Paparan Topik | Agraria

Potret Masyarakat Adat di Pusaran Arus Pembangunan

Menurut data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), jumlah Masyarakat Adat di Indonesia diperkirakan mencapai 40 hingga 70 juta jiwa, yang terdiri dari lebih dari 2.000 kelompok. Meski jumlahnya cukup besar, pengakuan negara terhadap hak-hak mereka masih terbatas.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Sekitar 500 Masyarakat Adat Bonokeling melakukan perjalanan puluhan kilometer menuju Makam Kyai Bonokeling di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas Jawa Tengah, Kamis (16/3/2023). Tradisi untuk berziarah ke makam leluhur ini sekaligus mempererat silaturahmi antarmasyarakat trah Bonokeling yang dilangsungkan setiap menjelang bulan Ramadhan.

Fakta Singkat

Masyarakat Adat

  • Menurut PBB, masyarakat adat didefinisikan sebagai kelompok individu yang memiliki sejarah asal-usul yang jelas dan menempati wilayah adat secara turun-temurun.
  • Empat nilai utama yang mendasari terbentuknya masyarakat adat: identitas budaya, wilayah adat, sistem nilai dan pengetahuan, serta hukum dan kelembagaan adat.
  • Berdasarkan data AMAN, jumlah Masyarakat Adat di Indonesia diperkirakan mencapai 40 hingga 70 juta jiwa, yang terdiri dari lebih dari 2.000 kelompok yang tersebar di seluruh Nusantara.
  • Penyebutan atau penulisan Masyarakat Adat dengan huruf kapital di depan, bertujuan untuk menegaskan statusnya sebagai subjek hukum.
  • Pada tahun 2024, AMAN mencatat setidaknya 121 kasus perampasan wilayah adat yang merugikan sekitar 140 komunitas masyarakat adat, dengan total luas wilayah adat yang terampas mencapai lebih dari 2,8 juta hektare.
  • Dalam 10 tahun terakhir, AMAN mencatat terdapat 687 konflik agraria yang terjadi di wilayah adat.
  • Sekitar 80 persen keanekaragaman hayati di Bumi ditemukan di tanah yang dikelola oleh Masyarakat Adat.
  • Tanah yang dikelola Masyarakat Adat menyimpan sekitar 25 persen karbon yang ada di permukaan bumi

Secara historis, Masyarakat Adat memainkan peran penting sebagai peletak dasar bagi banyak nilai yang membentuk struktur sosial dan budaya peradaban manusia saat ini. Namun, banyak dari mereka kini terjepit antara kelangsungan hidup budaya dan arus besar pembangunan yang terus menggusur mereka dari tanah kelahiran.

Pembangunan yang lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi sering mengabaikan hak dasar Masyarakat Adat, termasuk hak atas tanah yang telah mereka kelola turun-temurun. Berbagai proyek pembangunan, seperti pengembangan lahan pangan, energi terbarukan, dan kawasan ekonomi khusus, sering kali mengakibatkan pengambilalihan wilayah adat tanpa persetujuan masyarakat yang tinggal di dalamnya.

Salah satu contoh adalah proyek food estate di Merauke, yang telah masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) per November 2023. Kawasan yang dikenal dengan nama Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi Merauke, yang terletak di Provinsi Papua Selatan, direncanakan untuk mencakup pengembangan perkebunan tebu, bioetanol, dan cetak sawah baru. Luas total lahan yang akan dikelola untuk proyek ini diperkirakan lebih dari 2 juta hektar.

Seluruh wilayah tersebut berada di atas tanah adat masyarakat Malind, Maklew, Khimaima, dan Yei. Lebih dari 50 ribu penduduk asli yang selama ini bergantung pada tanah tersebut sebagai sumber kehidupan dan identitas mereka kini terancam kehilangan hak atas tanah yang telah mereka kelola secara turun-temurun. Ironisnya, proses ini dilakukan tanpa didahului oleh konsultasi dengan masyarakat setempat untuk mendapatkan kesepakatan atau persetujuan mereka.

