KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Presiden ke-5 yang sekaligus Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri memotong tumpeng yang akan diberikan kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla saat Peringatan HUT Ke-44 PDI Perjuangan di Jakarta Convention Center, Jakarta, Selasa (10/1/2017). Sebelumnya Presiden Joko Widodo juga menerima potongan tumpeng. Dalam Pidato Politiknya, Megawati menyatakan bahwa PDI Perjuangan akan terus mendukung pemerintahan saat ini.
Fakta Singkat
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Berdiri
10 Januari 1973 (PDI)
15 Februari 1999 (PDI Perjuangan)
Pemilu 2019
- Perolehan suara sah: 27.053.961 suara
- Persentase suara sah: 19,33 persen
- Jumlah kursi di DPR: 128 kursi
Ketua Umum:
Megawati Soekarnoputri
Asas:
Pancasila
Jatidiri:
Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial
Laman internet:
Pdiperjuangan.id
Sejarah Partai
Megawati Soekarnoputri merupakan sosok berpengaruh dan diperhitungkan popularitasnya dalam kancah politik nasional saat era Orde Baru. Pada saat itu, kehadiran putri Proklamator RI Soekarno ini membuat kekhawatiran penguasa Orde Baru saat itu. Sejak pentas politik 1987, Megawati diharapkan oleh para pendukungnya menghadirkan Soekarnoisme dalam politik di Indonesia, dan hal ini tidak disukai oleh Pemerintah Orde Baru pada saat itu.
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) lahir pada 10 Januari 1973, sebagai hasil fusi atau gabungan dari lima partai politik pasca Pemilu 1971 yang tergabung dalam kelompok Demokrasi Pembangunan, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Murba, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) serta Partai Katolik. Hal ini terkait dengan diterbitkannya kebijakan Pemerintah Orde Baru yang berupaya dalam memperkecil jumlah parpol dengan alasan agar mudah dalam mengendalikan stabilitas politik.
Para deklarator PDI yang terlibat saat fusi, yaitu Mohamad Isnaeni dan Abdul Madjid (PNI), Ben Mang Reng Say dan FS Wignyosumarsono (Partai Katolik), Sabam Sirait dan A. Wenas (Parkindo), S Murbantoko dan Djon Pakan (Partai Murba), lalu Achmad Sukmadidjaja dan M.H. Sadri (IPKI). PDI memiliki latar belakang yang berbeda dari parpol yang tergabung didalamnya, seperti Parkindo dan Partai Katolik yang menganut aliran keagamaan, di sisi lain PNI, Murba, serta IPKI memiliki ideologi nasionalisme.
Pada 14 Januari 1973, terbentuk susunan Pengurus Pusat PDI yang terdiri dari 25 orang anggota Majelis Pimpinan Pusat, 11 orang anggota Dewan Pemimpin Pusat. Ketua Umum pertama dijabat oleh Mohamad Isnaeni, Sekretaris Jenderal Koordinator dijabat oleh Sabam Sirait. Sejak awal berdirinya PDI terdapat konflik internal, yakni rasa saling curiga dan tidak ketidakharmonisan di antara unsur partai atau tokoh-tokoh di dalam PDI muncul karena adanya keinginan agar PNI mendominasi di dalam PDI. Tidak adanya keharmonisan di dalam tubuh PDI, tidak menutup para anggota berusaha memantapkan fusi tetap dijalankan. Salah satunya melalui peringatan hari ulang tahun pertama PDI tanggal 10 Januari 1974 serta peresmian pemakaian Gedung PDI di Jalan Diponegoro 58 Jakarta.
