Paparan Topik

Cara Soekarno Dalam Mewujudkan Politik Pangan

Presiden Soekarno menekankan bahwa Indonesia harus memiliki ketahanan pangan secara mandiri. Oleh karena itulah, Soekarno mencanangkan proyek mengumpulkan seluruh resep makanan dari Sabang sampai Merauke.

IPPHOS

Jamuan Makan oleh Presiden Soekarno untuk perwira-perwira AURI dan pejabat-pejabat lainnya, tanggal 9 April 1951.

Fakta Singkat

  • Kesadaran untuk membangun konsep kuliner nasional sudah dirintis sejak abad ke-19. Dari merekalah tercipta sebuah selera yang baru di kalangan masyarakat pribumi terhadap makanan Indonesia.
  • Buku resep pertama di Hindia Belanda berjudul Kokki Bitja karya Cornelia terbit pada 1857.
  • Chailan Sjamsu memiliki peranan dalam merumuskan konsep “makanan Indonesia”. Lewat karyanya yang berjudul Boekoe Masak-Masakan yang terbit perdana pada 1940. Buku ini menonjolkan makanan kedaerahan.
  • Akhir tahun 1960, Presiden Soekarno memerintahkan kepada Lembaga Teknologi Makanan untuk menyusun suatu buku resep yang lengkap untuk seluruh masyarakat Indonesia.
  • Tahun 1961-1967 adalah rentang waktu pengerjaan buku Mustikarasa.

Artikel terkait

Di awal kemerdekaan, Presiden Soekarno khawatir terhadap ketahanan pangan Indonesia. Apalagi FAO sudah memberikan peringatan akan bahaya kelaparan. Oleh karena itulah, Presiden Soekarno menyatakan untuk menjamin kecukupan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahkan ide ini menjadi rencana ke depan bahwa sektor makanan merupakan prioritas utama demi mencapai masyarakat adil dan makmur.

Maka Presiden Soekarno memulai proyek untuk mengumpulkan dan mendokumentasikan seluruh resep makanan dari seluruh wilayah di Indonesia. Menurut Soekarno, masyarakat Indonesia perlu diedukasi tentang keberagaman makanan supaya tidak tergantung pada satu sumber makanan saja. Hal ini supaya Indonesia mampu berdaulat dan mandiri di sektor pangan.

Namun, dalam pengerjaan proyek buku resep ini Soekarno dihadapkan pada jejak buku-buku resep sejak zaman kolonial. Tercatat proyek mendokumentasikan resep makanan di Indonesia sudah dimulai sejak abad ke-19. Tetapi saat itu makanan di Hindia Belanda tercampur-campur antara kebudayaan Eropa, Tionghoa, Arab, dan India.

Maka lewat proyek buku yang dilakukan oleh Presiden Soekarno ini dapat mencari tahu sejauh mana konsep “makanan Indonesia”. Di sinilah muncul politisasi pangan yakni dengan maksud untuk menampilkan citarasa Indonesia dan usaha untuk membedakan diri dengan citarasa yang dianggap dari luar Indonesia.

KOMPAS/ANDREAS MARYOTO

Sejumlah buku resep masakan di Tanah Air dari berbagai zaman (29/11/2011). Setidaknya buku resep masakan ini yang tertua terlacak sejak akhir abad ke-19. Buku-buku ini menjadi bukti sejarah kuliner Indonesia.

Jejak Buku Resep

Perkembangan sejarah makanan di Indonesia merentang dalam waktu yang cukup panjang. Sejak zaman kerajaan kuno sekitar abad ke-10, hubungan antara kebudayaan Tionghoa, India, dan Arab sudah terjalin erat. Kemudian dari abad ke-16 hingga abad ke-20 pengaruh Eropa, khususnya Belanda juga mempengaruhi kebudayaan makanan Indonesia. Oleh karena itulah budaya kuliner di Indonesia pada dasarnya terbentuk oleh persilangan berbagai macam kebudayaan.

Pengaruh barat di dalam kebudayaan makanan kita pun juga cukup kental akibat proses “pembaratan”. Dennys Lombard dalam bukunya yang berjudul Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-batas Pembaratan, menyebutkan salah satu faktor utama budaya barat bisa berkembang di tengah masyarakat karena banyak dari golongan priyayi yang menjadi pendukung Belanda. Apalagi dengan gelar kebangsawanan, mereka ingin meniru gaya hidup ala orang Eropa.

