KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi oleh (dari kiri ke kanan) Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suharso Monoarfa, Ketua DPP PPP Wardatul Asriah, Sekjen PPP Muhammad Romahurmuziy dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly serta di bagian belakang Wakil Ketua Umum PPP Emron Pangkapi dan Wakil Ketua Umum Lukman Hakim Saifuddin memukul bedug saat membuka Muktamar VIII PPP di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Jumat (8/4/2016).
Fakta Singkat
Partai Persatuan Pembangunan
Didirikan
5 Januari 1973
Ketua Umum:
Suharso Monoarfa (2020 – 2025)
Pemilu 2019:
- Perolehan suara: 6.323.147 suara sah
- Persentase suara: 4,52 persen
- Jumlah kursi di DPR: 19 kursi
Laman:
Partai Persatuan Pembangunan
Sejarah
Partai Persatuan Pembangunan pada awalnya merupakan gabungan dari empat partai politik Islam peserta Pemilu 1971, yakni Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), serta Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
Nahdlatul Ulama yang merupakan organisasi keagamaan bentukan K.H. Hasyim Asy’ari didirikan pada 31 Januari 1926 dengan paham Ahlussunnah wal Jamaah. Sebagai organisasi keagamaan, NU cukup kuat dan memiliki pengaruh yang luas. Secara terbuka orientasi politik NU baru muncul saat bergabung dengan Majlisul Islam A’la Indonesia (MIAI) pada tahun 1939. MIAI merupakan organisasi yang bertujuan untuk memperkuat tali persatuan umat Islam Indonesia. Pada era Pemerintahan Jepang, MIAI berganti nama menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintah menerbitkan Maklumat Pemerintah pada 3 November 1945 yang di dalamnya mengizinkan rakyat untuk mendirikan partai politik dalam rangka menyalurkan segala paham dalam masyarakat.
Sesuai dengan maklumat tersebut yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta, kemudian pada 8 November 1945 para tokoh umat Islam langsung memproklamasikan berdirinya Partai Masyumi. Partai ini berbeda dan terlepas dari organisasi yang sama pada zaman Jepang.
Masyumi merupakan satu-satunya partai politik umat Islam saat itu, sehingga setiap aspirasi dan peran politik semua organisasi Islam harus disalurkan melalui Masyumi, termasuk di dalamnya NU. Partai Masyumi tergolong rawan konflik sebagai organisasi konfederasi kedudukan kelompok-kelompok Islam.
Para tokoh NU yang tergabung dengan Masyumi mendapatkan peran dalam struktur organisasi pada posisi yang kurang bergengsi, sehingga cenderung kurang diindahkan saat membuat usulan-usulan. Hal tersebut membuat NU kecewa dan menyatakan keluar dari Masyumi.
Setelah keluar dari Partai Masyumi, para tokoh NU mendirikan Partai Nahdlatul Ulama (Partai NU) pada 15 April 1952. Perpecahan antara NU dan Masyumi kemudian berlanjut pada Pemilu 1955. Masyumi berada di posisi kedua setelah PNI, sedangkan NU berada di posisi ketiga di atas PKI. Peran politik NU terus berkembang sampai era pemerintahan Orde Baru.
Pada Pemilu 1971 di era Presiden Soeharto, meskipun berada dalam tekanan rezim yang represif dan syarat rekayasa politik, Partai NU masih bisa tampil dengan memukau dengan raihan 10.214.795 suara. Perolehan itu setara dengan 18,68 persen yang berada di bawah Partai Golkar, yakni partai binaan Pemerintah Orde Baru.
PSII sebenarnya transformasi dari Sarekat Islam (SI) yang dibentuk oleh HOS Tjokroaminoto pada 1912. SI sendiri merupakan kelanjutan dari Sarekat Dagang Islam (SI) bentukan H Samanhudi pada tahun 1911.
Perubahan nama dari SDI menjadi SI memberi perubahan, yang awalnya orientasi perjuangan partai ini dari persoalan-persoalan ekonomi berubah menjadi persoalan-persoalan politik. Secara terang-terangan SI bergerak di lapangan politik, berupaya mengorganisasi pedagang Islam untuk melawan tekanan Belanda serta pedagang Tiongkok saat itu.
Saat Masyumi masih menjadi induk gerakan politik Islam Indonesia, sepak terjang SI dalam dunia politik masih kurang terlihat karena para tokoh SI tidak banyak berperan dalam pengambilan keputusan-keputusan politik di dalam Masyumi. Bahkan, saat Kabinet Amir Syarifuddin mengajak untuk bergabung dengan pemerintahan, Masyumi cenderung menutup-nutupi peluang SI.
Pada 1947, kiprah SI baru terlihat, saat para tokohnya yang tergabung dengan Masyumi kemudian keluar lalu mendirikan PSII. Partai ini kemudian menjadi populer di kalangan masyarakat dibandingkan dengan induk semangnya, yakni SI atau SDI. Dalam Pemilu 1955, PSII mampu meraup 1.077.765 suara dari 37.755.404 suara pemilih dengan berada di posisi nomor lima setelah PKI.
Partai Islam Perti merupakan cikal bakal dari Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) yang didirikan pada 30 Mei 1930 di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Sebelumnya, Perti merupakan organisasi sosial yang bergerak dalam bidang pendidikan dan agama. Organisasi ini merupakan benteng pertahanan golongan Islam tradisional terhadap penyebaran paham dari gerakan Islam modern.
Ketidakharmonisan Perti dengan Majelis Islam Tinggi (MIT) adalah latar belakang Perti mengubah dirinya menjadi partai politik. MIT sendiri merupakan sebuah partai Islam di Sumatera yang kemudian berubah menjadi Masyumi. Dengan mengubah diri menjadi partai politik, para elite Perti beranggapan bahwa paham keagamaan mereka lebih mudah dipertahankan.
Pada Pemilu 1955, Perti menempati urutan kesepuluh dengan raihan 483.014 suara. Ketika Presiden Soekarno memberlakukan kebijakan penguburan partai, Partai Islam Perti adalah salah satu dari sembilan partai politik yang diizinkan hidup oleh Soekarno. Sembilan partai lainnya, yaitu PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Murba, PSII, IPKI, serta Partai Kristen Indonesia (Parkindo).
Parmusi secara formal didirikan pada tahun 1968 yang diprakarsai oleh berbagai organisasi sosial dan pendidikan Islam yang sebagian besar pemukanya berasal dari anggota Masyumi. Pasca-Orde Lama runtuh, tokoh eks Partai Masyumi mengajukan proposal kepada Presiden Soeharto untuk merehabilitasi partai mereka yang sudah dibubarkan oleh Soekarno.
Hal ini diawali dengan pembentukan Amal Muslimin yang mengoordinasi 16 ormas Islam bekas pendukung Partai Masyumi, seperti Muhammadiyah, Al Ittahadiyah, Mathla’ul Anwar, Nahdlatul Wathan, Al Washliyah, Persis, PUI, Al Irsyad, PTDI, dan HMI.
Amal Muslimin selanjutnya membentuk pengurus Pimpinan Pusat Partai Muslimin Indonesia (PP Parmusi) sebagai reinkarnasi Partai Masyumi yang di dalamnya diduduki oleh tokoh-tokoh eks Partai Masyumi.
Tokoh-tokoh tersebut, antara lain, K.H. Faqih Usman, Usman Raliby, Abdul Manaf El Zamzamy (Amelz), AD Syachrudin, Anwar Haryono, KH Hasan Basri, KH EZ Moettaqien, serta sejumlah tokoh Masyumi lainnya. Namun, pemerintah saat itu menolak proposal Amal Muslimin.
Panitia pembentukan struktur kepengurusan Amal Muslimin kemudian mengundurkan diri dari struktur kepengurusan yang sudah dibentuk, kemudian Amal Muslimin pun bubar. Di sisi lain, 16 ormas Islam dan HMI yang tergabung dalam Amal Muslimin tersebut terus bergerak agar dapat membentuk sebuah organisasi politik dengan nuansa Partai Masyumi. Pada akhir tahun 1967 para tokoh ormas tersebut melakukan pertemuan dan menghasilkan kesepakatan untuk membentuk Parmusi baru.
Kampanye Pemilu 1977 Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di lapangan Taman Amir Hamzah, Matraman, Jakarta (14/3/1977).
Pada tahun 1968, Pemerintah menerbitkan Keppres No.70/1968 yang menjadi landasan pembentukan Parmusi dengan Ketua Umum Djarnawi Hadikusumo dan Sekjennya Lukman Harun. Kemudian pada November 1968 diselenggarakan Kongres I Parmusi di Malang, Jawa Timur, untuk melegitimasi politik eksistensi partai baru ini. Dalam Kongres tersebut berhasil memilih tokoh-tokoh legendaris Masyumi yakni Mr Moh Roem sebagai Ketua Umum, Kasman Singodimedjo, Djarnawi Hadikusumo sebagai Ketua, serta Hasbullah sebagai Sekjen partai.
Namun, Kongres Malang tersebut lagi-lagi menegaskan bahwa Parmusi adalah reinkarnasi Masyumi. Pemerintah Orde Baru kemudian kembali menolak kepengurusan PP Parmusi. Dengan konsekuensi Parmusi mengalami stagnan kepengurusan sampai tahun 1969.
Pada tahun 1970, Parmusi mengalami reformasi partai dengan pengambilalihan kepengurusan PP Parmusi hasil Kongres Malang oleh Jaelani Naro dan Imran Kadir. Kudeta tersebut merupakan bentuk intervensi penguasa untuk mematahkan reinkarnasi Partai Masyumi serta memunculkan Parmusi dalam bentuk baru yang sepenuhnya dibawah kendali intelijen. Pihak pemerintah kemudian memunculkan MS Mintaredja sebagai penengah untuk menyelesaikan kemelut dalam Parmusi ini.
Ketika upaya rekonsiliasi tersebut pemerintah menyingkirkan para tokoh Masyumi lama yang sudah didaulat sebagai pengurus PP Parmusi hasil Kongres Malang, yakni Roem, Kasman, serta Djarnawi. Pemerintah kemudian memilih Mintaredja sebagai Ketua Umum dan Soelastomo sebagai Sekjen. Sementara itu, Naro ditanam pemerintah sebagai salah satu ketua dari Parmusi. Pemerintah kemudian mengendalikan radikalisme politik Parmusi yang berakar pada semangat perjuangan Partai Masyumi melalui Mintaredja, Soelastomo, dan Naro.
Pemerintah Orde Baru berhasil dalam mengontrol salah satu kekuatan politik yang dianggap paling potensial dalam menghalangi rencana politik Soeharto untuk mengebiri kekuatan partai politik, yakni dengan menguasai struktur kepengurusan Parmusi.
Hal ini terbukti ketika Soeharto melancarkan fusi partai politik pada tahun 1973, Parmusi dapat dibilang partai paling mulus mendukung kebijakan ini. Pro-kontra terjadi di kalangan NU dan Perti. Sementara PSII pro-kontra terhadap fusi ini sampai menimbulkan perpecahan luas di kalangan organisasinya.
