Paparan Topik | Hari Antikorupsi Sedunia

Korupsi: Definisi, Fenomena, dan Perspektif Sosial

Fenomena korupsi masih terus terjadi di institusi pemerintahan pusat, daerah, bahkan di kalangan penegak hukum. Sanksi hukuman yang tidak memberikan efek jera menjadikan fenomena korupsi akan tetap tumbuh sepanjang waktu.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Korupsi yang masih menggurita di tanah air menjadi keprihatinan masyarakat yang dituangkan melalui mural seperti di kawasan Kedaung, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (2/11/2021). Menurut kajian Tren Vonis Korupsi 2020 yang dilakukan lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan tuntutan dan vonis yang relatif ringan (0-4 tahun penjara) bagi para koruptor. Dalam catatan ICW pada 2020, sebanyak 66 terdakwa koruptor bebas dari hukuman. Jumlah vonis bebas tersebut terus meningkat dalam empat tahun terakhir.

Fakta Singkat

  • Secara etimologis, korupsi berasal dari kata corruptio yang berarti tindakan kebusukan, merusak, dan kebejatan.
  • Selama tahun 2020, terdapat 1.298 terdakwa penjahat korupsi yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp56,7 triliun.
  • Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada tahun 2021 hanya mencapai skor 38 dari 100.
  • Entitas yang menegakkan permasalahan korupsi di Indonesia antara lain KPK, Kejaksaan, Kepolisian dan Kehakiman
  • Regulasi: Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pada September 2022, fenomena peristiwa terkait tindak pidana korupsi kembali menjadi sorotan di negeri ini. Setidaknya dua kasus besar mengisi pemberitaan nasional. Pertama, tentang pembebasan 23 narapidana tipikor (tindak pidana korupsi) pada Selasa (6/9/2022). Kedua, tindak korupsi dari lembaga penegak hukum. Pada Jumat (23/9/2022), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan hakim agung Sudrajad Dimyati yang tersangka menerima suap Rp800 juta dalam pengurusan perkara.

Terkait pembebasan 23 narapidana tipikor, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mengonfirmasi pembebasan yang dilakukan secara bersyarat tersebut. Sebanyak 23 napi telah dikeluarkan pada tanggal 6 September 2022 dari dua lapas (lembaga pemasyarakatan), yaitu Lapas Kelas I Sukamiskin di Jawa Barat dan Lapas Kelas IIA di Tangerang, Banten.

Kejahatan korupsi di Indonesia telah diklasifikasikan sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa). Oleh karena itu, tindak pidana korupsi perlu ditangani dengan cara-cara yang lebih ekstra.

Dalam pembebasan 23 narapidana tipikor terdapat Ratu Atut Choisiyah, Zumi Zola Zulkifli, Pinangki Sirna Malasari, Patrialis Akbar, dan Suryadharma Ali. Beberapa koruptor ini bahkan memperoleh remisi tahanan dengan jumlah waktu fantastis. Sebut saja Pinangki, yang dihukum 10 penjara. Jumlah tersebut berkurang menjadi empat tahun dalam banding, dan kini dibebaskan setelah hanya satu tahun satu bulan di penjara (Kompas.id, 7/9/2022, “Pemerintah Obral Pembebasan Bersyarat, 23 Koruptor Dikeluarkan dari Lapas”).

Namun, pembebasan 23 narapidana tipikor ini pemberitaannya kembali terpecah dari perhatian publik pada kasus-kasus aktual lainnya. Sebut saja persidangan Ferdi Sambo, peretasan data Bjorka, dan kenaikan harga BBM. (Kompas.id, 15/9/2022, “Benarkah Aksi ‘Bjorka’ Didukung Warganet?”).

Kasus terkait korupsi yang kedua berasal dari lembaga legistalif. Pada Jumat (23/9/2022), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan hakim agung Sudrajad Dimyati yang tersangka meneripa suap Rp800 juta dalam pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA) terhadap kasus KSP Intidana.

