Paparan Topik | Bahan Pokok

Program Pangan Nasional “Food Estate”

Sebagai solusi atas ancaman pangan nasional dan mengusahakan ketahanan pangan, pemerintah pusat menggagas program "food estate". Meski demikian, program ini menuai kritik karena dianggap menciptakan masalah sosial, keseimbangan lingkungan, dan menimbulkan konflik kepentingan.

KOMPAS/JUMARTO YULIANUS

Petani membajak sawah di Desa Belanti Siam, Kecamatan Pandih Batu, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Senin (15/5/2023). Belanti Siam merupakan salah satu kawasan food estate atau lumbung pangan nasional di Kalteng. Petani di sana sudah bisa memanen padi dua kali setahun dengan produktivitas mencapai 6-7 ton per hektar.

Fakta Singkat

  • Program food estate masuk dalam Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024 dan dilaksanakan di provinsi Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, hingga Papua.
  • Program food estate dilatarbelakangi oleh pandemi Covid-19, krisis iklim, dan pertumbuhan penduduk yang berdampak pada meningkatnya kebutuhan pangan.
  • Ketahanan pangan merujuk pada akses pemenuhan pangan yang adil dan cukup bagi penduduk. Sementara kedaulatan pangan merujuk pada demokrasi dan kemandirian dalam mengurus persoalan dan pemenuhan pangan.
  • Program food estate telah dimulai oleh Presiden Jokowi sejak 2020 dan terdiri atas empat tahun intensifikasi dan ekstensifikasi hingga 2023.
  • Sebelum food estate era Presiden Jokowi, Presiden Soeharto dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga telah menggagas program serupa. Seluruhnya berujung pada kegagalan, dengan mengorbankan lingkungan dan masyarakat.
  • Masalah yang kini dihadapi oleh food estate Presiden Jokowi adalah ketidaksesuaian lingkungan yang dipilih, penyingkiran masyarakat, dan hadirnya kepentingan-kepentingan lain.
  • Lingkungan gambut dinilai tidak sesuai bagi cetak sawah karena rentan bila mengalami kekeringan dan memiliki tingkat keasaman yang tinggi.
  • Masalah kepentingan lain merujuk pada prioritas terhadap investor dan pihak militer dalam urusan ketahanan pangan.

Peringatan Kemerdekaan Indonesia ke-78 diwarnai oleh menghangatnya diskusi akan program lumbung pangan atau food estate pemerintah pusat. Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto menuturkan bahwa program food estate Presiden Joko Widodo adalah langkah baik membangun kedaulatan pangan. Meski begitu, ia mengkritisi implementasinya yang justru disalahgunakan. (Kompas.id, 19/8/2023, Dituding Kejahatan Lingkungan, Presiden Akui ”Food Estate” yang Dibangun Ada yang Belum Berhasil).

Menurut Hasto, implementasi food estate tidak saja telah menjadi program kejahatan lingkungan, namun juga memberikan pemasukkan dana ke rekening partai politik tertentu. Dalam pembangunan food estate sendiri, memang mensyaratkan penebangan hutan yang masif. Selain itu, kritik terhadap aliran dana juga selaras dengan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Kepala PPATK Ivan Yustiavananda menyampaikan pihaknya tengah menelusuri adanya dana Rp 1 triliun hasil kejahatan lingkungan yang masuk ke rekening sebuah partai politik tertentu.

Namun, kritik Hasto terhadap food estate dipertanyakan. Sebelumnya, dalam pidato di Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada Juli 2022 lalu, justru Hasto sendirilah yang mengajak pemerintah maupun masyarakat untuk mendukung program food estate sebagai upaya Presiden Jokowi mewujudkan kedaulatan di bidang pangan.

Terlepas dari polemik yang ada, food estate sendiri memang telah menjadi salah satu program besar pemerintah pusat dalam periode kepemimpinan Presiden Jokowi. Masalah pangan telah menjadi salah satu perhatian utama Presiden. Hal ini tampak dari pidato kenegaraan Presiden Jokowi dalam menyambut peringatan kemerdekaan Indonesia pada 2022 lalu.