Hubungan Pemerintah Soeharto dengan partai politik saat awal berkuasa masih berlangsung dengan baik. Pada Pemilu 1971, pemerintah mengakomodasi semua partai yang ada saat itu. Namun, hubungan baik tersebut tidak berlanjut dengan baik karena dua tahun setelah pemilu, Soeharto melakukan penciutan jumlah partai politik seperti yang dilakukan Soekarno tahun 1960.
Hasil dari penciutan tersebut, yakni pengelompokan partai politik berdasarkan garis agama (baca: Islam), yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), serta garis nasionalis dan Kristen, yakni Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Penyederhanaan partai tersebut penuh dengan nuansa paksaan, secara internal hubungan antarunsur di dalam tubuh partai penerus estafet perjuangan empat partai Islam tersebut tetap menunjukkan suasana persaudaraan yang solid.
Dalam naskah deklarasi pembentukannya, PPP menyatakan bahwa kelahiran PPP merupakan wadah penyelamat aspirasi umat Islam dan cermin kesadaran serta tanggung jawab tokoh-tokoh umat dan pimpinan partai untuk bersatu, bahu-membahu membina masyarakat agar lebih meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT melalui perjuangan partai politik. Naskah tersebut ditandatangani oleh beberapa tokoh, yakni KH Idham Khalid (NU), H. MS Mintaredja (Parmusi), H. Anwar Tjokroaminoto (PSII), Rusli Halil (Perti), serta KH Masykur (NU).
Struktur kepengurusan PPP dibentuk berdasarkan kesepakatan fusi yang dibagi menjadi empat lembaga kepemimpinan. Lembaga tertinggi adalah Majelis Syuro yang mencerminkan kepemimpinan spiritual terdiri dari para ulama senior dengan ketua umum KH Bisri Syamsuri.
Kemudian di bawah Majelis Syuro ada lembaga Presidensi yang mencerminkan kekuatan-kekuatan pendukung fusi politik yang ditempati para tokoh puncak pimpinan eks partai-partai Islam. Sebagai presiden partai, yakni KH Idham Chalid (NU), H. MS Mintaredja (Parmusi), Th. M Gobel (SI), Rusli Chalil (Perti), dan KH Masykur (NU) sebagai wakil presiden partai.
Kemudian ada Majelis Pertimbangan Partai (MPP) dengan Ketua Umum yang dijabat oleh KH Masykur (NU), serta ketua-ketuanya antara lain KH M Syafi’i Wirakusumah (SI), Oebaya Ahmadi (Parmusi), KH Rusli Abdul Wahid (Perti).
Dibawah MPP ada Pimpinan Pusat yang berfungsi sebagai eksekutif yang terdiri dari para politisi dari masing-masing unsur. Mintaredja (Parmusi) menjabat sebagai Ketua Umum, lalu Wakil Ketua Umum Nuddin Lubis (NU), sementara ketua-ketuanya terdiri dari Syaifuddin Zuhri, M.A. Gani (SI), Nurhasan Ibnu Hadjar (Perti), Jaelani Naro (Parmusi), serta Imam Sofwan (NU). Sekretaris Jenderal dijabat oleh Yahya Ubeid (NU), dengan wakil Sekjen Chalid Mawardi (NU), Mahbub Djunaidi (NU), Husnie Thamrin (Parmusi), Yudo Paripurno (Perti), Syarifuddin Harahap (SI), serta Darussamin (Parmusi).
Awal terbentuknya partai ini posisi ketua umum belum menjadi figur sentral atau sentral mekanisme partai. Tiga lembaga diatas pimpinan pusat, yakni Majelis Syuro, Presidensi, dan MPP masih memiliki supremasi dan wibawa politik yang tinggi. Hal itu membuat Ketua Umum hanya berfungsi sebagai pelaksana harian.
Komposisi kepengurusan yang mengakomodasi keterwakilan unsur-unsur fusi ini mampu mengeleminasi potensi-potensi konflik yang bersumber dari dalam diri PPP. Walaupun di dalam partai ini masih dominan oleh orang-orang NU, potensi konflik bisa dihindari karena representasi berdasarkan realitas kekuatan masing-masing unsur. Di sisi lain, keberadaan Majelis Syuro, Presidensi serta MPP masih dihormati oleh semua pengurus partai.
Semua golongan yang masuk kedalam PPP berarti segala aktivitas politik dikonsentrasikan untuk PPP demi kemenangan PPP. Maka dari itu, segala kegiatan yang bukan kegiatan politik tetap dikerjakan organisasi masing-masing sebagaimana sediakala. Sehingga Partai NU berganti kembali menjadi organisasi kemasyarakatan keagamaan NU, lalu Parmusi berubah menjadi Muslimin Indonesia (MI), PSII berubah menjadi Syarikat Islam (SI), serta Partai Islam Perti berubah menjadi Perti.
PPP pada awal pendiriannya masih sangat dipengaruhi oleh penampilan para tokoh dari keempat partai yang berfusi. Seperti peristiwa penolakan RUU Perkawinan yang diajukan pemerintah tahun 1973.
PPP kemudian menyatakan diri kembali ke khittah saat partai ini didirikan pada 5 Januari 1973.
Setelah dideklarasikan, dalam menjaga kelestarian ukhuwah dan perjuangan Islam, partai-partai Islam yang berfusi tahun 1973 sepakat menerima Islam sebagai asa PPP. Bahkan, dalam memudahkan identifikasi sebagai partai Islam, gambar Ka’bah yang diyakini sebagai kiblatnya umat Islam kembali diusung menjadi lambang partai, seperti pada awal berdiri partai ini.
Dari semua anggota DPR hanya FPP yang berani menyatakan sikap menolak RUU tersebut dengan alasan bertentangan dengan syariat Islam. Penolakan tersebut juga disertai walkout dan berhasil mengurungkan niat pemerintah untuk melanjutkan gagasan dalam RUU tersebut.
Sebagai wadah dari partai-partai Islam yang telah memiliki basis massa yang jelas dimasa, kekuatan PPP untuk menghadapi Pemilu 1977 masih banyak mendapat sokongan dari partai-partai tersebut. jika dilihat dari perolehan kursi berdasarkan pemilu 1971, Partai NU memperoleh 58 kursi, Parmusi 26 kursi, PSII 10 kursi, serta Perti 2 kursi.
Hal ini menunjukan bahwa ketika akan menghadapi Pemilu 1977 PPP sudah dimodali 96 kursi. Kemudian pada Pemilu 1977, partai ini mampu meraih 29,29 persen sura dari 64.000.185 pemilih dan berhak atas 99 kursi di parlemen dari total 360 kursi yang diperebutkan.
KOMPAS/DIRMAN THOHA
Di Kecamatan Kediri, Lombok Barat, PPP melakukan kampanye, Jumat siang (25/3/1977).
PPP kembali memperlihatkan sikap kritisnya saat muncul gagasan untuk memberlakukan konsepsi Normalisasi Kegiatan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada tahun 1978. Perlawanan PPP yang populer dengan nama interpelasi Syafi’i Sulaiman tersebut membuat citra PPP semakin baik di mata masyarakat, terutama di kalangan mahasiswa. PPP juga melakukan perlawanan lain, misalnya terhadap rencana pemerintah untuk memasukkan aliran kepercayaan, serta Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) ke dalam Tap MPR.
Saat itu gaya politik PPP yang berada di bawah NU dapat dikatakan progresif dan terkesan radikal terhadap pemerintah. Dominasi para tokoh NU saat itu membuat Ketua Umum PPP Mintaredja lebih bersikap akomodatif terhadap garis politik NU.
Kiprah PPP hampir sama dengan gaya oposisi Masyumi pada era pemerintahan Soekarno yang buat kalang kabut. Hal ini kemudian membuat pemerintah merasa harus mengambil langkah untuk menjinakkan radikalisme politik PPP dengan mengeliminasi basis kepemimpinan NU dalam kepemimpinan PPP. Jaelani Naro kembali dipasang oleh pemerintah untuk mengambil alih kepemimpinan Mintaredja di Parmusi pada tahun 1978.
Kepemimpinan Parmusi di bawah Jaelani Naro kemudian mengubah nama Parmusi menjadi Muslimin Indonesia (MI). Para pemimpinan Parmusi sadar bahwa kepemimpinan Naro menjadi Ketua Umum Parmusi penuh dengan rekayasa. Namun, mereka tetap senang bekerja bersama Naro karena mengharapkan berkah jabatan-jabatan politik di balik peristiwa tersebut. Di bawah kepemimpinan Naro kemudian berkembang juga sikap-sikap pragmatis di kalangan sejumlah tokoh Parmusi yang berada di sekitar Naro.
Langkah Naro tersebut berdampak panjang terhadap dinamika politik PPP secara keseluruhan. Berdasarkan konsensus unsur-unsur fusi PPP, Parmusi mendapatkan jatah ex officio sebagai Ketua Umum DPP PPP. Dengan menjabat sebagai Ketua Umum MI, otomatis jabatan Ketua Umum PPP juga diambil alih oleh Naro dari tangan Mintaredja. Kemudian, Naro menyatakan dirinya sebagai Ketua Umum DPP PPP tanpa proses organisatoris.
KOMPAS/DUDY SUDIBYO
Wakil Sekjen DPP-PP Ridwan Saidi berapi-api memberi pesan kampanye partainya di hadapan massa partai. Senin kemarin di lapangan Banteng Partai Persatuan Pembangunan merupakan yang pertama memulai kampanye dari ketiga kontestan Pemilu 1982. rapat raksasa yang berlangsung di Lapangan Banteng itu dihadiri oleh ratusan ribu massa partai dari jakarta dan sekitarnya (15/3/1982).
Dominasi orang-orang NU di dalam PPP mulai terancam dengan keberadaan sepak terjang Naro. Hal yang paling dirasakan oleh NU adalah tindakan Naro yang mengeliminasi serta melemahkan peran Majelis Syuro, Presidensi Partai, serta MPP yang banyak diisi oleh parah tokoh NU.
Pelemahan tiga lembaga dalam struktur PPP tidak saja memojokkan posisi NU, namun juga menyulut ketegangan dalam tubuh partai. Naro berhasil dalam memecah belah soliditas internal NU dan unsur-unsur fusi PPP yang lain.
Pada tahun 1978, PPP mengalami kemunduran politik dengan merenggangnya kekompakan PPP saat pemerintah menyampaikan RUU penyempurnaan UU pemilu yang akan digunakan untuk Pemilu 1982.
Terjadi gesekan saat kelompok NU yang menjadi mayoritas dalam Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) DPR menolak hadir dalam sidang pengambilan keputusan atas RUU yang kemudian diundangkan menjadi UU No. 2/1980. Hal ini terjadi berkaitan dengan persoalan keanggotaan dalam Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Pada 21 Februari 1980, FPP DPR memasukkan materi duduknya parpol dan Golkar dalam KPPS sebagai wakil ketua untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang langsung, umum, bebas, serta rahasia (Luber). Akan tetapi, usulan tersebut ditolak oleh Presiden Soeharto. Kemudian, DPP PPP memutuskan untuk menerima kedudukan parpol dan Golkar dalam KPPS hanya sebagai pengawas sebagaimana yang dikehendaki oleh Presiden Soeharto.
