Paparan Topik

Sejarah Konflik Palestina dan Israel

Konflik antara Palestina dan Israel sudah terjadi setahun sebelum Israel mendeklarasikan diri menjadi sebuah negara. Nasib warga Palestina kian menyedihkan setelah 75 tahun mengalami kekerasan dan pengusiran oleh Israel.

KOMPAS/JB SURATNO

Presiden Soeharto, 24 September 1993, dengan akrab menerima Ketua Organisasi Pembebasan Palestina, Yasser Arafat dan rombongan di Istana Merdeka. Mereka kemudian mengadakan pembicaraan resmi selama satu jam.

Fakta Singkat

  • Negara Israel dibentuk pada 14 Mei 1948 pertama kali diakui oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Soviet.
  • Pertempuan tahun 1948–1949 terjadi pengusiran pada 300.000 warga Palestina dan mengorbankan 1,2 juta penduduk di Palestina.
  • Antara tahun 1967–1989, Dewan Keamanan PBB telah menerbitan 131 resolusi, 43 di antara resolusi tersebut PBB bersikap netral, serta 88 mengkritik dan menentang tindakan Israel di Jerusalem. Hampir setengah dari 88 resolusi itu menggunakan kata condemned (mengutuk), censured (mengecam), dan deplore (menyesalkan) tindakan Israel.
  • Majelis Umum PBB telah mengeluarkan 429 resolusi dengan 321 resolusi di antaranya mengecam tindakan Israel.
  • Semua resolusi yang diterbitkan oleh badan PBB tidak mengikat sama sekali, dalam arti tidak ada sanksi bagi Israel jika tidak melaksanakan resolusi tersebut. Faktanya Israel mengabaikan resolusi yang dikeluarkan PBB.

Pada awal berdirinya negara Israel, gerakan zionis Israel gencar melakukan perang. Bahkan tragedi penindasan Palestina oleh Israel telah terjadi selama 75 tahun. Perebutan wilayah dan okupasi wilayah negara Palestina dilakukan oleh Israel karena upaya gerakan zionisme yang terus mereka gencarkan. Hal itu terus berlangsung karena Israel mendapat dukungan resmi negara-negara maju seperti Amerika, Inggris, Perancis, dan beberapa negara lain.

Wilayah yang diperebutkan adalah Jerusalem, yang dalam bahasa Arab disebut Bayt al-Muqaddas atau Al Quds, dan dalam bahasa Ibrani disebut Jerushalayim (warisan perdamaian) dan Urusalim. Kota suci tersebut berada di dataran tinggi pegunungan Yudea sekitar 32 km dari Sungai Yordan, tepatnya antara Laut Tengah dan Laut Mati.

Jerusalem dikenal sebagai kota suci tiga agama, yaitu Yudaisme (Yahudi), Islam. dan Kristen. Di Kota Lama Jerusalem terdapat Tembok Darat, Tembok Dome of the Rock, Mesjid Al Aqsa, dan Gereja Makam Kristus, serta berbagai tempat suci lainnya. Tempat-tempat tersebut adalah tempat suci yang masing-masing menjadi tujuan para peziarah jutaan umat di dunia.

Kota Lama Jerusalem memiliki 11 pintu dan dikelilingi benteng dengan delapan pintu gerbang. Dari 11 pintu hanya satu pintu yang tidak pernah dibuka, yaitu Pintu Gerbang Kerahiman, yang katanya akan terbuka sendiri pada akhir zaman dan Mesias akan datang kembali untuk mengadili manusia.

Kota Lama Jerusalem dibagi menjadi empat wilayah, yaitu wilayah Muslim, wilayah Kristen, wilayah Yahudi, dan wilayah Armenia.

Dimuat di Kompas, Senin, 24 Mei 2021, halaman 1

Sejarah

Wilayah Palestina adalah daerah yang berada di bawah Ottoman selama 400 tahun dan kalah dengan Inggris pada Perang Dunia I pada tahun 1916. Saat itu, wilayah Palestina berpenduduk 700.000 orang dengan komposisi Arab Muslim sebanyak 80 persen, Arab Kristen sebanyak 10 persen, dan Yahudi sebanyak 10 persen.

Pada Desember 1917, Inggris menduduki Jerusalem di bawah pimpinan Jenderal Edmund Allenby. Kemudian Menteri Luar Negeri Inggris, Athur Balfour memberi isyarat pada seorang Zionis kaya berpengaruh Lord Rothschild bahwa Inggris mendukung pendudukan Yahudi dan perusahaan nasional Yahudi di wilayah Palestina, yang kemudian dikenal dengan perjanjian Balfour, dari sinilah persoalan konflik Palestina dan Israel bermula.

Perjanjian Balfour tersebut menjamin hak-hak minoritas dan tidak melakukan hal-hal yang merusak hak sipil dan agama di wilayah itu. Saat itu, pemimpin gerakan Zionis Dr Chaim Wetzmann bersama dengan Putra Sherif Mekkah, Faizal, menandatangi sebuah pernyataan yang menegaskan bahwa kemerdekaan Arab dan pembentukan negara Yahudi bukanlah hal yang saling bertentangan.

Pada 1922, Liga Bangsa Arab menyetujui pemberian mandat pada Inggris atas Transyordania dan Palestina. Inggris kemudian memberikan izin imigran Yahudi masuk ke wilayah Palestina sebagai dukungan berdirinya negara Israel. Pada 1923, Raja Abdullah meminta dibentuk parlemen yang terdiri dari kelompok Arab Islam, Arab Kristen, dan Yahudi, tetapi kelompok Arab muslim menolak. Akhirnya Yahudi membentuk organisasi sendiri yang merupakan cabang gerakan zionisme internasional.

Pada tahun 1928, Transyordania mendapat kemerdekaan terbatas di bawah Raja Abdullah. Saat itu pertama kalinya masyarakat Arab melakukan gerakan besar-besaran menolak migrasi kelompok Yahudi yang makin besar.