Contoh lainnya adalah proyek besar pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur. Rencana besar ini mencakup lahan seluas lebih dari 256.000 hektare wilayah daratan dan 68.000 hektare wilayah lautan.

Berdasarkan catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sekitar 20.000 masyarakat dari 21 komunitas adat yang tinggal di wilayah tersebut terancam kehilangan tanah dan rumah mereka. Sebanyak 19 komunitas adat berada di Penajam Paser Utara, sementara sisanya di Kutai Kartanegara. Masyarakat Adat ini hampir tidak memiliki ruang untuk menolak atau memberikan masukan terhadap perencanaan pembangunan yang dilaksanakan di atas wilayah adat mereka.

Dampak dari perampasan ini jauh lebih besar daripada sekadar hilangnya tanah. Masyarakat Adat tidak hanya kehilangan wilayah mereka, tetapi juga mengalami gangguan terhadap struktur sosial, tradisi, dan budaya mereka. Situs-situs sakral yang telah menjadi bagian dari kehidupan mereka selama berabad-abad pun terancam lenyap.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN 

Penyelam lobster memasukkan lobster hasil tangkapannya ke keranjang saat musim berburu lobster Masyarakat Adat Suku Moy di perairan Kampung Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, Selasa (6/6/2023). Berdasarkan aturan adat, musim berburu lobster tahun ini hanya diperbolehkan selama satu bulan untuk menjaga kelestarian lobster di periaran ini. Lobster hasil tangkapan dijual ke pengepul dengan harga mencapai Rp1.050.000 per ekor ukuran besar.

Situasi Masyarakat Adat

Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Masyarakat Adat didefinisikan sebagai kelompok individu yang memiliki sejarah asal-usul yang jelas dan menempati wilayah adat secara turun-temurun. Empat nilai utama yang mendasari terbentuknya Masyarakat Adat, yakni identitas budaya, wilayah adat, sistem nilai dan pengetahuan, serta hukum dan kelembagaan adat.

Di Indonesia, Masyarakat Adat merupakan kelompok yang cukup besar dan beragam. Berdasarkan data dari AMAN, jumlah Masyarakat Adat diperkirakan mencapai 40 hingga 70 juta jiwa, yang terdiri dari lebih dari 2.000 kelompok yang tersebar di seluruh Nusantara. Namun, meskipun jumlahnya besar, pengakuan negara terhadap hak-hak mereka masih sangat terbatas.

Hingga saat ini, telah tercatat 1.499 wilayah adat di Indonesia dengan total luas mencapai 30,1 juta hektar yang telah diregistrasi oleh Badan Registrasi Wilayah Adat. Dari total luas tersebut, sekitar 23,8 juta hektar berada dalam kawasan hutan, sementara 6,6 juta hektar lainnya telah dikelola dalam bentuk konsesi di wilayah adat.

Akan tetapi, Masyarakat Adat dan komunitas lain hanya memiliki hak hukum atas sebagian kecil tanah yang mereka tempati, bahkan lebih sedikit lagi tanah mereka yang terdaftar dan terdokumentasi secara resmi di pemerintah.

Saat ini, hanya sekitar 4.850.689 hektar wilayah adat yang diakui secara hukum melalui produk hukum daerah. Penetapan hutan adat, yang seharusnya menjadi bagian dari wilayah adat, bahkan lebih kecil lagi, yakni hanya sekitar 265.250 hektar yang telah ditetapkan oleh pemerintah, padahal potensi hutan adat mencapai 23,2 juta hektar.

Minimnya pengakuan negara terhadap Masyarakat Adat dan wilayah adat telah menyebabkan dampak yang sangat serius. Tanpa adanya perlindungan yang cukup, tanah-tanah mereka rentan diambil alih oleh pemerintah, perusahaan, dan elit berkuasa lainnya.