Tidak berhenti di situ. Orang Belanda juga melakukan modifikasi terhadap budaya kuliner pribumi. Dalam bukunya yang berjudul Risttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942, yang ditulis oleh Fadly Rahman menyebutkan bahwa rijsttafel merupakan perpaduan budaya makan pribumi dan Belanda yang tampak dalam pelayanan, tata cara makan, serta hidangannya.

Oleh karena itulah ketika Indonesia lepas dari belenggu kolonialisme Belanda, mereka mulai memikirkan bagaimana konsep kuliner Indonesia? Apa saja makanan nasional Indonesia? Apalagi mengingat sudah berabad-abad yang lalu budaya kuliner kita telah tercampur oleh berbagai macam kebudayaan.

Mengutip tulisan dari Fadly Rahman yang berjudul Kuliner sebagai Identitas Keindonesiaan yang terbit dalam Jurnal Sejarah, menyebutkan bahwa kesadaran untuk membangun konsep kuliner nasional sudah dirintis sejak abad ke-19. Beberapa perempuan Belanda dan Indo mulai melakukan improvisasi kuliner di tanah Hindia Belanda. Dari mereka tercipta sebuah selera yang baru di kalangan masyarakat pribumi terhadap makanan Indonesia.

Mereka kemudian menuliskan resep-resepnya, menghimpunnya lalu menerbitkannya dalam buku-buku masak populer sebagai panduan bagi para pembacanya. Fadly Ramhan mencatat bahwa buku resep pertama di Hindia Belanda berjudul Kokki Bitja karya Cornelia terbit pada 1857. Setelah itu terbit buku-buku masak lainnya seperti Oost-Indisch kookboek (1870) karya penulis anonim diikuti terjemahan Melayunya Boekoe Masak Masakan Roepa-Roepa (1879), Indisch kookboek (1872) karya Gerardina Gallas Haak-Bastiaanse, Boekoe Masakan Baroe karya Johanna (1896), hingga buku-buku masak Groot nieuw volledig Indisch kookboek karya gastronom terkemuka awal abad ke-20, Cateniusvan der Meijden.

Selain orang Belanda dan Indo, pada tahun 1930-an mulai muncul penulis pribumi. Salah satu penulis yang cukup menyita perhatian adalah Raden Ajoe Adipati Ario Rekso Negoro atau RA Kardinah, adik RA Kartini, yang menulis buku Lajang Panoentoen Bab Olah-Olah. Buku yang ditulis tahun 1935 ini berisi resep-resep yang sering digunakan Kartini dan Kardinah semasa remaja.

Pada masa itu juga muncul kesadaran untuk menulis buku resep masakan dalam bahasa setempat. Sebelumnya kebanyakan buku resep yang ditulis berbahasa Belanda sehingga yang dapat membacanya hanya orang Belanda, Indo, dan pribumi yang bisa berbahasa Belanda saja. Pada 1930-an boleh dibilang sangat langka buku resep masakan yang ditulis dalam bahasa Melayu. Balai Pustaka sangat berperan dalam menerjemahkan buku-buku resep masakan berbahasa Belanda.

Selain itu,  menurut Fadly Rahman sepanjang abad ke-20 mulai banyak wanita pribumi yang menuliskan buku resep makanan setempat. Misalnya ada Nyai Djamäh yang menulis buku masak berbahasa Sunda Boekoe Batjaan Roepa2 Kaolahan Aoseun Maroerangkalih Istri (1916); R. A. Soewarsi menulis Boekoe Olah-Olah: Isi Pitedah Pangolahipen; Lelawoehan lan Dedaharan Kawewahan (1937) dan Boekoe Olah-Olah: Olah-Olahan Daharan Tjara Walandi (1938); serta dalam bahasa Melayu ada S. Noer Zainoe’ddin-Moro menulis Lingkoengan Dapoer: Boekoe Masak bagi Meisjes-Vervolgscholen jang Berbahasa Melajoe (1941).

Sepanjang tahun 1940-an hingga 1950-an tidak banyak buku resep yang diterbitkan karena Indonesia disibukkan dengan pendudukan Jepang dan perang mempertahankan kemerdekaan. Andreas Maryoto dalam tulisannya di Harian Kompas, 29 November 2011 berjudul “Jejak Buku Resep Makanan”, menyebutkan baru awal tahun 1950-an muncul buku berjudul Buku Masakan Thursina yang dibuat oleh Siti Mukmin.

Memasuki masa kemerdekaan Indonesia muncul buku-buku yang populer lainnya, antara lain, dua jilid buku Pandai Memasak terbitan Kinta Jakarta tahun 1957. Buku ini berisi kumpulan resep yang diterbitkan oleh mingguan Star Weekly. Penulis resep masakan ini adalah Nyonya Rumah yang memiliki nama asli Julie Sutarjana. Nyonya Rumah yang tinggal di Bandung pernah mengasuh rubrik Dapur Kita di Harian Kompas.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Sejumlah selebritas menikmati makanan yang disajikan dengan cara rijsttafel di Kunstkring Paleis, Menteng, Jakarta Pusat (4/6/2013).