Dalam kesempatan tersebut, Presiden Jokowi menyoroti perekonomian dan krisis pangan yang masih terjadi. Kata “ekonomi” sendiri diucapkan sebanyak 14 kali sementara “krisis” sebanyak 11 kali. Persoalan pangan juga kembali disebutkan ketika membahas cita-cita bersama kehidupan bangsa dan negara Indonesia (Kompaspedia, 18/8/2023, Pidato Kenegaraan Presiden Memperingati Kemerdekaan RI).

Atas berbagai krisis dan ancaman pangan yang ada, food estate menjadi usaha antisipatif dari Presiden Jokowi. Dalam usaha demikian, jalan berliku mencapai kesuksesan program pun harus dihadapi. Atas kritik yang disampaikan Hasto, Presiden Jokowi sendiri mengakui adanya kegagalan. Meski begitu, bagaimanapun food estate adalah program wajib bagi ketahanan pangan. ”Kalau kita enggak berani, baru gagal pertama sudah mundur, sampai kapan pun lupakan (keinginan memiliki lumbung pangan),” katanya usai peringatan Hari Ulang Tahun Ke-78 Majelis Pemusyawaratan Rakyat di Senayan, Jakarta, Jumat (18/8/2023).

KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Para pekerja harian menarik bibit untuk disebar dan ditanam di sawah yang sudah disiapkan pemerintah dalam program food estate di Desa Bentuk Jaya, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Rabu (21/4/2021). Program food estate di Kabupaten Kapuas luasnya mencapai 20.000 hektar.

Konsep dan Tujuan Food Estate

Program food estate merupakan salah satu gagasan kebijakan pemerintah pusat yang telah masuk dalam Program Strategis Nasional (PSN) periode 2020-2024. Sebagai program nasional, pelaksanaan food estate pun tersebar di hampir seluruh pulau besar di Indonesia. Mulai dari provinsi Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, hingga Papua.

Mengacu pada artikel Joko Mulyono, Implementasi Program Pengembangan Food Estate di Kalimantan Tengah yang dipublikasikan oleh Lembaga Administrasi Negara, food estate adalah program peningkatan produksi pangan secara terintegrasi di suatu kawasan.

Peningkatan produksi pangan ini dilakukan dengan perluasan areal tanam dan intensifikasi pertanian. Melalui kedua hal ini, pelaksanaan food estate menyaratkan pembukaan lahan-lahan baru untuk menjadi sawah – dimana hal ini dikenal sebagai pencetakan sawah. Mulyono menuliskan bahwa program ini dihadirkan dalam tren tantangan pangan, terutama degradasi kualitas dan luas persawahan.

KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Warga bersiap kembali menanam dengan menyemai benih padi di desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, pada Sabtu (10/10/2020). Sebelumnya, Presiden Jokowi telah mengunjungi desa ini. Setidaknya 30.000 hektar sawah ekstensifikasi bakal ditanami padi sebagai tahap awal mega proyek food estate.

Sementara situs resmi Kementerian Pertanian (Kementan) menyampaikan latar belakang food estate yang lebih beragam. Program ini lahir dari tantangan pandemi Covid-19, pertumbuhan jumlah penduduk yang pesat sehingga mendorong peningkatan kebutuhan pangan, dan perubahan iklim yang berdampak pada produksi pertanian. Kawasan food estate merupakan kawasan yang telah ditetapkan sebagai lumbung pangan baru di Indonesia.

Kawasan-kawasan ini menjadi sumber produksi pertanian yang akan menyokong pangan nasional. Selain itu, Kementan juga menulis bahwa cetak sawah bagi food estate merupakan solusi inovatif untuk mempertahankan dan memperkuat ketahanan pangan nasional. Sebagai solusi, food estate bukan hanya ditujukkan untuk  jangka pendek, melainkan juga jangka menengah dan jangka panjang.

Kementan merumuskan lima implementasi empiris program food estate. Yang pertama adalah pengembangan usaha pertanian skala besar berbasis klaster. Kedua, pelaksanaan proses budi daya pertanian multikomoditas yang terintegrasi. Artinya, tidak hanya komoditas pangan yang dikembangkan, namun juga tanaman hortikultura, perkebunan, dan peternakan.

