Paparan Topik | Ekonomi Nasional

Merunut Kebijakan Rupiah di Indonesia

Menginjak usia ke-78 tahun Republik Indonesia, nilai tukar rupiah mencapai di atas Rp 15.000 per dollar AS. Dalam perjalanan sejarah RI, kurs rupiah terhadap dollar AS cenderung melemah dari tahun ke tahun.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Model menunjukkan sebagian replika uang pecahan kertas yang baru, saat peluncuran uang rupiah kertas dan logam tahun emisi 2016 di Gedung Thamrin, Bank Indonesia, Jakarta, Senin (19/12/2016). Uang rupiah yang diluncurkan adalah tujuh uang pecahan kertas dan 4 uang pecahan logam.

Fakta Singkat

  • Pada 1962, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS mencapai Rp 265 per dollar AS
  • Di awal Orde Baru menguat menjadi Rp 163 per dollar AS yakni pada 1968
  • Di akhir rezim Orde Baru yakni tahun 1998, rupiah mencapai nilai terlemah yakni Rp 16.000 per dollar AS, imbas dari krisis ekonomi.

Untuk menstabilkan kurs rupiah, sejumlah kebijakan ditempuh oleh pemerintah: 

  • Di awal kemerdekaan, pemerintah mengganti mata uang peninggalan kolonial Belanda dan Jepang dengan mencetak Oeang Repoeblik Indonesia (ORI)
  • Di masa orde lama, pemerintah mengeluarkan kebijakan pemotongan nilai uang untuk meredam hiperinflasi atau dikenal dengan “Gunting Syafruddin.
  • Di masa Orde Baru, kebijakan menstabilkan nilai rupiah dilakukan dengan cara devaluasi.
  • Akibat krisis moneter, pemerintah Orde Baru mengubah kebijakan terkait rupiah, dari mengambang bebas terkendali (manage floating) menjadi dibiarkan mengambang beas (free floating).
  • Pascareformasi, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter secara terukur dan Bank Indonesia mengambil kebijakan untuk meningkatkan BI Rate
  • Pada 2023, rencana redenominasi atau penyederhanaan nilai mata uang rupiah kembali mencuat setelah beberapa tahun meredup. Meskipun belum terealisasi, redenominasi dimaksudkan untuk efisiensi perekonomian, menyederhanakan sistem transaksi, akuntansi, dan pelaporan APBN.

Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dalam kurun 78 tahun cenderung menurun. Di masa Orde Lama nilai tukar rupiah terhadap dollar AS mencapai Rp 265 per dollar AS yakni di tahun 1962. Kemudian di awal Orde Baru menguat menjadi Rp 163 per dollar AS yakni pada 1968. Namun di akhir rezim Orde Baru yakni tahun 1998, rupiah mencapai nilai terlemah yakni Rp 16.000 per dollar AS, imbas dari krisis ekonomi.

Untuk menstabilkan kurs rupiah, sejumlah kebijakan ditempuh oleh pemerintah. Di awal kemerdekaan, kebijakan yang ditempuh pemerintah yakni mengganti mata uang peninggalan pemerintah koloni Belanda dan Jepang dengan mencetak Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) atau biasa disebut uang rupiah untuk digunakan oleh rakyat Indonesia. Kemudian di masa Orde Lama yakni pada 1950 keluar kebijakan keuangan ditempuh dengan redominasi rupiah atau Gunting Syafruddin yakni memangkas nilai uang hingga tinggal separuh. 

Sementara di masa Orde Baru, kebijakan menstabilkan nilai rupiah dilakukan dengan cara devaluasi. Sedikitnya empat kali pemerintah Orba melakukan devaluasi yakni 1973, 1978, 1983, dan 1986.  Selanjutnya sejak Oktober 1997, rupiah dibiarkan mengambang bebas (free floating) sesuai pasar

Adapun pascareformasi, nilai tukar yang sesuai mekanisme pasar itu dijaga dengan mengeluarkan kebijakan moneter secara terukur dan hati-hati dengan prioritas utama menjaga stabilitas perekonomian, sistem keuangan, dan prospek pertumbuhan ekonomi.

Jika cermati, pelemahan rupiah tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi yang terjadi di luar negeri maupun dari dalam negeri. Pelemahan nilai rupiah terhadap dollar AS disebabkan beberapa hal antara lain perekonomian AS yang meningkat ditandai dengan penguatan mata uang dollar AS, turunnya harga komoditas ekspor dari Indonesia, dan nilai impor yang semakin meningkat. Selain itu, negara maju menaikkan tingkat suku bunga sehingga aliran modal keluar dari Indonesia  serta ancaman resesi ekonomi dunia.