Keputusan tersebut menghasilkan perselisihan antarkelompok NU yang berada di DPR dan didukung PBNU dengan Ketua Umum DPP PPP Jaelani Naro ataupun pimpinan lain dari NU yang mengikuti kebijakannya. Hal ini kemudian berbuntut pada pengurangan jatah kursi NU dalam penyusunan Daftar Calon Sementara (DCS) untuk Pemilu 1982.
Pengurangan jatah kursi ini menimbulkan silang pendapat yang cukup lama hingga terjadi konflik antara kubu NU dan kubu non-NU. Bahkan, konflik ini sampai menimbulkan benih-benih perpecahan di dalam tubuh PPP. Pada Pemilu 1982, PPP hanya meraih 94 kursi di parlemen. Hal ini memperlihatkan mulai rapuhnya partai ini dan hampir dipastikan karena kekecewaan NU.
Pada tahun 1984, dalam Muktamar NU ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, NU menyatakan tidak lagi mempunyai hubungan organisatoris dengan PPP dengan memutuskan untuk kembali ke Hittah 1926 sebagai organisasi kemasyarakatan keagamaan.
Keputusan ini menjadikan NU mengambil jarak dengan partai yang pernah dibesarkannya. Tidak dipungkiri bahwa basis massa dukungan dari kalangan NU cukup besar bagi PPP. Hal ini terlihat pada Pemilu 1987 yang menjadi pukulan telak bagi PPP, perolehan suara yang anjlok dari 94 menjadi 61 (15,25 persen) kursi. Posisinya turun menjadi di bawah Golkar serta reputasinya sebagai partai Islam memudar.
Pemerintah Orde Baru menerbitkan UU No.3/1985 tentang Perubahan atas UU No. 3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya yang mewajibkan perubahan lambang partai dan penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas kekuatan sosial politik. Hal ini membuat runtuhnya kekuatan PPP dan pada tahun tersebut PPP mengganti lambang partainya yang sebelumnya Ka’bah menjadi Bintang serta menanggalkan Islam sebagai asasnya.
Setelah pergantian kepemimpinan oleh Ismail Hasan Metareum, PPP kemudian berubah menjadi lebih sejuk dan tidak ada konflik yang terjadi. Ketua Umum PPP yang akrab dipanggil Buya ini membentuk karakter PPP menjadi partai yang tenang dan sejuk.
Jika dibandingkan dengan kepemimpinan Naro yang cenderung memancing adanya gejolak internal partai. Buya meningkatkan demokratisasi di lingkungan partai dan melakukan konsolidasi dalam rangka untuk menyatukan kembali seluruh umat PPP. Konsolidasi yang dilakukan secara internal oleh Buya mampu meredam gejolak di dalam partai ini. Akan tetapi, secara eksternal citra Buya belum mampu mengubah citra partai ini sebagai partai yang sarat konflik.
Pada Pemilu 1992, PPP terlihat lebih kompak dibandingkan dua pemilu sebelumnya. Dari total 107.565.697 pemilih yang terdaftar, PPP mampu meraih 17,07 persen suara meskipun jauh di bawah Golkar yang meraup 67,98 persen suara.
Kekalahan yang dialami PPP secara berturut-turut pada tiga pemilu membuat para petinggi partai ini menjadi gamang untuk menghadapi Pemilu 1997. Kegamangan ini dapat dimaklumi karena ketidakberdayaan mereka menghadapi rekayasa politik eksternal dari penguasa, baik dalam bentuk keberpihakan aparat pemerintah terhadap salah satu organisasi peserta pemilu (OPP) atau propaganda untuk memutuskan hubungan antara PPP dengan umat Islam pasca-penggembosan NU dan asa tunggal Pancasila.
Keberpihakan aparat pemerintah terhadap Golkar menurut PPP telah membuat peraturan dan konstelasi politik di Indonesia saat itu menjadi tidak sehat. Hal ini diungkap oleh Buya Ismail pada pembukaan Musyawarah Wilayah (Muswil) III DPW PPP Bali, pada 8 September 1995.
Buya Ismail secara tegas menyatakan bahwa peran dan posisi partai politik dipinggirkan dari kehidupan demokrasi di Indonesia. Pergaulan dalam politik sangat diplomatis, penuh kepura-puraan. Di daerah-daerah partai politik seperti kekuatan haram yang harus dijauhkan, dikucilkan, dan digencet (Kompas, 11/9/1995).
Kecenderungan pemerintah memihak kepada Golkar tentu membuat warga partai politik, khususnya PPP, banyak yang mengalami perlakuan diskriminatif dari pemerintah daerahnya masing-masing. Contohnya, agar bisa menjadi lurah dan PNS lainnya warga harus memiliki Nomor Pokok Anggota Golkar (NPAG).
Hal seperti inilah dirasa sangat merugikan PPP. Sikap protes oleh PPP, banyak kalangan yang menilai bahwa protes tersebut merefleksikan puncak kekecewaan PPP terhadap peraturan dan sistem politik yang ada saat itu. Kejadian tersebut merupakan manuver dari partai yang mendasari perjuangannya pada prinsip akhlaqul karimah ini untuk bangkit dan penampilannya dari partai yang lembek menjadi partai keras.
Secara eksternal, perubahan gaya PPP menimbulkan kekhawatiran bahwa basis massa bekas partai Islam ini tidak lagi menjadi pendukungnya karena merasa partainya terkesan kurang berani. Ditambah lagi, PDI Perjuangan yang saat itu mencitrakan dirinya sebagai partai wong cilik, sudah lama tampil galak dan agresif dalam membela kepentingan rakyat.
Meskipun partai ini sudah menjadi partai terbuka, tidak dimungkiri bahwa PPP masih berharap mendapat simpati sebesar-besarnya dari umat Islam. Hal ini didasari pada motivasi partai untuk menegakkan ajaran Islam di segala bidang kehidupan dan keyakinan bahwa di dalam PPP selama ini telah dialiri roh Islam. Selain menaikkan kembali pamor partai ini, sikap tersebut juga didasari oleh komitmen PPP sebagai wadah perjuangan aspirasi politik umat Islam yang solid dan telah lama berkiprah dalam politik.
PPP selalu terdorong untuk mendekati umat Islam secara menyeluruh baik yang masih bersimpati ataupun yang telah menyalurkan aspirasi politik mereka kepada organisasi sosial politik (orsospol) yang lain.
Namun bersamaan dengan upaya-upaya PPP dalam menaikkan kembali kepercayaan umat, muncul juga upaya-upaya lain yang membuat umat Islam berpaling dari partai ini.
Buya Ismail pernah mensinyalir bahwa pada saat kepercayaan masyarakat kepada PPP sedang tinggi, muncul inisuasi-inisuasi bahwa PPP tidak bisa mengklaim dirinya sebagai partai umat Islam (Kompas, 10/03/1996). Hal ini makin membuat PPP terkucilkan dan makin renggang dengan umat Islam, ulama serta tokoh-tokoh Islam.
KOMPAS/JOHNNY TG
Kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada Pemilu 1997 di Jakarta, Sabtu, 17 Mei 1997. Ratusan ribu massa partai berlambang bintang itu turun ke jalan-jalan di seluruh sudut Ibu Kota. Namun, kampanye semarak ini dinodai bentrokan di beberapa tempat, yang mengakibatkan sejumlah korban luka-luka dan sejumlah mobil rusak.
PPP kemudian kembali bangkit dari keterpurukan ini dengan membangun citra baru yang lebih dinamis. Sejak tahun 1995, PPP tampil lebih keras terutama dalam memberikan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan penataan politik nasional.
Tahun 1997, saat perayaan hari lahir PPP yang ke-24, partai ini telah merumuskan sepuluh masalah mendasar dan krusial yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia.
Pertama, merosotnya moral bangsa yang semakin terasa di semua strata kehidupan. Indikasinya adalah berkembangnya kejahatan secara berani, perkosaan, kebringasan, korupsi dan kolusi, kesewenang-wenangan, pungli, dan suap.
Kedua, keadilan dan kepastian hukum yang ditandai dengan materi hukum yang kurang menyelami spirit kerakyatan, dan penegakan hukum yang terkesan belum mencerminankan rasa keadilan, kepastian, dan ketentraman.
Ketiga, persamaan, kebersamaan dan kekeluargaan yang semakin populer diucapkan, tetapi pelaksanaannya makin tidak populer di mata rakyat. Keempat, kesenjangan sosial. Kelima, politik dan demokratisasi yang semakin mengarah pada upaya memupuk kekuatan untuk kelompok yang berkuasa atau kelompok kepentingan.
Keenam, semakin sulitnya membentuk pemerintahan yang bersih dan berwibawa karena praktik korupsi dan kolusi serta pamer kemewahan telah menjalar kedalam nadi kehidupan bangsa. Ketujuh, mandeknya fungsi DPR karena intervensi suprastruktur lewat kebijakan-kebijakan sepihak yang tidak adil.
Kedelapan, masalah kaum pekerja yang hak-haknya diabaikan. Kesembilan, rendahnya kualitas pendidikan karena merosotnya wibawa guru, dan semakin mahalnya biaya pendidikan. Terakhir, pemasungan terhadap ruang gerak dan kreativitas generasi muda terutama dalam politik.
Meskipun partai ini tidak dapat melaksanakan tuntutan tersebut, PPP tetap konsisten dalam memperjuangkannya melalui pernyataan politik maupun aksi nyata para kadernya yang berada di kursi DPR. Bagi PPP, perbaikan terhadap sepuluh kondisi tersebut merupakan amanah dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar.
Saat menjelang Pemilu 1997, PPP banyak mengangkat isu yang berkaitan perbaikan terhadap sepuluh kondisi tersebut. Dukungan massa dalam kampanye Pemilu 1997 terbilang besar. Pada kampanye tersebut terjadi fenomena Mega-Bintang, yakni massa PDI pro Megawati Soekarnoputri, yang tidak puas dengan campur tangan pemerintah dalam pengambilalihan kantor DPP PDI Perjuangan pada Juli 1996, bergabung bersama massa PPP.
Kekompakan seluruh DPW dalam pertarungan pemilu membuat penampilan PPP tampak lebih percaya diri. Hal ini terlihat dengan kekompakan yang tercipta sendiri karena di bawah kepemimpinan Buya Ismail relatif berhasil meredam gejolak yang muncul di beberapa DPW.
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Ribuan massa pendukung PPP berkonvoi dalam Kampanye Pemilu 1997 di Jakarta (18/05/1997).