Pada tahun 2024, AMAN mencatat setidaknya 121 kasus perampasan wilayah adat yang merugikan sekitar 140 komunitas adat. Total luas wilayah adat yang terampas mencapai lebih dari 2,8 juta hektare.

Dampak dari perampasan ini tidak hanya sebatas hilangnya tanah, tetapi juga memicu konflik berkepanjangan, yang sering kali disertai dengan tindakan kriminalisasi dan kekerasan.

Dalam 10 tahun terakhir, AMAN mencatat terdapat 687 konflik agraria yang terjadi di wilayah adat seluas lebih dari 11 juta hektare. Konflik-konflik ini menyebabkan lebih dari 925 warga dikriminalisasi, 60 di antaranya mengalami kekerasan dari aparat negara, bahkan satu orang kehilangan nyawanya akibat tindakan tersebut.

Salah satu contoh kekerasan yang terjadi adalah pada Senin, 22 Juli 2024, ketika sekitar 50 orang yang tidak dikenal, mengenakan pakaian sipil dan mengendarai dua mobil sekuriti milik PT. Toba Pulp Lestari (TPL) serta sebuah truk Colt Diesel, mendatangi komunitas Masyarakat Adat Sihaporas saat mereka sedang tidur. Para pelaku, yang tidak diketahui identitasnya, memborgol beberapa warga dan melakukan kekerasan. Tidak hanya itu, lima orang warga Siphoras diculik dan dibawa oleh para pelaku, ditahan di Polres Simalungun.

Belakangan terungkap bahwa penculikan ini terjadi sebagai akibat dari perjuangan mereka untuk mempertahankan tanah adat mereka yang, secara sepihak, diklaim oleh PT. TPL sebagai bagian dari areal konsesi perusahaan. Sejak 1998, Masyarakat Adat Sihaporas telah berjuang untuk mengklaim kembali wilayah adat mereka yang telah diambil alih oleh TPL.

Dalam beberapa tahun terakhir, ketegangan semakin meningkat. Pihak perusahaan dengan bantuan aparat sering kali mendatangi warga Sihaporas sebagai respons terhadap upaya mereka untuk mengelola wilayah adat dan melarang aktivitas perusahaan di atas tanah tersebut.

Perampasan ini tidak hanya mengancam kelangsungan hidup, tetapi juga merusak tatanan sosial dan budaya yang telah dibangun dari generasi ke generasi. Saat ini, sekitar 1.500 hektar wilayah adat Sihaporas masuk dalam konsesi PT TPL. Tanah-tanah ini dulunya digunakan untuk menanam tanaman herbal yang memiliki nilai ritual adat. Namun, sebagian besar tanaman tersebut kini hampir punah akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas perusahaan. Selain itu, masyarakat Sihaporas kehilangan akses terhadap bahan baku yang dulunya mereka ambil dari hutan, seperti rotan dan bambu untuk kerajinan tangan.

KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO

Tiga orang ahli pemanjat mulai memanjat pohon durian hutan dengan tradisi monjatak atau memanjat dari nenek moyang Dayak Tomun, di Desa Kubung, Delang, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, Minggu (8/7/2018). Di Desa ini masyarakat adat menjaga betul hutannya, hasil hutan bukan kayu yang mereka peroleh bisa untuk menghidupi keluarga mereka bahkan sampai menyekolahkan anak hingga bangku kuliah.

Krisis Ekologi

Perampasan tanah yang terjadi terhadap Masyarakat Adat di Indonesia telah menyebabkan dampak yang sangat luas, tidak hanya bagi kehidupan sosial dan budaya mereka, tetapi juga terhadap ekosistem. Alih fungsi lahan yang masif di Indonesia berpotensi besar memicu krisis ekologi, dengan dampak yang mengancam kelestarian lingkungan hidup.