Melemahnya nilai rupiah berdampak pada harga barang impor menjadi mahal, pegawai bergaji rupiah dirugikan, suku bunga bank meningkat dan pertumbuhan kredit melambat, serta harga obligasi dan Surat Utang Negara merosot. Hal itu berimbas pada peningkatan inflasi dan penurunan daya beli masyarakat serta penurunan pertumbuhan ekonomi. Sementara merosotnya nilai uang berdampak positif pada peningkatan keuntungan ekportir Indonesia, dan pengunaan barang-barang lokal laris dan meningkat.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Petugas meneliti uang dollar AS di tempat penukaran valuta asing Dolarindo di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, Jumat (5/3/2021). Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate Bank Indonesia, nilai tukar rupiah pada Jumat sebesar Rp 14.371 per dollar AS. Rupiah melemah 372 poin dibanding hari sebelumnya.

Orde Lama

Kebijakan pengelolaan keuangan dan nilai tukar uang pertama kali dilakukan oleh Letjen. Sir Montague Stopford, Panglima AFNEI (Allied Forces in Netherlands India), yang memberlakukan uang NICA (Netherlands Indies Civil Administration) mulai 6 Maret 1946. Uang lama, baik berupa uang Jepang, uang Belanda sebelum perang, atau uang De Javasche Bank, harus segera ditukarkan dengan uang baru tersebut. Namun,  uang NICA dalam perkembangannya tidak populer dan nilainya terus merosot terhadap mata uang internasional.

Kebijakan mata uang berikutnya dilakukan Pemerintah Soekarno. Dengan Undang-undang No 17 tahun 1946 tentang Pengeluaran Uang Republik Indonesia, Pemerintah RI mengeluarkan uang baru pada 1 Oktober 1946 yang diberi nama Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). Uang baru itu dipatok dengan nilai kurs 1 : 50 alias satu rupiah ORI setara dengan 50 sen uang Jepang untuk wilayah Jawa dan Madura, sementara untuk luar Jawa satu rupiah ORI setara 100 sen uang Jepang.

Emisi pertama uang kertas ORI diluncurkan tanggal 30 Oktober 1946. Pemerintah Indonesia menyatakan tanggal tersebut sebagai tanggal beredarnya Oeang Republik Indonesia (ORI) dimana uang Jepang, uang NICA, dan uang Javasche Bank tidak berlaku lagi. Mata uang yang dicetak itu ditandatangani oleh Alexander Andries Maramis. Meski masa peredaran ORI cukup singkat dan sangat terbatas dan tidak mencakup seluruh wilayah Republik Indonesia, uang itu berhasil menjadi penanda Indonesia sebagai negara merdeka sekaligus alat untuk memperkenalkan diri kepada dunia internasional.

Pada awal beredarnya ORI, setiap penduduk diberi Rp1 sebagai pengganti sisa uang invasi Jepang yang masih dapat digunakan sampai dengan 16 Oktober 1946. Namun, pada saat itu peredaran ORI belum bisa menjangkau seluruh wilayah Indonesia karena sebagian wilayah Indonesia masih berada di bawah Belanda. Bahkan, mulai tahun 1947 pemerintah terpaksa memberikan otoritas kepada daerah-daerah tertentu untuk mengeluarkan uangnya sendiri yang disebut Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA).

Uang tersebut bersifat sementara dan kebanyakan dinyatakan oleh penguasa setempat sebagai alat pembayaran yang hanya berlaku di tempat tertentu. Contohnya, ORIDABS-Banten, ORIPS-Sumatera, ORITA-Tapanuli, ORIPSU-Sumatera Utara, ORIBA-Banda Aceh, ORIN-Kabupaten Nias dan ORIAB-Kabupaten Labuhan Batu[19]. Jenis ORIDA tersebut berupa bon, Surat Tanda Penerimaan Uang, Tanda Pembayaran Yang Sah dan ORIDA dalam bentuk Mandat.