Pada Pemilu 1997, PPP menargetkan sebanyak 96 kursi. Dari 124.740.987 pemilih yang terdaftar dalam pemilu 1997 hanya 112.991.160 (90,58) yang datang ke TPS. Dari jumlah tersebut yang memilih partai ini sebanyak 25.340.028 suara atau setara 22,43 persen. PPP mampu meraih 89 kursi dari total 425 kursi di DPR. Perolehan ini jauh lebih baik dari pemilu sebelumnya, tahun 1987 dan 1992. Golkar masih berada di posisi tertinggi dengan raihan 325 kursi dan PDI mengalami penurunan drastis hanya 11 kursi.
Perolehan kursi yang diraih oleh masing-masing OPP ternyata terdapat kecurangan atau pelanggaran, menurut Singgih S.H selaku Ketua Panitia Pelaksana Pemilu Pusat (Panwaslu) mencatat ada 2.956 kasus pelanggaran selama pemilu 1997 berlangsung.
Dari PPP sebanyak 984 kasus, Golkar 1.572, dan PDI 370 kasus. PPP sebenarnya sudah mengumumkan adanya pelanggaran dari jauh-jauh hari. Kecurangan tersebut berupa dokumen “Operasi Fajar” yang di dalamnya terdapat rencana operasi pemenangan Golkar di desa/kelurahan dengan memberikan santunan/bekal kepada pemilih sebelum mereka menuju ke tempat pemungutan suara (TPS). Hal lain yang dipermasalahkan oleh PPP, yakni surat Sekjen Departemen Penerangan No. 44/SJ/K/III/1997 tanggal 20 Maret 1997 yang ditujukan kepada Inspektur Jenderal, Dirjen Penerangan Umum, Dirjen RTF, Dirjen PPG serta Kepala Badan Litbang Penerangan.
Surat tersebut berisikan untuk memenangkan Golkar di DKI Jakarta sesuai konsensus Gubernur DKI Jakarta dan Gubernur Jawa Barat. Aksi protes dan penolakan tanda tangan oleh PPP yang terjadi pada Pemilu 1997, akhirnya harus menerima hasil yang sudah ada.
Pemilu 1997 yang membuat kepercayaan diri PPP muncul lagi dengan peningkatan perolehan suara, hanya dirasakan sekejap saja. Hal ini dikarenakan pemilu tersebut adalah penutupan rezim Orde Baru. Pasca-runtuhnya pemerintahan Orde Baru, dinamika politik terpengaruh. Pada masa pemerintahan transisi terjadi gerakan politik Indonesia dengan lahirnya gerakan reformasi. Kiprah PPP sebagai partai Islam pascareformasi mengalami degradasi seiring dengan munculnya partai Islam yang selama ini menginduk di PPP.
Asas Islam yang berada dalam PPP saat itu masih sekedar wacana. Hal ini juga tidak dioperasionalkan dan cenderung hanya sekadar simbolis oleh PPP, meskipun saat itu terngah berlangsung persaingan ideologi antarsesama partai Islam.
Meskipun demikian, perubahan paradigma dari partai sekuler menjadi partai Islam kembali pasca-Pemilu 1997 merupakan langkah maju PPP dalam mengubah haluan perjuangannya ketika rezim Orde Baru dilanda tekanan oleh lawan politiknya. PPP membuktikan dirinya sebagai parpol satu-satunya yang mampu bertahan secara ideologis atau kelembagaan dari segala macam tekanan Pemerintahan Orde Baru.
Pilihan mengubah ideologi merupakan salah satu strategi politik partai ini dalam menarik simpati massa dengan target utama adalah umat Islam pasca-Pemilu 1997 saat mulai goyahnya rezim Orde Baru.
Goyahnya rezim Soeharto dapat terlihat dari turunnya perolehan Golkar yang merupakan mesin politik rezim Orde Baru pada Pemilu 1997. Golkar kehilangan 11 kursi, seangkan PPP berhasil menambah 27 kursi dari 62 kursi pada Pemilu 1992 menjadi 89 kursi pada Pemilu 1997.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Para kader dan simpatisan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menghadiri perayaan hari lahir (Harlah) ke-46 PPP di Ecovention Ocean Ecopark Taman Impian Jaya Ancol, Kamis (28/2/2019).
Ideologi, strategi, dan program partai
Terkurung dalam rezim Orde Baru selama 32 tahun dengan berbagai tekanan, PPP pascareformasi memiliki semangat reformis, yakni berkeinginan untuk mendorong agar segera diadakan pembaharuan dalam bidang politik, terutama sistem kepartaian. Selama berada dib awah sistem Orde Baru, PPP selalu mengalami tekanan pemerintah dan tidak pernah bisa mengaktualisasikan dirinya.
Pada 29 November — 2 Desember 1999, diselenggarakan Muktamar IV PPP yang telah dipercepat karena tuntutan alam reformasi, yakni melaksanakan pemilu dalam waktu yang sesegera mungkin. Bagi PPP, pelaksanaan muktamar dalam suasana politik makro yang dinamis akan dimanfaatkan sebaik mungkin untuk melakukan reaktualisasi diri sebagai salah satu kekuatan politik penting di Indonesia.
Hal ini terkait dengan PPP kembali ke khittah, yakni jati diri ketika partai ini dideklarasikan 30 tahun lalu sebagai partai politik Islam. Keputusan ini ditandai dengan pemakaian kembali asa Islam. Kedua, PPP akan kembali menggunakan Ka’bah sebagai tanda gambar partai pada pemilu mendatang.
Dalam tubuh PPP terjadi dinamika dengan adanya keputusan tersebut. Keputusan yang merupakan titik balik PPP dalam mengapresiasikan diri sebagai partai Islam, seolah ingin mengembalikan romantika politik PPP era 1977–1982, yakni kejayaan PPP dengan ideologi Islam dan tanda gambar Ka’bah.
Sikap yang kritis pada era tersebut selalu memposisikan diri sebagai oposisi. Di sisi lain, keputusan tersebut menjadikan PPP krisis identitas. Krisis identitas ini berakar dari identitas ganda sebagai bekas partai Islam.
Dilema ideologi Islam dan Pancasila yang pernah terjadi kemudian menimbulkan ambivalensi, yakni citra sebagai partai umat Islam yang ekslusif di satu pihak, serta partai nasional yang inklusif di lain pihak. Meskipun PPP cenderung menggunakan asa Islam, namun masih ada faksi yang menginginkan PPP menjadi partai yang lebih terbuka.
Pada Pemilu 1999, PPP menggunakan identitas baru sebagai partai Islam. Selain itu, PPP memiliki lawan politik dengan corak ideologi yang sama, yakni Islam. Partai-partai Islam ini sebenarnya adalah unsur-unsur fusi.
Unsur NU mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Kebangkitan Umat (PKU), Partai Suni (Solidaritas Umat Nahdliyin Indonesia), Partai Nahdlatul Ummah (PNU), partai dari Masyumi Baru, serta Partai Politik Islam Masyumi.
Sementara PSII membentuk Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) 1905. Di luar unsur-unsur tersebut, ada Partai Keadilan (PK) dengan basis massa kelompok intelektual muda dan aktivis Islam kampus. Kemudian, ada juga Partai Amanat Nasional (PAN) yang berangkat bukan sebagai partai Islam namun sebagian besar pendukungnya merupakan organisasi kaum modernis Islam, yakni Muhammadiyah.
Pada Pemilu 2004 jumlah partai Islam berkurang setelah seleksi KPU. Hanya terdapat 7 partai yang berbasis massa Islam (termasuk PKB dan PAN) dari total sebelumnya 24 partai politik. Partai-partai ini mewakili tiga aliran Islam yang berkembang di Indonesia.
PPP, PBR, PPNUI mewakili Islam tradisionalis. PKB yang menyatakan diri sebagai partai nasionalis, namun mayoritas pendukungnya adalah kalangan NU. Kelompok kedua, yakni PBB yang mewakili aliran Islam modernis yang mewarisi garis politik Partai Masyumi, lalu PAN dikelompokkan dalam Islam modernis dengan kalangan Muhammadiyah sebagai pendukungnya. Terakhir, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mewakili aliran Islam baru. PKS merupakan reinkarnasi dari PK dengan basis massa kader muda.
Partai Islam di atas memiliki basis massa yang jelas, sedangkan PPP sendiri yang sudah kembali sebagai partai Islam bisa menjadi tidak relevan jika ideologi ini tidak bisa dioperasionalkan. Bahkan, bisa kehilangan massa dan menjadi partai Islam minoritas meskipun PPP merupakan partai Islam tertua. Meskipun sudah mengubah ideologi dengan asas Islam sebagai transformasi politik, nyatanya pada tiga pemilu pasca-Orde Baru suara PPP terus mengalami penurunan.
Kepemimpinan dan organisasi
Perjalanan panjang PPP dalam kancah politik ternyata sangat miskin sosok pimpinan yang bisa dijadikan sebagai figur dan bisa menyatukan anasir-anasir politik Islam. Salah satu ketidakadaan figur pemimpinan PPP saat itu karena intervensi yang kuat oleh penguasa untuk memecah belah soliditas partai ini dengan menggunakan figur pemimpin yang direkayasa. Awal terbentuknya pemerintahan Orde Baru, Presiden Soeharto mengambil langkah dalam menangani partai yang cukup keras menentang pemerintah. Para agen intelijen penguasa dikirim untuk memecah unsur-unsur partai yang menjadi cikal bakal PPP. Parmusi merupakan salah satu calon kekuatan politik yang dianggap potensial berkembang menjadi radikal karena sebagian tokohnya adalah tokoh-tokoh Partai Masyumi.
Langkah awal pemerintah Orde Baru menganulir kepengurusan Parmusi pertama yang disodorkan Amal Muslimin menunjukkan kekhawatiran tersebut. Hal ini dikarenakan mayoritas nama yang disodorkan adalah pentolan tokoh Masyumi. Seperti KH Faqih Usman, Moh Roem, atau Kasman Singodimedjo. Bahkan, saat pengurus Parmusi terpilih dalam Kongres Malang tahun 1968 dan kemudian disodorkan ke pemerintah, nama-nama tersebut juga tidak disetujui. Nama-nama yang terpilih merupakan orang-orang Masyumi.
Pemerintah melakukan strategi untuk menyingkirkan tokoh-tokoh Masyumi yang dianggap radikal. H. MS Mintaredja selaku Menteri Negara Hubungan Antara Lembaga-Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dikirim dan dijadikan pimpinan Partai Parmusi. Posisinya sebagai Ketua Umum Parmusi menjadikan Mintaredja dapat memimpin DPP PPP.
Walaupun sebagai orang pemerintahan, kepemimpinan Mintaredja di PPP dapat membahayakan posisi pemerintah. Hal ini karena Mintaredja terkenal dengan gaya kepemimpinan yang akomodatif terutama terhadap garis politik tokoh-tokoh NU, sehingga dapat menoleransi sikap radikal sejumlah tokoh NU terhadap beberapa kebijakan pemerintah Orde Baru. Pemerintah sering dibuat kalang kabut saat berhadapan dengan fraksi PPP di DPR.