Politisasi Pangan

Di awal tahun 1950-an muncul sebuah ide dari pemerintah dan gastronom yang berusaha untuk mengembangkan makanan di Indonesia dalam perspektif baru. Di sinilah muncul pemikiran untuk melihat sejauh mana makanan asli dari Indonesia. Menurut Fadly Rahman dalam bukunya Jejak Rasa Nusantara, Sejarah Makanan Indonesia, menyebut istilah “masakan kita” yang muncul dari Balai Pustaka tahun 1950.

Maksud dari “masakan kita” adalah suatu usaha untuk menampilkan citarasa Indonesia dan usaha untuk membedakan diri dengan citarasa yang dianggap dari luar Indonesia. Disebutkan juga oleh Fadly dengan istilah tersebut banyak makanan ditambahkan kata “Indonesia” untuk menunjukkan makanan nasional, contohnya resep “Laksa Indonesia” dan “Goreng hajam Indonesia”.

Fadly juga dalam jurnalnya juga menuliskan bahwa di awal kemerdekaan terdapat seorang tokoh pergerakan perempuan asal Sumatra Barat bernama Rangkajo Chailan Sjamsu Datuk Toemenggoeng, yang memiliki peranan dalam merumuskan konsep “makanan Indonesia”. Lewat karyanya yang berjudul Boekoe Masak-Masakan yang terbit perdana pada 1940 dan diterbitkan ulang tahun 1948, tertulis mengenai rasa nasionalisme lebih ditekankan daripada rasa kolonial.

Dalam buku resepnya tersebut Chailan Sjamsu ingin menonjolkan makanan kedaerahan seperti Sumatra, Jawa dan Madura, Sunda, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan. Meskipun di bukunya juga memuat beberapa resep dari Eropa, Tionghoa, Arab, dan India. Namun yang membuat buku ini dikatakan sebagai buku resep makanan Indonesia adalah karena jumlah resep makanan asli Indonesia berjumlah 204 resep, dibandingkan dengan luar Indonesia yang berjumlah 76 resep.

Buku-buku resep Chailan Sjamsu menunjukkan bahwa pada dasarnya setiap daerah di Indonesia memiliki resep makanannya sendiri. Mereka tidak tergantung dari resep-resep di luar Indonesia. Selain itu, Boekoe Masak-Masakan karangan Chailan ingin menghilangkan unsur-unsur barat dan kembali lagi pada citarasa nasional.

Masalah resep makanan nasional juga pernah mengundang kemarahan Presiden Soekarno. Dalam biografinya yang ditulis oleh Cindy Adams berjudul Soekarno Penyambung Lidah Rakyat, dituliskan bahwa Soekarno sempat marah ketika dalam rapat kabinetnya makanan yang disuguhkan adalah makanan Eropa. Menurut Soekarno, Indonesia memiliki makanan yang lebih enak dibandingkan dengan makanan Eropa. Ini menunjukkan bahwa Soekarno ingin menghilangkan unsur kolonialisme bahkan lewat makanan.

Inilah yang kemudian juga disebut sebagai politisasi makanan di mana Presiden Soekarno dan sejumlah gastronomi nasionalis ingin menonjolkan makanan asli Indonesia. Mereka ingin menghilangkan makanan Eropa dan diganti dengan makanan khas daerah. Salah satu caranya adalah dengan mengumpulkan dan menyusun buku resep makanan khas Indonesia. Ini juga sebagai cara untuk membentuk konsep resep makanan asli Indonesia.

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Mustikarasa Resep Masakan Indonesia (10/9/2016).

Mustikarasa

Presiden Soekarno memiliki urusan yang serius tentang makanan rakyat. Bahkan dalam kalimat pertama pidato Dewan Perantjang Nasional, Presiden Soekarno mengatakan untuk “mentjamin tjukup makanan” bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak hanya sekedar omongan belaka karena pidato ini menjadi rencana ke depan bahwa sektor makanan merupakan prioritas utama demi mencapai masyarakat adil dan makmur.

JJ Rizal dalam pengantar buku Mustikarasa: Resep Masakan Indonesia Warisan Sukarno, menyebutkan bahwa pilihan politik Soekarno ini menjadi wajar ketika FAO, organ PBB yang mengurusi pangan dan pertanian menyebutkan bahwa persediaan pangan di Indonesia cukup rendah. Buruknya lagi, Indonesia terancam oleh persediaan beras dan kurangnya persediaan bahan-bahan makanan yang diperlukan untuk memperbaiki mutu makanan.

