KOMPAS/PANDU WIYOGA
Ribuan warga berdemonstrasi di depan Kantor Badan Pengusahaan Batam, Kepulauan Riau, Rabu (23/8/2023). Mereka menolak rencana penggusuran perkampungan adat di Pulau Rempang.
Fakta Singkat
Pulau Rempang
- Pulau Rempang secara administratif masuk ke dalam administrasi Kecamatan Galang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau.
- Pulau Rempang memiliki wilayah seluas 165,83 kilometer persegi (16.583 Ha), yang terdiri dari dua kelurahan, yakni Rempang Cate dan Sembulang.
- Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ada 7.512 jiwa yang tinggal di Pulau Rempang.
Proyek Rempang Eco City
- Rempang Eco City digarap oleh pemerintah pusat melalui kerjasama BP Batam dengan PT Makmur Elok Graha (MEG).
- Ditargetkan menarik investasi sebesar Rp 381 triliun sampai dengan 2080 dan menyerap tenaga kerja sebanyak 306.000 orang.
- Berdasarkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 proyek Rempang Eco City dimasukan ke dalam Proyek Strategis Nasional.
- Salah satu perusahaan yang sudah menyatakan serius berinvestasi di Pulau Rempang adalah Xinyi Group dengan investasi senilai 11,6 miliar dolar AS atau sekitar Rp 174 triliun.
- Terdapat 16 kampung tua terdampak relokasi.
Unjuk rasa ribuan warga Melayu yang menolak relokasi perkampungan adat Pulau Rempang berujung ricuh, Kompas (11/9/2023). Peristiwa itu terjadi akibat konflik lahan atas rencana pembangunan kawasan Rempang Eco City.
Demonstrasi terkait konflik agraria di Pulau Rempang itu berlangsung di depan kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam, Kota Batam, Kepulauan Riau. Demonstrasi yang dimulai sekitar pukul 09.00 itu awalnya berlangsung damai. Namun, sekitar pukul 12.00, mulai terjadi kericuhan karena massa melempari kantor BP Batam dengan batu dan botol.
Sebelumnya, pada Kamis (7/9/2023), juga terjadi bentrokan antara aparat gabungan dan warga di Pulau Rempang. Peristiwa ini terjadi saat petugas hendak mengukur lahan terkait proyek Rempang Eco City. Namun, warga menolak kedatangan tim terpadu dari Batam yang akan mengukur lahan di Rempang
Akibat bentrokan itu, sejumlah warga ditangkap dan siswa di dua sekolah terkena tembakan gas air mata. Tidak hanya itu, aktivitas keseharian masyarakat Rempang juga terganggu. Para nelayan tidak berani melaut karena khawatir meninggalkan keluarganya. Mereka cemas keluarganya bakal diangkut untuk dipindahkan oleh aparat. Selain itu, warga fokus pada upaya mempertahankan kampung.
Menurut rencana, di sana akan dibangun kawasan industri, jasa, dan pariwisata dengan nama Rempang Eco City. Proyek yang digarap PT Makmur Elok Graha (MEG) itu ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada tahun 2080.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Dua warga berjalan di permukiman nelayan di Kampung Pasir Panjang, Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, Selasa (19/9/2023). Warga yang sebagian besar bekerja sebagai nelayan menolak relokasi 4 kampung tua terdampak investasi.
Pulau Rempang
Pulau Rempang, tempat yang dalam beberapa hari ini menjadi sorotan, secara administratif masuk ke dalam administrasi Kecamatan Galang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau.
Pulau Rempang berbatasan dengan Pulau Batam di bagian utara dan Pulau Galang di bagian selatan. Pulau ini memiliki wilayah seluas 165,83 kilometer persegi (16.583 Ha), yang terdiri dari dua kelurahan, yakni Rempang Cate dan Sembulang.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ada 7.512 jiwa yang tinggal di pulau tersebut. Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan dan pelaut.
Perairan di sekitar Pulau Rempang yang berada di Selat Malaka ini merupakan daerah subur bagi kehidupan perikanan dan biota lainnya. Selain itu juga memiliki hutan tropis yang masih asri dan menjadi habitat bagi berbagai jenis flora dan fauna.
Pulau Rempang memiliki letak yang sangat strategis, yakni di sekitar Selat Malaka yang menjadi salah satu jalur maritim utama perdagangan dunia. Kota ini juga memiliki jarak yang sangat dekat dengan Singapura dan Malaysia, serta memiliki aksesibilitas yang mudah ke negara lainnya di belahan dunia.