Pada Kongres I PDI tanggal 12-13 April 1976, Pemerintah Orde Baru ikut terlibat dalam konflik internal antara Mohamad Isnaeni (saat itu menjadi Ketua DPR/MPR) dengan Soenawar Soekawati (saat itu menjadi Menteri Negara Bidang Kesra) pada Kabinet Pembangunan II. Pada Kongres I ini dikeluarkan putusan yakni mengganti kedua tokoh dalam jajaran pimpinan partai. Pemerintah kemudian menunjuk Sanoesi Hadjadinata sebagai Ketua Umum serta Usep Ranawidjaja sebagai Ketua DPP PDI. Dua tahun kemudian Mohamad Isnaeni muncul sebagai DPP tandingan.
Konflik didalam struktur DPP berulang kali terjadi setelah Kongres I tersebut. Secara umum pemicu utama adalah para tokoh elite partai yang sebelumnya pernah berseteru, yakni ketua Umum DPP PDI Sanoesi Hardjadinata bersama wakil sekjen Aberson Marle Sihaloho, membebastugaskan Mohamad Isnaeni dan Soenawar Soekawati dari jabatan Ketua DPP. Soenawar Soekawati kemudian bereaksi dan memecat Sanoesi dari jabatan Ketua Umum DPP lalu menunjuk Mohamad Isnaeni yang sebelumnya pernah berseteru.
PDI tercatat paling sering terjadi konflik internal. Sejak awal berdiri hingga era reformasi, bahkan terjadi beberapa pertentangan berkembang menjadi adu kekuatan fisik. Seperti dalam peristiwa pengambilalihan kantor DPP PDI oleh kelompok yang menanamkan diri Pimpinan Pelaksana Harian DPP yang diketuai oleh AP Batubara pada 15 Desember 1979. Konflik masih terus terjadi hingga melibatkan tokoh elite lama partai bahkan hingga awal era 1990-an.
Soerjadi selaku Ketua Umum PDI saat itu berseteru dengan Achmad Subagyo yang mendapat dukungan aparat keamanan membentuk DPP Peralihan 21 Agustus 1991. Konflik ini terus belanjut hingga Kongres IV PDI pada 21-25 Juli 1993 di Medan. Yacob Nuwawea yang mengklaim sebagai fungsionaris DPP PDI Peralihan bersama Kelompok 17 berusaha menghalangi terpilihnya Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI kedua kalinya pada periode 1993-1998. Kelompok 17 yang dipimpin Masoesi dan DPP Peralihan yang diketuai oleh Achmad Soebagyo gagal membendung Soerjadi, walaupun aksi mereka mengacaukan Kongres IV PDI namun diakomodir dan dibiarkan oleh aparat keamanan.
Soerjadi berhasil mengangkat pamor PDI sebagai partai yang diperhitungkan, meski dihadapi oleh intervensi dan tekanan dari penguasa saat itu. Pada tahun 1987 PDI mampu menarik simpati putra dan putri Presiden pertama Soekarno, yakni Megawati Soekarnoputri dan Guruh Soekarnoputra, juga beberapa senimam film seperti Mangara Siahaan dan Sophan Sophiaan, lalu dari kalangan profesional seperti Laksamana Sukardi, serta pengusaha Soegeng Sarjadi untuk bergabung menjadi anggota PDI.
Secara aklamasi Soerjadi terpilih dalam Kongres IV PDI, namun Pemerintah tidak mengakui segala keputusan hasil kongres tersebut, termasuk terpilihnya Soerjadi. Kemudian untuk mengisi kekosongan pimpinan PDI, pemerintah menunjuk DPP sementara yakni Latief Pudjosakti yang saat itu menjabat Ketua DPD PDI Jawa Timur. Pemerintah juga menugasi Latief untuk mempersiapkan Kongres Luar Biasa (KLB) di Surabaya.
Saat mendekati KLB, nama Megawati mencuat dan menjadi salah satu kandidat yang akan menjadi salah satu calon Ketua Umum PDI. DPC PDI Solo Makyo Sumaryo yang pertama kali melontarkan nama Mewagawati. Pemerintah pun kelabakan menghadapi kejadian hal ini karena makin mendekati KLB, rumah Megawati di Jakarta terus didatangi utusan-utusan DPC PDI dari berbagai daerah yang menjadi pemilihnya. Bergabungnya Megawati kedalam PDI menjadi salah satu faktor keberhasilan PDI dalam mendongkrak suara pada Pemilu 1987.
