Paparan Topik | Kebudayaan

Repatriasi, Upaya Indonesia Mengembalikan Sejarah yang Hilang

Pengembalian benda cagar budaya terkait erat dengan identitas nasional. Harapannya benda-benda ini dapat memberikan petunjuk akan kepingan sejarah bangsa yang sempat menghilang dari Tanah Air.

KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA

Pengunjung memotret arca Prajnaparamita peninggalan Kerajaan Singasari dalam pameran ”Repatriasi: Kembalinya Saksi Bisu Peradaban Nusantara”, Jumat (1/12/2023).

Fakta Singkat

  • Upaya repatriasi benda cagar budaya di Indonesia telah dirintis sejak tahun 1970-an.
  • Pada tahun 1970-an benda-benda yang berhasil dikembalikan ke Indonesia antara lain naskah penting Nagarakertagama, arca Prajnaparamita, pelana kuda Pangeran Diponegoro, dan koleksi emas dari kerajaan di Lombok.
  • Tahun 2005, Museum Wayang di Jakarta menerima 185 boneka wayang dari Museum Dunia di Rotterdam.
  • Tahun 2008 dan 2009 diserahkan 55 artefak etnografis dari Tropenmuseum Amsterdam dan Orde Biarawan Kapusin (Orde der Minderbroeders) dari Tilburg kepada beberapa museum regional di Kalimantan Barat dan Nias.
  • Antara tahun 2020–2023 sebanyak 1.500 benda bersejarah Indonesia yang tersimpan di Museum Nusantara Delft, Belanda, dikembalikkan ke Indonesia.
  • Pada repatriasi tahun 2023 dikembalikan juga arca Mahakala, Ganesha, Durga Mahisasuramardini, Nandiswara, keris Klungkung yang dijarah dari Perang Puputan Bali, serta lukisan dan kerajinan yang dibuat oleh komunitas Pita Maha di Bali.

Artikel terkait

Program repatriasi benda cagar budaya antara Indonesia dengan Belanda pada tahun 2023 ini bukanlah yang pertama kali. Jauh sebelumnya pada tahun 1970-an program ini sempat dijalankan dengan dikembalikannya naskah Nagarakertagama, arca Prajnaparamita, benda pusaka dari Kerajaan Lombok, dan lain sebagainya. Namun, pada tahun 1980-an sempat terhenti dan baru tahun 2020 isu pengembalian barang ini muncul kembali.

Ada banyak faktor yang membuat program repatriasi ini muncul kembali. Salah satunya adalah permintaan maaf dari Raja Belanda dan Perdana Menterinya atas penjajahan pada masa lalu. Pengakuan ini juga seturut dengan gerakan di Eropa dan Amerika Serikat tentang ganti rugi moril kepada masyarakat kelompok terjajah.

Bagi bangsa Indonesia repatriasi benda cagar budaya menjadi salah satu momentum dekolonisasi atas jejak-jejak sejarah yang dirampas semasa kolonialisme. Benda cagar budaya menjadi salah satu faktor penguatan akan identitas nasionalisme bahwa Negara Indonesia adalah bangsa yang besar dan luhur.

Repatriasi

Pameran repatriasi benda-benda cagar budaya yang diadakan pada 28 November 2023 hingga 10 Desember 2023, menunjukkan bahwa ada begitu banyak benda bersejarah Indonesia yang berada di luar negeri. Penyebabnya karena pada masa penjajahan, beberapa negara seperti Belanda dan Inggris melakukan penjarahan benda-benda bersejarah dan dibawa langsung ke negerinya.

Oleh karena itu, hingga saat ini ada beberapa koleksi yang masih tersimpan di museum-museum Belanda seperti di Rijksmuseum Amsterdam, Nationaal Museum van Wereldculturen, Nederlands instituut voor oorlogsdocumentatie (NIOD), Tropen Museum, dan Volkenkunde Museum.

Seperti yang dikatakan oleh Bonnie Triyana, kurator pameran repatriasi, upaya pengembalian benda bersejarah Indonesia sudah dirintis sejak lama. Mantan Menteri Kehakiman Mohammad Yamin sudah mengusulkan hal itu pada 1951. Setelah 21 tahun berselang, naskah Nagarakertagama dikembalikan ke Tanah Air. Enam tahun kemudian arca Prajnaparamita dan sejumlah pusaka dari Kerajaan Lombok dipulangkan dari Belanda.