Pada tahun 1992, melalui Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1992, pemerintah melakukan perluasan wilayah kawasan industri Pulau Batam. Pulau Rempang dan Pulau Galang lalu menjadi bagian dari wilayah Pulau Batam. Kawasan tersebut kemudian dekenal dengan Balerang, yakni Batam, Rempang, Galang. Sebelumnya, Pulau Rempang tergabung dengan wilayah Tanjungpinang.
Pulau Rempang, bersama dengan Pulau Batam dan Galang merupakan tiga pulau utama Kota Batam. Ketiganya dihubungkan oleh Jembatan Barelang. Jembatan ini adalah jembatan yang saling sambung-menyambung dan dibangun untuk memperluas Otorita Batam sebagai pengelola kawasan industri Pulau Batam.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Lamat (65), suku Orang Darat, beserta adik perempuannya, Yang Adik, di Kampung Sungai Sadap, Kelurahan Rempang Cate, Kecamatan Galang, Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, Sabtu (16/9/2023). Komunitas terakhir dari suku asli Batam yang berada di ambang kepunahan ini sedang terancam dari rencana relokasi warga di Pulau Rempang untuk proyek strategis nasional Rempang Eco City.
Artikel terkait
Proyek Rempang Eco City
Proyek Rempang Eco City adalah proyek kawasan ekonomi baru yang ada di kawasan Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Menurut rencana, Rempang Eco City akan memiliki kawasan industri, kawasan perdagangan dan kawasan wisata terintegrasi.
Rempang Eco City merupakan proyek yang digarap oleh pemerintah pusat melalui kerjasama BP Batam dengan PT Makmur Elok Graha (MEG) yang berinduk kepada Artha Graha Network (AG Network), kelompok usaha yang dibangun Tomy Winata.
Penandatanganan perjanjian pengembangan Pulau Rempang sebenarnya telah dilakukan oleh PT MEG, BP Batam, dan Pemerintah Kota Batam pada 2004. Saat itu, pemerintah melalui Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) dan Pemerintah Kota Batam menyerahkan hak eksklusif atas pengembangan serta pengelolaan Pulau Rempang, Pulau Setokok, dan sebagian Pulau Galang kepada PT MEG.
Penandatanganan perjanjian dalam bentuk master agreement dilakukan antara Tomy Winata, Wali Kota Batam Nyat Kadir, Direktur Operasi Otorita Batam Benyamin Balukh pada 26 Agustus 2004, disaksikan Ketua DPRD Batam Taba Iskandar. PT MEG mendaptakan hak pengelolaan Pulau Rempang seluas 17.000 hektare, Pulau Setokok sekitar 300 hektare, dan Pulau Galang kira-kira 300 hektare, dengan masa konsesnsi 80 tahun.
Kala itu rencana proyek tersebut bernama Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE). Namun, pengembangan proyek KWTW tak kunjung terealisasi. Bahkan, pada 14 November 2007, proyek tersebut sempat tersandung kasus korupsi yang merugikan negara senilai Rp 3,6 triliun. Sayang, kasus ini tidak pernah ada kejelasan.
Proyek pengembangan Pulau Rempang baru diumumkan kembali ke publik pada 12 April 2023 di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta. Menurut rencana, Pulau Rempang akan dibangun menjadi magnet investasi untuk berbagai sektor industri, jasa, dan pariwisata.
Acara tersebut dihadiri Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto; Kepala BP Batam yang juga Wali Kota Batam Muhammad Rudi; Gubernur Kepulauan Riau Ansar Ahmad; pemilik perusahaan pengembang wilayah PT MEG, Tomy Winata; Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Raja Juli Antoni; dan Staf Ahli Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Elen Setiadi.
Proyek tersebut ditargetkan bisa menarik investasi sebesar Rp 381 triliun sampai dengan 2080. Adapun investasi itu berasal dari berbagai sektor, mulai dari industri, jasa, dan pariwisata. Dari investasi tersebut diharapkan bisa menyerap tenaga kerja sebanyak 306.000 orang.
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Salah satu suku Orang Darat, Lamat, tengah bersiap ke hutan untuk mengumpulkan kayu di Kampung Sadap, Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Minggu (19/2/2023). Suku Orang Darat adalah etnis asli Batam yang kini di ambang kepunahan.
Investasi Xinyi Grup
Salah satu perusahaan yang sudah menyatakan serius berinvestasi di Pulau Rempang adalah Xinyi Group. Pada 28 Juli 2023, PT MEG telah menandatangani perjanjian dengan perusahaan panel surya asal Cina, Xinyi Glass Holdings Limited (Xinyi Group) di Chengdu, disaksikan langsung Presiden Joko Widodo dan Presiden Cina Xi Jinping.