Secara lebih luas, keberadaan koruptor pada kedua kasus tersebut adalah kasus tidak biasa. Namun, sebagaimana dituliskan Kompas.id (14/9/2022, “Korupsi Lagi, Lagi-Lagi Korupsi”), korupsi sebagai sebuah fenomena sosial di Indoensia telah terkesan menjadi “biasa”. Hal demikian disebabkan oleh virus korupsi yang kian masif menyentuh ke semua lini kehidupan.

Masifnya virus tersebut lantas bersinggungan dengan pandangan Mohammad Hatta, bahwa korupsi sudah menjadi bagian dari kebudayaan. “Budaya” ini pun terus terjadi dengan menjadi bagian yang lekat dengan kehidupan harian, upaya keadilan dan integritas, segalanya menjadi transaksi nilai jual-beli (Kompas.id, 24/9/2022, “Korupsi Tak Berujung”).

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Enam tersangka dalam kasus dugaan pemberian suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung yang terkena operasi tangkap tangan KPK kembali ke ruang pemeriksaan setelah diperlihatkan kepada wartawan saat konferensi pers di Kantor KPK, Jumat (23/9/2022) pagi. Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan 10 tersangka dengan satu diantaranya adalah hakim agung.

Definisi Korupsi

Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), definisi korupsi adalah “penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain”.

Pada situs Pusat Edukasi Anti Korupsi oleh Kedeputian Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, kata korupsi berasal dari istilah latin “corruptio”. Makna etimologis tersebut beragam, yakni termasuk tindakan merusak atau menghancurkan. Istilah tersebut juga memiliki padanan makna dengan kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, hingga penyimpangan dari kesucian.

Corruptio lantas diserap masuk berbagai bahasa lain. Dalam Bahasa Inggris menjadi kata “corruption dan dalam Bahasa Belanda adalah menjadi “corruptie”. Istilah belakangan ini kemudian diserap ke dalam perbendaharaan Indonesia menjadi korupsi.

Dengan segala perbedaan istilah dalam berbagai bahasa, pemaknaan atas terminologi korupsi pun menjadi beragam. Lembaga internasional seperti Asian Development Bank (ADB) pun berusaha melahirkan pemaknaan yang sama terhadap korupsi. Definisi yang dibuat ADB, yakni kegiatan yang melibatkan perilaku tidak pantas dan melawan hukum dari pegawai sektor publik dan swasta untuk memperkaya diri sendiri dan orang-orang terdekat mereka.

Sementara perumusan definisi korupsi oleh lembaga internasional juga disampaikan World Bank pada 2000. Definisi korupsi adalah “penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi”. Mengacu pada situs Pusat Edukasi Anti Korupsi KPK tersebut, definisi inilah yang lantas digunakan sebagai standar internasional dalam merumuskan korupsi.

Meski telah terdapat usaha penyeragaman makna korupsi, variasi makna korupsi tidak hanya berasal dari sebab perbedaan bahasa. Berbagai disiplin ilmu pengetahuan pun melahirkan penerjemahan korupsi yang berbeda-beda. Dalam Indonesia, hal itu termaksud dalam pandangan secara hukum maupun sosiologis.

Konsep korupsi kemudian memperoleh definisi secara legal di Indonesia. Sumber pertama, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pada Pasal 209 Ayat (1), korupsi diberikan definisi sebagai tindakan “memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya”.

Sementara landasan hukum kedua adalah dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Pada Pasal 2 Ayat (1), korupsi dipahami sebagai perbuatan melawan hukum. Pada Pasal 3 dituliskan definisi “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.

Dari poin hukum terakhir tersebut, tampak sejumlah ciri utama atas tindak korupsi yang digariskan oleh hukum Indonesia, yakni:

  1. Adanya perbuatan melawan hukum
  2. Adanya penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana
  3. Merupakan usaha memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi
  4. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Dalam kacamata sosiologis, batas antara tindakan penyuapan, pemerasan, dan nepotisme begitu pipih, ketiganya sesuai dalam payung definisi korupsi. Syed Hussein Alatas dalam buku Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer mendefinisikan tindakan tersebut sebagai “penempatan kepentingan-kepentingan publik di bawah tujuan-tujuan privat dengan pelanggaran norma-norma tugas dan kesejahteraan, yang dibarengi dengan keserbarahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan pengabaian yang kejam atas setiap konsekuensi yang diderita oleh publik”.

