Paparan Topik | Ekonomi Nasional

Ekonomi Hijau: Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan yang Ramah Lingkungan

Ekonomi hijau merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan yang ramah lingkungan. Keuntungan ekonomi tidak hanya dinilai dari angka-angka tetapi juga dari dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat.

KOMPAS/NIKSON SINAGA

Pengolahan Limbah Terpadu dioperasikan di Kawasan Industri Medan, Sumatera Utara, Kamis (25/11/2021). Pengolahan limbah sebagai transformasi kawasan industri ke ekonomi hijau. 

Fakta Singkat

  • Ekonomi hijau adalah pendekatan ekonomi yang berfokus pada penciptaan nilai melalui pengurangan dampak lingkungan.
  • Istilah ekonomi hijau mulai populer di Indonesia sekitar awal 2010.
  • Prinsip dasar ekonomi hijau meliputi penggunaan sumber daya secara efisien, pengurangan limbah dan emisi, serta pelestarian keanekaragaman hayati.
  • Ekonomi hijau mendorong pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan 
  • Dalam prinsip ekonomi hijau, keuntungan ekonomi tidak hanya dinilai dari angka-angka tetapi juga dari dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat.

Di tengah perubahan iklim yang demikian cepat dan penurunan sumber daya alam yang semakin mengkhawatirkan, ekonomi hijau muncul sebagai solusi untuk menciptakan masa depan yang berkelanjutan.

Konsep ekonomi hijau bertujuan untuk mengintegrasikan keberlanjutan lingkungan dengan pertumbuhan ekonomi, mengurangi jejak karbon, dan penemuan inovasi baru yang dapat mendukung planet kita.

Definisi singkat dari ‘ekonomi hijau’ adalah pendekatan ekonomi yang berfokus pada penciptaan nilai melalui pengurangan dampak lingkungan. Prinsip dasarnya meliputi penggunaan sumber daya secara efisien, pengurangan limbah dan emisi, serta pelestarian keanekaragaman hayati. Ekonomi hijau mendorong pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan, di mana keuntungan ekonomi tidak hanya dinilai dari angka-angka tetapi juga dari dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat.

Istilah “ekonomi hijau” mulai populer di Indonesia sekitar awal 2010-an. Namun, konsep ini sebenarnya sudah muncul lebih awal, terutama setelah Konferensi PBB pada tanggal 5 – 16 Juni 1972, tentang lingkungan hidup yang diselenggarakan di Stockholm, Swedia. Konferensi ini menjadi titik puncak kesadaran dunia internasional terhadap pentingnya menjaga lingkungan hidup dan mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.

Ketika negara-negara maju sudah mulai menerapkan konsep ini, Indonesia masih perlu waktu untuk memulainya. Beberapa faktor yang mempengaruhi keterlambatan penerapan ekonomi hijau di Indonesia, antara lain: skala prioritas pembangunan, pemerataan infrastruktur, pemerataan teknologi, regulasi, dan masih rendahnya kesadaran masyarakat.

Hingga awal tahun 2000-an, prioritas pembangunan Indonesia masih fokus pada pertumbuhan ekonomi yang cepat untuk mengurangi kemiskinan. Konsep pembangunan berkelanjutan, termasuk ekonomi hijau, dianggap sebagai prioritas sekunder. Sektor industri ekstraktif seperti pertambangan dan perkebunan masih menjadi tulang punggung ekonomi, sehingga upaya untuk mengurangi dampak lingkungan seringkali terabaikan.

Selain itu, masih terjadi ketimpangan pembangunan, terutama untuk wilayah Indonesia Timur, sehingga fokus saat itu, tahun 2000-an, masih soal pemerataan pembangunan. Masih ada beberapa daerah di Indonesia masih kekurangan infrastruktur dasar, seperti akses energi listrik yang memadai. Ini menjadi kendala dalam menerapkan teknologi ramah lingkungan. Di tambah lagi, industri dan masyarakat saat itu masih sangat bergantung pada teknologi konvensional yang kurang efisien dan ramah lingkungan.

Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah masih lemahnya penegakan hukum atas pelanggaran soal lingkungan. Hal ini membuat banyak perusahaan enggan berinvestasi dalam teknologi ramah lingkungan. Oleh sebab itu, pemerintah mengusahakan pemberian insentif bagi pelaku usaha yang mau beralih ke praktik bisnis yang berkelanjutan.

Faktor paling penting untuk penerapan ekonomi hijau adalah soal kesadaran masyarakat. Tingkat kesadaran masyarakat Indonesia secara umum masih kurang memahami pentingnya isu lingkungan dan bagaimana tindakan mereka dapat berdampak pada lingkungan. Masyarakat umumnya masih fokus pada pemenuhan kebutuhan ekonomi sehari-hari, sehingga isu lingkungan agak dikesampingkan.

KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Para siswa meracik campuran untuk membuat sabun di acara Festival Ekonomi Sirkular di Taman Menteng, Jakarta, Rabu (17/7/2024). Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta menggelar Festival Ekonomi Sirkular kedua kalinya pada tahun ini. Festival ini menjadi festival ekonomi sirkular terbesar di Indonesia. Acara ini diharapkan dapat menjadi momentum untuk mempromosikan dan mengimplementasikan ekonomi sirkular di Jakarta.

Peningkatan Emisi Gas Rumah Kaca

Berdasarkan laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Monitoring, Pelaporan dan Verifikasi (MPV) 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK RI), menunjukkan bahwa emisi GRK Indonesia secara keseluruhan mengalami peningkatan signifikan dari tahun 2000 hingga 2019.

Pada tahun 2000, total emisi tercatat sebesar 1.186.228 ribu ton CO2e, sementara pada tahun 2019, angka ini melonjak menjadi 1.866.552 ribu ton CO2e. Angka ini merupakan peningkatan yang sangat signifikan yakni sekitar 57 persen dalam periode 19 tahun, yang menunjukkan tantangan besar bagi upaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia.

Grafik:

 

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Dari laporan tersebut, terlihat sektor yang menunjukkan tren konsisten meningkat adalah sektor energi, dan limbah. Di kedua sektor ini telah terjadi peningkatan sekitar 100 persen dalam periode 20 tahun. Dikhawatirkan Indonesia akan semakin sulit untuk mengatasi peningkatan energi dan limbah yang terjadi. Selain juga akan timbul semakin banyak dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat akibat limbah.

Menurut data Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, dalam kurun waktu 2010 hingga 2021, menunjukkan bahwa beberapa sektor utama yang menyumbang emisi gas rumah kaca juga mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Misalnya, sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan yang berkontributor besar terhadap deforestasi dan emisi metana dari aktivitas pertanian dan peternakan, terus mengalami peningkatan PDB, dari 956.119,7 miliar rupiah pada tahun 2010 menjadi 1.404.190,9 miliar rupiah pada tahun 2021.

Grafik:

 

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Demikian juga dengan sektor Pertambangan dan Penggalian yang mengalami peningkatan dari 718.128,6 miliar rupiah pada tahun 2010 menjadi 822.099,5 miliar rupiah pada tahun 2021. Sektor ini juga diduga menjadi penyumbang emisi GRK melalui eksploitasi sumber daya alam seperti batu bara dan minyak bumi.

Selain itu masih ada sektor Industri Pengolahan, yang mencakup industri energi intensif seperti pengolahan minyak dan gas, yang juga mengalami pertumbuhan dari 1.512.760,8 miliar rupiah pada tahun 2010 menjadi 2.284.821,7 miliar rupiah pada tahun 2021. Menurut World Bank Group sektor energi diperkirakan akan menjadi penyumbang emisi GRK terbesar pada tahun 2030.

Grafik:

 

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN 

Salah satu perahu dari botol bekas dipamerkan di acara Festival Ekonomi Sirkular di Taman Menteng, Jakarta, Rabu (17/7/2024). Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta menggelar Festival Ekonomi Sirkular kedua kalinya pada tahun ini. Terdapat berbagai macam stan dengan elemen ekosistem sirkular seperti biokonversi maggot BSF, bank sampah, kompos, ecoenzyme, dan UMKM hijau. 