Hal tersebut kemudian membuat pemerintah kembali mengambil langkah dengan mengganti paksa Mintaredja melalui kudeta yang dilakukan oleh Naro. Kudeta yang dilakukan mulai dari pengambilalihan kepengurusan Mintaredja sebagai Ketua Umum Parmusi. Naro kemudian dengan mudah menguasai PPP karena jabatan Ketua Umum PPP merupakan jatah ex offico Parmusi.
Di bawah kepemimpinan Naro, keadaan sangat berbeda dibandingkan dengan Mintaredja yang akomodatif. Naro dikenal dengan gaya kepemimpinan yang otoriter. Seperti dalam menentukan kepengurusan PPP tanpa kebijakan mempertimbangkan proporsi kekuatan unsur pendukung PPP. Naro sangat antiprinsip-prinsip demokratis. Dirinya lebih senang menyusun kepengurusan partai dengan orientasi kepentingannya, yakni memperbesar peran MI.
Sejak awal menjabat ketua umum, Naro mulai perlahan menyingkirkan para tokoh penting NU dari kepengurusan PPP, mulai dari pusat hingga ranting. Sebaliknya, unsur MI mulai diperbanyak posisinya, terutama kelompok-kelompok yang mendukung garis perjuangannya di PPP.
Kebijakan ini membuat hampir semua tokoh NU serta unsur-unsur lain termasuk sebagian faksi MI ingin segera menyingkirkan Naro dari PPP. Karena jika terus dibiarkan sebagai pimpinan, para pemuka PPP khawatir bahwa Naro akan memupuk kekuasaan di PPP. Para tokoh juga khawatir adanya ketimpangan proses regenerasi, yakni hanya ditentukan oleh orientasi Naro untuk kepentingan dirinya. Partai ini juga akan menjadi sasaran rekayasa politik pemerintah seperti yang terjadi selama ini.
Karier politik Naro tidak berjalan mulus akibat sikap arogansi yang berlebihan atau over confidence. Hal ini terlihat saat dirinya mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden pada SU MPR 1988. Seluruh politisi saat itu tentu tahu pasti bahwa aura kekuasaan nasional yang dikuasai oleh rezim Soeharto alergi untuk menerima kalangan politisi sipil masuk ke dalam lingkaran inti kekuasaan. Sinyal ketidaksukaan Soeharto terlihat saat Muktamar PPP II 1989. Pemerintah mengisyaratkan agar Naro segera diganti. Namun, posisi ketua umum PPP harus tetap dikonsultasikan kepada pemerintah.
Pada Muktamar II tersebut, pemerintah sempat menolak calon ketua umum yang telah diajukan oleh panitia Muktar dengan menyodorkan tokoh MI Hartono Mardjono (versi panitia muktamar tandingan yang dimotori oleh Ismail Hasan Metareum) dan tokoh MI faksi Naro, Yusuf Anwar Ghofar. Dari kalangan tokoh NU tidak ada yang ditampilkan karena nama-namanya sudah ditolak sejak pencalonan.
Namun, nama Ismail Hasan Metareum dimunculkan yang merupakan salah satu Ketua MI yang bersebrangan dengan Naro. Ismail diusung oleh Imam Sofwan Ketua NU Jawa Tengah, dirinya menjadi alternatif karena satu-satunya tokoh yang kurang mendapat resistensi baik dari internal MI, ataupun PPP, bahkan dari pemerintah.nama Ismail lalu muncul dalam muktamar dan dipilih sebagai Ketua Umum PPP.
Sosok yang akrab disapa Buya Ismail ini lebih sejuk dalam memimpin PPP, bahkan terlihat santun baik terhadap pemerintah dan masyarakat saat itu. Selama kepemimpinan Buya Ismail, campur tangan pemerintah dalam organisasi PPP terbilang minim karena saat itu sudah bisa dilumpuhkan melalui penggembosan NU dan asa tunggal Pancasila.
Para pemimpin PPP relatif akomodatif terhadap PPP. Namun, gejolak internal partai belum dikuasai oleh Buya Ismail. Partai ini sangat rentan dengan konflik internal baik antarunsur fusi ataupun internal unsur fusi sendiri. Konflik internal PPP cenderung pada soal tarik menarik kekuatan untuk menguasai partai yang disimbolkan dengan jabatan ketua umum.
Buya Ismail dihadapkan dengan persoalan mempertahankan posisinya yang berada di tengah. Karena di satu sisi harus menjaga soliditas antarunsur fusi PPP dan di sisi lainnya adalah kubu MI sendiri, Buya selalu dihadang oleh Naro yang menjadi lawan di dalam MI serta PPP. Dirinya yang dipandang lemah dalam kepengurusan PPP selalu mendapat perlawanan dari kubu Naro. Hal ini terjadi karena struktur kepengurusan periode ini masih dijabat oleh orang-orang kubu Naro di posisi penting, baik di PPP maupun di MI.
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Hamzah Haz terpilih menjadi Ketua Umum PPP untuk memimpin kepengurusan DPP PPP periode 1998-2003 dalam Muktamar IV PPP di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta (02/12/1998).
Pada Muktamar IV tahun 1998, Hamzah Haz terpilih sebagai Ketua Umum PPP melalui NU. Ia pernah menjabat sebagai FPP DPR dan Ketua DPP PPP. Hamzah merupakan orang NU yang memegang jabatan tertinggi di PPP. Sebagai orang penting di NU, Hamzah tidak berakar dan bukanlah orang yang kuat di NU. Satu-satunya tokoh yang menjadi sandaranya adalah KH Idham Chalid yang merupakan mantan Presiden PPP. Di antara faksi-faksi di dalam NU sendiri posisi Hamzah terbilang minoritas dan lemah.
PPP di bawah kepemimpinan Hamzah Haz banyak mendapatkan berkah politik dari penguasa. Di bawah pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Pemerintahan Megawati Soekarnoputri, Hamzah Haz dan Alimarwan Hanan mendapat jatah sebagai anggota kabinet.
Posisi ini merupakan hal paling bergengsi yang dinikmati oleh para politisi PPP setelah tiga dekade berada di bawah tekanan rezim Orde Baru. Kemudian, pada periode kedua kepemimpinan Hamzah Haz, porsi kekuasaan yang diberikan oleh pemerintah kepada PPP semakin bergengsi.
Megawati yang didaulat menggantikan Gus Dur, kemudian memilih Hamzah Haz untuk mendampinginya sebagai Wakil Presiden. Hal ini merupakan posisi yang paling bergengsi yang pernah dipercayakan oleh pemerintah bagi PPP.
Di balik cemerlangnya sepak terjang PPP di bawah pimpinan Hamzah Haz, partai ini tidak mampu mengorbitkan ketua umumnya sebagai sosok yang bisa membesarkan PPP. Hal itu memunculkan keengganan para pengurus lama PPP untuk tetap melakukan regenerasi kepengurusan melalui mekanisme muktamar. Hamzah Haz dan kawan-kawan dituding oleh pengurus PPP yang lain mencoba mengulur waktu muktamar agar jabatan strategis di partai tetap berada di tangan mereka.
Konflik ini berawal dengan ketidakpuasan sejumlah kader partai terhadap keputusan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) II PPP tahun 2001 yang menunda pelaksanaan Muktamar II hingga 2004. Hasil Muktamar PPP tahun 1998 mengamanatkan pelaksanaan Muktamar V tahun 2003, dengan siklus lima tahun yang menjadi tradisi PPP selama ini. Dugaan perpanjangan waktu muktamar dikarenakan adanya keengganan partai saat itu untuk melakukan regenerasi dan restrukturisasi jabatan dalam PPP.
Konflik ini berakhir dengan keluarnya salah satu ketua PPP yang juga dianggap sebagai rival Hamzah Haz, yakni Zainuddin MZ. Djafar Badjeber serta beberapa kader PPP yang pro Muktamar 2003 menyatakan keluar dari PPP, kemudian mendirikan PPP reformasi pada 20 Januari 2002.
Pascakonflik tersebut, PPP kehilangan keseimbangan dengan keluarnya sejumlah pengurus serta tokoh-tokoh potensial dan bergabung dengan parpol yang baru dibentuk. Kekuatan partai melemah dan dukungan suara terpecah-pecah. Bahkan, Hamzah Haz tak mampu menengahi dan menyelamatkan PPP dari perpecahan.
Keterpurukan makin jelas terlihat pada Pemilu 2004, PPP mengalami kemerosotan raihan suara, yakni hanya 8,15 persen. Hal ini juga menunjukkan kegagalan Hamzah Haz mengonsolidasikan PPP pascaperpecahan. Meskipun mengalami penurunan suara, Hamzah Haz masih bisa menggunakan PPP sebagai kendaraan politiknya untuk mencalonkan diri sebagai capres bersama Agum Gumelar dalam Pilpres 2004. Namun, kekalahanlah yang didapati Hamzah. Setelah kekalahan ini, pamor Hamzah menurun drastis, baik secara nasional maupun di dalam PPP.
Wacana menggantikan Hamzah Haz mulai digulirkan sambil menunggu muktamar VI sebagai forum resmi untuk menurunkan Hamzah. Persaingan para tokoh PPP dalam merebutkan kursi Ketua Umum PPP cukup menarik karena para calon yang mengajukan diri relatif independen dan memiliki beragam latar belakang. Fenomena ini tentu berbeda dengan sebelumnya yang cenderung monoton dan sarat dengan intervensi penguasa.
Meskipun jauh dari campur tangan pemerintah, beberapa kalangan memperkirakan bahwa sikap politik PPP pasca-Muktamar VI ini sangat ditentukan oleh figur ketua umum terpilih. Meski sudah diingatkan berkali-kali bahwa ketua umum partai dilarang merangkap jabatan, namun, kemesraan PPP dengan penguasa yang mulai terjalin pascareformasi akan sulit membuat para pemimpin partai memisahkan diri dari kekuasaan.
Pada Muktamar VI PPP, posisi Ketua Umum PPP dimenangkan oleh Suryadharma Ali yang merupakan seorang Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah pada kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Posisi sebagai ketua umum partai sekaligus menteri sukit untuk mengambil sikap netral apalagi harus beroposisi dengan penguasa. Kedekatan PPP dengan pemerintah terlihat semakin kuat saat PPP menjadi salah satu penyokong dalam pencalonan SBY sebagai presiden pada Pilpres 2009.
Publik masih berharap PPP tetap bersikap kritis terhadap pemerintah walaupun selama ini telah menjadi salah satu mitra pemerintah. Meskipun begitu, struktur kepengurusan partai yang sudah mulai mengakomodasi kalangan muda, pengusaha, dan profesional bisa dilihat sebagai bagian dari upaya untuk mengubah citra PPP.
