Kronologi | Museum

Museum-Museum Tertua di Indonesia

Museum-museum tertua dapat digunakan untuk melestarikan catatan sejarah peradaban dan perkembangan budaya bangsa Indonesia.

Pengumpulan benda-benda sejarah di Indonesia sudah dimulai sejak masa penjajahan pemerintahan Hindia Belanda. Berbagai koleksi mulai dari masa prasejarah, kerajaan, hingga masa penjajahan tersimpan di berbagai museum di wilayah Indonesia.

Hingga tahun 2020, jumlah museum di Indonesia tercatat sekitar 439 museum (Statistik Kebudayaan 2021, BPS). Museum-museum tersebut ada yang dikelola oleh pemerintah, swasta, dan perorangan. Setiap museum memiliki penyajian informasi yang berbeda, sehingga menjadi daya tarik masing-masing museum tersebut.

Awalnya orientasi museum berfokus pada koleksi, sehingga tugas dan fungsi museum masih terbatas pada kegiatan mengumpulkan, merawat, dan memamerkan koleksi. Saat ini, museum telah berkembang fungsinya menjadi tempat preservasi, penelitian, dan komunikasi, yang tujuannya menyampaikan edukasi sekaligus rekreasi pada masyarakat yang berkunjung. Museum kini mulai berkembang menjadi institusi yang terbuka bagi masyarakat.

Beberapa museum memiliki koleksi sejak tiga abad yang lalu, museum yang lain bangunannya telah berdiri seabad yang lalu. Museum-museum tertua ini melestarikan catatan sejarah peradaban dan budaya bangsa, untuk kekayaan khazanah kebudayaan bangsa Indonesia.

Berikut beberapa museum tertua di Indonesia, yang terekam dalam arsip Kompas.

Gedung Museum Wayang yang berada di komplek Taman Fatahillah, Kota Tua, Jakarta Barat, Kamis (6/8/2020). Tiga museum di kawasan tersebut yaitu Museum Wayang, museum Seni Rupa dan Keramik, serta Museum Sejarah Jakarta telah dibuka bagi pengunjung di masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi. Namun demikian, Kawasan Taman Fatahillah masih tertutup untuk dikunjungi sehingga berimbas pada tingkat kunjungan di tiga museum tersebut.

Museum Wayang (1640)

Lokasi: Jalan Pintu Besar Utara Nomor 27, Taman Sari, Jakarta Barat.

Awalnya, sebuah gereja dengan nama “de Oude Holandsche Kerk” atau Gereja Lama Belanda dibangun pada tahun 1640. Gedung ini kemudian diperbaiki dan diganti namanya menjadi “de Nieuw Holandsche Kerk” atau Gereja Baru Belanda pada tahun 1733. Gereja ini berdiri hingga tahun 1808, kemudian terjadi gempa bumi pada tahun yang sama yang menyebabkan kerusakan berat pada bangunan itu. Bangunan itu akhirnya diperbaiki dan dibangun kembali.

Pada 14 Agustus 1936, pemerintah Hindia Belanda menetapkan gedung beserta tanahnya menjadi monumen. Tahun 1937 gedung itu dibeli oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, kemudian diserahkan kepada Stichting Oud Batavia atau Lembaga Batavia Lama untuk dijadikan de Oude Bataviasche Museum atau Museum Batavia Lama. Pembukaan museum dilakukan pada 22 Desember 1939 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda van Starkenborg Stachouwer.

Setelah Indonesia merdeka, tahun 1954 gedung diserahkan kepada Lembaga Kebudayaan Indonesia. Sejak itu, namanya menjadi Museum Jakarta Lama. Pada 1 Agustus 1960 kata Lama dihilangkan, sehingga namanya menjadi Museum Jakarta.

Pada tahun 1968, museum diserahkan kepada pemerintah DKI Jakarta untuk dijadikan Museum Wayang. Pada 13 Agustus 1975 diresmikan sebagai Museum Wayang oleh Gubernur Ali Sadikin.

Wayang Indonesia dikukuhkan UNESCO pada 7 November 2003 sebagai Master Piece of Oral and Intangible Heritage of Humanity. Tahun 2004 dilakukan perluasan dengan bangunan di sebelahnya yang merupakan gedung hibah dari pengusaha Probosutedjo.

Museum Wayang memiliki sekitar 6000 koleksi wayang kulit, wayang golek, patung wayang, wayang beber, wayang kaca, boneka, gamelan serta lukisan-lukisan wayang. Koleksi itu yang berasal dari berbagai daerah di tanah air dan juga dari negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Suriname, China, Vietnam, Perancis, Rusia, Polandia, India dan Kamboja.