Tantangan dan Peluang

Meskipun pertumbuhan ekonomi di sektor-sektor ini mendorong peningkatan PDB, hal ini juga menimbulkan tantangan besar dalam pengurangan emisi GRK. Indonesia menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan antara kebutuhan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan kebutuhan mendesak untuk mengurangi emisi GRK dan mencapai target emisi yang lebih rendah sesuai dengan komitmen internasional.

Komitmen Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045 salah satunya adalah Transformasi Ekonomi Hijau dengan memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam pembangunan. Ekonomi hijau akan menjadi pendorong transisi menuju pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Dalam acara Green Economy Expo: Advancing Technology, Innovation, and Circularity, yang berlangsung 3-5 Juli 2024, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa menyatakan, jika diterapkan dengan serius di lima sektor prioritas (pangan, elektronik, kemasan plastik, konstruksi, dan tekstil), ekonomi sirkular berpotensi memberikan manfaat tinggi pada pembangunan kita.

Ekonomi sirkular meningkatkan PDB Indonesia kisaran Rp 593 hingga 638 triliun, menciptakan 4,4 juta lapangan kerja hijau hingga pada 2030 dengan 75 persen dari total pekerjaan merupakan tenaga kerja perempuan, mengurangi timbulan limbah 18-52 persen dibandingkan business as usual pada 2030, juga berkontribusi menurunkan emisi GRK 126 juta ton CO2.

Grafik:

 

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Untuk melihat progres perkembangan ekonomi hijau di Indonesia, dapat mengacu Green Economy Index (GEI) atau Indeks Ekonomi Hijau yang bersumber dari data BPS dan KLHK.

Secara keseluruhan, GEI Indonesia menunjukkan tren yang meningkat selama periode sepuluh tahun, seperti yang ditunjukkan pada grafik, dengan skor komposit sebesar 47,20 pada tahun 2011 menjadi 59,17 pada tahun 2020.

Angka ini menunjukkan arah yang tepat untuk pertumbuhan ekonomi hijau di Indonesia, yang merupakan bagian penting dari strategi pembangunan berkelanjutan negara ini. Salah satu faktor kunci yang mendorong pengurangan intensitas emisi adalah kebijakan terkait FOLU (Forest and Other Land Uses atau pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan), seperti moratorium hutan, yang telah berhasil menjaga kawasan hutan primer tetap tinggi sejak tahun 2011.

Grafik:

 

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Di sisi lain, PDB Indonesia mengalami pertumbuhan yang stabil selama periode yang sama, yaitu rata-rata pertumbuhan tahunan sebesar 5,5 persen dari 2011 hingga 2020. Pertumbuhan ekonomi ini memberikan dorongan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penciptaan lapangan kerja, tetapi juga berkontribusi pada peningkatan pencemaran dan eksploitasi sumber daya alam. Hal ini menciptakan dilema antara mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat dan sekaligus melindungi lingkungan.

Bila mengacu pada perubahan masing-masing indikator GEI dari tahun 2011 hingga 2020, indikator ekonomi menunjukkan meningkatan yang paling signifikan. Hal ini tercermin dari peningkatan luas area indikator ekonomi pada tahun 2020 dibandingkan dengan tahun 2011, terutama dalam hal indikator intensitas energi akhir (Final Energy Intensity) yang skornya meningkat dari 34 pada tahun 2011 menjadi 74 pada tahun 2020. Hal ini berarti peningkatan pilar ekonomi dalam GEI masih yang menjadi prioritas utama dibandingkan pilar lainnya.

Kedua pilar lainnya (pilar kesejahteraan sosial dan pilar keberlanjutan lingkungan), walaupun juga mengalami peningkatan, namun peningkatannya masih agak lambat, terutama pada pilar lingkungan. Ketiga pilar harus meningkat secara serentak agar tujuan konsep ekonomi hijau ini bisa tercapai dan berjalan dengan baik.

Dalam upaya menjaga keseimbangan, Indonesia perlu terus memperkuat kebijakan lingkungan dan meningkatkan kesadaran publik akan pentingnya perlindungan lingkungan dalam konteks pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Dalam mencapai hal ini, diperlukan kerjasama dan dukungan dari semua pihak antara lain: pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, agar Indonesia bisa menjadi negara yang maju, sejahtera, berkelanjutan dan sekaligus ramah lingkungan. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Artikel terkait