Tahun 1930 Inggris mengeluarkan The Passfield White Paper yang menegaskan menjamin hak-hak warga Yahudi dan Palestina. Warga Arab yang tidak memiliki tanah, akan diberi perlindungan. Imigrasi warga Yahudi disesuaikan dengan kemampuan wilayah Palestina.

Keputusan itu diprotes oleh kelompok Yahudi dan kelompok zionis yang ada di parlemen Inggris hingga mengundurkan diri dari parlemen. Yahudi Inggris tidak mau ada pembatasan imigrasi Yahudi ke Palestina, kemudian Perdana Menteri Inggris Mac Donald menegaskan bahwa Inggris mendukung pembentukan negara Israel.

Di sisi lain, Inggris dan Amerika tidak mengindahkan keinginan negara Arab agar imigrasi Yahudi dibatasi. Imigran Yahudi semakin bertambah dengan kemunculan Hitler di Jerman. Menjelang Perang Dunia II, jumlah warga Yahudi meningkat tajam dari sebelumnya hanya 10 persen menjadi 29 persen dari jumlah seluruh penduduk di wilayah Palestina.

Tahun 1936, para politisi Arab dari berbagai fraksi kemudian bersatu dalam Komite Tinggi Arab yang  mendukung gerakan perjuangan masyarakat Arab. Kemarahan kelompok Arab pada zionisme makin memuncak  hingga tahun 1945 terbentuklah Liga Arab.

Tahun 1937, Komisi Peel dikirim ke Palestina untuk menyelidiki pemogokan umum yang dilancarkan oleh Komite Tinggi Arab. Komisi Peel mengusulkan agar Palestina dibagi tiga, yakni pertama, Negara Yahudi yang terdiri dari sepertiga wilayah (300.000 Yahudi dan 200.000 Arab); kedua, Daerah mandat Inggris yang meliputi Jaffa dan Jerussalem serta jalur kereta di dalamnya; dan ketiga, Negara Arab yang disatukan oleh Transyordania. Usulan ini diterima oleh kelompok zionis di seluruh dunia dan kelompok Liga Bangsa-bangsa, tetapi ditolak oleh Pan-Arab yang saat itu diwakili oleh 400 utusan resmi dunia Arab.

Kelompok Pan-Arab menolak pembagian wilayah Palestina, mereka menuntut negara kesatuan yang merdeka, menghentikan imigrasi Yahudi ke Palestina, dan menolak menjual tanah pada Yahudi dan memberikan jaminan status hak pada minoritas Yahudi.

Konflik pun tidak terhindarkan dan ketika situasi makin memanas Inggris melakukan tindakan keras pada Komite Tinggi Arab dan mengasingkan mereka. Inggris kemudian menerima usul Komisi Peel membentuk komisi baru yang melibatkan persoalan ekonomi dan keuangan.

Pada tahun 1938, Komisi Woodhead tidak setuju dengan pembagian Palestina dan mengusulkan konferensi gabungan di London. Tahun 1939 pertemuan itu mengundang perwakilan kelompok Yahudi, Arab Palestina dan wilayah Arab lain, tetapi semua kelompok tersebut menolak hadir.

Dua bulan kemudian Inggris mengumumkan empat hal. Pertama, mendukung pembentukan negara Palestina 10 tahun sejak pengumuman itu dikeluarkan; Kedua, dalam negara baru tersebut Arab dan Yahudi duduk bersama dalam pemerintahan dan menjamin hak masing-masing kelompok. Ketiga, Yahudi dan Palestina bersama Inggris menjalankan pemerintahan bersama dan mempersiapkan dewan kontituante dalam waktu lima tahun. Keempat, mengakhiri imigrasi Yahudi dalam waktu lima tahun ke depan. Saat itu, penduduk Yahudi sudah sepertiga jumlah penduduk di wilayah Palestina.

Akan tetapi, rencana Inggris tersebut tidak disetujui oleh Palestina maupun Yahudi bersamaan dengan pecahnya Perang Dunia Kedua. Inggris dan Zionis Israel bersama melawan Hitler dan mereka menolak gagasan Baltimore Program dari kelompok zionis Amerika. Kekejaman Hitler membuat Presiden Truman memerintahkan agar satu juta warga Yahudi eksodus pindah ke Palestina. Saat itu, kelompok Yahudi dan Arab Palestina masing-masing membentuk kekuatan organisasi militer.

Sejak Israel terbentuk, konflik bersenjata tidak terhindarkan, negara-negara Arab mempertanyakan kebijakan Israel yang didukung Perancis dan Amerika. Dalam buku Mazin B. Qumsiyeh, Sharing The Land of Canaan, Human Right, and the Israeli-Palestinian Struggle (Jerusalem: 2008, hlm 231) disebutkan bahwa Israel di zaman modern ini yang pertama kali memperkenalkan terorisme di Timur Tengah.

Teror di Palestina pertama kali dilakukan oleh kaum zionis. Pada 22 Juli 1946, truk bermuatan milik kaum Zionis meledak di Hotel King David Jerusalem. Ledakan tersebut menewaskan 28 orang Inggris, 41 orang Arab, 17 orang Yahudi serta melukai lebih dari 200 orang. Peristiwa tersebut menarik perhatian Inggris dan tercatat sebagai bom mobil pertama di Timur Tengah.

Ketika konflik makin memanas pada tahun 1946, PBB menempatkan 6.000 tentara perdamaian untuk menjaga perbatasan Israel dengan Republik Pemerintah Arab dan menjaga di perbatasan Teluk Aqaba.