Museum yang berada dalam kawasan bersejarah Kota Tua ini tidak hanya menjadi tempat rekreasi saja, namun juga dapat menjadi lokasi studi para pelajar, mahasiswa dan akademisi, tempat pelatihan, pusat dokumentasi dan penelitian pewayangan, serta riset budaya antardaerah dan antarbangsa.

Selain koleksi wayang, di dalam museum ini terdapat teater wayang serta workshop tentang pembuatan wayang yang diselenggarakan secara berkala di museum ini.

  • “Gedung Hibah untuk Museum Wayang”. Kompas, 14 Agustus 2004, hlm 17.

Wisatawan asing coba memainkan wayang kulit di Museum Wayang, Jakarta, Sabtu (14/3/2009). Museum Wayang Jakarta memiliki lebih dari 5.500 koleksi wayang dari dalam dan luar negeri yang menjadi salah satu daya tarik wisatawan untuk mengenal budaya masyarakat lokal.

Museum Bahari (1652)

Lokasi: Jalan Pasar Ikan Nomor 1 Sunda Kelapa, Penjaringan, Jakarta Utara.

Komplek gedung ini mulai dibangun oleh VOC secara bertahap dari tahun 1652 hingga 1759. Saat itu, bangunan menjadi gudang transit dan digunakan untuk menyimpan, memilah dan mengepak hasil bumi sebelum dikapalkan ke negara lain. Seperti rempah-rempah yang merupakan komoditas utama VOC yang laris di pasar Eropa. VOC juga memanfaatkan gudang ini untuk menyimpan komoditas lain, seperti kopi, teh, tembaga, timah dan tekstil.

Tahun 1839, dibangun Menara Syahbandar untuk mengawasi kapal masuk dan keluar Pelabuhan Sunda Kelapa. Lokasi menara saat itu menjadi titik nol Batavia, yang pada tahun 1980-an lokasi titik nol itu dipindah ke Monas.

Gedung ini kemudian digunakan sebagai gudang logistik tentara Jepang pada tahun 1942–1945. Setelah Indonesia merdeka, gudang ini menjadi milik PLN dan PTT (Post Telkom dan Telegram).

Tahun 1972 bangunan ini ditetapkan sebagai bangunan bersejarah oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Kemudian kompleks gedung diserahkan kepada pemerintah DKI Jakarta untuk selanjutnya disiapkan sebagai museum dan dipugar pertama kali pada tahun 1976.

Pada tanggal 30 Juni 1977, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dan Direktur Jenderal Perhubungan Laksamana Muda TNI (Laut) Haryono Nimpuni sepakat melakukan kerja sama dalam menyelenggarakan Museum Bahari di Jakarta.

Museum Bahari dan Menara Syahbandar diresmikan pada tanggal 7 Juli 1977 oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.

Pada tahun 1993, sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 475 Tahun 1993 tentang Penetapan Bangunan-Bangunan Bersejarah di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, bangunan ini ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya, dalam rangka pelestarian terhadap bangunan-bangunan bersejarah.

Bangunan ini sempat mengalami bencana rob pada tahun 2002 dan 2007, dan kebakaran pada tahun 2018 yang mengakibatkan sejumlah koleksinya mengalami kerusakan. Setelah diperbaiki dan direstorasi, museum kembali dibuka untuk kunjungan masyarakat.

Museum ini memiliki ratusan koleksi, baik asli maupun replika. Koleksi yang menjadi daya tarik utama adalah koleksi perahu dan kapal tradisional Batavia dari seluruh wilayah Indonesia. Mulai dari kapal VOC, miniatur kapal layar Batavia dari abad ke-16, kapal phinisi nusantara khas rakyat Bugis, kapal Kekaisaran Majapahit, kapal Kerajaan Sriwijaya dan beberapa kapal dari berbagai negara seperti Swedia dan Yunani.

Koleksi yang lain adalah koleksi peralatan pelaut masa lalu, seperti teropong, jangkar, alat navigasi, meriam, mercusuar, peralatan TNI AL, maket Pulau Onrust, koleksi kartografi, tokoh-tokoh maritim nusantara dan sejarah perjalanan mereka. Ada pula informasi tentang oseanografi, karakteristik laut dan pantai Indonesia, biota laut dan persebaran ikan di Indonesia.