Dalam kacamata tersebut, korupsi tidak secara justifikatif dipandang sebagai suatu hal yang pasti buruk. Secara teoritis, kehadiran Ilmu Sosiologi bukan dilakukan dalam rangka menilai baik/buruknya korupsi, melainkan memberi pemahaman lebih terhadap statusnya sebagai sebuah fenomena.  

Kondisi Korupsi di Indonesia

Korupsi pun menjadi fenomena yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Indonesia Corruption Watch (ICW) memaparkan bahwa pada tahun 2020 terdapat 1.298 terpidana kasus korupsi di Indonesia. Jumlah pelaku tipikor tersebut menyebabkan kerugian negara mencapai Rp56,7 triliun, serta total kerugian negara akibat tindak pidana suap secara spesifik mencapai Rp322, 2 miliar.

Era demokrasi pascareformasi 1998 juga belum berhasil menumpas tindak pidana korupsi, bahkan pelaku makin bervariasi. Data KPK menunjukkan bahwa selama satu dekade (2004–2015), tercatat telah terdapat 46 bupati/wali kota dan 10 gubernur terjerat tindak pidana korupsi. Sebagian besar kasus tersebut terjadi dalam modus penyuapan dalam pengelolaan anggaran.

Pada tahun 2021, Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi Indonesia memperoleh nilai 38 dari 100. Indonesia pun memempati peringkat 96 dari 180 rangking. Sejak 2011, skor CPI Indonesia tidak pernah mampu mencapai angka 40. Bahkan, sebelum tahun-tahun tersebut, skor CPI berada di bawah angka 30 yang menunjukkan betapa lemahnya kemajuan sektor publik dalam menangani fenomena ini.

CPI sendiri merupakan pengukuran yang dilakukan oleh Transparency International terhadap tingkat korupsi yang dilakukan oleh sektor publik masing-masing negara. Pengukuran atas korupsi sendiri dianggap sulit diukur karena dilakukan secara ilegal dan tersembunyi. Oleh karenanya, pembuatan indeks didasarkan oleh survei persepsi terhadap sumber yang kredibel.

Lembaga Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Berdasarkan data statistik korupsi yang terjadi di Indonesia, dapat ditarik temuan bahwa Indonesia memiliki kadar korupsi yang teramat tinggi. Meski begitu, bukan berarti negara semata berpangku tangan terhadap fenomena korupsi. Terdapat ragam usaha penanganan korupsi di negeri ini.

Secara landasan hukum, sebagaimana telah disebutkan di atas, Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tanggal 21 November 2001, tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Produk hukum tersebut menjadi lex specialis dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.

Selain itu, pada tahun 2002 juga disahkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kehadirannya menjadi awal bagi kelahiran lembaga KPK pada masa kepresidenan Megawati Soekarno Putri. Kelahirannya pada masa itu menjadi respon atas tidak efektifnya lembaga Kejaksaan dan Kepolisian yang sebelumnya memperoleh tugas memberantas korupsi. Alasan tersebut mendorong anggapan diperlukannya kehadiranya lembaga khusus untuk menangani korupsi.

Undang-undang tersebut lantas memperoleh revisi melalui Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2002. Mengacu pada situs resminya, KPK diberikan tugas untuk melakukan pemberantasan korupsi dalam nilai-nilai profesional, intensif, dan berkesinambungan. Kehadirannya sebagai lembaga negara eksekutif berdiri secara independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Meski demikian, perlu digarisbawahi juga bahwa kelahiran KPK tidak diperuntukkan mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga yang ada sebelumnya. Peran KPK dikhususkan menjadi trigger mechanism atau dorongan agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga tersebut menjadi lebih efektif dan efisien.

Kehadiran Kejaksaan sebagai lembaga pemberantasan korupsi dilandaskan pada Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang kemudian diubah dengan UU No. 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Disebutkan bahwa tugas dan kewenangan Jaksa adalah untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu. Dari penjelasan tersebut, maka kehadiran Jaksa dalam penanganan korupsi terutama sekali terletak pada peran sebagai penyidik sekaligus penuntut umum. Peranan tersebut justru lebih dominan dalam konteks hukuman pidana dibandingkan KPK sendiri.