Pada bulan Juni 1947, bom surat pertama di lancarkan oleh kelompok Zionis ke kantor Kementrian Inggris di Jerusalem. Kemudian, 3 September 1947 bom surat dikirimkan ke kantor urusan Perang Inggris di London yang melukai dua orang. Peristiwa ini merupakan kisah bom surat pertama di dunia dimulai oleh kelompok zionis. Kelompok ini yang pertama kali melakukan sabotase ekonomi, tahun 1939  kelompok Haganah cikal bakal tentara Israel meledakkan pipa minyak Irak di dekat Haifa.

Israel lalu meluaskan kekuasaannya dengan membangun pemukiman di tanah Palestina. Hal itu mengundang kemarahan negara-negara Arab. Tahun 1947, PBB menerima utusan komisi khusus urusan Palestina yang mengusulkan pembagian Palestina berdasarkan satuan ekonomi. Namun, hal itu ditentang negara Arab karena mereka tidak mau terjadi pembagian Kota Suci, hingga pecah kekerasan di kedua belah pihak.

Pada tahun yang sama PBB membentuk United Nation Special Comittee of Palestine (UNSCOP) yang beranggotakan 11 orang. Tim ini mengusulkan agar pembagian Palestina menjadi dua negara, yaitu negara Yahudi dan negara Arab dan Jerusalem menjadi kota internasional. Laporan tersebut diserahkan ke PBB pada 29 November 1947. Laporan tersebut kemudian diadopsi menjadi Resolusi PBB No. 181 (II) diterbitkan pada tahun 1947 yang mendukung Vatikan untuk menjadikan Jerusalem sebagai kota internasional. Melalui pemungutan suara 33 berbanding 13 dan 10 abstain. Uni Soviet dan AS mendukung resolusi tersebut, sedangkan Inggris abstain dan hanya berjanji menarik tentaranya dari Palestina pada Agustus 1948.

Resolusi Nomor 181 (II) itu dikenal sebagai “Palestine Partition Plan” (Rencana Pembagian Palestina). Rencana yang diajukan adalah:

1) Pembentukan dua negara, Negara Arab dan Negara Yahudi,

2) Jaminan perlindungan pada minoritas,

3) Ketentuan untuk imigrasi dan kewarganegaraan individual,

4) Internasionalisasi Jerusalem dan menciptakan Corpus Separatum (wilayah terpisah rezim khusus) bagi Jerusalem,

5) Integrasi supranasional melalui “Uni Ekonomi Palestina”.

Resolusi ini terjadi enam bulan sebelum terbentuk negara Israel. Bagian terpenting dari resolusi tersebut adalah terciptanya Jerusalem sebagai corpus separatum. Artinya, jika resolusi ini dipatuhi maka Jerusalem tidak bisa menjadi bagian dari Negara Israel. Bahkan, Jerusalem sebagai corpus separatum adalah rezim internasional di bawah pemerintahan PBB. Namun, tetap saja resolusi ini hanya dianggap sebagai anjuran dan bukan ketetapan mengikat.

Hingga akhirnya, tokoh Israel David Ben Gurion dan Dr Chaim Weizmann mengusulkan pembentukan pemerintahan darurat Israel yang kemudian diakui oleh Amerika dan Soviet pada 14 Mei 1948. Setelah itu, Perancis dan Inggris pun mendukung kemerdekaan tersebut. Demikianlah terbentuknya Negara Israel dengan Gurion sebagai Perdana Menteri Pertama Israel tahun 1949.

Pada Mei 1948 pasukan Arab masuk ke Jerusalem, legion Arab Transjordania bergerak ke Jerusalem utara, pasukan artileri menggempur Israel dari arah Selatan atau dari Bukit Perancis dengan sasaran utama wilayah Yahudi. Kota Lama berhasil ditundukkan pada 28 Mei 1948. Pasukan Mesir dan negara-negara Arab menyerang Jerusalem dari Selatan.

Pada tanggal 3 Desember 1949 PM David Ben Gurion di depan parlemen Israel mengatakan Israel menghormati Resolusi PBB tanggal 29 November 1947 dan menganggap resolusi yang berkaitan dengan Jerusalem tidak berlaku lagi.

Sedangkan legion Transjordania tidak dalam posisi menegaskan kedaulatan sehingga posisinya dianggap illegal. Konflik Israel-Palestina berlangsung antara 1948–1949. Atas perintah PBB  dilakukan gencatan senjata antara Israel dan Palestina tahun 1949.

Perang besar 1948–1949 menjadi Perang Kemerdekaan bagi Israel, tetapi bagi Palestina merupakan awal perang pendudukan, resolusi tersebut tidak berlaku lagi. Perang itu membuat Jerusalem dibagi dua, yakni Jerusalem Barat dikuasai oleh Israel dan Jerusalem Timur dikuasai Yordania. Berdirinya Negara Israel saat itu mengorbankan 1,2 juta penduduk Arab. Pada tahun 1950, Israel menegaskan Jerusalem Barat sebagai ibu kota Israel.

Dimuat Kompas, Senin, 24 Mei 2021, halaman 2

Bara Konflik yang Terus Membara

Gencatan senjata 1949 sepertinya hanya rehat sesaat saja, tetapi kekerasan bersenjata terus berlangsung dialami oleh rakyat Palestina. Israel menyatakan posisinya dirinya dalam legal internasional atas Jerusalem berasal dari Mandat Palestina (Palestine Mandate, 24 Juli 1922), yaitu Liga Bangsa-bangsa mengakui hubungan historis bangsa Yahudi dengan Palestina dan menghendaki agar menjadikan Palestina sebagai “national home” bangsa Yahudi.

Dalam pasal 2 dari “national home” disebutkan (Inggris) berkewajiban untuk “melindungi hak-hak sipil dan agama semua penduduk Palestina, terlepas dari agama dan ras mereka. Namun, Israel mengabaikan “melindungi hak Palestina” tersebut.  