  • “Sisa-sisa Kemegahan Batavia * Museum Bahari dan Pelabuhan Sunda Kelapa Tempat Wisata Andalan”. Kompas, 9 Maret 2007, hlm 27.
  • “Museum Bahari: Menikmati Eksotisme Bekas Gudang VOC”. Kompas, 1 Juli 2017, hlm 21.
  • “Sirnanya Separuh Bukti Sejarah”. Kompas, 22 Januari 2018, hlm 27.
  • “Museum Bahari: Rekonstruksi Bangunan Mulai Mei”. Kompas, 20 Maret 2019, hlm 20.

Jakarta juga memiliki Museum Bahari yang terletak tidak jauh dari Pelabuhan Sunda Kelapa, pelabuhan lama yang dulu mashyur. Museum ini menyimpan berbagai perahu tradisional, salah satunya adalah perahu khas suku dayak (8/6/2005). Hal ini menjadi bukti bahwa pada masa lalu kita adalah negara bahari.

Museum Sejarah Jakarta (1707)

Lokasi: Jalan Taman Fatahillah Nomor 2, Taman Sari, Jakarta Barat.

Bangunan yang didirikan tahun 1707 ini semula adalah gedung Balai Kota Batavia (Stadhuis) pada zaman VOC. Selain digunakan sebagai stadhuis, gedung ini juga digunakan sebagai pengadilan, kantor catatan sipil, tempat ibadah dan Dewan Kotapraja.

Pada tahun 1925–1942, gedung ini dimanfaatkan sebagai Kantor Pemerintahan Provinsi Jawa Barat. Kemudian tahun 1942–1945 dipakai sebagai kantor pengumpulan logistik Dai Nippon.

Gedung ini menjadi markas Komando Militer Kota (KMK) I pada tahun 1952. Kemudian, berubah menjadi KODIM 0503 Jakarta Barat pada 1964. Tahun 1968, gedung ini diserahkan kepada Pemda DKI Jakarta.

Tahun 1972, diadakan penggalian terhadap lapangan dan ditemukan pondasi air mancur lengkap dengan pipanya. Ini sesuai dengan lukisan yang dibuat Johannes Rach, pegawai VOC yang berasal dari Denmark.

Pemda DKI Jakarta memfungsikan kembali taman tersebut pada tahun 1973, dan memberi nama Taman Fatahillah untuk mengenang panglima Fatahillah pendiri kota Jakarta.

Pada 30 Maret 1974, bangunan ini diresmikan menjadi Museum Sejarah Jakarta oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.

Museum dengan nama populer Museum Fatahillah ini menyimpan 23.500 koleksi barang bersejarah, baik dalam bentuk benda asli maupun replika. Koleksi museum ini, antara lain, barang peninggalan masa prasejarah, Prasasti Ciaruteun peninggalan Tarumanegara, Meriam Si Jagur, Patung Dewa Hermes, lukisan Gubernur VOC Hindia Belanda dari tahun 1602–1942, alat pertukangan zaman prasejarah dan koleksi persenjataan. Selain itu, terdapat mebel antik abad ke-17 dan ke-19, yang mencerminkan perpaduan gaya Eropa, China, dan Indonesia, yang menjadi gaya hidup masyarakat Batavia saat itu.

  • “Peninggalan Bersejarah: Kamar Diponegoro Ditargetkan Jadi Acuan untuk Daerah Lain”. Kompas, 2 April 2019, hlm 20.
  • “Grafik: Penjara Bersejarah di Museum Fatahillah”. Kompas, 27 Juni 2021, hlm 13.

Sebuah batu prasasti dalam Museum Sejarah di Jalan Taman Fatahillah No. 1, Jakarta Barat (24/7/2000). Luas museum ini lebih dari 1.300 meter persegi. Bangunan ini dahulu merupakan balai kota Batavia (Stadhuis van Batavia), yang dibangun pada tahun 1707-1712 atas perintah Gubernur Jenderal Joan van Hoorn. Bangunan ini menyerupai Istana Dam di Amsterdam, terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat, serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai sebagai penjara. Pada tanggal 30 Maret 1974, bangunan ini kemudian diresmikan sebagai Museum Fatahillah.

Museum Benteng Vredeburg (1760)

Lokasi: Jalan Ahmad Yani (Jalan Margo Mulyo) Nomor 6, Yogyakarta.

Benteng ini dibangun tahun 1760 atas izin Sri Sultan Hamengku Buwono I dengan nama Benteng Rustenburg yang artinya Benteng Peristirahatan. Benteng ini mampu menampung 100 pasukan. Setelah gempa bumi tahun 1867 di Yogyakarta, benteng kemudian diperbaiki. Setelah pemugaran selesai, namanya diubah menjadi Benteng Vredeburg yang artinya Benteng Perdamaian.