Sementara itu, peran Kepolisian dalam penanganan korupsi disebutkan melalui Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Kepolisian Pasal 14 ayat (1). Di dalamnya dituliskan bahwa Kepolisian memiliki tugas untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan semua tindak pidana sesuai hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Oleh karena kejahatan korupsi telah ditentukan sebagai kejahatan pidana, baik Kejaksaan dan Kepolisian memiliki wewenang peran di dalamnya.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Ketua KPK Firli Bahuri (tengah) di Kantor KPK, Jakarta, memberi keterangan kepada wartawan terkait operasi tangkap tangan dugaan pemberian suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung, Jumat (23/9/2022) pagi. Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan 10 tersangka dengan satu diantaranya adalah hakim agung.

Korupsi dalam Perspektif Sosiologis

Ilmu Sosiologi dapat digunakan untuk memberikan pemahaman soal korupsi. Tindakan korupsi sebagai sebuah fenomena dapat dipandang dalam dua lokus Sosiologis berbeda. Pertama, dalam tataran struktur dengan skala yang lebih makro. Kedua, dalam tataran agen atau pelaku.

Sosiologi sebagai pendekatan memahami korupsi juga ditekankan oleh Ganie-Rochman dan Achwan lewat buku Sosiologi Korupsi: Isu, Konsep, dan Perdebatan. Menurut kedua akademisi tersebut, Sosiologi memberikan kelebihan tersendiri pada dimensi-dimensi keilmuan lainnya. Perspektif politik dan hukum berfokus pada tingkat kelembagaan terjadinya korupsi, sementara perspektif ekonomi berfokus pada konsekuensi untung-rugi, baik tataran mikro maupun makro.

Perspektif Sosiologi memaknai korupsi dari tiga sisi: tataran struktur, perspektif agen, dan gabungan antara struktur dan agen.

Korupsi dalam Tataran Struktur

Pada tataran perspektif ini, korupsi dipandang sebagai sebuah fenomena yang terjadi atas sebab kegagalan struktur dan adanya pembiaran oleh struktur. Dalam teori struktural-fungsional, tiap-tiap sistem yang ada dalam masyarakat harus berjalan dengan baik sebagaimana telah ditetapkan. Fungsionalitas strukur yang telah ditetapkan akan mencapai equilibrium atau keseimbangan dalam dinamika masyarakat.

Menurut Sunyoto Usman dalam buku Sosiologi: Sejarah, Teori, dan Metodologi, perspektif tataran struktur memandang bahwa manusia dibentuk dari sistem yang melingkupinya.

Segala sistem yang terkait dengan pelayanan publik dan pemerintahan haruslah berjalan secara baik dan fungsional. Salah satu wujud konkretnya adalah sistem hukum.

Sistem hukum memiliki peran untuk membatasi kekuasaan yang tengah dimiliki penguasa. Keberhasilan fungsi dari sistem tersebut dapat diukur melalui keberhasilannya dalam mencapai pemberian perlindungan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat Indonesia.

Tingginya angka praktik korupsi di Indonesia adalah tanda disfungsi hukum. Sistem hukum Indonesia belum berhasil mencapai tujuannya untuk mewujudkan kepatuhan hukum dan keadilan masyarakat. Hal demikian ditegaskan Mustopa, Sururie, dan Fu’adah dalam artikel ilmiah “Korupsi dalam Perspektif Sosiologi Hukum”.

Indikator lainnya dari disfungsi hukum adalah banyaknya kasus korupsi yang menjerat aparat hukum. Belum lagi terjadinya diskriminasi terhadap perlakuan para koruptor yang dimanjakan dengan fasilitas ruangan lapas maupun fasilitas hukum. Data KPK hingga September 2022 menunjukkan terdapat 23 orang hakim telah diproses terkait tindak pidana korupsi.

Dalam pandangan Marx, kondisi demikian merupakan perwujudan bahwa hukum adalah sistem penindasan bagi kaum lemah atau powerless. Sebaliknya, sistem yang dibuat tersebut melanggengkan dan melindungi kekuasaan penguasa.