Israel mengabaikan Mandat Palestina yang diputuskan di San Remo, Perjanjian Sevres, serta Deklarasi Balfour yang dipatahkan oleh Inggris dengan “Churchill White Paper” atau “White Paper 1922”.

Dalam White Paper tersebut Inggris tidak mendukung sebuah nasion yang terpisah yang disebut Jewish Nation Home, tetapi Inggris mendukung  pembentukan komunitas Yahudi di Palestina. Dalam Churchill White Paper itu, disangkal pembentukan “Palestina Yahudi” seluruhnya dan dinyatakan bahwa Pemerintah Inggris tidak berkeinginan melihat Palestina menjadi “Yahudi-nya Inggris”.

Nasib Palestina menjadi perhatian dari beberapa negara. Pada Konferensi yang dilakukan 20–22 Juli 1965 di Kairo, Mesir, para peserta dari negara-negara Arab menyatakan dukungannya pada perjuangan rakyat Palestina untuk mendapatkan kemerdekaannya.

Koferensi yang dihadiri oleh Republik Persatuan Arab (RPA), Lebanon, Yordania, dan Kuwait sebagai anggota penuh. Selain itu, Arab Saudi, Libya, Aljazair, dan Yaman sepakat menyebut Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) sebagai pelopor perjuangan Arab untuk mengembalikan Palestina untuk rakyat Palestina.

Peserta konferensi juga menolak imperialisme Inggris di Yaman Selatan dan Oman. Saat itu, Bung Karno sudah menyatakan dukungan pada kemerdekaan rakyat Palestina. Selain Indonesia, ada Perdana Mentri (PM) Pakistan Zulfikar Ali Bhuto dan PM Republik Rakyat Cina (RRC) Tjou En Lai.

 KOMPAS/JB SURATNO

Presiden BJ Habibie, Kamis (8/4/1999) malam, menyambut Presiden Palestina, Yasser Arafat, dan rombongan, di Ruang VVIP Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Dalam pertemuan tersebut, Indonesia sekali lagi menegaskan dukungannya terhadap perjuangan Palestina menuju kemerdekaan.

Perang Enam Hari

Konflik bersenjata seolah tidak berhenti hingga terjadi konflik besar yang disebut dengan Perang Enam Hari tahun 1967. Namun, kali ini sikap PBB sangat tidak netral. Ketika tahun 1948 Jordania ke Palestina untuk melawan Israel, PBB menyebut tindakan itu sebagai agresi. Namun, PBB menolak sikap Uni Soviet yang menyebut tindakan Israel merebut kota-kota dalam Perang Enam Hari sebagai tindakan aggressor.

Israel menguasai Jerusalem Timur secara de facto tetapi tidak jelas secara de jure. Namun, Israel justru melakukan yudaisasi atas Jerusalem dengan menerapkan hukumnya atas wilayah Jerusalem.  

PBB mengeluarkan Resolusi Nomor 2253 pada 4 Juli 1967 yang mengganggap tindakan Israel di Jerusalem Timur adalah ilegal yang didukung oleh 99 anggota, 20 abstain dan 3 absen. Resolusi menyerukan: pertama, penarikan mundur pasukan Israel dari wilayah pendudukan yang dilakukan dalam perang 1967. Kedua, penghentian semua klaim oleh semua negara-negara yang berperang, dan menghormati serta mengakui kedaulatan dan integritas teritorial serta kemerdekaan politik setiap negara di wilayah itu.

Namun, dalam hal ini sikap PBB tidak tegas menyangkut Jerusalem sehingga tidak memiliki arti bagi Palestina ataupun Israel. Ketika tahun 1980 pada New York Times, Arthur Goldberg yang menjadi Duta Besar AS untuk PBB mengungkapkan bahwa hal itu memang disengaja karena tidak mau menggambarkan Jerusalem sebagai wilayah pendudukan. Sikap ini menunjukkan dengan jelas dukungannya pada Israel.

Setelah Perang Enam Hari, Israel membangun tembok pemisah antara Israel dan Palestina secara tidak sah, apalagi tembok tersebut dibangun menjorok ke wilayah Palestina. Bahkan, pembangunan tembok tersebut dibarengi dengan pengusiran 200.000 warga Palestina yang kehilangan hak atas tanah air. Israel tidak peduli dengan hal itu karena Israel tidak mau mengembalikan perbatasan seperti sebelum tahun 1967. Kini Israel menguasai Jerusalem Timur dan Jerusalem Barat. Para sejarawan mengakui bahwa setelah Perang Enam Hari pasukan Israel mengeksekusi ratusan tahanan Perang Sinai 1967.

 KOMPAS/ARBAIN RAMBEY

Presiden Abdurrahman Wahid, menyambut kedatangan Yasser Arafat Rabu (6/8/2000) petang di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, setelah tertunda dua kali akibat kerusakan pada pesawat khusus yang membawa pemimpin Palestina tersebut dari Kuala Lumpur, Malaysia. Ikut menyambut Menlu Alwi Shihab, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, Panglima Kodam Jaya Slamet Kribiantoro, dan Dubes Palestina untuk Indonesia Ribhi Y Awad.

Tantangan Perdamaian

Dalam Resolusi PBB 242 ditekankan agar Israel menarik pasukannya, Duta Besar AS untuk PBB menolak usulan Uni Soviet untuk menambahkan kata “semua” di depan kata “wilayah-wilayah”.

Keinginan Uni Soviet adalah agar Israel menarik mundur pasukannya dari semua wilayah pendudukan, tetapi usulan itu ditolak oleh PBB. Dalam hal ini, Inggrislah yang bertanggung jawab pada situasi pendudukan Israel.

Atas permintaan PM Israel Menachem Begin, status Jerusalem tidak disinggung dalam  Perjanjian Camp David 17 September 1978, bahkan PM Israel itu menolak permintaan Presiden Mesir Anwar Sadat agar bendera negara Arab dikibarkan di tempat ibadah kaum muslim.