Pada akhir tahun 2023, kawasan hutan di Indonesia tercatat mencapai 105,8 juta hektare, dengan sekitar 23,2 juta hektare di antaranya merupakan hutan adat yang menjadi rumah dan ruang hidup bagi Masyarakat Adat.

Namun, pada tahun yang sama, Indonesia mengalami deforestasi signifikan, yakni sekitar 257 ribu hektare. Sebagian besar hilangnya hutan ini disebabkan oleh berbagai izin investasi untuk pembukaan lahan, seperti untuk perkebunan kelapa sawit, proyek energi, hutan tanaman industri (HTI), dan proyek lumbung pangan.

Transformasi bentang alam dan penggunaan lahan yang drastis ini telah menyebabkan kerusakan ekosistem yang sangat merugikan, seperti erosi tanah, pendangkalan sungai, pencemaran kualitas air, dan kelangkaan air bersih. Semua ini berakar dari perubahan tata guna lahan yang masif.

Dampak perubahan ini mulai dirasakan langsung oleh masyarakat. Salah satu contoh nyata dari dampak ini terjadi di kawasan sekitar IKN, tepatnya di Kelurahan Sepaku, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara. Kawasan ini menjadi salah satu wilayah yang paling sering tergenang banjir.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Hamparan lahan hutan tanaman industri yang dikelola oleh PT ITCI Hutani Manunggal di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Rabu (28/8/2019). Pemerintah berencana membangun ibu kota baru di kawasan itu.

Berdasarkan laporan Kompas, Kawasan Sepaku memang dilintasi oleh Sungai Sepaku, dan setiap kali hujan turun, air sungai kerap meluap dan menggenangi jalan, sawah, kebun, dan permukiman warga. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, banjir semakin sering dan parah. Menurut pengakuan sejumlah warga, fenomena ini semakin intens setelah pembangunan Intake Sepaku, proyek penyediaan air baku untuk IKN. Proyek ini membendung air Sungai Sepaku dengan target kapasitas maksimal 3.000 liter per detik.

Pada 17 Maret 2023, misalnya, banjir menggenang kawasan ini sejak pagi dan baru surut pada sore hari. Air dengan ketinggian lebih dari 40 sentimeter baru surut setelah lebih dari tujuh jam. Banjir kembali melanda kawasan ini pada Juni 2024, dengan genangan air mencapai 50-100 cm. Terbaru, pada Februari 2025, banjir menerjang kawasan ini, menenggelamkan 174 rumah. Dampak dari banjir yang semakin parah ini mengganggu aktivitas warga dan merusak tanaman (Kompas, 6/3/2025).

Contoh kasus lainnya adalah yang terjadi di sekitar area Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Sorik Marapi, yang terletak di Madailing Natal, Sumatera Utara. Proyek ini merupakan hasil kerjasama antara perusahaan Singapura, OTP Geothermal Power Ltd, yang dimiliki oleh KS Orka Renewables Ltd, dan PT Supraco Indonesia. PLTP Sorik Marapi termasuk dalam daftar proyek strategis nasional yang diproyeksikan mampu menghasilkan kapasitas listrik sebesar 240 MW, sebagai bagian dari program ketenagalistrikan nasional dengan kapasitas 35 GW.

Alih-alih mendukung penyediaan energi, proyek ini justru memicu serangkaian bencana yang merenggut korban jiwa dan merusak lingkungan sekitar. Catatan Kompas mencatat setidaknya sudah enam kali kebocoran gas beracun di PLTP Sorik Marapi sejak mulai beroperasi pada 2019, yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Insiden pertama terjadi pada 25 Januari 2021, yang mengakibatkan lima korban jiwa dan 44 orang lainnya harus dirawat di rumah sakit akibat keracunan gas (Kompas, 23/2/2024).

Berselang setahun, pada 6 Maret 2022, sebanyak 58 warga dirawat lagi di rumah sakit karena keracunan gas. Sebulan kemudian, pada 24 April 2022, sebanyak 21 orang kembali dilarikan ke rumah sakit.