Pemerintah Orde Baru segera merencanakan strategi untuk menghambat Megawati, yakni lewat jaringan pejabat sospol daerah penguasa mencegah para pendukung Megawati untuk hadir sebagai utusan dalam KLB Surabaya. Beberapa tokoh partai daerah seperti Tarmidi Soehardjo, Aziz Boeang dan Subur Budiman serta kader partai lainnya di cekal oleh aparat dan digantikan orang-orang yang sebelumnya pernah mengacau Kongres Medan. Megawati sempat mengalami percobaan pencekalan saat rekomendasi sebagai utusan DPC PDI Jakarta Selatan ditahan oleh Alex Asmasoebrata selaku Ketua DPD Jakarta. Rekomendasi tersebut baru dikeluar beberapa hari sebelum KLB berlangsung, setelah muncul reaksi arus bawah yang mendukung Megawati.
Saat itu terjadi pula adanya instruksi jajaran Kepala Direktorat Sospol di 27 Provinsi untuk mempengaruhi para kader-kader PDI saat memilih ketua umumnya yang dapat bersikap akomodatif terhadap Pemerintah. Namun strategi Pemerintah ini gagal, bahkan menaikkan militansi para utusan kongres. Pemerintah terus melakukan berbagai manuver politik termasuk dalam menghambat keberlangsungan kongres PDI, seperti melalui pesaing Megawati sebagian besar pengurus DPP caretaker, Pemerintah ingin memaksakan proses pemilihan ketua umum dengan sistem formatur. Akan tetapi keinginan mayoritas peserta mendukung sistem pemilihan langsung.
Sesaat sebelum izin KLB habis, secara tiba-tiba Megawati berserta seluruh utusan DPC-DPC menyatakan diri secara de facto sebagai Ketua Umum PDI periode 1993-1998 dihadapan pers. Kemudian pada pukul 00.00 WIB, setelah pernyataan selesai diumumkan terdapat ratusan polisi bersama pasukan anti huru-hara membubarkan seluruh peserta KLB dan mengambil alih seluruh kendali asrama Haji Sukolilo tempat berlangsungnya KLB.
Pernyataan Megawati tersebut, dilatar belakangi dalam acara pemandangan umum 4 Desember 1993, sebanyak 84 persen (256 dari 305 cabang) utusan DPC-DPC PDI yang menjagokan Megawati. Hal ini yang menjadikan Pemerintah memaksakan jagoan pilihannya sebagai Ketua Umum PDI. Penjegalan terhadap Megawati terus dilakukan oleh Pemerintah setelah KLB Surabaya, yakni secara sepihak dinyatakan gagal oleh Ketua caretaker Latief Pudjosakti. Latif memohan kepada Pemerintah agar dapat menyelesaikan masalah tersebut.
Kegagalan Pemerintah dari upaya menghambat Megawati, kemudian merubah strategi dengan mengubah sikap dalam mengahdapi Megawati. Megawati bersama pendukungnya melakukan safari politik terhadap sejumlah pejabat tinggi negara dan militer, bahkan silaturahmi dilakukan terhadap putri pertama Presiden Soeharto yaitu Siti Hardiyanti Indra Rukmana. Pada 22 Desember 1993 berlangsung Munas PDI dengan pengukuhan Megawati sebagai Ketua Umum PDI berjalan dengan lancar. Sebanyak 52 pengurus DPD dari 27 Provinsi secara aklamasi memilih Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDI.
Menolak Takluk
KOMPAS/EDDY HASBY
Ketua Umum DPP PDI 1993-1998 Megawati Soekarnoputri hari Minggu (23/6/1996) menyampaikan pesan dan perintah hariannya kepada lebih dari 5.000 pendukung dan simpatisan PDI di kantor DPP PDI Jl Diponegoro, Jakarta Pusat.