Pada tahun 1980, Begin mendukung parlemen Israel Knesset yang membuat keputusan bahwa Jerusalem Barat dan Jerusalem Timur adalah satu kesatuan menjadi ibu kota Israel. Hal itu tentu saja ditentang oleh PBB karena Israel mengambil keputusan sepihak.

Dewan Keamanan PBB menerbitkan resolusi baru pada 26 Agustus 1980, yaitu Resolusi No. 478. Resolusi ini didukung secara penuh oleh 14 anggota DK PBB kecuali Amerika Serikat. DK PBB menjatuhkan hukuman kepada Israel bahwa tindakannya dinilai sebagai tindakan tidak sah dan harus dibatalkan serta dianggap tidak berlaku. Resolusi tersebut juga menyerukan semua anggota PBB agar tidak mengakui langkah-langkah kebijakan yang diambil Israel atas Jerusalem. DK PBB menyerukan agar para anggota menarik semua misi diplomatiknya yang ada di Jerusalem.

Hal itu juga mengundang reaksi dari Majelis Umum PBB dengan menerbitkan Resolusi Nomor 35/169E. Kemudian terbit pula Resolusi 36/120E, yang menyatakan bahwa semua langkah administratif dan legislatif yang diambil Israel, Kekuatan Pendudukan yang mengubah sifat dan status Kota Suci Jerusalem, terutama “hukum dasar” Jerusalem dan proklamasi Jerusalem sebagai ibu kota Israel dibatalkan dan tidak berlaku. Namun, Israel tidak mengindahkan sedikit pun resolusi tersebut.

Antara tahun 1967–1989 DK PBB telah menerbitan 131 resolusi. 43 di antara resolusi tersebut PBB bersikap netral serta 88 mengkritik dan menentang tindakan Israel di Jerusalem. Hampir setengah dari 88 resolusi itu menggunakan kata condemned (mengutuk), censured (mengecam), dan deplore (menyesalkan) tindakan Israel.

Demikian pula dengan Majelis Umum PBB telah mengeluarkan 429 resolusi, dengan 321 resolusi di antaranya mengecam tindakan Israel. Namun, semua resolusi yang diterbitkan oleh badan PBB tidak mengikat sama sekali sehingga tidak dipedulikan oleh Israel.

KOMPAS/MAWAR KUSUMA WULAN

Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh saling berjabat tangan usai memberikan pernyataan pers bersama dalam rangkaian Upacara Penyambutan Resmi PM Shtayyeh di Istana Kepresidenan Bogor, Senin (24/10/2022).

Kesepakatan Oslo 1993

Untuk mencari usaha perdamaian dilakukan perundingan antara Israel dan Palestina di Oslo pada September 1993 yang melahirkan deklarasi atau prinsip yang disebut Kesepakatan Oslo. PM Israel saat itu Yitzhak Rabin menyetujui kesepakatan sementara yakni dibentuknya pemerintahan sendiri Palestina yang dikenal dengan Otoritas Palestina untuk masa lima tahun di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Jerusalem tidak dimasukkan dalam Yuridiksi Palestina, tetapi isu Jerusalem akan didiskusikan dalam perundingan final seperti perbatasan final, rencana keamanan, pengungsi dan permukiman Israel. Nyatanya Israel bersikukuh berkuasa atas seluruh wilayah Jerusalem.

Palestina sejatinya dihuni warga Arab seperti ketika di bawah kekuasaan Ottoman, ratusan tahun Arab muslim dan Arab Kristen dengan 10 persen Yahudi hidup damai di bawah perlindungan Ottoman. Namun, kehadiran Inggris mengubah segalanya, bahkan Arab Palestina tidak menyerahkan Jerusalem pada Israel.

Dalam pidato tanggal 10 Mei 1994, Yasser Arafat menyatakan bahwa Jerusalem bukan ibukota Israel, tetapi Jerusalem adalah ibukota Palestina. Sehingga klaim tersebut terus berlangsung hingga saat ini, maka dari itu perdamaian di Timur Tengah akan terus diusik oleh isu Jerusalem.

Gagasan Jerusalem sebagai ibukota internasional pernah diungkapkan oleh Vatikan, pada 30 Desember 1993 terjadi penandatanganan “Kesepakatan Fundamental antara Tahta Suci dan Negara Israel”. Kesepakatan tersebut menjadi dasar hubungan diplomatic antara Vatikan dengan Israel. Vatikan kemudian menjalin komunikasi dengan PLO pada tahun 1994.

Pada bulan Maret 1994, Amerika Serikat dibawah pimpinan Bill Clinton mengakui Jerusalem yang Bersatu (timur dan barat) sebagai ibukota Israel. Bahkan, AS akan memveto PBB jika Jerusalem disebut sebagai wilayah pendudukan.

Rabin menegaskan pada 27 Juni 1995 di depan mahasiswa di Tel Aviv jika harus membagi Jerusalem demi perdamaian maka Israel memilih tidak ada perdamaian.  Jelaslah bahwa Israel sendiri tidak konsisten dengan Kesepakatan Oslo yang sudah disepakati bersama.

Sementara itu, Yasser Arafat lebih menyetujui konsep condominium, seperti Sudan ketika berada dibawah kekuasaan Mesir dan Inggris (1906 -1980). Saat pidato di Harvard University tahun 1995 Arafat mengatakan, “Mengapa Jerusalem tidak dijadikan ibukota dua negara tanpa Tembok Berlin? Bersatu, terbuka hidup berdampingan secara damai, hidup bersama”.  Pernyataan Arafat tersebut mendapat standing ovation semua yang hadir saat itu.

Status Jerusalem Timur disinggung kembali oleh Vatikan  tahun 1998 bahwa kependudukan Israel di Jerusalem Timur sebagai tindakan “pendudukan illegal”. Awal tahun 1999 Vatikan menyatakan mendukung proposal internasionalisasi wilayah sesuai dengan Resolusi PBB Nomor 181 yang diterbitkan Majelis Umum PBB tanggal 29 November 1947.

