Lembaga

Komisi Pemberantasan Korupsi

KPK adalah lembaga Negara di Indonesia yang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Lembaga ini dibentuk dengan tujuan meningkatkan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Tidak hanya penindakan kasus korupsi, tetapi upaya pencegahan korupsi juga dilakukan KPK.

Fakta Singkat

Fakta Singkat
Dibentuk:
2002 (Berdasarkan UU No 30 tahun 2002)

Ketua KPK pertama:
Taufiequrachman Ruki
(periode 2003-2007)

Ketua KPK saat ini
Firli Bahuri
(2019-2023)

Nawawi Pomolango
(Ketua Sementara KPK sisa masa jabatan 2019-2023)

Empat Deputi:
Deputi Bidang Pencegahan
Deputi Bidang Penindakan
Deputi Bidang Informasi dan Data
Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat

Dewan Pengawas KPK (2019-2023)
Tumpak Hatorangan Panggabean (Ketua Dewan Pengawas)

Anggaran:
Rp859,9 miliar (Perpres No 54 tahun 2020)

Regulasi:
UU No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Sejarah

KOMPAS/JULIAN SIHOMBING

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki(kanan) didampingi para wakilnya (dari kiri), Syahruddin Rasul, Erry Riyana Hardjapamekas, Amien Sunaryadi, dan Tumpak H Panggabean (tak tampak), memberikan keterangan pers setelah mengucapkan sumpah di hadapan Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara, Jakarta, Senin (29/12).

Secara yuridis, upaya pemberantasan korupsi baru dimulai pada tahun 1957 di era Presiden Soekarno yang ditandai dengan terbitnya Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957. Peraturan tersebut dibuat oleh Penguasa Militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut yang dikenal dengan Peraturan tentang Pemberantasan Korupsi.

Di masa Presiden Soeharto, pemerintah mengeluarkan Keppres Nomor 28 Tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Namun dalam pelaksanaannya hampir tidak dapat berfungsi dan peraturan ini memicu berbagai bentuk protes serta unjuk rasa pada tahun 1969. Puncaknya pada 1970 pemerintah membentuk Komisi IV yakni sebuah komisi yang bertugas menganalisis permasalahan dalam birokrasi serta mengeluarkan rekomendasi untuk mengatasinya.

Pada saat itu, mantan Wakil Presiden RI Mohammad Hatta mengeluarkan pernyataan jika korupsi telah membudaya di Indonesia. Mohammad Hatta mengatakan bahwa korupsi telah menjadi perilaku dari sebuah rezim baru saat kepemimpinan Soeharto meskipun usia pemerintahannya masih sangat muda.

Peraturan terkait tindak pidana korupsi cukup banyak diterbitkan pada era Orde Baru karena masa kepemimpinan Presiden Soeharto yang panjang. Namun, peraturan-peraturan yang diterbitkan tidak efektif untuk menjerat tindak pidana korupsi yang terjadi saat itu.

Pada peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia tahun 1970, pemerintah menerbitkan UU Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dalam aturan ini menerapkan pidana penjara maksimum seumur hidup serta denda maksimum sebesar Rp30 juta untuk semua delik yang dikategorikan korupsi.

Melengkapi undang-undang tersebut, pemerintah era Presiden Soeharto menerbitkan Garis-Garis Besar Haluan Negara atau GBHN Tahun 1973 tentang Pembinaan Aparatur yang Berwibawa dan Bersih dalam Pengelolaan Negara sebagai upaya untuk memberantas korupsi. Pada pelaksanaannya GBHN ini tidak efektif karena banyaknya kecurangan serta kebocoran anggaran negara di semua sektor tanpa ada mekanisme kontrol.

Selanjutnya, pada tahun 1980 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap yang secara khusus membidik pimpinan dan anggota lembaga tertinggi dan lembaga tinggi Negara beserta mantan pejabat di lembaga tersebut. Namun tampaknya UU ini tidak efektif menjerat pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi saat itu.