Suryadharma Ali sendiri merupakan sosok yang relatif muda dalam partai ini. Kiprahnya dalam kancah politik berawal ketika menjadi anggota Majelis Pakar DPP PPP. Kariernya terus meningkat menjadi anggota DPR dari PPP pada periode 1999–2004 dan menjadi anggota MPR pada periode 2004–2009. Ia kemudian menjadi Menteri Koperasi dan UKM Kabinet Indonesia Bersatu I. Sosok Suryadharma Ali lebih dikenal sebagai profesional dan pengusaha ritel sebelum aktif di PPP.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Muktamar PPP di Surabaya – Para peserta Muktamar VIII PPP berfoto di atas panggung dengan latar belakang foto Ketua Umum PPP Suryadharma Ali, Wakil Ketua Umum PPP Emron Pangkapi dan Sekjen PPP Romahurmuziy usai mengikuti upacara pembukaan muktamar di Hotel Empire Palace, Jalan Blauran, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (15/10/2014).
Pada 2011, Suryadharma Ali kembali terpilih sebagai Ketua Umum PPP dan kemudian menguatkan kesan bahwa PPP bukan sekadar penyokong pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, namun sudah menjadi pengikut setia Susilo Bambang Yudhoyono.
Semenjak bergabung dengan pemerintah, sikap kritis PPP terhadap pemerintah menghilang sehingga sikap politiknya cenderung mengikuti sikap partai-partai besar yang tergabung dalam Setgab Koalisi. Wakil dari PPP, yakni Suryadharma Ali sendiri, yang juga adalah anggota kabinet, hampir tidak dapat menyuarakan kekritisan partai terhadap beberapa isu strategis yang menimpa bangsa Indonesia.
Pada kasus pengungkapan skandal Bank Century misalnya, meskipun sikap PPP di awal tidak sekentara partai lain seperti PDI-P, Golkar, PKS, Gerindra, dan Hanura. Namun, PPP memberi dukungan untuk membongkar kasus ini secara gamblang.
Akan tetapi, dalam penentuan pendapat anggota DPR untuk mengambil keputusan akhir tentang skandal Century ini, suara anggota DPR di PPP justru terpecah. Perpecahan ini tentu mencerminkan ketidakkonsistenan antara niat dan perbuatan anggota DPR dari PPP dalam memberantas korupsi.
Hal yang serupa juga terjadi saat sejumlah anggota DPR mengajukan hak interpelasi terhadap kasus Mafia Pajak. Hampir semua anggota DPR dari PPP menyatakan menolak penggunaan hak tersebut. Hasilnya adalah PPP selamat dari evaluasi presiden terkait efektivitas Setkab Koalisi pascapengajuan hak interpelasi tersebut. Jatah PPP dalam kabinet aman ketimbang PKS yang dikurangi satu kursi.
Kiprah PPP pascareformasi terasa lebih condong terhadap kekuasaan. Sejak pemerintahan BJ Habibie hingga Susilo Bambang Yudhoyono, jatah PPP untuk kursi menteri sudah disediakan.
Bahkan, saat era pemerintahan Megawati, Ketua Umum PPP didaulat menjadi wakil presiden yang mendampingi Megawati. Hal ini dapat diartikan bahwa PPP memiliki potensi politik menjadi mitra penguasa. Hal ini yang dapat dibaca oleh kepemimpinan PPP saat ini yang lebih luwes dan pragmatis.
Pasca Pemilu 2014, PPP dilanda konflik internal yang berujung pada perpecahan. Konflik bermula dengan dukungan PPP kepada pasangan Prabowo-Hatta pada Pilpres 2014. Namun, dukungan ini tidak sepenuhnya disepakati para kader.
Hal itu terlihat dari polemik kehadiran Ketua Umum PPP Suryadharma Ali dalam kampanye Gerindra di Gelora Bung Karno pada 23 Maret 2014. Hal ini kemudian mengundang reaksi dari kalangan kader partai sehingga sejumlah DPW PPP mendesak diadakannya rapat pleno untuk meminta pertanggungjawaban Suryadharma Ali selaku ketua umum partai. Kehadiran dirinya pada kampanye akbar Partai Gerindra dinilai menjadi salah satu penyebab PPP gagal dalam memenuhi target suara pemilu.
Konflik internal ini kemudian mereda setelah PPP bulat sepenuhnya mendukung Prabowo-Hatta pada Pilpres 2014, walaupun masih diwarnai dengan kebijaksanaan rotasi pimpinan partai, terutama posisi M Romahurmuziy yang semula Sekjen PPP menjadi Ketua DPP PPP. Romahurmuziy tidak mengakui hasil rapat harian tersebut karena ilegal dan melanggar anggaran rumah tangga PPP. Ia kemudian melawan dengan mengajukan mosi tidak percaya pada kepemimpinan Suryadharma Ali.
Puncak konflik internal ini terjadi pascapilpres yang berujung pada dualisme kepemimpinan dengan digelarnya dua muktamar, yakni Muktamar Surabaya dan Muktamar Jakarta. Muktamar Surabaya secara aklamasi memilih M Romahurmuziy sebagai Ketua Umum, sedangkan pihak Suryadharma Ali yang menggelar Muktamar di Jakarta secara aklamasi menetapkan Djan Faridz sebagai Ketua Umum.
Pada 28 Oktober 2014, Kementerian Hukum dan HAM menetapkan kepengurusan PPP versi M Romahurmuziy dengan diterbitkannya Keputusan Menhuk dan HAM No. M.HH-07.AH.11.01 Tahun 2014 tentang Pengesahan Perubahan Susunan Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan. Tak lama, PPP versi Djan Faridz menggugat keputusan tersebut.
Pada 6 November 2014 Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengabulkan gugatan yang dilayangkan kuasa hukum PPP hasil Muktamar Jakarta untuk menunda pelaksanaan keputusan Menhuk dan HAM yang menetapkan kepengurusan PPP versi Muktamar Surabaya.
Dengan putusan tersebut, keputusan Menhuk dan HAM No. M.HH-07.AH.11.01 Tahun 2014 tentang Pengesahan Perubahan Susunan Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan belum dapat dilaksanakan.
Prosesnya kemudian berlangsung pada upaya banding yang dilakukan oleh PPP kubu M Romahurmuziy. Akan tetapi, sampai putusan kasasi Mahkamah Agung dihasilkan pada 20 Oktober 2015, yang memerintahkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mencabut SK yang mengesahkan DPP hasil Muktamar Surabaya, belum ada tanda-tanda islah dan berakhirnya konflik dualisme di PPP.
Bagi kubu PPP, putusan kasasi MA dipandang mengembalikan kepengurusan PPP sesuai hasil Muktamar Bandung di mana Ketua Umum dijabat Suryadharma Ali dan Sekjen Romahurmuziy. Pada sisi lain, kubu PPP Djan Faridz, putusan MA tersebut dinilai otomatis mengakui kepengurusan DPP PPP hasil Muktamar Jakarta.
Pada 8 Januari 2016, setelah putusan MA, Kemenkumham mencabut surat keputusan pengesahan PPP kubu Muktamar Surabaya yang dipimpin Romahurmuziy. Dengan mencabutan ini, kepengurusan PPP kembali pada hasil Muktamar PPP di Bandung tahun 2011.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Muhammad Romahurmuziy yang menjadi tersangka dugaan penerimaan suap terkait pengisian jabatan di Kementerian Agama meninggalkan Gedung KPK, Jakarta, setelah menjalani pemeriksaan lanjutan, Kamis (20/6/2019). Dalam pemeriksaan tersebut Romy juga menyampaikan sejumlah keluhan penghuni rumah tahanan KPK terkait fasilitas rutan.
Penangkapan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy (Romy) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (15/3/2019) menjadi peringatan keras proses alih generasi politik di Indonesia.
Romy yang ditangkap di sebuah hotel di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (15/3/2019) pukul 07.50, karena diduga menerima suap terkait pengisian jabatan di Kementerian Agama—bukan pemimpin partai politik (parpol) pertama yang diproses hukum KPK. Sebelumnya, pada 2014 KPK juga memproses hukum Suryadharma Ali yang saat itu menjabat Ketua Umum PPP.
Romy ditangkap bersama Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur Haris Hasanuddin, Kepala Dinas Kementerian Agama Gresik Muafaq Wirahadi, dan pihak swasta, yaitu Agtaria Adriana. Dalam penangkapan ini, KPK juga menyita uang sekitar Rp100 juta (Kompas, 16/3/2016)
Romy diadili dalam kasus jual-beli jabatan di Kementerian Agama. Ia divonis 2 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmziy atau Romy telah bebas dari Rumah Tahanan Cabang KPK pada Rabu (29/4/2020) malam. Plt Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri mengatakan, Romy dibebaskan setelah Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menerima surat dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memerintahkan JPU KPK untuk segera mengeluarkan Romy dari tahanan (Kompas, 30/4/2020, “Romahurmuziy Bebas, KPK Pasrah”).
Romy dinyatakan bersalah menerima uang terkait jual-beli jabatan di Kementerian Agama (Kemenag). Hakim menyebut Rommy terbukti menerima uang sebesar Rp300 juta, dengan rincian Rp250 juta sudah dikembalikan ke KPK dan Rp50 juta diterimanya saat ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT).
Penguasaan dan basis massa partai
Pada pemilu era Orde Baru, sebenarnya PPP telah menunjukkan kemampuan dalam mengganggu dominasi Golkar di sejumlah kecil daerah. Seperti Pemilu 1997, dari total 309 wilayah kabupaten/kota, PPP mampu menguasai kemenangan di dua daerah, yakni Pekalongan dan Kabupaten Pasuruan. Selain itu, terdapat sebanyak 50 daerah lainnya yang raihan suara PPP hampir mendekati raihan suara Golkar. Misalnya seperti di Daerah Istimewa Aceh (Aceh Besar, Aceh Utara, dan Banda Aceh), Jakarta, Jawa Tengah (Kabupaten Demak, Pekalongan, Jepara, Magelang, DIY (Bantul, Yogyakarta), Jawa Timur (Kabupaten Sidoarjo, Jombang, Sampang, Pamekasan, Bangkalan, Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi, Probolinggo, Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Pasuruan) dan di Banjarmasin, Kalsel.
Pada era reformasi perolehan suara PPP makin melambung di NAD, Sumatera Barat (Padang), sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada pula suara tambahan dari pemilih PPP di Maluku Tengah. Namun, PPP pascareformasi memiliki tantangan yang harus berhadapan dengan partai-partai berideologi atau berbasis massa Islam, seperti PKB dan PAN yang keduanya memiliki basis wilayah sosial berimpitan dengan basis wilayah PPP.
Pada periode pemilu selanjutnya, pemilih tradisional PPP menurun dan cenderung bertambah pada pemilih muda. PPP juga masih sering melakukan konsolidasi internal sehingga terlambat dalam mengantisipasi perubahan selera politik pemilih muda.
Pada Pemilu Legislatif 2014, PPP memperoleh 8,2 juta suara yang bertumpu di Pulau Jawa, yakni Jawa Barat (1,6 juta), Jawa timur (1,3 juta), dan Jawa Tengah (1,1 juta). Selain ketiga daerah tersebut, PPP cukup meraih suara di DKI (0,5 juta) dan Banten (0,4 juta).