Jejak: Penelitian Sejarah Asal Usul dan Pemaknaan Benda-benda dan Koleksi Budaya yang Diperoleh dalam Situasi Kolonial menyebutkan bahwa program repatriasi benda budaya ini berkembang seturut dengan membaiknya hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Belanda. Apalagi Belanda yang dahulunya sebagai negara kolonial dituntut untuk mengembalikan barang-barang jarahan di negara-negara jajahannya.

Perdebatan tentang repatriasi benda cagar budaya sebenarnya telah berkembang di Eropa dan Amerika Serikat beberapa dasawarsa terakhir. Peristiwa ini muncul seturut dengan berkembangnya isu hak dan transitional justice, serta ganti rugi moril dan material atas ketidakadilan historis terhadap berbagai kelompok masyarakat terjajah. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Jerman yang mengganti rugi kelompok korban Perang Dunia II, terutama mereka yang menjadi korban politik Nazi. Atas dasar inilah kemudian banyak dari negara penjajah mulai berpikir ulang tentang ganti rugi dan repatriasi.

Sebelumnya pada Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dengan Belanda tahun 1949 yang menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia. Pada pasal 19 dalam perjanjian tersebut terdapat kerangka yang jelas untuk penyerahan benda-benda budaya. Namun, karena hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Belanda saat itu belum membaik maka perjanjian tersebut tidak menghasilkan tindakan lebih lanjut.

Baru kemudian dalam Perjanjian Kebudayaan (Cultureel Akkoord) disepakati pada tahun 1968 hubungan antara Indonesia dengan Belanda cukup membaik. Keadaan ini juga didukung dengan pertemuan Menteri Luar Negeri Belanda Schmelzer dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik membuat hubungan kedua negara menjadi rukun kembali. Selain itu, kedua negara juga meneken perjanjian pembinaan permuseuman dan pengarsipan agar benda cagar budaya tetap terjaga.

Agenda untuk penyerahan kembali barang-barang kebudayaan pun dibahas kembali. Perjanjian tersebut menghasilkan sejumlah pengembalian di antara tahun 1970-an, seperti naskah penting Nagarakertagama dan arca Prajnaparamita, ada juga pelana kuda Pangeran Diponegoro, dan koleksi emas dari kerajaan di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Walaupun begitu pengembalian barang-barang dari Belanda ke Indonesia menemui banyak kesulitan. Atase Pendidikan dan Kebudayaan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Belanda, Koesnadi Hardjasoemantri menjelaskan adanya empat status benda budaya Indonesia di negeri Belanda.

Pertama, status rampasan, yaitu benda yang dirampas dari pemiliki sah oleh pemerintah Belanda. Kedua, benda status pinjaman yaitu benda cagar budaya asal Indonesia yang dipinjam oleh pemerintah Belanda demi kepentingan edukasi dan sesuai dengan perjanjian akan dikembalikan. Ketiga, status benda yang dibeli oleh Belanda dari pemilik yang saha. Keempat, benda cagar budaya dengan status hadiah. Menurut Koesnadi, status ketiga dan keempat inilah yang sulit dilakukan pengembaliannya.

KOMPAS/PAT HENDRANTO

Menjelang sidang kabinet terbatas di Bina Grtaha Selasa kemarin, Presiden Soeharto (kanan) menyerahkan naskah asli kitab Negarakertagama kepada Menteri P dan K Syarif Thajeb, yang tampak sedang menyorongkan tubuhnya untuk menerima benda sejarah tak ternilai itu (23/2/1974). Naskah berbahasa Kawi itu dahulu dibawa Belanda, tapi kemudian dikembalikan kepada Indonesia ketika Presiden berkunjung ke Belanda tahun 1972.

Setelah Indonesia berhasil memulangkan beberapa benda cagar budaya dari Belanda, sepanjang tahun 1980-an program ini tidak diberitakan lagi. Hal ini membuat repatriasi benda cagar budaya berhenti. Dua dekade kemudian program repatriasi ini muncul lagi.