Pada tahun 1987 pemerintah era Presiden Soeharto kembali menerbitkan GBHN Tahun 1987 tentang Kebijakan dan Langkah-langkah dalam Rangka Penerbitan Aparatur Negara dari Masalah Korupsi, Penyalahgunaan Wewenang, Kebocoran dan Pemborosan Kekayaan dan Keuangan Negara, Pungutan-Pungutan Liar serta Berbagai Bentuk Penyelewengan Lainnya yang Menghambat Pelaksanaan Pembangunan. Dalam praktiknya, GBHN tahun 1987 ini pun tidak efektif menjerat pelaku korupsi di lingkungan pejabat pemerintah saat itu.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Seorang Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Mengadakan Aksi ‘Lawan Korupsi’ Di Seputaran Bundaran HI, Jakarta, Jumat (9/12). Aksi Tersebut Merupakan Salah Satu Upaya KPK Untuk Mensosialisasikan Perlawanan Terhadap Tindak Korupsi Kepada Masyarakat.

Era Reformasi

Pada era reformasi pasca mundurnya Presiden Soeharto dari jabatannya, pada 13 November 1998 MPR mengeluarkan Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Pada saat itu, Ketua MPR dijabat Harmoko mantan Menteri Penerangan di era Presiden Soeharto.

Sebagai tindak lanjut, pemerintah membentuk badan-badan negara sebagai pendukung upaya pemberantasan korupsi di Indonesia diantaranya: Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, dan Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara.

Setahun kemudian, pemerintah mengeluarkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. UU tersebut ditandatangani oleh Presiden BJ Habibie pada tanggal 19 Mei 1999.

Tidak berselang lama kemudian pemerintah mengeluarkan lagi UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang ditandatangani oleh Presiden BJ Habibie pada 16 Agustus 1999. Dasar pemikiran diterbitkannya UU ini adalah tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Pada saat era pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terdapat gebrakan dengan mengangkat Baharuddin Lopa sebagai Menteri Kehakiman dan HAM yang kemudian menjadi Jaksa Agung. Sosok Baharuddin Lopa dikenal tegas dan dikenal sebagai tokoh antikorupsi. Kejaksaan Agung RI melakukan langkah-langkah kongkret dalam pemberantasan korupsi yang dibuktikan dengan banyaknya koruptor yang tertangkap dan dipidana penjara di era tersebut.

Dua tahun kemudian, pemerintah mengeluarkan UU No. 20 Tahun 2001 sebagai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU ini diterbitkan pada tanggal 21 November 2001 di era Presiden Megawati Soekarnoputri. Tidak berelang lama kemudian, pemerintah menerbitkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU inilah membidani awal mula kelahiran lembaga KPK.

Dalam pasal 2 undang-undang tersebut dinyatakan:”Dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang untuk selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi.” Pada pasal 3 ditegaskan: “Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.”

Peran KPK seperti yang dijelaskan dalam undang-undang adalah seperti trigger mechanism yaitu mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menadi lebih efektif dan efisien. Dalam pelaksanaan tugas KPK berpedoman pada lima asas yaitu, kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, serta proporsionalitas. KPK juga bertanggung jawab terhadap publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka serta berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Petugas menyemprotkan cairan disinfektan di lobi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Rabu (25/11/2020). Penyemprotan yang rutin dilakukan pagi dan sore hari ini sebagai bagian protokol kesehatan yang dilakukan KPK dalam mencegah penularan Covid-19. Protokol kesehatan ketat dilaksanakan di KPK yang setiap hari banyak didatangi orang berperkara, tamu, maupun wartawan

KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
25-11-2020

Visi, Misi, Tugas, dan Wewenang

Visi :

Bersama masyarakat menurunkan tingkat korupsi untuk mewujudkan Indonesia maju.

