehatan Mental Pekerja

Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa perusahaan yang memahami pentingnya kesejahteraan mental tidak hanya berinvestasi dalam keberlangsungan hidup pekerjanya, tetapi juga dalam keberhasilan bisnis mereka. Ketika karyawan merasa didukung dan diperhatikan, dampaknya langsung terlihat dalam produktivitas, kepuasan kerja, dan loyalitas terhadap perusahaan.

Kesehatan mental yang baik memungkinkan karyawan untuk mengatasi stres sehari-hari, berinteraksi secara positif dengan rekan kerja, dan berkontribusi secara optimal. WHO berpendapat bahwa setiap satu dolar AS yang diinvestasikan dalam intervensi kesehatan mental akan menghasilkan pengembalian sebesar empat dolar AS dalam bentuk peningkatan kesehatan dan produktivitas. Ini adalah bukti konkret bahwa investasi dalam kesehatan mental pekerja adalah langkah strategis untuk mencapai kesuksesan perusahaan.

Hal serupa juga diungkapkan oleh studi dari Harvard Business Review yang menunjukkan bahwa karyawan yang merasa dihargai dan didukung cenderung lebih terlibat dalam pekerjaan mereka, yang secara langsung berkontribusi pada peningkatan kinerja. Perusahaan yang memiliki tingkat keterlibatan karyawan yang tinggi mencatatkan laba 22 persen lebih tinggi dibandingkan yang tidak.

Generasi milenial dan Gen-Z, yang kini mendominasi angkatan kerja, sangat peka terhadap isu kesejahteraan mental. Mereka cenderung memilih untuk bekerja di perusahaan yang menunjukkan komitmen nyata terhadap kesehatan mental. Dengan mengedepankan kesejahteraan karyawan, perusahaan tidak hanya membangun reputasi yang positif, tetapi juga menarik talenta terbaik di pasar kerja yang kompetitif.

KOMPAS/RIZA FATHONI 

Komunitas Yoga Gembira melakukan kegiatan senam yoga bersama di Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (19/8/2018). Selain dapat menguatkan, menyehatkan dan merelaksasi otot, sendi dan tulang, yoga juga dilakukan untuk menenangkan jiwa.

Membangun Lingkungan Kerja yang Mendukung

Kesehatan mental karyawan tak lagi bisa dianggap sepele, menjadi kebutuhan yang harus diperhatikan. Perusahaan harus menyadari manfaat nyata dari memprioritaskan kesehatan mental. Terlebih lagi, generasi millenial dan Gen Z, yang mendominasi angkatan kerja saat ini, menunjukkan sensitivitas yang tinggi terhadap isu kesehatan mental.

Kedua generasi ini tidak hanya ingin dipekerjakan, tetapi juga ingin merasa didengar dan diperhatikan. Pendekatan yang lebih humanis dan inklusif sangat penting. Memberikan ruang bagi pengakuan adalah salah satu kunci dalam menciptakan lingkungan kerja yang sehat. Tidak ada ada seorang pun yang ingin berada di tempat yang tidak membuat mereka merasa dibutuhkan.

Langkah lainnya yang dapat diambil adalah memberikan fleksibilitas dalam pengaturan kerja. Model kerja hibrida, di mana karyawan dapat membagi waktu antara bekerja di kantor dan jarak jauh, menjadi pilihan yang sangat relevan. Ini semua bertujuan untuk mengurangi stres dan meningkatkan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan.

Tidak kalah penting, perusahaan juga harus menyediakan akses ke layanan kesehatan mental, seperti konseling dan sumber daya dukungan lainnya. Dengan memberikan waktu untuk janji temu kesehatan dan mendukung karyawan dalam menjaga kesejahteraan mereka, perusahaan menunjukkan bahwa mereka benar-benar peduli terhadap kesehatan mental karyawan.

Keberadaan lingkungan kerja yang mendukung ini tidak hanya berkontribusi pada kesehatan mental karyawan, tetapi juga memberikan makna dan tujuan dalam pekerjaan mereka. Ketika karyawan merasa bahwa kontribusi mereka penting, mereka cenderung lebih puas dan bahagia dengan hidup mereka. Ini menciptakan siklus positif yang akan berdampak pada produktivitas dan loyalitas mereka terhadap perusahaan.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Gerakan Mari Tersenyum Ratusan simpatisan mengajak warga tersenyum sambil melepaskan balon dalam kampanye Gerakan Mari Tersenyum yang digelar Himpunan Psikologi Indonesia di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Rabu (10/10/2012). Gerakan tersenyum adalah salah satu cara mencegah depresi yang diadakan untuk memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia.

Mengelola Stres

Dalam dunia kerja yang penuh tekanan, pengelolaan stres menjadi penting bagi para pekerja. Mengacu WHO, langkah pertama adalah mengenali faktor-faktor pemicu stres. Dengan identifikasi yang jelas, kita dapat menyusun strategi untuk menghadapi situasi sulit.

Mengambil bantuan dari profesional kesehatan mental, seperti psikolog atau psikiater, adalah pilihan bijak. Ahli kesehatan mental dapat memberikan perspektif dan teknik yang diperlukan untuk mengatasi stres.

Pendekatan spiritual, seperti meditasi dan yoga, juga efektif dalam mencari ketenangan. Dalam kesunyian, kita bisa memusatkan pikiran dan menjauh dari tekanan. Hobi juga tak kalah penting. Aktivitas fisik, seperti berolahraga, dapat meningkatkan kadar endorfin dan memperbaiki suasana hati.

Pekerja juga perlu menerapkan strategi personal untuk mencapai keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Luangkan waktu untuk diri sendiri, berkumpul dengan keluarga atau teman, dan nikmati momen-momen sederhana yang membawa kebahagiaan.

Jangan lupa akan pentingnya dukungan sosial. Temukan teman atau rekan kerja yang dapat diajak berbagi cerita dan pengalaman. Dukungan dari orang-orang terdekat dapat membantu kita melepaskan tekanan yang ada dan memberikan perspektif baru dalam menghadapi masalah.

Penting bagi semua pihak, baik perusahaan maupun pekerja, untuk bersinergi dalam menciptakan tempat kerja yang tidak hanya produktif, tetapi juga berkelanjutan secara mental. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • “Generasi Muda Paling Banyak Alami Stres di Tempat Kerja Selama Pandemi,” Kompas, 17 November 2022.
  • “Kerja Empat Hari Seminggu Kurangi Stres Karyawan dan Pertahankan Produktivitas,” Kompas, 23 Februari 2023.
  • “Kesehatan Jiwa bagi Semua,” Kompas, 30 Oktober 2023.
  • “Darurat Kesehatan Jiwa,” Kompas, 16 November 2023.
  • “Kesehatan Mental, Kunci Hadapi Ketidakpastian Global,” Kompas, 17 April 2024.
  • “Survei PwC: Karyawan Makin Stres akibat Tuntutan Kerja Menggunung tetapi Apresiasi Minim,” Kompas, 29 Juni 2024.
  • “Tekanan Pekerjaan Picu Gangguan Kesehatan Mental Pekerja (17),” Kompas, 19 Agustus 2024.
  • “Stres di Tempat Kerja, Perhatikan Tandanya,” Kompas, 2 Oktober 2024.
Laporan
Internet

Artikel terkait