Vatikan meminta perhatian internasional atas kependudukan Jerusalem, pada 15 Februari 2000 Vatikan menandatangani kesepakatan bersama dengan PLO untuk mempertahankan Jerusalem sebagai kota di bawah kontrol internasional. Kesepakatan itu ditandatangani oleh Paus Yohanes Paulus II dan pemimpin PLO Yasser Arafat, Vatikan menegaskan bahwa pendudukan Israel atas Jerusalem timur tidak sah.

Vatikan mengusulkan agar Jerusalem menjadi kota internasional yang didukung oleh banyak negara, tetapi ada pula gagasan agar Jerusalem dibagi dua antara Palestina – Israel. Namun, gagasan itu ditentang Amerika Serikat, bahkan AS memindahkah kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Jerusalem untuk menyatakan dukungannya pada Israel.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Presiden Joko Widodo (kanan) dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas saat menggelar pertemuan bilateral dalam rangkaian KTT Luar Biasa Ke-5 OKI mengenai Palestina dan Al-Quds Al-Sharif di JCC, Jakarta, Minggu (6/3/2016). Dalam pertemuan itu Presiden Joko Widodo menyampaikan komitmen Indonesia untuk terus mendukung kemerdekaan Palestina.

KTT Camp David

Tujuh tahun setelah Kesepakatan Oslo Ehud Barak adalah PM Israel yang pertama mempertimbangkan untuk membagi Jerusalem sebagai jawaban atas Proposal yang diajukan AS dalam pertemuan Camp David. Pertemuan yang dilaksanakan 11-24 Juli 2000 dihadiri Presiden AS Bill Clinton, Ketua Otoritas Palestina Yasser Arafat dan PM Israel Ehud Barak.

Dalam KTT Camp David isu Jerusalem dibicarakan kembali, bermula dari proposal yang diajukan AS pada 23 Juli 2000 berisikan :

1) Palestina berdaulat penuh atas Wilayah Muslim dan Kristen Lama,

2) Israel berdaulat atas Wilayah Yahudi dan Armenia di Kota Lama,

3) Wilayah Tempel Mount tetap berada di bawa kekuasaan Israel dengan konsep “custodianship” bagi orang Palestina dan secara resmi diberikan oleh DK PBB dan Maroko.

Kemudian proposal kedua dari AS adalah wilayah pinggiran Jerusalem yang dihuni oleh orang Palestina seperti Shuafat dan Beit Henina di Jerusalem Timur akan berada dibawah kekuasaan Palestina. Sedangkan Kota Lama seperti Sheikh Jarah wilayah jalan Salah ad-Din, Silwan dan Ras al-Amund hanya akan berada di bawah kekuasaan Palestina secara fungsional dalam kerangka kedaulatan Israel.

Namun demikian usulan AS tersebut ditanggapi secara berbeda oleh Ehud Barak dan Yasser Arafat. Ehud Barak PM Israel saat itu setuju untuk membagi Jerusalem Timur dan wilayah-wilayah Kota Lama yang direbut Israel dalam perang 1967 dikembalikan pada Palestina. Namun, Arafat menolak usulan tersebut. Arafat mengatakan ia tidak setuju kedaulatan Israel atas Jerusalem baik di wilayah Armenia ataupun Mesjid Al Aqsa  baik atas Via Dolorosa maupun Gereja Kudus Makam Kristus.

Di hadapan Amerika, Arafat mengatakan bahwa Jerusalem bukan hanya milik orang Palestina, tetapi kotanya dunia Arab, umat Islam dan Kristen. “Maka saya harus berkonsultasi dengan orang-orang Sunni dan Syiah dan seluruh Arab”, demikian komentar Arafat. Arafat bersikeras bahwa orang Yahudi tidak memiliki tempat suci di Temple Mount, karena Kenizah Solomon tidak ada di Jerusalem, tetapi di Nablus (Tepi Barat).

Amerika Serikat mencoba membuka jalan damai pihak Israel dan Palestina dengan perundingan di Annapolis pada November 2007. Namun,  Palestina menolak karena Jerusalem Timur tidak dikembalikan pada pihak Palestina. Selama Jerusalem Timur tidak diserahkan pada pihak muslim maka perdamaian sulit diwujudkan.

KOMPAS/HASSANUDDIN ASSEGAFF

Para pimpinan delegasi KTT X GNB melaksanakan shalat Jumat di Mesjid Istiqlal, Jakarta, hari Jumat kemarin (4/9/1992). Di antara pimpinan delegasi itu, tampak Presiden Palestina Yasser Arafat.

Gerakan Intifada

Pada 8 Desember 1987 truk Israel sengaja menabrak mobil yang mengangkut pekerja Palestina yang mengakibatkan empat orang meninggal dan sembilan luka parah. Dari sembilan yang luka parah ketika dalam perawatan empat orang meninggal, pemakaman korban tewas tersebut dihadiri oleh 10.000 warga Palestina.

Dari sinilah kemarahan rakyat sipil memuncak, kemudian muncullah perlawanan rakyat sipil tanpa senjata. Gelombang aksi massa besar menyerbu serdadu Israel dengan senjata apapun yagn mereka miliki. Bentrokan ini meluas tanpa dapat dikuasai oleh Israel, bahkan menjadi sebuah kekuatan bagi rakyat Palestina untuk melakukan resistensi menolak Israel.

Gerakan Intifada lahir karena desakan Pembangunan dan perluasan pemukiman Yahudi yang melahirkan dampak negative bagi kehidupan warga Palestina di daerah pendudukan hampir di semua bidang. Kemudian adanya pertentangan ideologis antara PLO Nasionalis Sekuler dengan organisasi Islam garis keras yang melandaskan pada ideologi Islam seperti Hamas. Ketiga, adanya keinginan warga Palestina untuk berjuang secara mandiri untuk membentuk identitas tersendiri serta melepaskan diri dari bantuan dan pengaruh negara-negara Arab.