Yang ketiga, membangun mekanisasi, modernisasi, dan sistem digitalisasi pertanian. Keempat, membangun proses hilirisasi produksi pertanian sehingga mempermudah ketercapaian pasar bagi hasil produksi petani. Kelima, menumbuhkan dan mengembangkan korporasi petani.

KOMPAS/JUMARTO YULIANUS

Pekerja menuang beras saat proses penggilingan di salah satu tempat penggilingan padi di Desa Belanti Siam, Kecamatan Pandih Batu, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Senin (15/5/2023). Kapasitas produksi di tempat penggilingan tersebut mencapai 4 ton per hari. Belanti Siam merupakan salah satu kawasan food estate atau lumbung pangan nasional di Kalteng. Beras dari daerah tersebut dipasarkan ke berbagai daerah di Kalimantan. Harga beras di tingkat penggilingan saat ini Rp 11.000 per kilogram.

Sementara mengacu pada Juru bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak, pada Juli 2020, food estate adalah pusat pertanian pangan untuk cadangan logistik strategis pertahanan negara. Food estate bukanlah semata program cetak sawah, melainkan lebih luas lagi sebagai pengembangan pusat pangan. Dengan pemahaman demikian, komoditas yang dikembangkan dalam food estate tidak hanya padi, melainkan juga pangan lain seperti singkong dan jagung sesuai kondisi lahan.

Sasaran akhir pengembangan food estate oleh pemerintahan Presiden Jokowi adalah “Terbangunnya kawasan sentra produksi pangan terpadu, modern dan berkelanjutan untuk penguatan ketahanan pangan dan gizi nasional serta peningkatan kesejahteraan petani”. Untuk mencapainya, program food estate dikembangkan secara bertahap, dengan pendekatan klaster yang multi-komoditas, terintegrasi dari hulu sampai hilir, dan mendorong perubahan peradaban petani (mindset, manajemen dan perilaku) dalam mengelola pertanian.

Selama ini, untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh masyarakatnya, Indonesia sebagai negara agraris masih rutin melakukan impor pangan. Beras menjadi salah satu komoditas pangan yang paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia, mencapai 35,3 juta metrik tok pada musim 2022/2023. Sementara merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), impor beras Indonesia konsisten mencapai volume yang signifikan, bahkan hingga lebih dari 400 ribu ton.

Grafik: 

Melalui program lumbung pangan food estate, Indonesia diharapkan juga dapat mengurangi alokasi anggaran untuk impor pangan. Atas berbagai tujuan yang hendak dicapai, food estate terdiri atas tiga program pengembangan utama yang saling terkait. Pertama, penataan kawasan serta pengembangan prasarana dan sarana.

Kedua, peningkatan kapasitas dan diversifikasi produksi. Sementara ketiga, pengembangan sumber daya manusia dan korporasi petani. Ketiga program tersebut lantas diterjemahkan ke dalam berbagai kegiatan operasional yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing wilayah pelaksanaan food estate.

Konsep Ketahanan dan Kedaulatan Pangan

Pemahaman akan konsep food estate juga dekat dengan konsep ketahanan pangan. Konsep yang terakhir disebut menjadi salah satu tujuan penguatan yang ingin dicapai oleh Kementan. Secara legal, melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan Dan Gizi, ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup.

Ketersediaan yang cukup dalam konteks ini tidak hanya secara jumlah kuantitas. Kecukupan harus memenuhi mutu yang aman, variasi pangan yang beragam, bergizi, merata, dan terjangkau. Artinya, ketahanan pangan berarti memberikan kehidupan yang sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan bagi masyarakat.

Pada kelanjutannya, terminologi ketahanan pangan justru memberikan polemik tersendiri. Hadirnya terminologi “ketahanan” menjadi tiket bagi masuknya Kementerian Pertahanan yang selama ini berurusan pada persoalan militer ke dalam persoalan pangan. Presiden Jokowi pun menunjuk Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk pelaksanaan food estate. Alasannya, bidang pertahanan tak hanya sebatas urusan alutsista, namun juga pangan.