Pada tahun 2005, Museum Wayang di Jakarta menerima 185 boneka wayang dari Museum Dunia di Rotterdam. Pada tahun 2008 dan 2009 juga terjadi penyerahan 55 artefak etnografis dari Tropenmuseum Amsterdam dan Orde Biarawan Kapusin (Orde der Minderbroeders) dari Tilburg kepada beberapa museum regional di Kalimantan Barat dan Nias.

Pada tahun 2013, Museum Nusantara di Belanda pernah menawari Museum Nasional di Jakarta sebanyak 12 ribu benda yang akan dikembalikan. Namun, Kementerian Kebudayaan Indonesia melalui Direktur Jenderal Hilmar Farid keberatan. Alasannya karena rendahnya hak turut bicara, penelitian asal-usul, dan transparansi sehingga pembicaraan pun mandek. Akhirnya, pada tahun 2016 hanya 1564 benda saja yang diserahkan kepada Museum Nasional.

Atas peristiwa inilah pada tahun 2017 Nationaal Museum van Wereldculturen mulai membuat kebijakan tentang repatriasi benda-benda cagar budaya. Dalam dokumen kebijakan, Return of Cultural Objects: Principles and Process, menetapkan adanya titik tolak dan prosedur kepada museum yang akan digunakan sebagai dasar untuk mengevaluasi restitusi benda-benda budaya.

Dalam dokumen tersebut memberi perhatian besar terhadap penelitian asal usul. Museum melalukan penelitian bersama dengan negara-negara dan masyarakat-masyarakat pemilik asli benda budaya terlebih dahulu untuk mengetahui sejarah suatu benda tersebut sebelum dikembalikan. Penelitian ini juga diharuskan untuk melibatkan sejarawan agar supaya harta warisan tersebut benar-benar kembali kepada pemiliknya.

Melalui dokumen tersebut kemudian pada tahun 2020 muncul kembali isu repatriasi benda budaya kembali. Akhirnya sebanyak 1.500 benda bersejarah Indonesia yang tersimpan di Museum Nusantara Delft, Belanda, dikembalikan ke Indonesia. Proses repatriasi itu membutuhkan waktu hingga empat tahun karena harus melalui proses penelitian asal usulnya terlebih dahulu.

Seperti yang dikutip dalam Kompas pada 3 Januari 2020, proses repatriasi koleksi museum itu amat pelik mengingat ada perbedaan regulasi di antara dua negara. Selain itu, semua benda yang telah dipilih harus melalui proses appraisal atau penaksiran oleh ahli untuk memastikan nilai asuransi yang harus dikenakan terhadap benda-benda itu. Adapun nilai taksiran terhadap 1.500 koleksi museum itu mencapai 1,1 juta euro atau Rp 17,1 miliar.

Banyak pihak berpandangan bahwa kemudahan repatriasi benda cagar budaya ini tidak bisa dilepaskan dari kunjungan Raja Belanda Willem-Alexander ke Jakarta pada 10 Maret 2020. Pada kunjungannya tersebut, Raja Willem-Alexander menyatakan permohonan maaf atas kekerasan yang dilakukan oleh Belanda pada masa kolonial dahulu. Sejalan dengan itu, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte pada 18 Februari 2022 menyampaikan permintaan maaf kepada Indonesia atas kekerasan sejak masa VOC hingga perang kemerdekaan.

Baca juga: Memperluas Wawasan Budaya lewat Pameran Benda Bersejarah Rampasan Belanda

KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Arca Durga Mahisasuramardini dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, Senin (27/11/2023). Galeri Nasional Indonesia berkolaborasi dengan Museum Nasional Indonesia menggelar pameran sejumlah artefak hasil repatriasi. Pameran bertema “Repatriasi: Kembalinya Saksi Bisu Peradaban Nusantara” ini memamerkan 152 benda-benda bersejarah, di antaranya empat arca tinggalan Kerajaan Singasari yang sudah tiga abad berada di Belanda.

Diplomasi Kebudayaan

Program repatriasi benda cagar budaya yang dilakukan oleh pemerintah Belanda kepada Indonesia ini termasuk dalam diplomasi kebudayaan. Menurut Tulus Warsito dan Wahyuni Kartikasari yang dimaksud dengan diplomasi kebudayaan adalah usaha suatu negara untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya melalui dimensi kebudayaan, seperti pendidikan, ilmu pengetahuan, kesenian, dan lain sebagainya.