Sebelumnya, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia pun telah mengunjungi kantor dan fasilitas produksi perusahaan tersebut di Wuhu, Cina, pada 19 Juli 2023.
Perjanjian ini dibuat dalam rangka rencana investasi Xinyi Group senilai 11,6 miliar dolar AS atau sekitar Rp 174 triliun, dan diperkirakan akan menyerap tenaga kerja Indonesia sekitar 35 ribu orang. Nilai tersebut sekitar 45,93 persen dari total investasi yang dibidik Rp 381 triliun.
Investasi ini akan berfokus pada pengembangan ekosistem hilirisasi industri kaca panel surya terintegrasi mulai dari pengolahan pasir silika hingga ke pembuatan kaca panel surya dan polisilikon di Kawasan Rempang.
Xinyi Group sendiri merupakan persuahaan multinasional yang merupakan salah satu produsen kaca terbesar di dunia. Memproduksi dan menjual kaca mobil, kaca konstruksi, kaca apung, dan produk kaca lainnya untuk aplikasi komersial dan industri.
Xinyi Group didirikan pada tahun 1988 dan berkantor pusat di Hong Kong. Perusahaan ini terdaftar di Bursa Efek Hong Kong pada tahun 2005 dan telah menjadi konstituen Indeks Hang Seng sejak 6 September 2013.
Di Indonesia, Xinyi Group sebenarnya sudah terlebih dulu berinvestasi di Kawasan Ekonomi Khusus Java Integrated and Industrial Port Estate (KEK JIIPE) di Gresik pada 2022 lalu. Di sana Xinyi memberikan investasi sebesar 700 juta dolar AS atau sekitar Rp 10,5 triliun untuk membangun pabrik kaca industri.
Xinyi juga telah menandatangani MoU dengan PT Berlian Manyar Sejahtera (BMS) yang mengoperasikan fasilitas pelabuhan laut dalam di KEK JIIPE untuk fasilitas pelabuhan dan terminal berkualitas tinggi yang dibutuhkan oleh fasilitas produksi kaca.
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Yupen (35), bersiap menyelam untuk menangkap siput gonggong di pesisir Kampung Monggak, Pulau Batam, Kepulauan Riau, Sabtu (15/4/2023). Siput gonggong yang dimasak dengan cara direbus itu merupakan makanan khas warga Kepri.
Konflik Lahan
Dalam rangka mempercepat pengembangan investasi di Pulau Rempang, Proyek Rempang Eco City dimasukan dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) tahun 2023. Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional yang disahkan oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto 28 Agustus 2023 lalu.
Berlandaskan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016, sebuah proyek yang berada dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) akan memperoleh beberapa keunggulan berupa percepatan pembangunan. Percepatan pembangunan ini diupayakan oleh para menteri, gubernur, hingga bupati terkait regulasi, perizinan, percepatan waktu penyediaan lahan, dan jaminan keamanan politik.
Berdasarkan Peraturan Menko Perekonomian No 7/2023, pengembangan Kawasan Rempang Eco-City masuk dalam daftar program strategis nasional ke-13. Proyek yang meliputi kawasan industri, perdagangan, dan pariwisata itu bakal dibangun di lahan seluas 7.572 hektar atau sekitar 45,89 persen dari total luas pulau tersebut yang memiliki yang memiliki luas sebesar 16.500 hektare.
Demi menyediakan lahan untuk pengembangan proyek ini, ribuan warga harus direlokasi. Pada tahap pertama proyek Rempang Eco City, pemerintah akan merelokasi warga di empat dari 16 kampung di Pulau Rempang. Rencananya, lahan di empat kampung itu harus segera dikosongkan karena akan diserahkan pada PT MEG paling lambat pada 28 September 2023.
Kepala BP Batam sekaligus Wali Kota Batam Muhammad Rudi, Selasa (12/9/2023), mengatakan, sedikitnya ada 700 keluarga yang bermukim di empat kampung yang luasnya 2.000 hektar itu (“Sosialisasi Diintensifkan, Warga Pulau Rempang Enggan Mendaftar Relokasi”, Kompas, 14 September 2023).
Tiga kampung harus direlokasi karena lahannya akan digunakan untuk mendirikan industri kaca yang merupakan investasi dari China. Adapun lahan satu kampung lain akan digunakan untuk pendirian menara ikon Rempang Eco City.
Untuk warga terdampak relokasi, pemerintah akan menyiapkan lahan seluas 450 hektar di Pulau Galang untuk relokasi warga Pulau Rempang. Warga yang direlokasi akan mendapatkan ganti lahan 500 meter persegi dan bangunan rumah tipe 45 senilai Rp 120 juta. Warga juga akan mendapat sertifikat hak guna bangunan.