“Ketahanan di bidang pangan juga jadi salah satu bagian pertahanan. Ini sudah disampaikan Menhan dengan hitung-hitungan cost berapa untuk membangun food estate di Kapuas dan Pulang Pisau,” kata Presiden Jokowi pada Juli 2020 lalu (Kompas.id, 16/7/2020, ”Food Estate”, Prabowo dan Sekuritisasi).

KOMPAS/JUMARTO YULIANUS

Salah satu tempat penggilingan padi di Desa Belanti Siam, Kecamatan Pandih Batu, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Senin (15/5/2023). Kapasitas produksi di tempat penggilingan tersebut mencapai 4 ton per hari. Belanti Siam merupakan salah satu kawasan food estate atau lumbung pangan nasional di Kalteng. Beras dari daerah tersebut dipasarkan ke berbagai daerah di Kalimantan.

Di sisi lain, ketahanan pangan (food security) acap disamaartikan dengan kedaulatan pangan (food sovereignty). Mengacu pada dokumen Food and Agriculture Organization (FAO), konsep yang pertama disebutkan netral terhadap relasi kuasa pangan dan menekankan bagaimana pangan dapat diakses secara merata dan cukup. Sementara konsep kedua menekankan kecenderungan kuasa yang asimetri di bidang pangan, terutama dalam kontrol terhadap pasar dan perdagangan multilateral. Kedaulatan pangan mensyaratkan kontrol pangan yang demokrtis.

Pada konteks kebangsaan, kedaulatan pangan berarti hak bangsa untuk secara mandiri merumuskan kebijakan dan sistem pangannya sendiri yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Dalam konteks ini, kedaulatan pangan harus dilaksanakan secara berkeadilan, tidak hanya berdasarkan gengsi kebangsaan, namun untuk dapat memenuhi hak pangan masyarakat. Dengan pemahaman demikian, FAO menuliskan bahwa ketahanan dan kedaultan pangan sama-sama menekankan produktivitas produksi pangan demi mencapai kebutuhan publik.

Sejarah Pelaksanaan Food Estate

Era Presiden Joko Widodo: 2020-sekarang

Program food estate mulai dilaksanakan Presiden Jokowi sejak awal periode kepemimpinan keduanya. Mengacu pada artikel akademik Basundoro dan Sulaeman yang dipublikasikan oleh Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhanas), gagasan food estate berangkat dari dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional.

Artikel berjudul Meninjau Pengembangan Food Estate Sebagai Strategi Ketahanan Nasional Pada Era Pandemi Covid-19 tersebut menjelaskan bahwa Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional diperuntukkan bagi akselerasi pertumbuhan dan kelangsungan ekonomi terhadap penanganan pandemi.  Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan menjabat sebagai Wakil Ketua II Komite – menunjukkan bahwa sedari awal pemerintah memang telah menganggap penanganan pandemi berhubungan dengan strategi pertahanan-keamanan

Lebih lanjut, dikembangkannya program food estate menjadi salah satu ujung tombak dalam strategi ketahanan pangan di masa pandemi – selain juga atas dasar peningkatan kebutuhan pangan dan degradasi sawah. Untuk membangun cadangan pangan nasional, Presiden Jokowi memberikan mandat kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk memimpin pengembangan program strategis tersebut.

Selain Kementerian Pertahanan, juga ada koordinasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). “Namanya pertahanan itu bukan hanya urusan alutsista, tetapi juga ketahanan di bidang pangan menjadi salah satu bagian dari itu,” ujar Presiden Jokowi di Istana Merdeka, usai menunjuk Prabowo pada Juli 2020.

Basundoro dan Sulaeman menuliskan bahwa dalam rencana awalnya pada 2020, pengembangan program food estate menggunakan lahan sebanyak 190 ribu hektar di Kalimantan Tengah, 120 ribu hektar di Kalimantan Barat, 10 ribu hektar di Kalimantan Timur, 190 ribu hektare di Maluku, dan 1,9 juta hektar di Papua.