Kawasan Jawa Barat bagian selatan seperti Tasikmalaya, Ciamis dan sekitarnya dikenal sebagai simpatisan tradisional PPP. Di Jawa Timur bagian timur seperti Madura merupakan kawasan pesantren yang banyak berafiliasi dengan PPP. Kemudian di luar Jawa, PPP memiliki kantong suara yang cukup besar berada di daerah Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Aceh, dan Sumatera Barat.
Partai ini dalam Pileg 2014 terlihat tak mampu dalam meraih dukungan suara signifikan di daerah-daerah penguasaan partai berbasis massa nonmuslim, seperti PDI-P di Bali, Golkar dan PDI P di Nusa Tenggara Timur, Golkar dan Demokrat di Sulawesi Utara, juga Demokrat di Papua Barat.
Pola penguasaan PPP semacam ini mirip dengan penguasaan PAN. Namun, PAN lebih terbuka dan menampilkan citra kemudaan, baik dengan merekrut puluhan artis maupun dengan merekrut tokoh-tokoh nonmuslim di wilayah timur Indonesia. Hal ini terlihat bahwa sebagai partai yang sama-sama memiliki basis massa muslim, PPP kurang bergairah memperbarui wajah partai ketimbang PAN.
Melihat hasil survei pra Pemilu 2009 dan Pasca-Pemilu 2014, karakteristik pemilih PPP cenderung tetap. PPP memiliki basis dukungan pemilih yang besar pada wilayah pedesaan pada tahun 2009, bahkan tetap terlihat dukungannya pada tahun 2014 dan hanya mengalami sedikit penurunan. Sebagain besar dukungan untuk PPP berasal dari pemilih yang tinggal di Pulau Jawa. Pada Pemilu 2014, terlihat peningkatan minat pemilih yang berdomisili di luar Jawa.
Pada segi demografi dalam Pemilu 2009, PPP lebih banyak dipilih oleh pemilih perempuan. Sebaliknya, pada Pemilu 2014, pemilih PPP lebih dominan laki-laki. Selain itu, pada Pemilu 2009, pemilih PPP yang bersuku Jawa dan bersuku selain Jawa cukup seimbang. Namun, pada Pemilu 2014, persentase pemilih bersuku selain Jawa meningkat tajam hingga berada di atas pemilih bersuku Jawa. Konsistensi pemilih PPP berdasarkan tetap usia madya, yakni 36-50 tahun.
Sejak Pemilu 2009, pemilih PPP tetap berdatangan dari latar belakang pemilih berpendidikan rendah. Namun, terjadi peningkatan pemilih berpendidikan tinggi sebesar tiga kali lipat pada Pemilu 2014. Sedangkan kelas sosial ekonomi pemilih PPP tampak didominasi oleh kelompok menengah dan bawah.
Dilihat dari segi pekerjaan, pemilih PPP dari kalangan pensiunan dan wirausaha cukup menonjol. Kemudian, terjadi peningkatan persentase pemilih yang bekerja sebagai pegawai swasta dan aparat negara, akan tetapi proporsi pemilih pelajar dan mahasiswa menurun.
Pascaruntuhnya rezim Orde Baru, PPP berusaha melakukan pembenahan diri dengan merumuskan paradigma baru yang diputuskan melalui Musyawarah Kerja Nasional PPP tahun 2000. Paradigma baru ini mencakup beberapa aspek strategis, yaitu dengan kembali ke jati dirinya yang semula sebagai partai Islam yang kemudian mendeklarasikan diri sebagai partai yang berasas Islam.
Para pemimpin PPP selalu menyerukan agar umat Islam menjadikan PPP sebagai satu-satunya tempat untuk menyalurkan aspirasi politik di berbagai kesempatan. Seruan ini diharapkan dapat menambah suara PPP pada setiap pemilu dan menjadikan partai ini sebagai partai Islam terkuat di Indonesia. PPP juga memiliki sejumlah organisasi sayap partai dari kalangan ulama, pemuda, mahasiswa, dan kaum perempuan. Generasi Muda Pembangunan Indonesia, Angkatan Muda Ka’bah, Gerakan Pemudah Ka’bah, Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia, dan Wanita Persatuan Pembangunan aktif mendinamiskan partai ini. Hal ini merupakan modal yang penting dalam memenangkan pemilu.
Kendala yang masih ada dalam partai ini adalah gerak partai yang kurang maksimal dan kurang efektif dalam melaksanakan fungsi dan peran kenegaraan dan kemasyarakatan, baik di tingkat DPP, DPW, DPC, PAC, maupun ranting. Hal inilah yang membuat konsolidasi dalam mengembangkan jaringan dan basis konstituen tetap terhambat meskipun struktur dan infrastruktur partai sudah mengakar hingga ke lapisan bawah.
Dampak yang paling riil adalah terus merosotnya citra PPP dan perolehan suara PPP pada pemilu. Pada Pemilu 2009 terjadi kemerosotan yang sangat signifikan, yakni hanya memperoleh sebesar 5,33 persen, dibanding pemilu tahun 1999 yang mencapai 10,7 persen suara. Hal ini jelas memperlihatkan turunnya sebesar 50 persen suara dari PPP dan jelas mencerminkan berkurangnya daerah-daerah yang menjadi basis dukungan PPP.
Pada Pemilu 2004, konstelasi politik PPP mulai bergeser sejalan dengan merosotnya perolehan suara partai ini. Pesaing sesama partai Islam yang membuat wilayah-wilayah yang dulunya sebagai basis massa PPP kemudian bergeser.
Jika perolehan suara disandingkan dengan total perolehan suara PPP pada Pemilu 2004 secara nasional sebesar 8,15 persen daerah-daerah yang menjadi basis tradisional PPP selama ini masih menjadi lumbung suara PPP dengan proporsi suara yang ikut mengecil.
PPP mencatat peningkatan perolehan suara pada pemilu kali ini jika dibandingkan dengan Pemilu 1999. Di basisnya sendiri peningkatan ini terjadi di Jawa Timur (37,1 persen), Bengkulu (15,4 persen), dan Aceh (2,2 persen). Di daerah nonbasis, peningkatan suara terbesar berada di Sulawesi Tenggara yakni (88,6 persen), Papua dan Papua Barat (31,8 persen) dan DIY (7,3 persen).
Pada Pemilu 2009, kekuatan PPP turun signifikan sampai 50 persen jika dibanding dengan Pemilu 1999, yakni dari 10,7 persen menjadi 5,3 persen. Salah satu penyebab merosotnya PPP diperkirakan karena menguatnya popularitas Partai Demokrat hampir di seluruh Indonesia. Fenomena ini tentu membuat suara PPP tergerus. Hal yang sama juga terjadi pada beberapa partai Islam lainnya, serta partai nasional seperti PDI Perjuangan dan Golkar.
Dari semua wilayah PPP di Indonesia menunjukkan hampir semua provinsi mengalami penurunan suara. Aceh, Bengkulu dan Jawa Timur yang pada Pemilu 2004 menjadi lumbung suara bagi partai ini, namun pada Pemilu 2009 perolehan suara menurun drastis. Aceh yang selama ini dikenal sebagai basis utama PPP harus mengalami penurunan hingga 61 persen. Bengkulu merosot hingga 52 persen serta Jawa Timur turun menjadi 38,5 persen suara.
Terdapat satu wilayah yang masih bisa digarap oleh PPP sebagai daerah potensial untuk pemilu mendatang, yakni Papua dan Papua Barat. Perolehan suara di wilayah ini memperlihatkan pertumbuhan yang positif pada saat daerah lain yang menjadi basis PPP mengalami penurunan. Hasil Pemilu 2009 di Papua memperlihatkan kekuatan PPP yang meningkat dua kali lipat dibanding sebelumnya.
Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 adalah salah satu pemilu terberat dalam sejarah PPP. Perolehan suara PPP mengalami tekanan yang kuat dari sejak pengumuman hasil-hasil survei pra pemilu. Sejumlah lembaga survei memprediksi partai ini hanya akan memperoleh suara kurang dari 3,5 persen yang terancam tidak lolos electoral threshold. Sementara itu, kekalahan kubu Koalisi Merah Putih tempat PPP bernaung menyebabkan terjadinya dinamika politik didalam tubuh PPP. Faksi politik yang loyak kepada Ketua Umum Suryadharma Ali berseteru degan faksi dibawah Emron Pangkapi yang ingin bergabung dengan kubu Jokowi-JK.
Pada Pemilu 2014, PPP kemudian mampu membuktikan melampaui ambang batas minimal parpol dan memperoleh 8.157.488 suara atau setara dengan 6,53 persen. Posisi PPP mengalami penurunan menjadi posisi kesembilan dari 10 parpol yang lolos ke parlemen. Hal tentu membuat lega PPP karena tidak lagi di bayang-bayangi terancam tidak lolos electoral threshold.
Pada Pemilu 2019, PPP meraih 6.323.147 suara sah atau 4,52 persen. Dengan capaian ini PPP berada di peringkat ke-10. Pada pemilu ini PPP berhasil meraih 19 kursi di DPR.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) dan plt Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suharso Monoarfa bersiap memberikan keterangan setelah keduanya mengadakan pertemuan di kediaman Prabowo di Jakarta, Kamis (15/8/2019). Selain untuk bersilaturahmi, dalam pertemuan yang berlangsung lebih dari satu jam tersebut juga membahas dinamika sosial politik dan kebangsaan.
Menuju Pemilu 2024
PPP fokus melakukan langkah-langkah pemenangan jelang Pemilu 2024. Diantaranya melakukan konsolidasi seluruh kekuatan partai, termasuk kader yang pernah bersebrangan. Partai ini juga mulai serius dalam menggaet suara dari generasi milenial.
Langkah konsolidasi internal PPP ini terlihat dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) I PPP, Jumat (12/3/2021). Acara yang digelar secara daring ini, turut hadir mantan Ketua Umum PPP versi Muktamar Jakarta, Djan Faridz. Dalam susunan kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat PPP Periode 2020-2025 yang disahkan Kementerian Hukum dan HAM, Selasa (9/3), Djan Faridz menjadi anggota Majelis Kehormatan PPP.
Pada pembukaan Rapimnas I PPP, Ketua Umum PPP Suharso Monarfa secara khusus menyapa Djan Faridz. ”Sahabat saya, teman berantem saya Pak Djan Faridz. Kami bersahabat sejak 1980-an, sama-sama mencari, mengais sesuap rezeki di Jakarta,” ujar Suharso. Dirinya juga mengaku lelah dengan konflik di partai ini. Ia ingin PPP tetap bersatu. ”Kita tak ingin, sekecil apa pun ruang, setitik, atau sebesar nila yang mengganggu PPP. Kita ingin partai ini, namanya saja merawat persatuan dengan pembangunan,” katanya. (Kompas, 13 Maret, 2021, Langkah Awal Konsolidasi PPP)
Djan menyatakan dukungannya kepada Suharso sebagai Ketua Umum PPP. Ia pun mengaku siap membantu Suharso membawa PPP berjaya kembali. ”Kita harus melihat ke depan, bagaimana PPP tetap eksis di dunia politik dan bermanfaat untuk umat Islam. Jadi, jangan sampai, kita ini bersatu dengan beliau (Suharso), manfaatnya untuk PPP kurang,” ucap Djan.