Tujuan utama dari diplomasi kebudayaan itu sendiri adalah untuk mempengaruhi pendapat umum guna mendukung suatu kebijaksanaan politik luar negeri tertentu. Peran diplomasi kebudayaan tidak hanya memperkuat kerja sama sosial budaya tetapi juga kerja sama bisnis dan ekonomi antara Indonesia dengan mitra internasional. Di sini melalui repatriasi benda cagar budaya memperlihatkan bahwa Belanda ingin memperbaiki hubungan baik dengan Indonesia akibat kolonialisme dahulu.

Direktur Jenderal UNESCO, Amadou-Mahtar M’Bow, mengeluarkan, Plea for the Return of Irreplaceable Cultural Heritage to Those Who Created it, pada 7 Juni 1978. Permohonan tersebut adalah aturan tentang pemulangan kekayaan seni budaya yang mewakili kebudayaan mereka yang menciptakannya. Melalui permohonan ini, benda cagar budaya telah dianggap mewakili identitas nasional dan nilainya semakin meningkat seturut dengan konsekuensi ekonomi yang cukup besar, misalnya terkait bidang museum dan pariwisata.

Dalam Pemulangan Benda Cagar Budaya dan Identitas Nasional pada Era Pascakolonial di Indonesia, yang dimuat di dalam Jurnal Pratu, Wieske Sapardan menuliskan bahwa organisasi internasional, pemerintah, dan kaum akademisi untuk merumuskan prinsip dan prosedur yang memandu pemulangan warisan budaya benda yang diambil, disalahgunakan, atau dijarah selama masa perang maupun masa kolonial.

Dalam prosedur tersebut Komite Antar-Pemerintah dari Konvensi UNESCO 1970 menyusun Formulir Standar tentang Permintaan untuk Pemulangan atau Restitusi. Kemudian Dewan Museum Internasional (ICOM) mengadopsi Kode Etik Museum ICOM pada tahun 1986 yang diubah pada tahun 2001 dan selanjutnya direvisi pada tahun 2004. Tidak hanya itu saja, Asosiasi Hukum Internasional (ILA) mengadopsi Prinsip-prinsip Kerja Sama untuk Perlindungan dan Transfer Warisan Budaya Benda pada tahun 2006.

Repatriasi benda cagar budaya bagi negara bekas penjajah cukup penting karena terkait dengan identitas nasional dan budaya dari masyarakat setempat. Menurut Hilmar Farid, repatriasi ini diharapkan dapat secara langsung menyajikan keping sejarah bangsa yang sempat lama menghilang dari Tanah Air. Bahkan melalui diplomasi kebudayaan ini dapat berlanjut pada kerja sama lainnya yang menguntungkan bagi kedua negara.

KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN

Petugas Museum Nasional mendata koleksi-koleksi benda bersejarah yang baru dikembalikan dari Museum Nusantara Delft, Belanda, Kamis (2/1/2020), di Museum Nasional, Jakarta. Sebanyak 1.500 benda bersejarah Indonesia yang tersimpan di Museum Nusantara Delft akhirnya dikembalikan ke Indonesia. Benda-benda itu merupakan hasil jarahan pada masa kolonial.

Benda Cagar Budaya

Pada repatriasi tahun 2023 ini sejumlah benda cagar budaya yang berhasil diselamatkan cukup banyak. Antaranya adalah empat arca peninggalan dari Kerajaan Singasari yakni Mahakala, Ganesha, Durga Mahisasuramardini, dan Nandiswara. Selain itu juga terdapat keris Klungkung yang dijarah dari Perang Puputan Klungkung, Bali, serta lukisan dan kerajinan yang dibuat oleh komunitas Pita Maha di Bali.

Ada juga ratusan perhiasan berupa cincin, anting, gelang, penjepit, serta kancing yang terbuat dari emas dan batu permata dari rampasan Lombok. Ada pula peralatan sehari-hari seperti botol parfum, mangkuk persembahan, tempat tembakau, wadah air suci, piring, dan kotak rokok. Selain itu juga terdapat 472 artefak berharga hasil proses pemulangan kembali atau repatriasi benda sejarah dan budaya dari Belanda ke Tanah Air.