Kembali merujuk pada artikel Mulyono, program pengembangan food estate sendiri direncanakan Kementan untuk berjalan selama empat tahun, dari 2020 hingga 2023. Pada tahun pertama, target kegiatannya adalah intensifikasi pertanian seluas 30.000 hektar. Tahun kedua (2021), target food estate meliputi 30.778 hektar lahan, dengan intensifikasi pertanian seluas 14.135 hektar dan ekstensifikasi pertanian seluas 16.643 hektar

Pada tahun ketiga, yakni 2022, target kegiatannya adalah intensifikasi pertanian seluas 2.000 hektar dan ekstensifikasi pertanian seluas 10.000 hektar. Keduanya total mencapai luas 12.000 hektar. Sementara di tahun terakhir, target kegiatan food estate mencakup ekstensifikasi pertanian seluas 10.000 hektar.

Menurut Mulyono, intensifikasi pertanian adalah upaya untuk mendorong peningkatan produksi padi melalui peningkatan produktivitas dan peningkatan indeks pertanaman. Sementara ekstensifikasi pertanian adalah konsep dukungan peningkatan produksi pangan yang dilakukan dengan pencetakan lahan sawah baru. Lokasi ekstensifikasi pertanian berada di area of interest (AOI) dari kesepakatan Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian PUPR, Kementerian KLHK, Kementan, Kementerian ATR/BPN, dan sebagainya.

Hadirnya program food estate sejak 2020 sendiri bukan kali pertama dalam sejarah Indonesia. Sebelumnya, Presiden Soeharto dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah menggagas proyek ekstensifikasi pertanian dalam periode kepemimpinannya masing-masing. Dalam dua periode pemerintahan yang berbeda, kedua program tersebut sama-sama berujung kegagalan.

KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN

Petani menyiapkan musim tanam kedua di lokasi food estate, Desa Fatuketi, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, pada Minggu (18/9/2022). Presiden Joko Widodo melakukan tanam perdana di lahan itu pada Maret 2022 lalu.

Era Orde Baru

Pada era Presiden Soeharto, program serupa food estate pertama kali digagas pada tahun 1970 di Sumatera Selatan. Setelah gagal dan merusak keseimbangan hidup masyarakat lokal dan lingkungan, program tersebut dihentikan. Lebih lanjut, food estate kembali digagas oleh rezim Orde Baru melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 82 Tahun 1995.

Dengan nama Proyek Lahan Gambut  (PLG) Sejuta Hektar, dipilihlah Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah sebagai lokasi cetak sawah baru seluas 3.000 hektar. Untuk mendukung megaproyek pertanian tersebut, rezim Presiden Soeharto memukimkan 64.000 jiwa transmigran asal Jawa dan lokal untuk menjadi petani penggarap. Sebanyak Rp 2,1 triliun pun digelontorkan untuk membangun proyek.

Berselang tiga tahun, proyek PLG Sejuta Hektar dinyatakan gagal dan diputuskan berhenti. Keputusan dikeluarkan oleh Presiden BJ Habibie melalui Keppres Nomor 33 Tahun 1998. Kegagalan PLG dinilai akibat kurangnya kajian sosiologis dan ekologis terhadap ekosistem gabut dan masyarakat lokal.

Petani transmigran tidak dapat menggarap sawah karena selalu tidak membuahkan hasil. Padi sangat sulit untuk tumbuh subur karena keasaman tanah sangat tinggi.  Para petani transmigran hidup menderita. Seluruh harta benda sudah habis dijual karena tidak ada pemasukan. Mereka pun harus beralih hidup menjadi pencari kayu bakar.

Di sisi lain, penghentian program tidak hanya melepas tanggung jawab pemerintah pusat pada puluhan ribu transmigran, namun juga berarti pembiaran terhadap ribuan hektar lahan hutan gambut yang telah ditebangi. Belum lagi sungai-sungai besar yang kini mengering. Masalah menjadi semakin pelik ketika dana sebesar Rp 3,9 triliun untuk rehabilitasi lahan gambut tidak sampai secara optimal ke masyarakat dan lingkungan (Kompas, 20/2/2002, Proyek PLG Sejuta Hektar Dari “Lumbung Beras” Berubah Jadi Lumbung Masalah).

KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Salah satu traktor yang digunakan anggota TNI dalam membajak sawah sempat tersendat lumpur dan harus ditarik traktor lainnya di Desa Gadabung, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Sabtu (10/10/2020). TNI Korem 102 Panju Panjung membantu persiapan sawah di lokasi food estate.

Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

Di tangan Presiden Yudhoyono, program food estate kembali dihidupkan. Kali ini, nama program tersebut adalah Merauke Integrated Energi Estate atau MIFEE dan dimulai pada 2008. Pelaksanaan program MIFEE ditetapkan secara formil melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009 dan Inpres Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010.

Berbeda dengan food estate di era Orde Baru, pembukaan lahan untuk cetak sawah dalam program MIFEE dilaksanakan di Merauke, Papua. Luasan hutan yang dibuka mencapai 1,2 juta hektar. Tujuan dari MIFEE adalah untuk memperkuat cadangan pangan nasional dan menjaga ketahanan pangan nasional. Janji-janji manis lainnya turut dipaparkan kepada para investor MIFEE. Hadirnya para investor melangkahi batas-batas adat keramat warga, menggantinya menjadi batas-batas lahan yang dicaplok pemerintah untuk 36 investor.

Berbagai janji yang disebutkan pemerintah ditargetkan tercapai pada 2030 usai MIFEE berjalan stabil. Janji tersebut antara lain Indonesia akan memiliki tambahan cadangan pangan sebesar 1,95 juta ton beras, 2,02 juta ton jagung, 167.000 ton kedelai, 64.000 ekor sapi, 2,5 juta ton gula, dan 937.000 ton CPO per tahun. Turut dikatakan bahwa pendapatan per kapita Merauke akan terdongkrak menjadi Rp 124,2 juta per tahun pada 2030 dan penghematan devisa negara dari impor pangan hingga Rp 4,7 triliun.

Seiring berjalannya waktu, tujuan program MIFEE gagal tercapai. Sebaliknya, masyarakat dan lingkunganlah yang harus membayar kesalahan ambisi ini. Hutan sagu milik masyarakat lokal rusak. Bahan makanan lokal menjadi kian sulit digapai. Sagu, ikan, dan daging rusa/babi menjadi langka setelah luasan lahan hutan yang begitu luas telah dikonversi. Gelontoran dana miliaran rupiah habis untuk membangun akses ke wilayah-wilayah tak berpenduduk dan membuat lahan-lahan warga yang telah diambil terbengkalai (Kompas, 6/8/2010, Pengembangan Pangan: MIFEE, Berkah atau Kutuk?).

Tidak berhenti sampai situ, Presiden Yudhoyono kembali menghidupkan program food estate lain pada 2011 dengan nama Food Estate Bulungan. Kali ini, lokasi yang dipilih adalah Kota Terpadu Mandiri Salim Batu, Kalimantan Utara, kemudian meluas ke kabupaten di wilayah Kalimantan Timur. Dalam program ini, dibuka lahan cetak sawah seluas 300.000 hektar untuk digarap oleh petani transmigrasi.

Program ketahanan pangan selanjutnya dilakukan pada 2013 yaitu program Food Estate Ketapang di Ketapang, Kalimantan Barat. Program ini membuka lahan untuk mencetak sawah seluas 100.000 hektar. Hasilnya, hanya sekitar 0,11 persen lahan yang berhasil termanfaatkan.

Sama dengan proyek food estate Yudhoyono sebelumnya, proyek Food Estate Bulungan dan Ketapang kembali berujung pada kegagalan total. Di Food Estate Ketapang, hingga Agustus 2013, hanya berhasil dikembangkan 100 hektar sawah dari 100.000 hektar yang telah digunduli. Sedangkan di Bulungan, hingga 2014 baru tercetak 1.024 hektar sawah dari 300.000 hektar yang sudah gundul.