Jumlah peredaran ORI dan ORIDA pada 1946 sebesar Rp323 juta diperkirakan meningkat menjadi Rp6 milyar pada akhir 1949. Pada tahun pembukuan 1949-1950,  ORI dan berbagai macam ORIDA hanya berlaku sampai 1 Januari 1950 dan dilanjutkan dengan penerbitan uang Republik Indonesia

Kebijakan mata uang yang paling fenomenal dilakukan pada tahun 1950.  Kebijakan itu dilakukan Menteri Keuangan RIS Sjafruddin Prawiranegara yang mengumumkan keputusan tentang sanering yakni pemotongan nilai uang untuk meredam hiperinflasi. Kebijakan ini dikenal sebagai “gunting Sjafruddin” karena secara fisik uang kertas benar-benar digunting menjadi dua bagian. Bagian kiri masih berlaku sebagai alat pembayaran sah dengan nilai separuh dari nilai semula. Kebijakan itu dilakukan untuk mengurangi jumlah uang beredar dan tekanan inflasi tinggi.

Keputusan yang tercantum dalam Keputusan Menteri Keuangan RIS Mr Syarifuddin Prawiranegara itu juga ditujukan untuk Javasche Bank dan NICA dengan maksud menyedot jumlah uang beredar. Masyarakat pun panik karena pengguntingan dilakukan pada tanggal 19 Maret 1950 saat buruh menerima gaji bulanan.

Kemudian pada Desember 1951, De Javasche Bank dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral dengan UU No. 11 Tahun 1953 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1953. Sesuai dengan tanggal berlakunya Undang-Undang Pokok Bank Indonesia tahun 1953, maka tanggal 1 Juli 1953 diperingati sebagai hari lahir Bank Indonesia dimana Bank Indonesia menggantikan De Javasche Bank dan bertindak sebagai bank sentral.

Setelah Bank Indonesia berdiri tahun 1953, terdapat dua macam uang rupiah yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Republik Indonesia, yaitu uang yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia (Kementerian Keuangan) dan yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. Pemerintah RI menerbitkan uang kertas dan logam pecahan di bawah Rp 5, sedangkan Bank Indonesia menerbitkan uang kertas dalam pecahan Rp 5 ke atas.

Kebijakan Gunting Sjafruddin  yang tujuannya untuk menahan kemerosotan nilai mata uang ternyata tak mampu mengatasi masalah dalam jangka panjang. Pemotongan uang kembali terjadi pada 25 Agustus 1959 ketika mata uang bernilai di atas Rp 100 diturunkan menjadi sepersepuluh dari nilai semula. Uang kertas Rp 1.000 (yang disebut si Gajah) dan Rp 500 (si Macan) dinyatakan susut nilainya hingga tinggal 10 persen. Sementara simpanan bank yang lebih dari Rp 25.000 dibekukan dan rupiah didevaluasikan terhadap dollar AS dari 1:11,4 menjadi 1:45 atau dari Rp 11,40 menjadi Rp 45 per dollar AS. 

Keputusan ini ditujukan untuk kaum spekulan dan pemegang uang panas, tetapi nyatanya semua lapisan masyarakat terkena dampaknya. Pada umumnya masyarakat lalu menjadi enggan memegang uang pecahan lima puluhan dan seratusan atau pecahan yang lebih kecil lagi.

Lebih jauh, sejumlah kebijakan keuangan yang dilakukan pemerintah Orde Lama ternyata tak berdampak pada perbaikan perekonomian nasional bahkan perekonomian Indonesia terus mengalami keterpurukan. Di tahun 1961 – 1962, harga-harga melonjak 400 persen sehingga terjadi hiperinflasi.

Kondisi itu diperparah berbagai gejolak politik, termasuk pemberontakan PKI tahun 1965.

Untuk meredam krisis itu, pemerintah mengeluarkan uang rupiah baru sebagai pengganti uang kertas lama dengan perbandingan nilai satu rupiah uang baru sama dengan seribu rupiah uang lama pada Desember 1965. Kebijakan itu mewajibkan  uang lama harus ditukarkan dengan uang baru yang nilainya dikurangi kelipatan 1.000. Misalnya, uang lama Rp 1.000 ditukar dengan uang baru senilai Rp 1. Saat itu,  nilai tukar satu dollar AS yang mencapai Rp 10.000 uang lama atau Rp 10 uang baru.

Namun, redenominasi yang dijalankan saat itu gagal karena dilakukan pada saat kondisi ekonomi sedang kacau. Harga-harga tak cuma dikonversikan, melainkan naik. Awal tahun 1966 harga-harga melonjak sebut saja beras, BBM dan tarif angkutan umum yang naik di atas 5 kali lipat. Pada tanggal 13 Desember 1965 dikeluarkan pengumuman penurunan nilai rupiah. Setiap mata uang, kini berubah menjadi tinggal seperseribu dari nilai lama.