Melihat benda-benda yang berhasil dikembalikan oleh Belanda ke Indonesia menarik untuk mencermati pulangnya empat arca peninggalan Kerajaan Singasari ini. Alasannya karena keempat arca tersebut memiliki hubungan dengan arca Prajnaparamita yang kembali ke Indonesia lewat program repatriasi tahun 1970-an. Arca-arca tersebut dianggap sebagai mahakarya dari Indonesia sehingga pemerintah Indonesia memperjuangkannya untuk masuk ke dalam daftar benda yang diminta.

Arca Ganesha yang dikembalikan cukup menarik dalam hal sejarah dan bentuknya. Kaki sebelah kanan Ganesha agak mengangkat sedikit dan sebelah kirinya bersila ke dalam. Hal ini memperlihatkan bentuk lutut dari Ganesha, sesuatu hal yang sangat jarang diperlihatkan mengingat beberapa arca Ganesha yang ditemukan di Indonesia lebih banyak yang berdiri.

Di bawah arca Ganesha terdapat bentuk tengkorak yang melingkari arca ini. Dalam disertasi Edi Sedyawati yang berjudul Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Sinhasari: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian, disebutkan bahwa dalam kakawin Smaradahana menceritakan bahwa Ganesha memusnahkan lawannya dengan senjata kapak. Ganesha juga dikenal galak dan mempunyai mata tiga yang menyala-nyala. Kegalakan Ganesha digambarkan berupa mata yang melotot, mulut yang menganga atau cemberut, dan pemakaian laksana-laksana berupa tengkorak.

Apabila sekilas melihat bentuk arca Ganesha yang dibawa dari Belanda ini memiliki kemiripan dengan arca Ganesha yang berada di desa Karangkates, Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Di bagian bawah yang menopang arca terlihat bentuk tengkorak yang melingkar. Bedanya arca Ganesha di Karangkates bentuknya berdiri tegak dengan tinggi lebih dari tiga meter. Kedua arca tersebut berasal dari zaman yang sama yakni masa Kerajaan Singasari.

KOMPAS/DEFRI WERDIONO

Warga membersihkan area di sekitar situs Ganesha di Desa Karangkates, Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang, Jawa Timur (19/4/2016).

Kakawin Smaradahana sendiri adalah naskah yang menceritakan tentang kisah Ganesha. Naskah ini ditulis oleh Mpu Dharmaja pada masa Kerajaan Kediri. Menurut Edi Sedyawati dalam naskah ini kisah Ganesha mengacu pada sumber India, sehingga beberapa kisahnya memiliki kesamaan. Bahkan di Indonesia dan India, Ganesha sama-sama dipercaya sebagai dewa pengetahuan sekaligus juga dewa perwira yang dapat mengatasi musuh dan halang rintang. Hal ini jugalah yang membuat Ganesha cukup dikenal di Indonesia dan arcanya banyak ditemukan.

Selain arca Ganesha ada arca Durga Mahisasuramardini yang dikembalikan. Durga adalah istri dari Dewa Siwa yang sering diwujudkan sebagai “Mahisasuramardini” atau pembunuh banteng dengan posisi menindas raksasa banteng. Ia digambarkan sebagai wanita cantik dengan busana kebesaran bertangan delapan atau duabelas yang memegang berbagai senjata.

Sedangkan arca Mahakala dan Nandiswara adalah arca yang berdampingan. Mahakala adalah perwujudan dari Dewa Siwa sebagai penjaga pintu masuk bangunan suci agama Hindu atau candi Hindu. Posisi Mahakala selalu berada di sebelah kanan pintu masuk, sedangkan Nandiswara berada di sebelah kiri pintu masuk.

Benda cagar budaya yang berasal dari Bali juga ikut dalam repatriasi Belanda. Contohnya seperti keris-keris peninggalan Kerajaan Klungkung yang pernah dijarah oleh Belanda pada saat pendudukannya di tahun 1840-an. Saat itu sejarah mencatat bahwa Belanda ingin menguasai Bali lewat perjanjian-perjanjian politik dengan kerajaan setempat. Belanda yang sudah menguasai kerajaan tersebut maka dapat dengan mudah membawa benda-benda pusakan kerajaan ke negeri Belanda.

Tidak hanya benda-benda seni kerajaan saja yang dijarah di Bali, benda-benda kesenian milik komunitas seniman Pita Maha yang juga dikembalikan. Diketahui bahwa Pita Maha adalah praktik kreatif pelukis di seputar pedesaan Ubud dan sekitarnya yang menghasilkan karya seni lukis baru pada tahun 1920-an hingga 1940-an.