Pada bagian lain pidatonya, Suharso meminta agar gerak kerja elektoral tak hanya dilakukan DPP, tetapi diikuti seluruh DPW, anak cabang dan bawahnya, terutama jelang Pemilu 2024. Seluruh calon anggota legislatif di tiap tingkatan, DPR, DPRD provinsi/kabupaten/kota. Bahkan, disebutkan PPP memiliki sekitar 23 ketua elektoral. Mereka akan bertanggung jawab atas suara PPP di Pemilu 2024. Semua ini diharapkan perlu menjadi perhatian karena hampir 60 persen pemilih Pemilu 2024 dari generasi milenial dan Z.
Dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang di selenggarakan pada 17-18 Oktober 2021 dihadiri tiga gubernur yang namanya kerap muncul dalam survei calon presiden (capres) sejumlah lembaga. yakni Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.
Wakil Ketua Umum PPP Arsul Sani mengatakan, para kepala daerah diundang karena alim ulama PPP ingin mengetahui pemikiran sekaligus aksi mereka dalam menjalankan tugas sebagai gubernur. ”Tidak terhindarkan pula, banyak di antara para alim ulama memanfaatkan momen munas untuk melihat kapasitas dan kepribadian mereka itu,” kata Arsul seusai munas di Semarang, Jawa Tengah. Selama ini, para alim ulama mengikuti dinamika politik, termasuk nama tokoh yang masuk bursa capres pilihan rakyat. (LITBANG KOMPAS)
Artikel Terkait
Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP dari Masa ke Masa
- Dewan Pimpinan Partai PPP 1998-2006
Ketua Umum : H. Hamzah Haz
Sekretaris Jenderal : H. Alimawarwan Hanan, SH (2003-2006)
- Dewan Pimpinan Partai PPP 2006-2011
Ketua Umum : H. Suryadharma Ali
Sekretaris Jenderal : H. Irgan Chairul Mahfiz
- Dewan Pimpinan Partai PPP 2011-2014
Ketua Umum : Drs. H. Suryadharma Ali, M.Si
Sekretaris Jenderal : Ir. H. M. Romahurmuziy, MT
Bendahara Umum : Drs. H. Mahmud Yunus
- Dewan Pimpinan Partai PPP 2014-2019 Versi Muktamar Jakarta (30 Oktober-2 November 2014)
Ketua Umum : H. Djan Faridz
Sekretaris Jenderal : DR. H. R. A. Dimyati N, Sh, MH, Si
Bendara Umum : Ir. Hj. Dyah Anita Prihapsari MBA
- Dewan Pimpinan Partai PPP 2014-2019 Versi Muktamar Surabaya (15-18 Oktober 2014)
Ketua Umum : Ir. H. M. Romahurmuziy, MT
Sekretaris Jenderal : Ir. H. Aunur Rofiq
Bendahara Umum : Hj. Nurhayati
- Dewan Pimpinan Partai PPP (2020-2025)
Ketua Umum: Suharso Monoarfa
Sekretaris Jenderal : Arwani Thomafi
Bendahara Umum : Surya Batara Kartika
Susunan Kepengurusan DPP
Majelis Kehormatan
- Ketua: Zarkasih Nur
- Anggota: Djan Faridz
- Anggota: Abdullah Ubab Maimoen
- Anggota: Mahfudhoh Aly Ubaid
- Anggota: Emron Pangkapi
- Anggota: Hasrul Azwar
Majelis Syariah
- Ketua : M. Mustofa Aqil Siroj
- Wakil Ketua: Muslih Z.A
- Wakil Ketua: Afifuddin Muhajir
- Wakil Ketua: Muhyiddin Ishaq
- Wakil Ketua: Ahmad Haris Shodaqoh
- Wakil Ketua: Lukman Hakim Hasibuan
- Wakil Ketua: Samsul Arifin
- Wakil Ketua: Mahin Toha
- Wakil Ketua: Bahrul Ilmi
- Wakil Ketua: Khairul Fuad
- Wakil Ketua: Habib Ihsanudin
- Wakil Ketua: Mursyid Qori
- Wakil Ketua: Abdul Rahman Assegaf Puang Makka
- Wakil Ketua: Habib Ahmad Alhabsy
- Wakil Ketua: Agus Masruri
- Wakil Ketua: Muhsin Nurhadi
- Sekretaris: Choirul Sholeh Rasyid
- Wakil Sekretaris: Fadlolan Musyaffa’
- Wakil Sekretaris: Otong Badrudin
- Wakil Sekretaris: Mahbub Zaki
Majelis Pertimbngan
- Ketua : Mardiono
- Wakil Ketua: Wardatul Asriyah
- Wakil Ketua: Hafidz Ma’soem
- Wakil Ketua: Nu’man Abdul Hakim
- Wakil Ketua: Anang Iskandar
- Wakil Ketua: Syahrial Agamas
- Sekretaris: Anas Thahir
- Wakil Sekretaris: Usman M. Tokan
- Wakil Sekretaris: Hizbiyah Rochim
Majelis Pakar
- Ketua: Prijono Tjiptoherijanto
- Wakil Ketua: Abdullah Syarwani
- Wakil Ketua: Alihardi Kiaidemak
- Wakil Ketua: Anwar Sanusi
- Wakil Ketua: Sudirman Numba
- Wakil Ketua: Ariza Agustina
- Sekretaris: Aunur Rofiq
- Wakil Sekretaris: Fahrudin Salim
- Wakil Sekretaris: Usni Hasanudin
Mahkamah Partai
- Ketua: Ade Irfan Pulungan
- Ketua Pengganti: Siti Yulia Irfany Syarifuddin
- Sekretaris: Syarifuddin
- Anggota: Hj. Siti Nurmila
- Anggota: Abdullah Mansyur
Susunan Pengurus Harian DPP PPP
- Ketua Umum: Suharso Monoarfa
- Wakil Ketua Umum: Arsul Sani
- Wakil Ketua Umum: Ermalena M.H.S
- Wakil Ketua Umum: Amir Uskara
- Wakil Ketua Umum: Musyaffa’ Noer
- Wakil Ketua Umum: Zainut Tauhid Sa’adi
- Sekretaris Jenderal: Arwani Thomafi
- Wakil Sekretaris Jenderal: Idy Muzayyad
- Wakil Sekretaris Jenderal: Qonita Lutfiyah
- Bendahara Umum: Surya Batara Kartika
- Bendahara Umum: Lukman Yani
Bidang Fungsional
- Ketua: Achmad Baidowi
- Ketua: M. Qoyum Abdul Jabbar
- Ketua: Syaifullah Tamliha
- Ketua: Rendhika D. Harsono
- Ketua: Nyoman Anjani
- Ketua: Jafaruddin Harahap
Bidang Isu Strategis
- Ketua: Illiza Sa’adudin DJamal
- Ketua: Warti’ah
- Ketua: Andi Surya Wijaya
- Ketua: Joko Purwanto
- Ketua: Ema Umiyyatul Chusnah
- Ketua: Rojih Ubab Maimoen
- Ketua: Hasan Mulachela
- Ketua: Atik Heru Maryanti
- Ketua: Irene Rusli Halil
- Ketua: Syamsurizal
- Ketua: Rina Fitri
- Ketua: Patrika Susana
Bidang Pemenangan Daerah Pemilihan (Dapil)
- Ketua: Hilman Ismail Matareum
- Ketua: Audy Joinaldy
- Ketua: Dony Ahmad Munir
- Ketua: Farhan Hasan Al Amri
- Ketua: Syarifah Amelia
- Ketua: Nadya Hasna Humaira
- Ketua: Najah Fitri Ani Gayo
- Ketua: Hendra Kusumah
- Ketua: Adhika Ardana Falian
- Ketua: Dewi Arimbi Soeharto Alamsjah
- Ketua: H. Abdul Hakim Hidayat
- Ketua: H. Komaruddin Thaher
- Ketua: Drs. Muhammad Yunus Razak
- Ketua: Ainul Yaqin
- Ketua: Chairunnisa Yusuf
- Ketua: Yudhistira Raditya Soesatyo
- Ketua: Sarah Larasati
Visi dan Misi
Visi:
Terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, sejahtera lahir-batin, dan demokratis dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila di bawah ridla Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Misi:
- Mewujudkan serta membina manusia dan masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, meningkatkan mutu kehidupan beragama, serta mengembangkan ukhuwah Islamiyah. Dengan demikian PPP mencegah berkembangnya faham-faham atheisme, komunisme/ marxisme/leninisme, sekularisme, dan pendangkalan agama;
- Menegakkan hak asasi manusia dan memenuhi kebutuhan dasar manusia sesuai harkat dan martabatnya dengan memerhatikan nilai-nilai agama terutama nilai-nilai ajaran Islam, dengan mengembangkan ukhuwah insaniyah. Dengan demikian PPP mencegah dan menentang berkembangnya neo-feodalisme, liberalisme, paham yang melecehkan martabat manusia, proses dehumanisasi, diskriminasi, dan budaya kekerasan;
- Memelihara rasa aman, mempertahankan, serta memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa dengan mengembangkan ukhuwah wathaniyah. Dengan demikian PPP mencegah dan menentang proses disintegrasi, perpecahan, dan konflik sosial yang membahayakan keutuhan bangsa Indonesia yang berbhinneka tunggal ika;
- Melaksanakan dan mengembangkan kehidupan politik yang mencerminkan demokrasi dan kedaulatan rakyat yang sejati dengan prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat. Dengan demikian PPP mencegah dan menentang setiap bentuk otoritarianisme, fasisme, kediktatoran, hegemoni, serta kesewenang-wenangan yang menzhalimi rakyat;
- Mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang diridai oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Dengan demikian PPP mencegah berbagai bentuk kesenjangan sosial, kesenjangan pendidikan, kesenjangan ekonomi, kesenjangan budaya, pola kehidupan yang konsumeristis, materialistis, permisif, dan hedonistis di tengah-tengah kehidupan rakyat banyak yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Artikel Terkait
Referensi
Partai Politik Indonesia 1999-2019 (2016), Jakarta : Penerbit Buku Kompas
Litbang Kompas. 2004. Partai-partai Politik Indonesia, Ideologi dan Program 2004-2009. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Litbang Kompas. 1999. Partai-Partai Politik Indonesia, Ideologi, Strategi dan Program. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Litbang Kompas. 2004. Peta Politik Pemilihan Umum 1999-2004. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Pusat Informasi Kompas, pemberitaan Kompas mengenai PPP 1970-2021.
Kompas, 11 Januari 2020, Tantangan PPP Merawat Basis Massa
Kompas, 13 Maret, 2021, Langkah Awal Konsolidasi PPP
Kompas, 20 Oktober, 2021, Kilas Politik dan Hukum : PPP Dalami Kapasitas Tokoh Potensial Capres