Alhasil, pendapatan rata-rata terasa makin kecil karena daya beli menurun drastis akibat inflasi tinggi dan penurunan nilai rupiah. Membubungnya harga-harga itu menandai tumbangnya rezim Orde Lama di bawah kepemimpinan Soekarno digantikan  rezim Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Gambar valuta asing menghiasi tempat penukaran valas di pusat perbelanjaan di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, Sabtu (28/7/2018). Mata uang sejumlah negara di Asian termasuk Indonesia masih melemah akibat ketidakpastian keuangan global. Nilai tukar rupiah berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) pada Jumat (27/7/2018) sebesar Rp. 14,483 per Dollar AS.

Orde Baru

Di masa awal Orde Baru, dikeluarkan UU yang menunjuk Bank Indonesia sebagai pemegang hak tunggal untuk mengeluarkan uang kertas dan uang logam sesuai Undang-Undang Bank Indonesia Nomor 13 Tahun 1968. Hal itu didasarkan pertimbangan antara uang kertas yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan Pemerintah secara ekonomi dipandang tidak ada perbedaan fungsional. Sehingga untuk keseragaman dan efisiensi pengeluaran uang cukup dilakukan oleh satu instansi saja yaitu Bank Indonesia.

Sejak tahun 1970, Indonesia telah menerapkan sistem kurs tetap sesuai dengan Undang-Undang No.32 Tahun 1964. Kurs resmi ditetapkan Rp. 250/ dollar AS, sementara kurs uang lainnya dihitung berdasarkan nilai tukar rupiah terhadap Dollar AS. Untuk menjaga kestabilan nilai tukar pada tingkat yang ditetapkan, Bank Indonesia melakukan intervensi aktif di pasar valuta asing. Sistem kurs tetap berlaku hingga tahun 1978 kemudian beralih ke sistem mengambang terkendali.

Meski demikian, pada Agustus 1971, Indonesia mendevaluasi Rupiah dari Rp 378 menjadi Rp 415 per dollar AS. Devaluasi itu diambil sebagai dampak dari gebrakan Presiden AS Richard Nixon yang melarang pertukaran dollar dengan emas.

Kemudian sejak 1978, pemerintah Orde Baru menganut kebijakan sistem mengambang terkendali, yakni nilai tukar rupiah didasarkan pada sistem sekeranjang mata uang (basket of currencies). Kebijakan ini diterapkan bersama dengan dilakukannya devaluasi rupiah pada tahun 1978. Dengan sistem ini, pemerintah menetapkan kurs indikasi (pembatas) dan membiarkan kurs bergerak di pasar dengan spread tertentu. Pemerintah hanya melakukan intervensi bila kurs bergejolak melebihi batas atas atau bawah dari spread.

Pada  15 November 1978  yang acap diakronimkan “Kenop 15”, pemerintah kembali mendevaluasi rupiah dengan mematok satu dollar AS setara Rp 625  dari sebelumnya Rp 415. Akibatnya, harga barang langsung melonjak. Sebut saja misalnya harga emas melonjak dari Rp 2.950 menjadi Rp 4.500 per gram, harga bahan pokok rata-rata melonjak 40 persen.

Karena tak sanggup menyangga rupiah, Pemerintahan Presiden Suharto melalui Menkeu Radius Prawiro mendevaluasi rupiah 48 persen atau hampir sama dengan menggunting nilai separuh. Kurs satu dolar AS naik dari Rp 702 menjadi Rp 970. Tiga tahun kemudian, Pada 12 September 1986 Radius Prawiro kembali mendevaluasi rupiah sebesar 47 persen, dari Rp1.134 menjadi  Rp1.664 per  satu dolar AS.

Kebijakan selanjutnya dikenal dengan “Pakto 88”, kependekan dari Paket Oktober 1988, berupa deregulasi perbankan dan upaya peningkatan kegairahan berinvestasi, dalam jangka pendek berhasil mendongkrak pertumbuhan. Kebijakan itu merupakan aturan paling liberal sepanjang sejarah Republik Indonesia di bidang perbankan. Pemberian izin usaha bank baru yang telah diberhentikan sejak tahun 1971 dibuka kembali oleh Pakto 88. Sejak itu bank-bank baru bermunculan di negeri ini. Jumlah bank komersial naik 50 persen dari 111 bank pada Maret 1989 menjadi 176 bank pada Maret 1991.