Selain perumahan, pemerintah juga akan menyiapkan instalasi air pipa, listrik, jalan, telekomunikasi, dermaga nelayan, dan pelabuhan bongkar muat. Khusus keluarga nelayan juga akan mendapat bantuan alat tangkap.
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Walikota Batam sekaligus Kepala Badan Pengusahaan Batam Muhammad Rudi saat menyosialisasikan rencana pembangunan kawasan investasi terpadu di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Selasa (22/8/2023).
Namun, kebijakan relokasi itu menimbulkan konflik di Pulau Rempang. Warga yang merupakan warga asli, terdiri dari suku Melayu, suku Orang Laut, dan suku Orang Darat, menolak direlokasi karena ikatan kuat pada kampungnya.
Penolakan warga terhadap rencana relokasi sudah bermula sejak disebutkan bahwa PT MEG akan mengelola lahan seluas 17.000 hektar. Artinya, seluruh Pulau Rempang, termasuk area perairannya akan dikelola perusahaan.
Penolakan dan kekhawatiran warga terhadap rencana pengembangan Pulau Rempang semakin kuat setelah pemerintah menyetop dana Pembangunan Sarana dan Prasarana Kelurahan (PSPK) 2023 dan perencanaan dana PSPK 2024 untuk Kelurahan Rempang Cate dan Kelurahan Sembulang.
Sejak itu, penolakan terhadap rencana relokasi, khususnya terhadap kampung-kampung adat, terus muncul dari akar rumput. Hingga dua kali memicu bentrokan antara warga dan aparat pada 7 dan 11 September.
Warga menuntut pembangunan proyek Rempang Eco City dilakukan tanpa penggusuran. Alasannya, relokasi akan menghapus identitas mereka sebagai orang Melayu pesisir. Apalagi di sana terdapat 16 kampung tua yang telah mereka tempati sejak zaman leluhur, yakni Tanjung Kertang, Rempang Cate, Tebing Tinggi, Blongkeng, Monggak, Pasir Panjang, Pantai Melayu, Tanjung Kelingking, Sembulang, Dapur Enam, Tanjung Banun, Sungai Raya, Sijantung, Air Lingka, Kampung Baru dan Tanjung Pengapit.
Sebagai catatan, membaca catatan sejarah Traktat London 1824, keberadaan kampung tua di Batam dan sekitarnya sudah berlangsung lebih dari 188 tahun lalu, seiring dengan kejayaan Kerajaan Lingga, Kerajaan Riau, Kerajaan Johor, dan Kerajaan Pahang Malaya.
Traktat London 1824 telah memisahkan Kerajaan Lingga dan Kerajaan Riau masuk sebagai jajahan Belanda, sementara Johor dan Pahang Malaya masuk jajahan Inggris.
Keberadaan penduduk awal di Pulau Rempang juga dapat ditelusuri dalam sejumlah arsip kolonial Belanda. Catatan Belanda Verslag van een bezoek aan de Orang Darat van Rempang atau Laporan Kunjungan ke Orang Darat di Pulau Rempang, 4 Februari 1930, menunjukkan, Pulau Rempang memang sudah dihuni warga jauh sebelum kemerdekaan Indonesia.
Menurut Controleur Onderafdeeling Tanjungpinang P. Wink, yang menuliskan catatan tersebut, pejabat Belanda di Tanjungpinang sudah lama mengetahui tentang keberadaan Orang Darat ini. Tapi, belum ada kontak langsung dengan mereka. Barulah P Wink, pejabat Belanda pertama yang turun langsung menemui Orang Darat ini.
P Wink juga mengatakan, orang Belanda bernama JG Schot dalam tulisannya Indische Gids pada 1882, juga menyebut di Pulau Rempang ada suku asli yang bernama Orang Darat atau Orang Utan.
Oleh karena latar belakang sejarah itu, warga asli kukuh mempertahankan kampung halamannya. Mereka khawatir akan kehilangan sejarah dan identitas, tercerabut dari jejaring sosial yang ada, dan ketidakpastian untuk mengawali hidup di tempat yang baru.
Infografik: Albertus Erwin Susanto
Dampak kepada warga
Meski demikian, masyarakat sesungguhnya tidak menolak investasi dan pengembangan proyek di Pulau Rempang. Warga mendukung rencana pengembangan itu, tetapi mereka menolak rencana penggusuran dalam proyek itu.