Pada September 2022, terjadi dua peristiwa kebocoran hanya dalam rentang waktu dua pekan. Pada 16 September 2022, delapan orang mengalami muntah-muntah dan gejala keracunan lainnya. Kemudian, pada 27 September 2022, sebanyak 79 orang dilarikan ke rumah sakit dengan gejala serupa. Semua insiden keracunan gas terjadi saat uji sumur panas bumi dilakukan di PLTP Sorik Marapi.

Insiden terbaru terjadi pada 22 Februari 2024, di mana kebocoran gas beracun kembali terjadi, menyebabkan 123 warga keracunan gas H2S (hidrogen sulfida) di Desa Sibanggor Julu dan Desa Sibanggor Tonga. Gas H2S ini sangat berbahaya karena selain beracun, juga mudah terbakar dan dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan, mata, dan kulit manusia. Gas ini juga dapat menyebabkan kerusakan pada tanah, air, dan udara, sehingga merusak ekosistem sekitar.

Ironisnya, meskipun kebocoran gas beracun yang berulang kali terjadi, pemerintah belum memberikan sanksi tegas terhadap PT Sorik Marapi Geothermal Power Plant (SMGP), selaku pemegang hak operasional PLTP Sorik Marapi. Kondisi ini membuat warga sekitar PLTP merasa cemas dan tidak tenang.

Kontribusi Masyarakat Adat

Masyarakat Adat memiliki peran yang sangat penting. Selain melestarikan tradisi, mereka juga memainkan peran krusial dalam menjaga kelangsungan ekosistem dan keseimbangan alam.

Menurut laporan yang dipublikasikan oleh World Resources Institute (WRI), tanah adat dan Masyarakat Adat menyimpan sekitar 25 persen karbon yang ada di atas permukaan tanah Bumi. Karbon yang tersimpan ini berasal tidak hanya dari hutan tropis, tetapi juga dari lahan-lahan lain yang dikelola oleh komunitas adat. Jumlah karbon yang tersimpan ini sangat signifikan dalam usaha mengurangi dampak perubahan iklim global.

Selain berfungsi sebagai penyerap karbon, tanah adat juga memiliki peran penting dalam melindungi ekosistem. Sebagian besar hutan di dunia berada di atas tanah yang dikelola secara komunal oleh Masyarakat Adat. Di tanah-tanah ini, lebih dari 80 persen keanekaragaman hayati di planet ini dapat ditemukan. Artinya, tanah yang dikelola oleh masyarakat adat bukan hanya sumber kehidupan bagi mereka, tetapi juga sangat penting bagi kelestarian alam dan keberagaman spesies di bumi.

Masyarakat Adat telah lama memiliki pengetahuan dan praktik yang mendalam tentang pengelolaan ekosistem secara berkelanjutan. Nilai-nilai kearifan lokal yang diturunkan dari generasi ke generasi telah mengikat mereka dalam prinsip pengelolaan lingkungan yang ramah dan berkelanjutan.

Di Indonesia, banyak contoh yang menunjukkan bagaimana Masyarakat Adat menjaga kelestarian alam melalui aturan adat yang ketat. Misalnya, masyarakat adat Baduy di Banten memiliki tradisi untuk tidak memanen hasil hutan lebih dari dua atau tiga kali dalam setahun dan hanya mengandalkan produk alam, bukan produk pabrik. Di Suku Boti, Nusa Tenggara Timur, mereka memiliki aturan ketat untuk tidak menebang pohon kecuali dalam kondisi yang sangat mendesak, dan selalu menjaga kebersihan lingkungan sekitar mereka (Kompas, 16/6/2022).