Setelah beberapa kali berganti pemilik dan fungsi, dari pemerintah Belanda, Inggris lalu Jepang. Tahun 1949, setelah Belanda meninggalkan Yogyakarta, Vredeburg dikuasai Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) dan dikelola Sekolah Akademi Militer.

Tahun 1977, pihak Hankam menyerahkan kembali kepada pemerintah. Kemudian atas persetujuan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, bangunan ini ditetapkan sebagai pusat informasi dan pengembangan budaya nusantara pada 9 Agustus 1980.

Pada 23 November 1992, secara resmi ini menjadi Museum Khusus Perjuangan Nasional dengan nama Museum Benteng Vredeburg.

Museum ini memiliki koleksi berbagai diorama, antara lain, diorama perjuangan Pangeran Diponegoro, diorama Kongres Boedi Utomo, diorama pelantikan Soedirman sebagai Panglima Besar TNI, mesin ketik Surjopranoto, dokumen Soetomo dan bangku akademi militer.

Selain itu, diceritakan juga sisi lain cerita perjuangan, seperti pemogokan buruh di pabrik gula dan gerakan perjuangan perempuan yang dipelopori oleh Ny Soekonto, Ny Suyatin, dan Nyi Hajar Dewantara. Ketiga perempuan ini memprakarsai Kongres Perempuan Indonesia I tahun 1928.

  • “Museum: Rp 6 Miliar Hidupkan Benteng Vredeburg”. Kompas Jogja, 27 Juli 2010, hlm 3 (C).
  • “Penelitian: Parit Benteng Vredeburg Diekskavasi”. Kompas Jogya, 20 Oktober 2010, hlm 1 (A).

Wisatawan mengunjungi kompleks Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta, Selasa (28/7/2020). Museum tersebut dibuka kembali selama tiga hari hingga 30 Juli 2020 mendatang sebagai bagian dari uji coba penerapan protokol kesehatan. Selama uji coba, jumlah pengunjung museum itu dibatasi maksimal 220 orang per hari yang dibagi dalam empat sesi dengan durasi kunjungan setiap sesi paling lama satu jam.

Museum Nasional (1778)

Lokasi: Jl Medan Merdeka Barat Nomor 12, Jakarta Pusat.

Pada tanggal 24 April 1778, sekelompok intelektual Belanda mendirikan lembaga ilmiah dengan nama Bataviaasch Genootschap van Kusten en Wetenschappen atau BG (Batavia Society untuk Seni dan Ilmu Pengatahuan). Lembaga independen ini bertujuan memajukan penelitian dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang-bidang ilmu biologi, fisika, arkeologi, sastra, etnologi dan sejarah. Selain itu, BG juga menerbitkan hasil-hasil penelitian. Semboyannya adalah “Ten Nutte van het Algemeen” yang berarti untuk kepentingan masyarakat umum.

Salah satu pendiri JCM Radermacher, menyumbang sebuah rumah miliknya dan banyak koleksi benda budaya dan buku-buku. Rumahnya di Jalan Kali Besar (Kota Tua) menjadi markas perkumpulan itu.

Pada masa pemerintahan Sir Thomas Stamford Raffles (1811–1816), ia memerintahkan pembangunan gedung baru untuk digunakan sebagai museum dan ruang pertemuan untuk Literary Society (dulu disebut gedung Societeit de Harmonie). Karena rumah di jalan Kalibesar sudah penuh dengan berbagai koleksi. Bangunan baru ini berlokasi di jalan Majapahit nomor 3 yang sekarang menjadi kompleks gedung Sekretariat Negara, di dekat Istana Kepresidenan.

Pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1822 mewajibkan semua temuan arkeologi, benda bersejarah dan benda budaya di Nusantara diserahkan ke perkumpulan BG itu.

Pada tahun 1862, pemerintah Hindia Belanda membangun gedung museum baru di Koningsplein West (sekarang Jalan Medan Merdeka Barat) Nomor 12, karena museum di Jalan Majapahit tidak dapat lagi menampung koleksi BG yang terus meningkat. Gedung baru ini dibuka untuk umum pada tahun 1868.

Museum ini juga dikenal sebagai Museum Gajah. Sejak keberadaan patung gajah perunggu hadiah Chulalongkorn (Rama V), Raja Siam Thailand yang datang ke Batavia tahun 1871. Ia terkesan dengan koleksi Batavia Genootschap, lalu menyumbang patung gajah sebagai bentuk persahabatan Thailand-Batavia.