Megawati tidak dapat memilih anggota DPP PDI secara bebas meskipun terpilih secara aklamasi saat Munas berlangsung. Megawati terpaksa mengakomodasi berbagai faksi yang selama ini menantang dirinya. 17 orang ketua yang mendampinginya terdapat lawan politiknya saat di KLB Surabaya, yakni Ismunandar dan Soetardjo Soerjogoeritno berserta dua orang DPP caretaker. Dari kubu pendukung Megawati, yakni Alex Litaay, Laksamana Sukardi, Kwik Kian Gie serta Mangara Siahaan.
Pemerintah masih mengkhawatirkan kehadiran Megawati di kancah politik nasional, masuknya anggota keluarga Bung Karno dalam panggung politik akan menghidupkan gerakan-gerakan radikal masyarakat yang merasa tidak puas dengan rezim Orde Baru saat itu yang dapat menggoyahkan stabilitas politik yang dibangun Pemerintah Orde Baru. Pemerintah terus berupaya dalam melancarkan tekanan agar PDI dibawah kepemimpinan Megawati tidak berkembang pesat.
Upaya Pemerintah dalam melengserkan dari pimpinan PDI masih berlanjut. Dengan alasan hasil munas tidak sah, kubu Soerjadi menggelar Kongres IV PSDI di Medan pada 20-21 Juni 1996. Sebelumnya sejumlah cabang di daerah memberitahukan Megawati bahwa mereka telah ditekan aparat militer untuk mendukung penyelenggaraan Kongres Medan. Di sisi lain pihak ABRI menyangkal bahwa dorongan yang dilakukan kepada pengurus cabang sekadar memenuhi permintaan dari pada tokoh senior PDI di bawah koordinasi Fatimah Achmad.
Adanya rekayasa politik melemahkan PDI dibawah pimpinan Megawati mendapat reaksi keras dari para pendukung serta simpatisan Megawati dari berbagai kota di Indonesia. Para pendukung Megawati menentang rencana pelaksanaan Kongres Medan. Kemarahan arus bawah pendukung Megawati dibeberapa kota berbuntut terjadinya bentrokan berdarah dengan aparat keamanan yang menimbulkan korban luka-luka dan penangkapan kader-kader PDI. Sehari sebelum dilangsungkannya kongres versi Soerjadi, ribuan warga pendukung PDI di Jakarta melakukan gerakan long march menolak kongres.
Kasospol ABRI Letjen Syarwan Hamid menetralisir dari isu yang berkembang tekait keterlibatan ABRI. Syarwan menyangkal keikutsertaan ABRI dalam pelaksanaan Kongres Medan. Kongres Medan tetap berlangsung dan secara aklamasi menunjuk Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Pemerintah menunjukan dukungannya terhadap PDI versi Soerjadi pada 25 Juli 1996, yakni Presiden Soeharto menerima 11 anggota Dewan Pegurus Pusat PDI hasil Kongres Medan. Menurutnya pelaksanaan Kongres Medan telah berjalan dengan baik dan merupakan forum tertinggi di dalam partai yang harus dihormati oleh semua warga partai. PDI sejak saat itu terbagi menjadi dua kubu, yakni kubu Megawati dan kubu Soerjadi.
Para pendukung dan simpatisan Megawati menggelar panggung mimbar bebas di halaman kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro selama Kongres Medan berlangsung. Bahkan kegiatan mimbar bebas tidak berhenti usai Kongres Medan. Banyak kader partai dan para aktivis pro perubahan yang berdatangan. Namun, secara tiba-tiba pada Sabtu pagi, 27 Juli 1996 terdapat ratusan pemuda dengan mengenakan kaos merah yang bertuliskan “Pendukung Kongres IV Medan” dan mengenakan ikat kepala merah dan diangkut oleh sembilan truk menyerbu markas PDI.