Di Bulukumba, Sulawesi Selatan, masyarakat adat Kajang mengamalkan prinsip Pasang Ri Kajang, yang mengajarkan hidup sederhana dan menghormati hutan sebagai sumber mata air dan tempat tinggal leluhur. Sementara di Kabupaten Kampar, Riau, terdapat praktik lubuk larangan yang melibatkan penutupan titik-titik tertentu di sungai untuk melindungi regenerasi ikan. Lubuk larangan ini hanya dibuka setahun sekali oleh kepala suku.

KOMPAS/AGUS SUSANTO 

Kaum perempuan Boti menumbuk biji jagung di Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, Senin (7/8/2023). Secara turun-temurun, masyarakat adat Boti sudah mandiri pangan. Kondisi alam Boti tergolong kering dengan tanah berbatu kapur minim unsur hara. Selain padi ladang, mereka juga menanam pena (jagung), pen mina (sorgum), sain (jewawut), pisang, dan beragam umbi-umbian dengan sistem permakultur. Ragam tanaman pangan ini ditanam di sela-sela tanaman keras di hutan ulayat mereka yang terjaga dengan baik, serta di pekarangan sekitar rumah.

Pengakuan Hak Masyarakat Adat

Praktik-praktik pengelolaan alam yang berkelanjutan yang dijalankan oleh Masyarakat Adat menunjukkan betapa pentingnya pengakuan terhadap hak atas tanah adat. Pengakuan ini tidak hanya memberikan manfaat bagi masyarakat adat, tetapi juga membawa dampak yang signifikan bagi keberlanjutan lingkungan hidup dan kesehatan ekosistem global.

Tanah yang dikelola oleh masyarakat adat memiliki peran krusial dalam menjaga keseimbangan alam. Selain itu, juga menyediakan berbagai sumber daya vital yang mendukung kehidupan Masyarakat Adat dan ekosistem yang lebih luas.

International Food Policy Research Institute (IFPRI) dalam Indeks Kelaparan Global 2012 menunjukkan bahwa hak atas tanah sangat berhubungan dengan pengurangan kelaparan. Ketika Masyarakat Adat memiliki hak atas tanah yang aman, mereka memiliki kekuatan untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan, yang pada gilirannya berkontribusi pada ketahanan pangan dan kesejahteraan mereka. Bahkan, pengelolaan sumber daya alam oleh Masyarakat Adat, seringkali jauh lebih produktif.

Karena itu, pengakuan terhadap hak atas tanah adat tidak hanya penting untuk memberikan keadilan kepada Masyarakat Adat, tetapi juga untuk menciptakan peluang bagi pembangunan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Salah satu langkah penting dalam mewujudkan ini adalah pengesahan UU Masyarakat Adat, yang perlu segera direalisasikan. Dengan adanya payung hukum ini, Masyarakat Adat akan memiliki legalitas untuk mengelola wilayahnya dengan prinsip-prinsip yang mengedepankan kelestarian lingkungan, sekaligus mendorong kemajuan ekonomi dan sosial yang lebih adil. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • “Masyarakat Adat di antara Dua Kekuatan Besar,” Kompas, 7 Juni 2022.
  • “Masyarakat Adat Menjaga Kelestarian Lingkungan,” Kompas 16 Juni 2022.
  • “101 Warga Mandailing Keracunan Gas PLTP Sorik Marapi Geothermal Power,” Kompas, 23 Februari 2024.
  • “Hari Masyarakat Adat Sedunia, Pengakuan dan Perlindungan Mendesak Diwujudkan,” Kompas, 9 Agustus 2024.
  • “Mengapa Masyarakat Adat Selalu Menjadi Korban?” Kompas, 31 Agustus 2024.
  • “Konflik Lahan Masyarakat Adat Berkepanjangan, Bagaimana Duduk Soalnya?” Kompas, 11 September 2024.
  • “Hikayat Banjir di IKN dan Sekitarnya, Bukan Faktor Alam Semata,” Kompas, 6 Maret 2025.
Internet

Artikel terkait