Misi :

  1. Meningkatkan upaya pencegahan melalui perbaikan sistem dan pendidikan antikorupsi yang komprehensif
  2. Pemberantasan tindak pidana korupsi yang efektif, akuntabel, professional, dan sesuai dengan hukum.
  3. Meningkatkan akuntabilitas, profesionalitas, dan integritas Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pelaksanaan tugas dan wewenang

Tugas dan Wewenang

Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:

  1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
  2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
  3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
  4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi
  5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki wewenang:

  1. Mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi
  2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi
  3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait
  4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
  5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

 

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Warga melintas di depan Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kuningan, Jakarta, Senin (6/7/2020). KPK diharapkan menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia.

Kiprah KPK

Sepanjang perjalanan sejak berdiri tahun 2003, KPK membukukan prestasi mengungkap kasus-kasus korupsi besar yang tidak terbayangkan akan bisa terungkap pada era sebelumnya. Sepanjang 2016-2019 misalnya, tercatat sekitar 539 tindak pidana korupsi mencakup pengadaan barang/jasa, perizinan, penyuapan, pungutan, penyalahgunaan anggaran, hingga pencucian uang yang diungkap KPK. Lonjakan jumlah kasus korupsi terjadi pada tahun 2017-2019. Hal ini tidak terlepas dari pelaksanaan pilkada serentak dalam rentang waktu tersebut. Kepala daerah dan calon kepala daerah banyak tersangkut kasus suap dan korupsi.

Salah satu mekanisme kerja KPK adalah saat KPK menetapkan pejabat negara atau tokoh penting sebagai tersangka korupsi. Pada saat itulah biasanya ditampilkan para pelaku korupsi yang tertangkap basah melalui operasi tangkap tangan (OTT), lengkap dengan tumpukan barang bukti berupa uang dan barang berharga lainnya.

Kinerja KPK dibuktikan dengan peningkatan jumlah tangkapan seiring dengan pengembalian kerugian negara. Hingga akhir November 2020, dalam laman KPK disebutkan KPK telah 1.075 jenis perkara. Angka terbesar yakni kasus penyuapan sebanyak 708 perkara. Jika dilihat berdasarkan profesi pelaku, maka terdapat 1.207 orang atau pelaku tindak pidana korupsi yang ditangani KPK.

Pada 2019 pemerintah menetapkan UU No 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebelum UU ini ditetapkan dan diberlakukan, gejolak unjuk rasa terjadi di berbagai kota yang menolak UU ini karena melihat adanya potensi pelemahan KPK.

Poin perubahan pada UU No 19 tahun 2019 tentang KPK: (Kompas, 21 Juli 2020)

  • Mengubah kedudukan KPK dari semula lembaga independen menjadi lembaga penegak hukum pada rumpun eksekutif yang dalam pelaksanaan kewenangan dan tugasnya tetap independen.
  • Adanya Dewan Pengawas yang anggotanya dipilih DPR berdasarkan usulan Presiden.
  • Pelaksanaan fungsi penyadapan, penggeledahan dan/atau penyitaan, semakin rumit karena seizin tertulis Dewan Pengawas.
  • Kewenangan KPK menerbitkan SP3 jika penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka satu tahun
  • Penyidik harus diangkat dari Polri, Kejagung, dan PNS Sipil yang diberi wewenang oleh undang-undang
  • KPK harus berkoordinasi dulu dengan lembaga penegak hukum laindan pihak terkait sesuai hukum acara pidana kepolisian, kejaksaan, dan kementerian atau lembaga lainnya dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara tipikor.
  • Sistem kepegawaian KPK tidak jelas antara menjadi ASN atau pegawai kontrak

KOMPAS/RADITYA HELABUM

Ketua KPK 2019-2023 Firli Bahuri, wakil ketua KPK Alexander Marwata, wakil ketua KPK Lili Pintauli Siregar, wakil ketua KPK Nawawi Pomolango dan wakil ketua KPK Nurul Ghfron (kiri ke kanan) membacakan pakta integritas saat serah terima jabatan dan pisah sambut pimpinan KPK 2019-2023 di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (20/12/2019).