Pada tahun 1931, sebagian koleksi museum terbakar ketika ikut serta dalam pameran kebudayaan dunia di Paris. Pihak museum mendapat uang asuransi sebagai ganti rugi. Uang ini kemudian dipakai untuk membangun Ruang Pamer Keramik, Ruang Perunggu, dan Ruang Khasanah di lantai 2.

Pada tanggal 26 Januari 1950, nama lembaga ini menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia. Mengingat pentingnya museum ini bagi bangsa Indonesia, maka pada tanggal 17 September 1962 Lembaga Kebudayaan Indonesia menyerahkan pengelolaan museum kepada pemerintah Indonesia, yang kemudian namanya menjadi Museum Pusat.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 28 Mei 1979, Museum Pusat ditingkatkan statusnya menjadi Museum Nasional di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Di tahun 1987, koleksi museum berupa naskah-naskah kuno dan buku pustaka dipindahkan ke Perpustakaan Nasional di Jalan Salemba Raya 28.

Atas inisiatif Dr. Wardiman Djojonegoro, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pada tahun 1994 dilakukan perluasan pembangunan Museum Nasional. Perluasan meliputi arena untuk pertunjukan teater, tempat parkir, area publik, ruang simpan, dan ruang pameran. Tahun 2000, koleksi seni rupa dipindahkan ke Galeri Nasional di Jalan Medan Merdeka Timur 14.

Museum Nasional menyimpan 160.000-an benda-benda bernilai sejarah. Kompleks Museum Nasional dibangun di atas tanah seluas 26.500 meter persegi dan hingga saat ini mempunyai 2 gedung. Gedung A digunakan untuk ruang pamer serta penyimpanan koleksi. Sedangkan Gedung B, dikenal pula dengan sebutan Gedung Arca, karena menyimpan berbagai jenis dan bentuk arca, yang dibuka secara resmi pada tanggal 20 Juni 2007 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Gedung Arca ini selain digunakan untuk pameran juga digunakan untuk kantor, ruang konferensi, laboratorium dan perpustakaan.

  • “Museum Nasional: Dekat, tapi Jauh”. Kompas, 10 Mei 2007, hlm 40.
  • “Presiden Buka Gedung Arca * Anak Sekolah Diimbau Lebih Sering ke Museum”. Kompas, 21 Juni 2007, hlm 25.
  • “Museum Nasional: Merekam Peradaban Bangsa yang Kaya * Riwayat Kota”. Kompas, 24 Juli 2017, hlm 27.

Sejumlah siswa SLTP dari Pekalongan, Jawa Tengah, serius melihat deretan arca di Museum Nasional, Jakarta Pusat, Kamis (3/7/2003). Pada musim libur sekolah ini, museum, yang lebih dikenal dengan Museum Gajah tersebut, banyak dikunjungi oleh rombongan pelajar dari sejumlah daerah di luar Jakarta. Museum dapat menjadi salah satu alternatif tempat berlibur karena di tempat ini kita dapat menikmati keindahan hasil karya leluhur serta lebih mengenal sejarah bangsa Indonesia.

Museum Taman Prasasti (1795)

Lokasi: Jalan Tanah Abang Nomor 1, Jakarta Pusat.

Museum Taman Prasasti adalah sebuah museum cagar budaya peninggalan kolonial Belanda. Sebelum menjadi museum, lokasi ini awalnya adalah kompleks makam untuk bangsawan dan pejabat tinggi Belanda pada masa kekuasaan VOC di Batavia. Pemakaman ini diresmikan penggunaannya pada tanggal 28 September 1795. Lahan tersebut dinamakan Kerkhof Loan atau dikenal dengan Kebon Jahe Kober.

Tahun 1808 Kerkhof Loan menerima banyak batu nisan pindahan dari kuburan yang ada di berbagai tempat lain seperti Gereja Belanda di Kota (kini Museum Wayang) dan Gereja Sion. Pemindahan itu dilakukan atas perintah Gubernur Daendels yang melarang dilanjutkannya tradisi mengubur jenazah di dalam gereja atau di atas tanah pribadi.

Bangunan utama museum mulai dibangun tahun 1844. Lokasi bangunan di depan kompleks pemakaman tua bergaya Doria yang digunakan untuk menyemayamkan jenazah sebelum upacara penguburan. Bangunan ini kini menjadi jalan masuk ke museum.