Secara konkret, hal demikain tampak dari dimungkinkannya remisi pidana pada para koruptor hingga pemberian pembebasan. Pada 2021, majelis MA sendiri membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 yang membatasi pembebasan tersebut (Kompas.id, 7/9/2022, “Pemerintah Obral Pembebasan Bersyarat, 23 Koruptor Dikeluarkan dari Lapas”).

Pada buku Ganie-Rochman dan Achwan, juga dipaparkan struktur politik sebagai katalis atas terjadinya korupsi. Pembiaran oleh struktur terjadi lewat mekanisme politik dalam negeri. Korupsi di sektor politik telah terbentuk dalam wujud institusi, lengkap dengan posisi aktor, pembagian kerja, dan hubungan yang kuat antar-lembaga negara.

Salah satu penyebab kotornya strukur politik pemerintahan Indonesia adalah biaya politik yang mahal. Untuk menduduki suatu jabatan politis, seorang calon penguasa harus mengeluarkan biaya begitu besar, baik untuk dicalonkan oleh partainya, berkampanye, hingga menjaga dukungan partai. Mekanisme internal partai politik yang tertutup mendorong para calon kandidat untuk royal mengisi kas partai agar didukung.

Kondisi demikian membuat para calon yang kemudian berhasil terpilih, terdorong untuk mengembalikan besarnya modal yang telah mereka keluarkan. Belum lagi, partai politik asal juga tidak berhenti meminta sokongan kas. Kondisi motif dari kondisi sistem politik demikian lantas mendorong terjadinya tindak korupsi (Kompas, 21/10/2021, “Biaya Politik Picu Korupsi di Daerah”).

Kehadiran KPK, Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, bahkan sistem hukum menjadi bagian birokrasi yang berwenang dalam menindak pidana korupsi. Namun, upaya pengawasan masih lemah, sehingga korupsi masih terus terjadi.

Korupsi dalam perspektif makro dinilai sebagai wujud kejahatan struktural. Sebagai kejahatan struktural, tindak kejahatan yang dilakukan pelaku adalah konsekuensi dari struktur yang melakukan pembiaran.

Korupsi dalam Perspektif Agen

Dalam pemberitaan Kompas (29/9/2022, “Gaji Besar Tak Membendung Keserakahan”) disebutkan kasus penyuapan Sudrajad sebagai hakim agung menunjukkan bagaimana struktur penggajian dan hukum yang baik pun tidak dapat membatasi tindakan subjektif manusia. Sebagai hakim agung, ia telah memperoleh penghasilan yang tinggi. Penghasilannya meliputi gaji pokok, tunjangan jabatan, hingga insentif perkara.

Dituliskan Kompas, gaji seorang hakim berkisar Rp126 juta hingga Rp542 juta per tahun. Bagi hakim agung seperti Sudrajad, jumlah itu bahkan masih belum termasuk honorarium per perkara, dengan jumlah berdasarkan perkara yang berhasil ia adili. Segala pemberian itu memampukan Sudrajad mengakumulasikan hartanya hingga Rp10,7 miliar pada 2021. Kompas (29/9/2022).

Mantan hakim ad hoc tindak pidana korupsi pada Mahkamah Agung, Krisna Harahap mengiyakan bahwa para hakim, bahkan hakim agung, telah memperoleh pendapatan yang tinggi. Oleh karenanya, pada kasus Sudrajad, ia menegaskan, “Jika ada hakim (agung) yang korupsi, pasti karena keserakahan”.

Tindakan korupsi selalu dilatari adanya niat. Jadi, sebaik apa pun sistem, kalau niatnya memang korupsi, sistem itu akan dilabrak. Konsep tata kelola perizinan yang baik itu sudah ada di pemerintahan daerah, tetapi tidak dilaksanakan, diabaikan, karena memang motifnya korupsi. (Kompas, 21/10/2021, “Biaya Politik Picu Korupsi di Daerah”).