Hal itu dikatakan Mustafa (80), warga Kampung Sembulang. Dia menyebut, masyarakat sebenarnya tidak menolak investasi. Namun, mestinya investasi tidak menyingkirkan masyarakat adat yang sudah menempati Pulau Rempang sejak ratusan tahun (“Sosialisasi Diintensifkan, Warga Pulau Rempang Enggan Mendaftar Relokasi”, Kompas, 14 September 2023).
Menurut Mustafa, investasi dan permukiman masyarakat kampung tua bisa berdampingan. Pemerintah dan investor dipersilakan membangun asalkan tidak mengusik perkampungan yang sudah ada.
Hal senada juga diungkapkan Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjung Pinang, Muhammad Syuzairi, mengatakan, kawasan investasi terpadu bisa dibangun berdampingan dengan permukiman warga. Ini juga akan menguntungkan investor karena jadi tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk ganti rugi lahan masyarakat (“Konflik Lahan di Rempang Meruncing, Pemerintah Diminta Dengar Aspirasi Warga”, Kompas, 21 Agustus 2023).
Grafik:
Infografik: Albertus Erwin Susanto
Total luas 16 kampung tua atau permukiman warga asli tersebut sekitar 1.500 atau hanya sekitar 10 persen dari total luas lahan di Pulau Rempang yang mencapai 17.000 hektar. Adapun proyek yang meliputi kawasan industri, perdagangan, dan pariwisata itu bakal dibangun di lahan seluas 7.572 hektar.
Oleh karena itu, seharusnya pembangunan kawasan investasi terpadu tetap dapat dilakukan tanpa menggusur warga. Kampung-kampung adat Melayu yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu bisa dilestarikan dan menjadi bagian dari Rempang Eco City.
Menurut tokoh masyarakat Pulau Rempang, Gerisman Ahmad, warga Pulau Rempang selalu menjadi korban dalam kebijakan pembangunan Kota Batam. Setelah Batam-Rempang-Galang ditetapkan menjadi kawasan pelabuhan bebas pada 1970-an, melalaui Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 memberikan Hak Pengelolaan kepada Otorita Batam, seluruh lahan di pulau-pulau itu dikelola Badan BP Batam (“Rawan Sisihkan Kehidupan Warga Pesisir, Warga Rempang Tolak Penggusuran di Rempang Eco City”, Kompas, 22 Agustus 2023).
Akibatnya, hak-hak perseorangan di areal yang ditetapkan menjadi terbatas. Meskipun sudah menempati pulau tersebut ratusan tahun sebelum Keppres No.41/1973 dibuat, mayoritas warga di Pulau Rempang hanya diberi hak guna bangunan. Sertifikat hak milik hanya diberikan kepada warga asli di Pulau Batam. Itu pun harus lewat proses verifikasi panjang.
Belakangan, pemerintah bahkan menyatakan, seluruh lahan di Pulau Rempang berstatus hutan produksi konservasi (HPK). Warga yang telah tinggal di pulau itu selama ratusan tahun secara turun temurun pun dianggap telah bermukim secara ilegal.
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Warga menghadiri sosialisasi Rempang Eco City di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, Jumat (21/7/2023).
Memperpanjang Daftar Konflik Agraria
Konflik yang terjadi di Pulau Rempang terkait pembangunan kawasan Rempang Eco City ini menambah panjang daftar konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia telah menerima 692 kasus aduan yang terkait dengan konflik agraria sepanjang Januari – Agustus 2023. Setara dengan 4 kasus per hari.
Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah mengatakan jumlah tersebut termasuk aduan konflik pembangunan Rempang Eco City di Pulau Rempang antara masyarakat dan aparat keamanan. Dalam konteks aduan konflik agraria terbanyak, dari empat aduan tertinggi, yakni sektor lahan/pertanahan, perkebunan, infrastruktur, dan perumahan, sebanyak 80 persen merupakan konflik lahan/pertanahan.
Sederet konflik yang terjadi dalam delapan bulan terakhir secara masif terkait dengan Proyek Strategis Nasional (PSN), misalnya yang terkini konflik di Pulau Rempang. Merujuk data KontraS, sejak awal tahun 2022 hingga September 2023 saja telah terjadi 19 peristiwa pelanggaran hak dalam isu yang ada kaitannya dengan PSN.
Sedangkan berdasarkan Catatan Akhir Tahun 2022 Konsorsium Pembaruan Agraria, selama tahun 2022, sebanyak 212 konflik agraria terjadi sepanjang 2022. Meningkat dibandingkan tahun 2021 dengan jumlah 207 konflik.