Selain itu Soekarno juga mendesak masyarakat Indonesia untuk tidak berfokus pada beras sebagai bahan utama makanan orang Indonesia. Soekarno bahkan meminta mereka untuk memakan jagung, ketela rambat, atau kaspe, selain beras. Sayangnya menurut Soekarno penyebab keadaan ini adalah belum adanya cara pengenalan yang lebih luas macam-macam makanan serta cara pengolahannya.

Akhirnya di akhir tahun 1960, Presiden Soekarno memerintahkan kepada Lembaga Teknologi Makanan untuk menyusun suatu buku resep yang lengkap untuk seluruh masyarakat Indonesia. Tujuan dari proyek ini adalah memberikan petunjuk jalan bagi rakyat Indonesia di daerah mana pun bagaimana bahan-bahan yang teradapat di daerahnya dapat menjadi makanan lezat yang berfaedah.

Menurut JJ Rizal, penyusunan buku Mustikarasa adalah sebagai bagian dari politik selfreliance Soekarno. Sejak dibentuknya Dewan Perantjang Nasional pada 1959-1964, Presiden Soekarno giat menekankan perlunya selfsupporting di sektor pangan. Artinya bahwa Presiden Soekarno berkeingian agar Indonesia mampu berdikari terhadap kecukupan pangan dengan memanfaatkan aneka resep makanan di daerah-daerah.

Maka pada 12 Desember 1960, Menteri Pertanian Brigadir Jenderal Dr. Azis Saleh meminta kepada stafnya Sunardjo Atmodipuro dan Harsono Hardjohutomo untuk menindaklanjuti program Bung Karno. Dalam langkah awal, Harsono memandang bahwa mengumpulkan resep makanan dari Sabang hingga Merauke dirasa cukup menyulitkan apabila dikerjakan sendiri oleh Kementerian Pertanian.

Maka dijalinlah kerja sama dengan lembaga-lembaga lain antara lain Departemen Kesehatan, Pemerintah Daerah Swatantra Tingkat (Daswati) I dan II, berbagai jawatan di pusat dan daerah, lembaga-lembaga SGKP dan SKP, berbagai pengarang resep buku makanan, dan organisasi-organisasi wanita. Menurut Fadly Rahman ini menjadi fase baru perkembangan kuliner di Indonesia, ketika pemerintah berusaha mengambil alih peran para gastronom yang sebelumnya memiliki pengaruh dalam mendidik selera masyarakat.

Pada tahap pertama di tahun 1961-1962, Harsono bersama dengan timnya melakukan survei menggunakan metode angket untuk mendapatkan usulan-usulan berupa nama-nama masakan lalu diseleksi mana makanan yang sudah dikenal dan yang belum dikenal. Namun, usaha ini ternyata di luar ekspektasi karena banyak angket yang tidak kembali atau mutu jawaban responden tidak memuaskan.

IPPHOS

Presiden Soekarno dijamu oleh Duta Besar Kanada di Jakarta (9/5/1956).

Di tahap kedua pada 15 Oktober 1962 dibentuk Panitia Buku Masakan Indonesia yang bercorak interdepartemen. Pada tahap ini jaringan pengumpul resep pun diperluas dengan mengiikutsertakan institusi pendidikan, pertanian, perikanan, kesehatan, dan lain-lain. Hasilnya cukup efektif bahkan di tahap ini juga dilakukan cooking test untuk mengetahui ketepatan resep yang dirasa janggal dan menyimpang dari yang dikenal. Di sinilah baru diperoleh jauh lebih banyak resep dibandingkan menggunakan angket seperti tahap sebelumnya.

Hingga tahap kedua proyek buku resep masak nasional ini menunjukkan langkah yang positif. Menteri Koordinator Pertanian dan Agraria Sadjarwo yang menggantikan Azis Saleh tetap serius mendukung dan melanjutkan proyek ini. Sadjarwo juga menjelaskan bahwa buku tersebut tidak dapat terlaksana apabila tidak didukung dengan ketahanan pangan. Oleh karena itulah, pemerintah kemudian mulai mengembangkan usaha “swasembada pangan” untuk menggantikan “swasembada beras”.