Krisis moneter yang terjadi di Asia tahun 1997 memaksa pemerintah Orde Baru mengubah kebijakan terkait rupiah, dari mengambang bebas terkendali (manage floating) menjadi dibiarkan mengambang bebas (free Floating). Krisis itu  terjadi akibat tekanan ekonomi internasional dan permainan spekulasi pasar uang. 

Terkait hal tersebut dan dalam rangka mengamankan cadangan devisa yang terus berkurang maka pemerintah memutuskan untuk menghapus rentang intervensi (sistem nilai tukar mengambang terkendali) dan mulai menganut sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate). Penghapusan rentang intervensi ini juga dimaksudkan untuk mengurangi kegiatan intervensi pemerintah terhadap rupiah dan memantapkan pelaksanaan kebijakan moneter dalam negeri.

Sejak Oktober 1997, rupiah dibiarkan mengambang bebas (free floating) sesuai pasar. Sejak itu, nilai rupiah terjun bebas terhadap dollar AS. Rupiah terdepresiasi puluhan persen tak lagi dalam kurun tahunan atau bulanan, melainkan harian.Puncaknya adalah ketika satu dollar AS  bernilai Rp 17.200 pada April 1998. Itu berarti rupiah terdevaluasi 750 persen dalam setahun.

Untuk keluar dari krisis ekonomi dan menjaga gejolak nilai rupiah, akhirnya pada tanggal 19 Juni 1998, pemerintah sepakat dengan IMF untuk merevisi anggaran agar IMF dapat menggelontorkan kredit baru guna menghadapi masalah utang yang kian membelit. Nilai tukar Rupiah kembali pada posisi Rp14.850 per dolar AS.

Menurunnya nilai rupiah yang berbilang fantastis itu berdampak pada pergantian rezim penguasa. Presiden Soeharto yang sudah berkuasa lebih dari 30 tahun terpaksa mengundurkan diri dan digantikan wakilnya BJ Habibie. Rezim pun berganti dari Orde Baru ke Orde Reformasi, mengulang kisah pergantian rezim sebelumnya yang diawali dengan krisis ekonomi dan politik.

KOMPAS/JB SURATNO

Direktur Pelaksana IMF, Michel Camdessus menyaksikan Presiden Soeharto menandatangani nota kesepakatan bantuan Dana Moneter internasional di Jalan Cendana (15/1/1998) menyusul anjloknya nilai rupiah hingga Rp 11.700,00.

Pascareformasi

Di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, kebijakan mata uang tetap sama yakni mengambang bebas. Dalam meredam kejatuhan rupiah pada tahun 2008, ketika rupiah menyentuh Rp 12.650 per dolar, Pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter secara terukur dan hati-hati dengan prioritas utama menjaga stabilitas perekonomian, sistem keuangan, dan prospek pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, Bank Indonesia mengambil kebijakan untuk meningkatkan BI Rate sebesar 25 basis point menjadi 8,50 persen pada triwulan II-2008. Kebijakan itu untuk mencegah dampak dari kenaikan harga BBM, kenaikan harga bahan pokok serta ekspektasi inflasi masyarakat sebagai akibat menguatnya mata uang dollar AS.

Pelemahan rupiah yang hampir menggiring Indonesia ke lembah krisis juga pernah terjadi pada 2013. Presiden SBY memerintahkan para menteri menjalankan paket kebijakan penyelamatan ekonomi terkait dengan pelemahan nilai tukar rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan. Paket itu meliputi paket kebijakan fiskal, moneter, pasar modal hingga industri. Paket ini juga akan mendorong pertumbuhan perekonomian Indonesia dan memastikan defisit transaksi berjalan bisa terjaga di level aman. Selain itu, Presiden pun meminta agar kepala daerah dilibatkan dalam mensukseskan pelaksanaan paket kebijakan tersebut.

Kebijakan lainnya di era SBY adalah mengusulkan redenominasi rupiah yakni upaya penyederhanaan mata uang rupiah dengan menghapus tiga angka nol dari uang sekarang tetapi nilainya tetap. Dalam situasi kurs yang terus berfluktuasi terhadap mata uang asing, terutama dolar AS, kebijakan itu bisa berdampak positif secara psikologis. Rencana itu diajukan dengan memasukkan rancangan undang-undang (RUU) tentang redenominasi Rupiah dalam Prolegnas 2013.