Grafik:
Infografik: Albertus Erwin Susanto
KPA juga mencatat sepanjang 2022 telah terjadi 497 kasus kriminalisasi yang dialami pejuang hak atas tanah di berbagai penjuru tanah air. Angka ini bahkan meningkat signifikan dibandingkan tahun 2021 sebanyak 150 kasus dan 120 kasus pada 2020
Adanya eskalasi konflik agraria di Indonesia salah satunya disebabkan oleh adanya kesenjangan kuasa atas tanah di Indonesia karena paradigma pembangunan kita belum lepas dari watak kolonial. Melalui Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) yang dikeluarkan tahun 1870, pemerintah kolonial menetapkan asas Domein Verklaring atau “pernyataan domein” yang menyatakan bahwa semua tanah yang tidak bisa dibuktikan melalu bukti kepemilikan dianggap sebagai domein atau milik negara (“Menggugat Dalih Pembangunan Rempang”, Kompas, 19 September 2023).
Merujuk Siti Rakhma Mary Herwati dan Citra Referandum M dalam “RUU Pertanahan: Membangun Koloni Bari di Bawah Investasi”, prinsip tersebut amat berbahaya karena tak semua orang memiliki tanda bukti formal seperti sertifikat atas kepemilikan lahannya. Pertama, masyarakat belum mendaftarkan tanahnya. Kedua, komunitas-komunitas adat belum diakui keberadaannya dan hak ulayatnya.
Ketiga, mayoritas masyarakat yang menjadi korban dalam konflik agraria masih sulit mengakses atau mendapatkan alas hak (sertifikat) sebab tanah masih dalam konflik. Keempat, keberpihakan pemerintah kepada pemilik modal sehingga mempersulit masyarakat mendapatkan menyelesaikan konflik dan mendapatkan sertifikat tanah.
Politik agraria yang berwatak kolonial tersebut secara sistematis melemahkan kedudukan penduduk lokal. Menurut Profesor Antropologi Politik Komparatif di Universitas Amsterdam dan Peneliti Senior di KITLV Leiden Ward Berenschot, konsep ”pernyataan domein” ini penting karena telah memfasilitasi Belanda mengeksploitasi kekayaan Indonesia dengan cara melemahkan kontrol masyarakat adat dan tradisional lain atas tanah mereka. Berikutnya, tanah-tanah itu bisa disewakan kepada pengusaha (“150 Tahun Belenggu atas Hak Tanah”, Kompas, 20 Juli 2020).
Konsep ini nyatanya masih hidup di era modern Indonesia dan telah menyebabkan maraknya konflik pertanahan dan kemiskinan. Prinsip yang dibangun atas domein verklaring, bahwa kepentingan negara lebih diprioritaskan daripada hak-hak warga negara atas tanah, masih menjadi karakter umum penguasaan lahan di sebagian besar wilayah Indonesia.
Seperti halnya pemerintah kolonial dulu, negara menggunakan kontrolnya terhadap tanah untuk memberikan konsesi kepada korporasi. Data pemerintah tahun 2017 menunjukkan, 95,76 persen izin konsesi kehutanan diberikan kepada korporasi dan hanya 4,14 persen dialokasikan bagi masyarakat.
Dalam kasus Pulau Rempang, merujuk Kompas (19/9/2023), berdasarkan penjelasan Menteri Agraria dan Tata Ruang pada rapat kerja dengan Komisi II DPR, 12 September 2023, status 17.000 hektar tanah di Pulau Rempang merupakan kawasan hutan. Warga tidak memiliki hak milik dan terdapat pengajuan permohonan hak pengelolaan atas nama BP Batam pada areal penggunaan lain (APL) dengan luas 600 ha.
Dengan dasar izin konsesi itu, perusahaan mendapat legalitas untuk mengambil alih lahan warga yang sudah hidup dan bekerja di atas lahan itu secara turun temurun. Hal ini tentu berdampak besar terhadap kesejahteraan dan kualitas hidup warga sehari-hari karena mengakibatkan konflik dan kemiskinan.
Infografik: Albertus Erwin Susanto
Indikasi Pelanggaran HAM
Merujuk Kompas (21/9/2023) dan laporan berjudul ”Keadilan Timpang di Pulau Rempang” yang dikeluarkan Solidaritas Nasional, ditemukan adanya indikasi pelanggaran HAM di Rempang. Berdasarkan temuan di lapangan, pelanggaran HAM itu berupa penggunaan kekuatan berlebihan yang mengakibatkan kekerasan dan tidak terukurnya tindakan aparat dalam menembak gas air mata.