Di bawah pendudukan Israel kebebasan rakyat Palestina sangat terbatas dan dibebani berbagai kewajiban yang sangat memberatkan seperti pajak yang tinggi, denda besar terhadap pelanggaran hingga mengakibatkan kemiskinan dan kesengsaraan. Kebebasan beribadah sangat terbatas, bahkan Mesjid Al Aqsa yang sangat dikuduskan berubah menjadi sangat sulit dimasuki kaum muslimin. Di saat orang -orang Yahudi menempati rumah mewah, warga Palestina harus tergusur dari tanah mereka dan hidup di gubuk-gubuk kumuh tidak layak huni.

Sementara itu negara-negara Arab tidak datang memberikan bantuan persenjataan ataupun harapan hidup. Negara Arab memilih bersahabat pada Israel karena tidak mau dianggap bermusuhan dengan Israel dan Amerika. Kondisi itu menimbulkan rakyat Palestina frustrasi dan bertekad memperjuangan kemerdekaan mereka dengan kekuatan sendiri.

Gerakan perlawanan sipil itu direspon keras oleh PM Israel Yitzak Rabin  yang mengeluarkan kebijakan might, power and beating. Kebijakan itu menjadikan tantara Israel bertindak brutal dan menjadi Liputan media massa di dunia yang menimbulkan kecaman dan kutukan dunia internasional.

Tindakan kejam tantara Israel menimbulkan reaksi dari DK PBB yang mengecam tindakan keras pada rakyat Palestina di Gaza. PBB meminta agar Israel mematuhi konvensi Jenewa yang mengharuskan menghormati dan melindungi warga sipil. Bahkan, AS mendukung pernyataan PBB terhadap tindakan kekerasan pada warga sipil di jalur Gaza.

Sejak pecah pemberontakan Intifada tahun 1987 hingga Januari 1991 sudah 792 warga sipil Palestina tewas oleh tentara Israel. Keberadaan Intifada melunakkan Israel dan pandangan kerasnya pada Palestina. Terjadi perbedaan pandangan antara sayap kiri dan sayap kanan Israel pada kekerasan yang dilakukan tentara Israel pada warga sipil Palestina.

KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA

Suasana Aksi Akbar Aliansi Rakyat Indonesia Bela Palestina di kawasan Monas, Jakarta, Minggu (5/11/2023). Aksi ini merupakan bentuk dukungan rakyat Indonesia kepada Palestina atas perang Israel-Hamas yang terjadi di Gaza. Sehari sebelumnya, Indonesia telah mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Palestina sebagai wujud solidaritas.

Zionisme Tiada Henti

Israel meluaskan wilayahnya dengan membangun pemukiman Yahudi di wilayah pendudukan di Jerusalem. Menurut catatan Yayasan Perdamaian Timteng yang berbasis di Washington, sejak 1967 hingga 1991  ada 210 permukiman Yahudi di daerah pendudukan. Pemukiman Yahudi yang merampas tanah rakyat Palestina itu total mencapai 242.000, yakni di Tepi Barat (85.000), Jerusalem Timur (140.000), Jalur Gaza (5.000), dan Dataran Tinggi Golan (12.000).

Saat itu  populasi Palestina, terbagi atas Tepi Barat (1.000.000), Jerusalem Timur (150.000), dan Jalur Gaza (750.000). Sedangkan di Dataran Tinggi Golan terdapat warga Suriah sejumlah 15.000. maka perlakuan Israel terhadap warga Arab-Palestina di daerah pendudukan ini bertentangan dengan hukum internasional, Konvensi Geneva Keempat.

Israel menegaskan akan menambah 40.000 hingga 120.000 warga Yahudi setiap tahunnya di daerah pendudukan. Selama dekade 1980-an Israel mengalokasikan dana 300 juta dollar AS setiap tahunnya untuk Pembangunan pemukiman Yahudi antara 1.000 hingga 2.000 unit rumah tiap tahunya. Oleh karena itu terjadi pelonjakan Yahudi di daerah pendudukan, hingga tahun 1991 sekitar 65 persen wilayah pendudukan telah diambil oleh Israel untuk pemukiman Yahudi.

Setelah kegagalan diplomasi di Camp David tahun 2000, konflik sulit terhindarkan. Pada 4 April 2001 Tank-tank dan buldozer Israel untuk pertama kalinya memasuki dan membombardir kamp pengungsi Palestina di Kota Khan Yunis, Jalur Gaza.  

Namun, serangan itu perdapat perlawanan sengit dari aparat keamanan dan warga Palestina. Sekitar 15 rumah penduduk hancur total dan puluhan lainnya rusak, dua warga Palestina tewas dan 50 lainnya luka-luka. 

Media Israel maupun Palestina melukiskan pertempuran Khan Yunis sebagai terbesar di Jalur Gaza semenjak perang Arab-Israel 1967. Masjid-masjid di kota yang tak jauh dari pemukiman Yahudi Gush Katif, Jalur Gaza Tengah, menyerukan segenap penduduk Palestina mengangkat senjata dan melancarkan jihad untuk mempertahankan kota tersebut dari serangan Israel.

Penderitaan rakyat Palestina seolah tiada terputus, karena Israel terus membangun pemukiman Yahudi dengan mengusir warga Palestina dari wilayah pendudukan Israel. Beragam konflik dan perlawanan kecil tetap terjadi. Puluhan ribu warga Palestina menjadi korban.