Tahun 1945–1967, Kerkhof Laan dikelola oleh Palang Yayasan Hitam/Yayasan Palang Hitam (Keluarga JM Panggabean). Manajemen Kerkhof Laan lalu diambil alih oleh Pemerintah DKI Jakarta pada tahun 1967. Pada tahun 1974, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menghentikan penggunaannya untuk area pemakaman.

Tahun 1975, pemakaman ditutup untuk dipugar dan direvitalisasi sebagai Taman Prasasti. Di atas sebagian areal pemakaman dibangun kompleks Kantor Wali Kota Jakarta Pusat. Sebagian kerangka dibawa pulang kerabat keluarga Belanda. Kuburan dibongkar dan dirampingkan dari 5,9 hektar menjadi 1,3 hektare pada tahun 1976.

Pada 9 Juli 1977 Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin meresmikannya sebagai Museum Taman Prasasti.

Koleksi museum ini, antara lain, prasasti kuno serta miniatur makam khas dari 27 provinsi di Indonesia, beserta koleksi kereta jenazah antik. Museum ini merupakan museum terbuka yang menampilkan karya seni pematung, pemahat, kaligrafer dan sastrawan.

Dari 4.600 batu nisan yang pernah ada di Kerkhof Laan, yang tersisa kini berjumlah 1.242 buah. Di antara para tokoh sejarah yang makamnya masih ada di Taman Prasasti termasuk istri Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stamford Raffles, Olivia Mariamne Raffles, yang meninggal dunia pada tahun 1814; Dr. HF Roll (1867–1935), penggagas dan pendiri sekolah kedokteran STOVIA; Miss Riboet alias Miss Tjitjih (1900–1965); serta Soe Hok Gie (1942–1969).

  • “Museum Taman Prasasti, Satu-satunya “Open Air Museum” di Indonesia”. Kompas, 13 Juni 1996, hlm 10.
  • “Kerkof Laan, Metamorfosis Kuburan Menjadi Museum * Desain”. Kompas, 19 Desember 2004, hlm 33.
  • “Kota Kita: 210 Tahun Taman Prasasti”. Kompas, 27 September 2005, hlm 28.
  • “Sejarah: Museum Taman Prasasti Tertua di Dunia”. Kompas, 10 Juni 2008, hlm 26.
  • “Taman Pemakaman: Saat Nisan Bertutur tentang Jakarta *Riwayat Kota”. Kompas, 23 Februari 2015, hlm 27.

KOMPAS/DENTY PIAWAI NASTITIE

Pengunjung memperhatikan simbol-simbol batu nisan peninggalan Belanda yang ada di Museum Taman Prasasti, Jakarta Pusat, Sabtu (15/8/2015). Bagi pencinta sejarah, batu nisan tak sekadar prasasti penanda kuburan. Nisan merupakan dokumentasi sejarah yang perlu dirawat kelestariannya.

Museum Bank Indonesia (1828)

Lokasi: Jalan Pintu Besar Utara Nomor 3, Jakarta Barat.

Bangunan ini awalnya merupakan sebuah rumah sakit Binnen Hospitaal. Kemudian digunakan sebuah bank, yaitu De Javasche Bank pada tahun 1828. Kemudian pada tahun 1953, bank ini dinasionalisasi menjadi bank sentral Indonesia atau Bank Indonesia. Pada tahun 1962, Bank Indonesia pindah ke gedung yang baru.

Pemerintah menetapkan bangunan bekas bank sentral tersebut menjadi bangunan cagar budaya sesuai SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 475 Tahun 1993.

Gedung yang kosong ini kemudian dimanfaatkan menjadi Museum Bank Indonesia, yang diresmikan pada 15 Desember 2007 oleh Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah.

Setelah melalui beberapa tahapan pembangunan, pada 21 Juli 2009, Museum Bank Indonesia diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang ditandai dengan penandatanganan prasasti.

Koleksi benda bersejarah BI dalam bentuk benda numismatic ataupun dokumen yang bernilai sejarah dalam perjalanan bank sentral Indonesia yang disajikan secara lengkap dan runtut sehingga udah dipahami oleh berbagai lapisan masyarakat.

  • “Liburan Lebaran: Asyiknya Rekreasi di Museum Bank Indonesia”. Kompas, 13 September 2010, hlm 25.
  • “Grafik: Gedung Kuno, Fasilitas Modern”. Kompas, 7 Juli 2020, hlm F.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Pengunjung tengah memperhatikan mata uang kertas lama saat berkunjung ke Museum Bank Indonesia, kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, Rabu (25/4/2012).