Pada peristiwa 7 September 2023 misalnya, polisi yang menembakkan gas air mata di dekat sekolah SDN 24 dan SMPN 22 Galang mengakibatkan kepanikan, ketakutan, hingga luka fisik pada anak-anak yang sedang melakukan pembelajaran. Padahal, pihak sekolah sudah mengimbau dan memperingatkan agar polisi tidak menembakkan gas air mata ke arah sekolah.
Grafik:
Infografik: Albertus Erwin Susanto
Tindakan aparat tersebut dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap berbagai aturan, seperti Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta Perkap Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak dalam Penanggulangan Huru Hara.
Laporan itu menyebutkan, seharusnya aparat keamanan dapat mengupayakan tindakan lain selain menggunakan gas air mata. Berdasarkan Pasal 5 Perkap Nomor 1 Tahun 2009, tindakan yang dapat dilakukan kepolisian dapat berupa kekuatan yang memiliki dampak pencegahan, perintah lisan, kendali tangan kosong lunak, kendali tangan kosong keras, hingga kendali senjata tumpul.
Selain itu, berdasarkan laporan yang dikeluarkan pada Minggu (17/9/2023), terdapat delapan orang yang ditangkap dan dituduh melakukan perlawanan pascakejadian pada 7 September 2023. Penangkapan dinilai bentuk kriminalisasi masyarakat yang sedang berjuang mempertahankan ruang hidupnya.
Mengacu Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana ataupun digugat secara perdata.
Sementara itu, merujuk laman resmi Ombudsman, juga ditemukan adanya potensi maladministrasi yang dilakukan oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) dan Pemerintah Kota Batam (Pemkot Batam) pada rencana relokasi warga Kampung Tua di Pulau Rempang.
Ombudsman memperoleh informasi bahwa BP Batam telah mencadangkan alokasi lahan Pulau Rempang sekitar 16.500 hektar. Lahan ini akan dikembangkan sebagai proyek Strategis Nasional 2023 menjadi kawasan industri, perdagangan, hingga wisata dengan nama Rempang Eco Park Pulau Rempang.
Terhadap pencadangan alokasi lahan atau rencana pengalokasian tersebut, menurut Ombudsman hal ini tidak sesuai ketentuan. Karena belum dikeluarkannya sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) oleh Kementerian ATR/BPN kepada BP Batam.
Terkait hal itu, Ombudsman juga akan mendalami penguasaan fisik bidang tanah masyarakat yang sudah puluhan tahun berada di Pulau Rempang, apakah ada unsur kelalaian negara yang tidak memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan hak milik di tanah yang sudah turun temurun ditempati.
Mencari Jalan Keluar Konflik Rempang
Situasi di Pulau Rempang yang terus memanas harus untuk segera diselesaikan sebelum konflik yang terjadi semakin meluas. Terkait hal tersebut, terdapat sejumlah masukan dari berbagai kalangan yang perlu menjadi perhatian pemerintah dalam mengambil langkah penyelesaian konflik.
Soal Rempang, merujuk tulisan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Maria SW Sumardjono berjudul “Kehadiran Negara dalam Konflik Rempang” di Kompas (18/92023), penyelesaian konflik dapat dimulai dengan pelurusan tentang status tanah.
Semua pihak perlu kembali ke titik awal yang menyangkut kejelasan tentang status tanah. Ini penting supaya klaim terhadap tanah di kawasan itu jelas dan tidak tumpang tindih dengan tanah warga yang pemilikannya didasarkan pada penguasaan fisik, tetapi tanpa alat bukti hak. Hal ini dapat dilakukan dengan menelusuri dari awal sejarahnya.
Terkait rencana relokasi, menurut Maria, pemerintah harus melakukan komunikasi yang melibatkan masyarakat. Pemerintah harus secara jujur menyampaikan dampak positif ataupun negatif relokasi terkait proyek Rempang Eco City ke masyarakat, khususnya yang terdampak. Tanpa partisipasi masyarkat pasti relokasi akan sulit diterima warga terdampak.
Relokasi yang dilakukan juga tidak bisa serba cepat, perlu mengikuti prasyarat involuntary resettlement, yakni penilaian awal kondisi sosial, rencana relokasi yang rinci dan jangka waktunya, pemulihan kembali kondisi sosial ekonomi warga, peluang kerja, langkah untuk mengatasi permasalahan yang timbul, pemantauan, dan evaluasi (“Kehadiran Negara dalam Konflik Rempang”, Kompas, 18 September 2023).
Sementara untuk melakukan relokasi, menurut Tokoh Melayu dan pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjung Pinang, Muhammad Syuzairi, pemerintah harus mengutamakan pendekatan yang humanis (“Konflik di Pulau Rempang, Pemerintah Diminta Utamakan Pendekatan Humanis”,Kompas, 11 September 2023).