Pengembalian benda cagar budaya oleh Belanda tidak hanya sebatas ini saja. Namun juga benda-benda cagar budaya yang masih tertinggal di Belanda pun juga masih banyak mengingat Belanda bercokol di Indonesia dalam waktu yang lama. Perlu dukungan dari pemerintah, peneliti, dan masyarakat baik Indonesia dan Belanda untuk berusaha mengembalikan lagi benda-benda tersebut ke kampung halamannya.

Baca juga: Tiga Abad di Belanda, Empat Arca Dikembalikan ke Indonesia

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Wisatawan mancanegara melihat arca koleksi Museum Nasional, Jakarta, Sabtu (4/9/2010). Para wisatawan berkunjung ke museum tersebut untuk mengenal lebih dekat sejarah dan budaya tradisional Indonesia.

Penyimpanan di Museum

Repatriasi benda cagar budaya yang telah dirintis sejak puluhan tahun yang lalu dan mulai dilakukan kembali di tahun ini memberikan keuntungan besar bagi dunia sejarah Indonesia. Benda-benda tersebut yang sudah berada di negeri Belanda sejak zaman kolonial diperbolehkan untuk kembali ke kampung halamannya. Selain itu, benda-benda tersebut dapat memperlihatkan identitas nasional Indonesia sebagai bangsa yang besar.

Namun, pengembalian benda-benda cagar budaya tersebut memberikan tantangan bagi pemerintah Indonesia terkait dengan penyimpanannya. Benda-benda tersebut dalam penyimpanannya harus diperhatikan supaya tidak mengalami kerusakan. Selama ini Museum Nasional Indonesia dipergunakan sebagai lokasi penyimpanan sekaligus memamerkan benda-benda cagar budaya.

Museum Nasional Indonesia sendiri berdiri sejak zaman kolonial Belanda. Saat itu dibentuklah lembaga bernama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen di tahun 1778. Lembaga ini didirikan sebagai suatu organisasi independen untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Banyak dari peneliti berkebangsaan Belanda yang berjasa telah menemukan benda-benda sejarah dan berusaha untuk mengungkap sejarahnya.

Pada tahun 1862 lembaga tersebut membangun gedung untuk menyimpan benda-benda bersejarah yang menjadi cikal bakal Museum Nasional. Baru tahun 1868 museum tersebut dibuka oleh umum. Pada masa kemerdekaan Indonesia gedung tersebut diberikan kepada pemerintah Indonesia dan hingga kini dijadikan sebagai Museum Nasional Indonesia.

Menurut Purnawan Andra, Museum Nasional menguatkan koneksi genealogis Nusantara sebagai bangsa multikultural dan mampu melewati sejarah yang panjang. Lewat benda-benda koleksi Museum Nasional dapat menarasikan tentang sejarah besar dari sebuah bangsa Indonesia. Museum Nasional telah melintasi berbagai generasi untuk melanjutkan proses regenerasi pendidikan kebangsaan.

Oleh karena itulah eksistensi Museum Nasional menemui realitas baru di tengah perkembangan zaman. Sejawaran Kresna Bramantyo menawarkan museum sebagai bagian dari sejarah publik di mana ilmu pengetahuan masa lampau dapat dikomunikasikan langsung kepada publik melalui bahasa dan media yang mudah diakses.

Maka, Museum Nasional bisa menjadi salah satu instrumen dari sejarah publik. Para pengunjung bisa diajak untuk memahami deskripsi dari suatu obyek yang dipamerkan dengan secara kritis menelusuri logika dan narasi jejak sejarah masa lampau. Apalagi lewat benda-benda repatriasi yang nantinya disimpan di Museum Nasional dapat dimaknasi sebagai mendekolonisasi identitas nasional yang dirampas pada masa penjajahan. Ini juga sebagai bagian dari penguatan nasionalisme.

Tetapi ada aspek yang lebih penting juga terkait dengan penyimpanan benda-benda repatriasi di Museum Nasional, yakni tentang sistem perlindungan, penyelamatan, dan pengamanan bagi gedung, sekaligus koleksi dan warisan budaya yang ada. Sudah banyak kajian keamanan dan konservasi terkait dengan Museum Nasional, namun kualitas dari infrastruktur, teknologi, dan prosedurnya masih menjadi tantangan pemerintah Indonesia.