Pada peringatan HUT Kemerdekaan Indonesia ke-19 pada 17 Agustus 1964, dalam pidato bertajuk “Tahun Vivere Pericoloso” (Tahun Berani Menyerempet Mara Bahaya), Presiden Soekarno menyerukan kepada rakyat Indonesia untuk menghentikan impor beras. Bung Karno meminta kepada masyarakat untuk mengenal kembali identitas pangan lokal yang sejatinya telah mendarahdaging dengan kehidupan mereka sejak lama.

Mengutip Joshua Jolly Sucanta Cakranegara dalam jurnalnya yang berjudul Diversitas Pangan Pokok dalam Sejarah Kebijakan Pangan di Indonesia, disebutkan bahwa menurut penelitian tahun 1950-an sampai 1960-an bahwa masyarakat Indonesia terancam kelaparan. Penyebabnya karena pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi membuat terlalu tergantung terhadap beras sehingga dapat menyebabkan krisis pangan.

Tidak hanya itu saja. Presiden Soekarno dalam berbagai kesempatan juga ikut melakukan edukasi terhadap diversitas pangan pokok. Di beberapa tempat, Soekarno mendorong masyarakat untuk menggali kebiasaan-kebiasaan lama memakan aneka macam makanan. Selain itu Soekarno juga memopulerkan lagu “Kerontjong Bersukaria” yang liriknya antara lain, “Siapa bilang bapak dari Blitar, Bapak kita dari Prambanan. Siapa bilang Indonesia lapar, Indonesia banyak makanan”.

Penyelesaian buku ini memasuki tahap akhir pada tahun 1964-1966. Butuh waktu yang cukup lama mengingat pada masa itu terjadi peristiwa September 1965 yang membuat dunia politik Indonesia terguncang. Akibat dari krisis politik tersebut masyarakat Indonesia banyak yang mengalami kelaparan di tengah-tengah program “Revolusi Makanan Rakyat” yang dijalankan oleh pemerintah.

Namun, Presiden Soekarno tetap ngotot agar buku proyek tersebut terus dijalankan. Maka Bung Karno membentuk Panitia Penjelesaian Buku Masakan Indonesia Mustikarasa. Ia tidak yakin kelak penggantinya nanti akan melanjutkan proyeknya tersebut. Menurut Soekarno buku ini menjadi sangat penting sebagai pedoman masyarakat Indonesia di masa depan agar tidak kelaparan sehingga mewujudkan cita-cita swasembada pangan.

Buku Mustikarasa akhirnya terbit pertama kali pada Februari 1967 dengan tebal 1123 halaman. Buku ini diterbitkan oleh Kementerian Pertanian di bawah Menteri Soetjipto. Keistimewaan buku ini dibandingkan dengan buku resep makanan lainnya adalah adanya esai yang ditulis oleh para ahli ihwal mengenali bahan makanan. Contohnya antara lain Oey Kam Nio tentang pengenalan zat-zat makanan, S Imam Sudjari dan Sunita Almatsier tentang seni memasak, Muchatob B tentang menyusun menu berdasarkan gizinya, Surjati tentang istilah-istilah memasak, Sukati Tjokrowibowo tentang dapur, dan Muftahul Ilmi tentang bahaya kebakaran.

Dalam pembacaan Fadly Rahman, buku Mustikarasa terdapat 1600-an resep secara keseluruhan, terdapat lebih dari 900 resep menggunakan penekanan asal daerah. Namun secara kedaerahan, resep makanan Jawa dan Sumatra memiliki jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan daerah lainnya. Terlepas dari asal kedaerahannya, buku Mustikarasa menjadi proyek buku resep pertama yang mampu menghimpun resep-resep dari Sabang sampai Merauke. (LITBANG KOMPAS/DNG)

Referensi

Arsip Kompas
  • “Buku Masakan Indonesia MUSTIKA RASA”. KOMPAS, 25 Mei 1967.
  • “Kajian Kebudayaan dan Pangan”. KOMPAS, 25 Maret 2009.
  • “Jejak Buku Resep Masakan”. KOMPAS, 29 November 2011.
  • “Mustikarasa Menyambung Lidah Soekarno”. KOMPAS, 10 September 2016.
Buku
  • Fadly Rahman. Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  • ——. 2016. Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  • Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya, Batas-batas Pembaratan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  • Tim Komunitas Bambu (ed.). 2016. Mustikarasa: Resep Masakan Indonesia Warisan Sukarno. Depok: Komunitas Bambu.
Jurnal
  • Fadly Rahman. “Kuliner sebagai Identitas Keindonesiaan’. Jurnal Sejarah 2(1), 2018: 43-63.
  • Joshua Jolly Sucanta Cakranegara. “Diversitas Pangan Pokok dalam Sejarah Kebijakan Pangan di Indonesia”. Handep Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 6, No. 1, Desember 2022,