Magnis-Suseno dalam buku Etika Politik: Prinsip-Prisip Moral Dasar Kenegaraan Modern menekankan bahwa moral seharusnya berada pada tataran subjek atau individu. Dalam moralitas, adalah benar apabila seseorang tidak korupsi karena tahu itu merupakan tindakan tercela, bukan karena takut mengalami ancaman represif dari sistem yang ada, seperti misalnya dipenjara.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Anak-anak mengikuti acara dongeng bersama KPK di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Jumat (22/7/2022). Kegiatan ini bertujuan untuk mengenalkan dan memupuk semangat serta perilaku kejujuran sejak dini kepada anak-anak melalui media dongeng sekaligus menyambut Hari Anak Nasional yang diperingati setiap tanggal 23 Juli. Hadir dalam kegiatan itu, komisioner KPK Alexander Marwata. Para peserta adalah murid-murid SD di sekitar KPK.

Gabungan Struktur dan Agen

Mengacu pada kedua perspektif yang ada sebelumnya, fenomena korupsi dapat dipandang pada gabungan dua tataran perspektif, yakni struktur dan agen. Masing-masing perspektif saling mengisi dan memberikan variasi paparan pemahaman yang berbeda.

Menurut sosiolog Anthony Giddens, sebagaimana dipaparkan oleh Herry-Priyono dalam buku Anthony Giddens: Suatu Pengantar, struktur dan agen adalah dualitas. Berarti, keberadaan keduanya bukan saling bersaing dalam, namun saling mendukung dan melanggengkan satu sama lain. Hubungan dualitas demikian tampak melalui “praktik sosial”.

Dipaparkan Giddens, struktur hadir untuk menjadi pedoman bagi pelaksanaan praktik-praktik oleh agen/individu. Namun, pada saat bersamaan, struktur terbentuk atas dasar perulangan suatu praktik tindakan yang terjadi secara terus menerus oleh sekumpulan agen.

Dalam artian demikian, diskusi atas korupsi tidak dapat difokuskan semata pada salah satu tataran perspektif. Misalnya, semata pada lemahnya hukum atau buruknya moralitas pejabat, sebab keduanya saling melanggengkan satu sama lain.

Para praktisi hukum sudah mempromosikan kemampuan mereka mengatur aparatur penegak hukum. Semakin mampu, maka semakin laku juga mereka dalam industri hukum. Suap-menyuap yang telah menjadi kebiasaan, lantas membentuk struktur koruptif (Kompas, 24/9/2022, “KPK Temukan Indikasi Ada Suap untuk Perkara Lain”).

Hal serupa juga disampaikan oleh pembaharu besar negeri Tiongkok abad 11, Wang An Shih, sebagaimana dikutip Syed Hussein Alatas. Ia menilai bahwa dalam usaha pemberantasan korupsi, terdapat dua sumber yang senantiasa menyebabkan terjadinya pengulangan korupsi, yakni kualitas hukum sebagai struktur dan kualitas manusia sebagai agen.

Di Indonesia, sosok almarhum hakim agung Artidjo Alkostar dan mantan Kapolri Hoegeng Iman Santoso merupakan sosok yang selalu mengajarkan untuk melawan praktik-praktik korupsi. (Litbang Kompas)

Referensi

Buku
  • Ganie-Rochman, M., & Achwan, R. (2015). Sosiologi Korupsi: Isu, Konsep, dan Perdebatan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
  • Magnis-Suseno, F. (1994). Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Priyono, B. H. (2002). Anthony Giddens: Suatu Pengantar. Jakarta: Kepusatakaan Populer Gramedia.
  • Syed Hussein Alatas. (1982). Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer. Jakarta: LP3ES.
  • Usman, S. (2004). Sosiologi: Sejarah, Teori, dan Metodologi. Yogyakarta: 2004.
  • Utomo, A. P. (2004). Negara Kuli: Apa Lagi Yang Kita Punya? Jakarta: Republika.
Jurnal
  • Adi, R. (2009). Sosiologi Hukum: Perannya Dalam Penegakan Hukum. Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
  • Mustopa, Z., Sururie, R. W., & Fu’adah, A. T. (2021). Korupsi dalam Perspektif Sosiologi Hukum. Jurnal Hermeneutika Volume 5, Nomor 2, 226-234.
  • Nugroho, W. B. (2017, Oktober 11). Problem Homo Ludens dan Penciptaan Subyek Antikorupsi.
Arsip Kompas
Aturan Hukum
  • Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta.
  • Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.