Museum Seni Rupa dan Keramik (1870)

Lokasi: Jalan Pos Kota Nomor 2, Pinangsia, Taman Sari, Jakarta Barat.

Gedung tua yang dibangun pada 12 Januari 1870 itu awalnya digunakan Pemerintah Hindia Belanda untuk kantor pengadilan Belanda oleh Gubernur Jenderal Jan Piter Mijer.

Pada 1942–1949, digunakan sebagai asrama Nederlandsche Mission Militer, hingga masa pendudukan Jepang. Saat pendudukan Jepang dan perjuangan kemerdekaan sekitar tahun 1944, tempat itu dimanfaatkan oleh tentara KNIL, dan selanjutnya untuk asrama militer TNI.

Tahun 1970–1973, digunakan sebagai kantor Walikota Jakarta Barat. Kemudian sejak tahun 1972, gedung dengan delapan tiang besar di bagian depan itu dijadikan bangunan bersejarah yang dilindungi undang-undang monumen dan SK Gubernur Noor CB.11/1/1972 Tanggal 10 Januari 1972.

Pada tahun 1974, bangunan ini direnovasi dan digunakan sebagai Kantor Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta.

Pada 20 Agustus 1976, berdasarkan gagasan Wakil Presiden Adam Malik, Presiden Soeharto meresmikan pembukaan Balai Seni Rupa Jakarta.

Gubernur DKI Jakarta Ali sadikin meresmikan berdirinya Museum Keramik pada tanggal 10 Juni 1977. Kemudian pada tahun 1990, Balai Seni Rupa digabung dengan Museum Keramik menjadi Museum Seni Rupa dan Keramik.

Museum Seni Rupa dan Keramik ini dibangun untuk menjadi pusat pelestarian seni rupa Indonesia. Museum ini memiliki sekitar 450 lukisan dan sketsa, serta sekitar 5.000 koleksi keramik nusantara dan benda muatan kapal tenggelam. Selain memajang keramik lokal dari berbagai daerah di Indonesia, museum juga menyimpan keramik dari Kerajaan Majapahit pada abad ke-14. Banyak pula keramik dari berbagai negara di dunia.

  • “Balai Senirupa Jakarta dan Pameran Seabad Senirupa Indonesia Dibuka”. Kompas, 21 Agustus 1976, hlm 1.
  • “Peresmian Museum Keramik Jakarta”. Kompas, 13 Juni 1977, hlm 3.
  • “Museum Seni Rupa yang Sepi”. Kompas, 16 April 2005, hlm 19.
  • “Museum: Workshop Keramik Tingkatkan Pengunjung”. Kompas, 5 januari 2008, hlm 14.
  • “Seni: Lini Narasi Baru Museum”. Kompas, 20 Oktober 2019, hlm 19.

KOMPAS/JOHNNY TG

Koleksi Lukisan di Museum Seni Rupa dan Keramik yang terletak di Jalan Pos Kota No. 2, Jakarta Barat (26/1/2000).

Museum Radya Pustaka (1890)

Lokasi: Jalan Slamet Riyadi Nomor 275, Sriwedari, Laweyan, Kota Surakarta, Jawa Tengah.

Didirikan atas prakarsa Kanjeng Raden Adipati Sosrodiningrat IV, pada 18 Oktober 1890.

Awalnya bangunan ini adalah sebuah rumah warga negara Belanda yang bernama Johannes Busselar. Bangunan ini juga memiliki nama lain yaitu Loji Kadipolo.

Tempat ini dulu merupakan tempat penyimpanan surat-surat kerajaan. Seiring berjalannya waktu, yang disimpan di dalam tempat ini tidak hanya surat, tapi juga berbagai benda penting yang berhubungan dengan kerajaan. Semakin lama, seiring semakin bertambahnya koleksi yang dimiliki, tempat ini pun menjadi museum.

Semula, Museum Radya Pustaka tidak berada di bawah naungan dinas setempat namun berstatus yayasan. Yayasan ini bernama Yayasan Paheman Radyapustaka Surakarta dan dibentuk pada tahun 1951. Kemudian, untuk tugas pelaksanaan sehari-hari, dibentuk presidium yang pertama kalinya pada tahun 1966 oleh Go Tik Swan atau juga dikenal dengan nama K.R.T Hardjonagoro.

Tahun 2008, dibentuk Komite Radya Pustaka yang menggantikan peran yayasan. Pada tahun 2016, dibentuk UPTD pengelola Museum Radya Pustaka, yang menggantikan peran komite, agar anggaran operasional museum ini lebih terencana dan terjamin. Selain itu, dilakukan juga revitalisasi manajemen, agar museum ini dikelola lebih profesional dan tidak mengandalkan dana hibah.