Organisasi

KPK dipimpin oleh Pimpinan KPK yang terdiri atas lima orang, seorang ketua merangkap anggota dan empat orang wakil ketua merangkap anggota. Kelima pimpinan KPK tersebut merupakan pejabat negara, yang berasal dari unsur pemerintahan dan unsur masyarakat. Pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Dalam pengambilan keputusan, pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial.

Pimpinan KPK membawahkan empat bidang, yang terdiri atas bidang Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data, serta Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat. Masing-masing bidang tersebut dipimpin oleh seorang deputi. KPK juga dibantu Sekretariat Jenderal yang dipimpin seorang Sekretaris Jenderal  yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia, namun bertanggung jawab kepada pimpinan KPK.

Struktur Organisasi:

  • Pimpinan KPK
  • Kedeputian Bidang Pencegahan
  • Kedeputian Bidang Penindakan
  • Kedeputian Bidang Informasi dan Data
  • Kedeputian Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat
  • Sekretariat Jenderal

Dewan Pengawas KPK (2019-2023)

  • Tumpak Hatorangan Panggabean (Ketua Dewan Pengawas)
  • Artidjo Alkostar (Anggota Dewan Pengawas)
  • Albertina Ho (Anggota Dewan Pengawas)
  • Syamsuddin Haris (Anggota Dewan Pengawas)
  • Harjono (Anggota Dewan Pengawas)

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Ketua Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) Tumpak Hatorangan Panggabean (tengah) didampingi anggota Dewas KPK (dari kiri ke kanan) Syamsuddin Haris, Harjono, Albertina Ho, dan Artidjo Alkostar berbicara kepada para jurnalis di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Kuningan, Jakarta, Selasa (14/1/2020). Dewas KPK memastikan bahwa keberadaan mereka tidak akan menghambat kinerja KPK, namun sebaliknya menjaga agar KPK tetap bekerja secara profesional dan berintegritas.

Pimpinan KPK dari Masa ke Masa

No. Periode Pimpinan KPK
1. 2003-2007

·       Taufiqurahman Ruqie (Ketua KPK)

·       Erry Riyana Hardjapamekas (Wakil Ketua)

·       Tumpak Hatorangan Pangabean (Wakil Ketua)

·       Amien Sunaryadi (Wakil Ketua)

·       Sjahruddin Rasul (Wakil Ketua)

2. 2007-2011

·       Muhammad Busyro Muqoddas (Ketua KPK)

·       Antasari Azhar (Ketua KPK)

·       Bibit Samad Rianto (Wakil Ketua)

·       Chandra M. Hamzah (Wakil Ketua)

·       Mochamad Jasin (Wakil Ketua)

·       Haryono Umar (Wakil Ketua)

3. 2011-2015

·       Abraham Samad (Ketua KPK)

·       Zulkarnain

·       Bambang Widjojanto

·       Busro Muqoddas

·       Adnan Pandu Praja

4 2015-2019

·       Agus Raharjo (Ketua KPK)

·       Basaria Panjaitan (Wakil Ketua)

·       Alexander Marwata (Wakil Ketua)

·       Saut Situmorang (Wakil Ketua)

·       Laode M. Syarif (Wakil Ketua)

5. 2019-2023

·       Firli Bahuri (Ketua KPK)

·       Alexander Marwata (Wakil Ketua)

·       Lili Pintauli Siregar (Wakil Ketua)

·       Nawawi Pomolango (Wakil Ketua)

·       Nurul Ghufron (Wakil Ketua)

Anggaran

Semula anggaran KPK dalam APBN 2020 sebesar Rp922,5 miliar, namun karena pandemi Covid-19, pemerintah melalui Peraturan Presiden No 54 tahun 2020 melakukan penyesuaian anggaran menjadi Rp859,9 miliar.

Referensi

Laman Komisi Pemberantasan Korupsi

Dokumen UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Dokumen UU No 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002