Dampak Food Estate

Seperti mengulang sejarah, proyek food estate era Presiden Jokowi kini berhadapan begitu dekat dengan kegagalan – yang lagi-lagi akan berdampak pada kesia-siaan masif anggaran, penderitaan ribuan masyarakat, dan kerusakan lingkungan. Setidaknya, terdapat tiga masalah yang terkandung dalam proyek food estate 2020-2023 ini, yakni:

Ketidaksesuaian Lingkungan yang Dipilih

Pelaksanaan food estate mensyaratkan pembukaan ratusan ribu hektar lahan. Pembukaan ini berarti penebangan dan penggundulan lahan yang sebelumnya memiliki fungsi sebagai hutan adat maupun kebun tradisional warga lokal. Hingga titik ini, penebangan ratusan hektar lahan yang produktif bagi keseimbangan lingkungan telah bertabrakkan dengan komitmen pada lingkungan.

Hingga titik lebih lanjut, membuka lahan baru hingga ratusan ribu hektar di lahan gambut hanya akan berisiko bencana. Lahan gambut memerlukan vegetasi di atasnya sebagai penyerap air. Tanpa vegetasi yang rimbun, gambut akan mengalami kekeringan. Lahan gambut yang kering membuka risiko yang sangat besar bagi kebakaran hutan.

Terkait pengeringan lahan gambut, Direktur Eksekutif Kemitraan Indonesia Laode M. Syarif menegaskan bahwa hal tersebut jelas sangat berbahaya. Pemerintah yang terus menerus melakukan kesalahan ini harus mau belajar dari sejarah. Ia mencontohkan, kawasan eks proyek pengembangan lahan gambut PLG Sejuta Hektar di Kabupaten Pulang Pisau yang diawali transmigrasi kini telah menjadi sumber kebakaran dan terbengkalai.

“Dari peta yang diajukan ke KLHK oleh Gubernur Kalteng (Kalimantan Tengah), bisa dilihat semua kawasan gambut tak cocok dengan komoditas dalam food estate,” kata Safrudin (Kompas, 8/5/2020, Bencana Baru Ada di Depan Warga Kalteng).

Belum lagi, lahan gambut memiliki kualitas tanah yang berbeda dari lahan biasa sehingga memerlukan penyesuaian tersendiri untuk digunakan menanam. Lahan gambut tidak rata dan terdiri atas lapisan-lapisan yang berongga dan bertumpuk. Selain itu, tingkat keasaman lahan gambut juga lebih tinggi.

Digunakannya lahan gambut sebagai area food estate mengkhawatirkan karena bukti kegagalan pertanian di bekas lahan gambut yang bertahun-tahun berujung kegagalan. Sekalipun berhasil, pertanian di bekas lahan gambut memerlukan biaya yang lebih besar.

Pada satu sisi, agar perusahaan swasta ataupun BUMN mau masuk dan terlibat maka pemerintah harus memberikan insentif yang lebih besar. Sementara jika dikelola rumah tangga petani, lahan pertanian tersebut hanya akan memberikan pendapatan yang kecil karena produktivitas tanah rendah.

Penyingkiran Masyarakat Adat dan Petani Kecil

Di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, sebagai salah satu lokasi pelaksanaan food estate dengan menanam komoditas singkong, belum menunjukkan adanya aktivitas hingga Agustus 2023. Padahal,  food estate singkong telah dimulai sejak dua tahun lalu, tepatnya November 2020 dengan target pembukaan luas lahan mencapai 31.000 hektar. Dari target tersebut, 600 hektar lahan telah dibuka.

Akibatnya, kini masyarakat hanya bisa berharap agar lahan dan ladang yang masuk dalam program itu dikembalikan dan dikelola sendiri. Mereka adalah masyarakat adat yang sehari-harinya bekerja sebagai petani rumah tangga, yang lahannya menjadi korban garapan dan penggundulan proyek food estate. Tersingkirnya sumber mata pencaharian membuat para petani adat harus menyingkir mencari lahan lain untuk dapat mereka gunakan.