Koleksi museum ini menyimpan sekitar 10.000 koleksi, antara lain bermacam benda kuno, pusaka adat, arca, naskah kuno, wayang kulit, batik, senjata tradisional, dan meriam peninggalan masa pemerintahan VOC.

Di perpustakaan museum itu tersimpan sekitar 3.000 naskah kuno yang langka. Di antaranya adalah karya pujangga seperti Serat Centhini (PB V), Wulangreh (Mangkunegoro IV), Joko Lodang, Sabdopalon, Ramalan Joyoboyo, Cemporet, Kalatida (Ronggowarsito), atau pengetahuan kesenian seperti Serat Titi Asri, Sastra Gending, Babon Pakeliran, Babad Tanah Jawi, Primbon dan masih banyak lagi.

Ikon utama museum ini adalah patung Raden Ronggowarsito yang merupakan seorang Pujangga Keraton Surakarta pada abad ke-19.

Pada tahun 2006, museum ini sempat menjadi pemberitaan karena sebagian koleksinya hilang, dan beberapa ditukar dengan replika. Setelah melalui pencarian, sebagian koleksi yang hilang dapat ditemukan. Koleksi yang merupakan replika ditandai dengan keterangan khusus.

  • “Museum Radya Pustaka: Pengantin tua dengan bobot baru”. Kompas, 7 Oktober 1986, hlm 6.
  • “Museum Radya Pustaka, Pusat Bibliotik Jawa yang Terlupakan”. Kompas, 13 Oktober 2001, hlm 26.
  • “Koleksi Museum Radya Pustaka Banyak Hilang* Arca dan Lampu Gantung Diketahui Tinggal Tiruan”. Kompas Jawa Tengah, 9 November 2007, hlm 1.
  • “Pemerintah Kota Solo Merencanakan Membentuk UPTD”. Kompas WEB, 19 April 2016.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Petugas pengelola manuskrip, Kurnia Heniwati, memeriksa proses digitalisasi naskah kuno Suluk Syattariyah di Museum Radya Pustaka, Surakarta, Jawa Tengah, Rabu (17/3/2021). Digitalisasi dilakukan untuk menyelamatkan lembaran naskah kuno yang semakin rapuh karena usia. Museum yang didirikan pada 1890 ini memiliki dokumen tertua berupa naskah Serat Yusuf yang dibuat pada 1729.

Museum Mulawarman (1936)

Lokasi: Tenggarong, Kutai, Kaltim.

Bangunan ini awalnya adalah istana kesultanan yang dibangun tahun 1936, pada masa pemerintahan Adji Muhammad Parikesit. Setelah kemerdekaan, Kesultanan Kutai bergabung dengan NKRI dan istana ini pun tidak lagi digunakan dan era kekuasaan sultan secara resmi berakhir. Istana ini kemudian diserahkan kepemilikannya kepada pemerintah daerah Kalimantan Timur pada 25 November 1971, yang kemudian diserahkan pengelolaannya kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagai sebuah museum negara.

Museum ini menyimpan 4.750 buah koleksi, yang terdiri dari berbagai koleksi benda bersejarah yang sebagian besar didominasi peninggalan milik Kesultanan Kutai, antara lain, pakaian kebesaran para Sultan Kutai, senjata tradisional, perangkat upacara adat, perangkat gamelan hadiah dari Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat, keramik kuno, dan peninggalan numismatik (mata uang kuno).

  • “Museum Mulawarman akan Dijadikan Museum Antropologi”. Kompas, 3 Juni 1982, hlm 6.
  • “Museum Mulawarman Terus Dibenahi”. Kompas, 5 Agustus 1989, hlm 9.

KOMPAS/LUKAS ADI PRASETYA

Wisatawan mengunjungi Museum Mulawarman di Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (3/9/2014). Museum ini menyimpan sebagian koleksi Kesultanan Kutai Kartanegara.

Referensi

Arsip
  • “Obyek-obyek Wisata Bahari di Jakarta”. Kompas, 23 Agustus 1996, hlm 18.
  • “Mengenal Museum-museum di Jakarta”. Kompas, 4 Oktober 1996, hlm 18.
  • “Museum Mulai Menarik Hati Warga”. Kompas, 5 Januari 2020, hlm 6.
Buku
  • Yulianto, Kresno, dkk. 2013. Museum Tematik di Indonesia. 2013. Jakarta: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kemdikbud.