Hal itu salah satunya dapat dilakukan dengan menunda rencana relokasi warga. Pemerintah tidak bisa mengabaikan permintaan warga untuk melakukan pembangunan tanpa menggusur perkampungan adat.
Ia menilai, sesuai namanya, Rempang Eco City seharusnya dibangun tanpa menggusur warga. Kampung-kampung adat Melayu yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu seharusnya bisa dilestarikan dan menjadi bagian dari Rempang Eco City.
Senada dengan hal itu, anggota Komisi IV DPRD Kepri, Uba Ingan Sigalingging, mengatakan, pembangunan ekonomi seharusnya berlandaskan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Hak sosial dan budaya warga Rempang tidak serta-merta bisa diganti pemerintah dengan materi, seperti skema relokasi yang sudah ditawarkan.
Terkait dengan adanya indikasi konflik kepentingan, pemerintah didorong untuk mengutamakan kepentingan masyarakat. Dorongan itu disampaikan Pengurus Besar Nadhatul Ulama (PBNU) dan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Dua organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia ini berpandangan, pembangunan semestinya dilakukan terutama untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat (“Selesaikan Sengketa di Pulau Rempang, Pemerintah Diminta Utamakan Masyarakat”, Kompas, 16 September 2023).
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, mengatakan, investasi memang dibutuhkan oleh negara. Namun, investasi itu harus sungguh-sungguh dijadikan peluang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, khususnya yang ada di lokasi investasi. Dengan demikian, masyarakat harus dijaga dan tidak boleh menjadi korban.
Sementara itu, supaya situasi kondusif dan tidak memantik suasana panas, Komnas HAM menyarankan agar pemerintah melakukan penghentian pengerahan aparat keamanan di Rempang. Keberadaan aparat kemanan dikabarkan membuat warga terintimidasi.
Selain itu, Komnas HAM meminta Pemda memulihkan kondisi warga dan anak-anak korban kekerasan dan trauma. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- ”Keadilan Timpang di Pulau Rempang”, diakses dari kontras.org
- “RUU Pertanahan: Membangun Koloni Bari di Bawah Investasi”, diakses dari bantuanhukum.or.id
- “Laporan Khusus Tim Agraria Komnas HAM: Respon Eskalasi Konflik Agraria Januari – Agustus 2023”
- “Catatan Akhir Tahun KPA 2022: PTPN Tak Tersentuh, Kriminalisasi Rakyat Meningkat”, diakses dari pustakaagraria.go.id
- “Daerah Sekilas: Batam-Tommy Winata, melalui PT Makmur Elok Graha Membangun Kawasan Wisata Pulau Rempang”, Kompas, 31 Agustus 2004.
- “Surat Kaleng: Tommy Winata Dimintai Keterangan”, Kompas, 15 November 2007.
- “Konflik Agraria Makin Luas”, Kompas, 7 Januari 2020.
- “150 Tahun Belenggu Atas Hak Tanah”, Kompas, 20 Juli 2020.
- “Tantangan Reforma Agraria”, Kompas, 24 September 2021.
- “Penyelesaian Konflik Agraria Mesti Berbasis Hak Asasi Manusia”, Kompas, 18 April 2023.
- “Pembangunan Rempang yang Rawan Menyisihkan Warga Pesisir”, Kompas, 22 Agustus 2023.
- “Penggusuran di Rempang”, Kompas, 1 September 2023.
- “Konflik di Pulau Rempang, Pemerintah Utamakan Pendekatan Humanis”, Kompas, 11 September 2023.
- “Memahami Kasus Pulau Rempang”, Kompas, 13 September 2023.
- “Efek Kebut Proyek Strategis Nasional di Rempang Hingga IKN”, Kompas, 14 September 2023.
- “Hentikan Sementara Rencana Pembangunan Rempang”, Kompas, 16 September 2023.
- “Selesaikan Sengketa di Pulau Rempang, Pemerintah Diminta Utamakan Masyarakat”, Kompas, 16 September 2023.
- “Kehadiran Negara dalam Konflik Rempang”, Kompas, 18 September 2023.
- “Masyarakat Kukuh Menolak Direlokasi dari Pulau Rempang”, Kompas, 19 September 2023.
- “Menggugat Dalih Pembangunan Rempang”, Kompas, 19 September 2023.
- “Soal Rempang Eco City, Ombudsman RI Tegaskan Pemerintah Harus Prioritaskan Kepentingan Masyarakat Dibanding Percepatan Pembangunan”, diakses dari ombudsman.go.id
Artikel terkait