Usulan itu menuai pro dan kontra. Yang pro menyatakan, redenominasi membuktikan Indonesia dalam  kondisi  lebih  baik  sehingga  lebih  siap  untuk  menerima  tantangan  baru,  membuat penyimpanan data perdagangan, anggaran, neraca, data perbankan, harga-harga, lebih sederhana dan  dapat  mempercepat  proses  penyelesaian  transaksi. Sedang  yang  kontra  menyatakan,  redenominasi  dapat menimbulkan lonjakan inflasi sehingga dapat membebani masyarakat. Hingga akhir Jabatan SBY usulan itu belum terealisasi.

Di awal pemerintahan Jokowi-JK, rupiah kembali melewah hingga menembus angga Rp 13.000 per dollar AS. Rekor pelemahan tertinggi di orde reformasi. Pemerintah mencoba langkah yang berbeda dari sebelumnya yakni dengan empat paket kebijakan guna memperbaiki defisit transaksi berjalan.

Kebijakan yang mulai berlaku per 1 April 2015 ini meliputi paket fiskal, yakni insentif pajak bagi perusahaan dan eksportir; kebijakan anti dumping dan perlindungan produk dalam negeri; bebas visa kunjungan singkat bagi wisatawan dari 30 negara; kewajiban penggunaan bahan bakar nabati hingga 15 persen; penerapan letter of credit untuk produk tambang, batubara, migas, dan minyak kelapa sawit mentah (CPO); serta restrukturisasi dan revitalisasi industri reasuransi domestik.

Sementara Bank Indonesia sebagai otoritas moneter melakukan sejumlah langkah untuk mendukung kebijakan pemerintah itu. Sejumlah langkah dilakukan terkait stabilisasi rupiah yakni melakukan intervensi untuk menjaga volatilitas kurs di level yang aman serta melakukan pembelian surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder, memperkuat pengelolaan likuiditas rupiah. dan berupaya memperkuat pengelolaan valuta asing dari sisi permintaan dan penawaran (supply dan demand).

Pada periode pertama pemerintahan Jokowi, nilai tukar rupiah mengalami depresiasi yang cukup dalam terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Ketidakpastian ekonomi global serta tingginya permintaan dolar AS di pasar domestik membuat rupiah di akhir periode I Pemerintahan Jokowi berada di atas Rp 14 ribu. Nilai tersebut melemah 17,7 persen dibanding posisi 20 Oktober 2014, hari pengangkatan Jokowi menjadi presiden ke-7.

Grafik:

 

Di periode kedua kepemimpinan Presiden Jokowi terutama di masa pandemi Covid-19, rupiah sempat fluktiatif dan kembali tertekan di angka di atas Rp14.000 per dollar AS pada April 2020. Presiden Jokowi meminta Bank Indonesia fokus terus menjaga stabilitas nilai rupiah, menjaga inflasi agar terkendali dan mempercepat berlakunya ketentuan pergunaan rekening rupiah di dalam negeri.

Selain itu, Jokowi juga meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk lebih fokus pada kebijakan stimulus ekonomi yang memberikan kemudahan dan keringanan bagi kelompok-kelompok terdampak, khususnya Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan sektor informal. Jokowi juga meminta Kredit Usaha Rakyat lebih intensif lagi dan dieksekusi sebanyak-banyaknya.

Sepanjang 2022, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat melemah hampir 10 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Nilai tukar rupiah pada perdagangan terakhir di 2022, ditutup pada level Rp 15.592 per dollar AS. Nilai ini menurun 9,31 persen dibandingkan perdagangan terakhir di 2021, yakni 31 Desember 2021, di level Rp 14.263 per dollar AS. Pelemahan ini didorong oleh menurunnya pasokan dollar AS di dalam negeri karena adanya arus modal keluar yang dipicu kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS atau The Fed.

Tahun 2023, rencana redenominasi atau penyederhanaan nilai mata uang rupiah kembali mencuat setelah beberapa tahun meredup meski Pemerintah telah memiliki Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi Rupiah. Namun hingga kini, RUU tersebut belum ditindaklanjuti di tingkat DPR.

Adapun, RUU Redenominasi Rupiah telah dimasukkan dalam jangka menengah oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024. Berdasarkan peraturan tersebut, urgensi RUU redenominasi ini antara lain untuk efisiensi perekonomian, menyederhanakan sistem transaksi, akuntansi, dan pelaporan APBN. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Uang Indonesia: sejarah dan perkembangannya, Penulis Erwien Kusuma dan Resna Anggria Putri, Penerbit Buku Kompas, 2021
  • Rupiah menelusuri tantangan zaman, Departemen Keuangan RI, 1996
  • Rupiah di tengah rentang sejarah, Departemen Keuangan Republik Indonesia, 1991
Arsip Kompas