Repatriasi benda cagar budaya menjadi momentum penting evaluasi dan perbaikan sistem penyimpanan dan konservasi benda cagar budaya. UUD 1945 Pasal 32 ayat 1 mengamanatkan bahwa negara harus memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia. Aturan ini pun juga selaras dengan UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, di mana pengelolaan museum seharusnya menjadi arus utama di dalam kebijakan pembangunan kebudayaan. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • “Bagaimana Selandjutnja? : Setelah Naskah Nagarakertagama Diserahkan Kembali”. KOMPAS, 9 September 1970.
  • “Pembitjaraan Menlu Adam Malik dan Menlu Schmelzer: Pemerintah Baru Belanda Akan Perkuat dan Perdekat Hubungan dengan Indonesia”. KOMPAS, 30 Agustus 1971.
  • “Kerjasama Kebudayaan Indonesia – Belanda : Dipusatkan Pengembalian Benda-benda Budaya”. KOMPAS, 24 April 1978.
  • “Kerjasama Indonesia-Belanda Semakin Membaik”. KOMPAS, 2 Mei 1978.
  • “Kerjasama Kebudayaan Indonesia – Belanda: Pengembalian Benda Budaya Hanya Sebagian Kecil dari Masalah”. KOMPAS, 7 Juli 1979.
  • “Setelah Ken Dedes Pulang dari Leiden”. KOMPAS, 5 Juni 2000.
  • “Ribuan Benda Sejarah Indonesia di Luar Negeri”. KOMPAS, 10 Juli 2013.
  • “Benda Seni Dikembalikan”. KOMPAS, 3 Januari 2020.
  • “Benda Budaya Butuh Perawatan”. KOMPAS, 4 Januari 2020.
  • “Repatriasi Artefak Berlanjut”. KOMPAS, 12 Januari 2021.
  • “Repatriasi Tak Semata Pindahkan Barang”. KOMPAS, 12 Juli 2023.
  • “Museum Nasional dalam Ingatan Generasi Mendatang”. KOMPAS, 22 September 2023.
  • “Museum Nasional, Sejarah Publik, dan Dekonstruksi Kesadaran”. KOMPAS, 9 Oktober 2023.
  • “Memperluas Wawasan dari Rampasan Belanda”. KOMPAS, 2 Desember 2023.
Buku
  • Adnyaja, Wayan Kun. 2018. Pita Maha: Gerakan Sosial Seni Lukis Bali 1930-an. Jakarta: KPG.
  • Eni, Sri Pare & Tsabit, Adjeng Hidayah. 2017. Arsitektur Kuno Kerajaan-kerajaan Kediri, Singasari, & Majapahit di Jawa Timur Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
  • Mooren, Jona, dkk. 2022. Jejak: Penelitian Sejarah Asal Usul dan Pemaknaan Benda-benda dan Koleksi Budaya yang Diperoleh dalam Situasi Kolonial. Leiden: KITLV.
  • Sedyawati, Edi. 1994. Pengarcaan Ganesha Masa Kadiri dan Singasari: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian. Jakarta: LIPI- RUL.
  • Warsito, Tulus & Kartikasari, Wahyuni. 2007. Diplomasi Kebudayaan, Konsep dan Relevansi bagi Negara Berkembang:Studi Kasus Indonesia. Yogyakarta: Ombak.
Disertasi
  • Suwaryono, Ixora Lundia. “Pengelolaan Museum di Indonesia: Pemasaran Berbasis Nilai Budaya”, Disertasi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia. Depok: Universitas Indonesia.
Jurnal
  • Devi, Tjokorda Istri Agung Rai Sintha, dkk. “Intervensi Pemerintah Hindia Belanda terhadap Kerajaan Klungkung tahun 1841-1849”, Jurnal Nirwasita, Vol. 3 No. 2 September 2022.
  • Sapardan, Wieske. “Pemulangan Benda Cagar Budaya dan Identitas Nasional pada Era Pascakolonial di Indonesia”, Pratu Journal of Buddhist and Hindu Art, Vol. 2, 23, 2021.
  • Prasetyo, Bagus. “Efektifitas Pelestarian Cagar Budaya dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 15, No. 1, Maret 2018.