Pada 7 Mei 2020, pemerintah Israel mengumumkan rencana pembangunan ribuan rumah di area pemukiman Yahudi di Tepi Barat, tentu saja hal ini mendapat dukungan dari Amerika Serikat. Presiden Donald Trump memberikan pengakuan atas pencaplokan Israel di wilayah pemukinan Yahudi. Walaupun semua proyek permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Jerusalem Timur dianggap illegal oleh masyarakat internasional.

Hal itu telah mengabaikan segala perjanjian dan mimpi rakyat Palestina bahwa Wilayah Tepi Barat adalah wilayah negara Palestina di masa depan. Kebijakan Israel ini sudah pasti ditentang oleh warga Palestina. PBB dan sejumlah lembaga advokasi seperti Peace Now menolak rencana tersebut, tetapi Israel tetap dengan rencana membangun pemukiman yang artinya sama dengan mengusir warga Palestina yang ada di sana.

KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi (ketiga dari kiri) membacakan puisi disaksikan anggota DPD Sylviana Murni (kedua dari kiri), Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid (keempat dari kiri), Ketua DPR Puan Maharani (tengah), Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas (keempat dari kanan), Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy (ketiga dari kanan), serta Ketua Pengarah Aksi Din Syamsuddin (kedua dari kanan) dalam Aksi Akbar Aliansi Rakyat Indonesia Bela Palestina di kawasan Monas, Jakarta, Minggu (5/11/2023). Aksi ini merupakan bentuk dukungan rakyat Indonesia kepada Palestina atas perang Israel-Hamas yang terjadi di Gaza. Sehari sebelumnya, Indonesia telah mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Palestina sebagai wujud solidaritas.

Serangan 7 Oktober 2023

Tanpa terduga Hamas melakukan serangan tanggal 7 Oktober 2023 di pagi hari. Serangan atas kota Tel Aviv itu menjadi alasan bagi Israel menyerang seluruh Gaza secara membabi buta. Seluruh fasilitas kota di Gaza hancur termasuk seluruh rumah sakit  termasuk Palang Merah Internasional termasuk RS terbesar di Gaza Al Shifa dan  RS Indonesia di sana. Tidak hanya masjid, Israel juga membom gereja yang ada di sana.

Hingga berita 24 November 2023  setidaknya 13.000 warga Gaza tewas termasuk 5.000 anak-anak. Israel menyerang rumah sakit dan masjid-masjid  dengan dalih tempat itu merupakan sarang persembunyian kelompok Hamas. Israel beralasan bahwa terowongan milik Hamas berada bawah pemukiman, rumah sakit dan masjid.

Berkat bantuan diplomasi dari pimpinan Qatar akhirnya Israel mau melakukan gencatan senjata selama empat hari.  Namun, satu hari menjelang gencatan senjata Israel menyerang sedikitnya 300 titik di Gaza termasuk RS Indonesia dan tempat penampungan pengungsi Jabalia. Gencatan senjata dimulai tanggal 24 November 2023 direncanakan minimal empat hari tidak ada baku tembak.

Gencatan senjata ini memberikan keuntungan bagi Palestina yaitu pembebasan warga Palestina yang ada di penjara Isreal, umumnya mereka ditahan saat usia di bawah 17 tahun. Selain itu pasokan bantuan ke Gaza akan kembali mengalir selama masa gencatan senjata. Demikian pula tawanan Israel akan dibebaskan oleh Palestina. Hamas menyandera 240 warga Israel dan sejumlah negara lain, Hamas akan membebaskan 50 sandera Israel yang dibebaskan 10 orang tiap harinya.

Para pejabat AS khawatir gencatan senjata  memudahkan jurnalis masuk ke Gaza  karena akan mengungkap kehancuran Gaza akibat serangan Israel. Sehingga sulit bagi AS untuk menggalang dukungan internasional bagi Israel. 

Pada hari pertama gencatan senjata Hamas melepaskan 13 sandera warga Israel, 10 warga Thailand dan satu warga Filipina, Israel melepaskan 39 warga Palestina. Pada hari kedua jeda kemanusiaan di Jalur Gaza Hamas siap melepaskan 14 warga Israel, sementara Israel akan membebaskan 42 warga Palestina yang ditahan Israel. Rencananya Israel akan melepaskan 150 tahanan termasuk Perempuan dan anak, sementara itu Hamas akan melepaskan 50 tawanan.

Sejak serangan tujuh Oktober hingga tujuh November  2023  Israel telah menyerang 278.000 rumah atau pemukiman rakyat Palestina. Ada 311 fasilitas Pendidikan rusak atau hancur, 26 dari 36 rumah sakit tidak berfungsi dan 167 rumah ibadah rusak serta 87 ambulans rusak.  (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Jerusalem, Kuncahyono, Trias, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2021
Arsip Kompas
  • Konferensi Parlemen Arab Dukung Perjuangan Rakyat Palestina, Kompas, Jumat 25 Juni 1965
  • Indonesia, Pakistan dan RRC Bantu Gerakan Palestina, Kompas, Selasa, 6 Juli 1965
  • Riwayat Berdirinya Israel, Kompas, 8 Juni 1967
  • Memenangkan Arab-Israel, Kompas 14 Juni 1967
  • DK PBB Kecam Tindakan Israel Terhadap Warga Sipil Palestina, Kompas, 5 Januari 1991
  • Empat Tahun Intifada : Pemukiman Yahudi, Fakta yang Dipaksakan, Kompas, Kamis 12 Desember 1991
  • Israel-Palestina Sengit Bertempur, Kompas, Kamis 12 April 2001
  • Wilayah Palestina Menciut, Kompas, Kompas, Jumat 8 Mei 2020
  • Intifada, Sesudah Lima Tahun, Kompas, Selasa 8 Desember 1992
  • Situasi Gaza Terus Tenang, Kompas, Minggu 26 November 2023
  • Serbuan Israel Meningkat Jelang Jeda Tempur Mulai Berlaku di Gaza, Kompas, 24 November 2023

Artikel terkait