Rangkap, salah satu penduduk lokal, harus menyaksikan lahan garapannya direbut begitu saja oleh pemerintah. Ia kini harus berkebun begitu jauh dari rumahnya yang berada di pinggir jalan. “Saya bangun pagi, datang ke kebun, sayur saya sudah dirusak, pohon ditebangi,” ungkap Rangkap mengingat kembali peristiwa saat kebunnya digarap untuk pembukaan food estate singkong. Padahal, kebun satu hektarnya itu merupakan harapan satu-satunya untuk kebutuhan hidup keluarga (Kompas.id, 8/8/2023, Dua Tahun Tak Dikelola, Warga Kalteng Minta Ladang ”Food Estate” Singkong Dikembalikan).

Program food estate menjadi bukti penyingkiran hak dan kehidupan pertanian kecil. Padahal, mereka ini sejatinya merupakan kekuatan ekonomi domestik yang tangguh – dibuktikkan dengan ketahanan pada krisis 1998, 2008, dan pandemi Covid-19.

Melalui food estate, kekuatan ini lebih banyak disia-siakan. Indikatornya sederhana, dimana kepemilikan tanah petani kian mengecil dan tergerusnya porsi aktivitas pertanian untuk dalam menopang pendapatan keluarga (Kompas, 25/7/2020, “Food Estate”, Pertanian Kecil dan Ketahanan Nasional).

Campur Aduk Kepentingan Lain

Meski diwarnai oleh inkonsistensi, namun kritik Hasto terhadap food estate dapat menjadi rujukan, bahwa terhadap kepentingan-kepentingan lain yang masuk dan berdinamika dalam tujuan ketahanan pangan food estate. Kecurigaan atas campur aduk kepentingan lain turut disampaikan oleh Koordinator Save Our Borneo Safrudin.

Menurut Safrudin, daripada membuka kawasan hutan, lebih baik pemerintah menggunakan kawasan atau kebun rakyat yang telah digarap masyarakat untuk mencapai intensifikasi melalui pendampingan. Meski begitu, pembukaan lahan hutan seolah memang dipaksakkan untuk terlaksana.

“Saya tak melihat program ini untuk masyarakat. Ini mengakomodasi kepentingan investor,” kata Safrudin. Ia membuktikkan, dengan mengacu pada contoh di Kalimantan Tengah saja, lahan yang dibuka untuk food estate akhirnya justru digunakan untuk perkebunan kelapa sawit.

Selain Hasto dan Safrudin, kritik atas kepentingan serupa juga muncul dari lembaga Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Direktur WALHI Kalimantan Tengah Dimas Novian Hartono mengungkapkan bahwa optimalisasi lahan seharusnya ditujukan bagi masyarakat lokal. Apabila pemerintah memang mau berpihak pada masyarakat, maka dapat digunakan kawasan areal penggunaan lain, bukan kawasan hutan (Kompas, 14/2/2019, Program Pangan Ambil Hutan Kalteng).

WALHI juga mengkritisi pelibatan aktor militer, tepatnya Kementerian Pertahanan, dalam proyek food estate. Ditambah lagi, Presiden Jokowi mengatakan akan melibatkan Komponen Cadangan (KOMCAD) dalam proyek pangan ini. Dalam siaran pers WALHI pada Februari 2021, disampaikan bahwa adalah tidak tepat melibatkan militer dalam persoalan sipil seperti pangan. (LITBANG KOMPAS)

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Seorang ibu dibantu anaknya sedang merontokkan padi di Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan, Kamis (12/9/2013).

Referensi

Artikel Akademik
  • Basundoro, A. F., & Sulaeman, F. H. (2020). Meninjau Pengembangan Food Estate Sebagai Strategi Ketahanan Nasional pada Era Pandemi COVID-19. Jurnal Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia Volume 8 Nomor 2, 27-41.
  • Mulyono, J. (2023). Implementasi Program Pengembangan Food Estate di Kalimantan Tengah. Jurnal Analis Kebijakan Volume 7 Nomor 1, 13-28.
Arsip Kompas
Aturan
  • Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan Dan Gizi
Internet
Jurnal
  • Food and Agriculture Organization of the United Nations. (2013). Food Security and Sovereignty. Food and Agriculture Organization of the United Nations.