Mereka yang datang membawa batu dan tongkat kayu dan dilemparkan ke kantor DPP PDI. Pendukung Megawati yang berada didalam terkejut dan langsung melakukan perlawanan atas aksi serangan pendukung Soerjadi. Hal ini tersebar luas dan mengundang reaksi kemarahan banyak pihak, yang kemudian berupaya melakukan perlawanan hingga terjadi tragedi Peristiwa 27 Juli dan tercatat oleh Komnas HAM terdapat lima orang meninggal dunia, 149 korban luka-luka, 23 orang hilang, dan 136 orang ditahan aparat. Kerugian materi mencapai Rp 100 miliar. Tragedi ini menjadi masa kelam sejarah perjalanan PDI.
Atas kejadian tersebut, Megawati mengambil langkah hukum dengan mengajukan gugatan atas PDI kubu Soerjadi, Pemerintah serta aparat keamanan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, gugatan tersebut tidak sambut baik, MA mengeluarkan fatwa bahwa PN Jakpus tidak berwenang memeriksa dan mengadili tuntutan Ketua Umum PDI Megawati serta Sekjen Alex Litaay. Sebaliknya, Pemerintah justru menekan Megawati secara politis dengan berbagai cara yang terlihat sah. Seperti pada tanggal 10 September 1996 Megawati harus menjalani pemeriksaan selama 10,5 jam di Kejaksaan Agung tanpa didampingi pengacara.
Saat menjelang Pemilu 1997, perseteruan kubu Megawati dan Kubu Soerjadi kembali terjadi saat pengajuan caleg yang mewakili PDI. Keduanya mengajukan daftar caleg, namun Pemerintah dan Lembaga Pemilihan Umum lebih mengakui PDI kubu Soerjadi. Adanya keberpihakan dari Pemerintah yang tidak adil, pada 22 Mei 1997 Megawati secara resmi menyatakan tidak menggunakan hak pilihnya. Para pendukungnya dipersilahkan mengikuti keinginan hati masing-masing. Sikap Megawati berimbas pada hasil Pemilu 1997, PDI versi Soerjadi hanya memperoleh 3.463.225 suara atau 3,06 persen dan hanya mendapatkan 11 kursi. Penurun drastis ini sebesar 14,89 persen yang setara dengan 56 kursi parlemen.
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, Senin (27/7/1998), mendapat sambutan sangat meriah dari sekitar 15.000 pendukungnya saat memberikan kata sambutan pada peringatan dua tahun Peringatan Tragedi 27 Juli di kediamannya di Kebagusan, Jakarta Selatan.
Lahirnya PDI Perjuangan
Militansi para pendukung Megawati melakukan perlawanan simbolik dengan mendirikan posko-posko di sekitar tempat tinggal mereka dengan atribut partai, foto Megawati, serta gambar Bung Karno. Hal ini atas berbagai tekanan yang dilakukan penguasa untuk mengerdilkan PDI versi Megawati saat itu. Bahkan mungkin karena banyaknya gugatan hukum yang diajukan terhadap PDI versi Soerjadi dan reaksi masyarkat yang membela Megawati, akhirnya pemerintah melunak dan mengakui keberadaan PDI Megawati. Pada 16 juli 1997, Mendagri Syarwan Hamid menyatakan tidak keberatan dengan adanya dua PDI. Kemudian Menhankam Wiranto juga memperbolehkan diadakannya peringatan “Peristiwa 27 Juli” di berbagai kota.
Lengsernya rezim Orde Baru menjadi peluang PDI Megawati untuk membesarkan partainya yang beraliran nasionalisme kerakyatan. Mendagri Syarwan memberikan kesempatan kepada Megawati dan para pendukungnya untuk mendirikan partai baru. Hal tersebut disampaikan pada 28 Mei 1998 setelah terjadinya berbagai peristiwa hilangnya aktivis demokrasi, termasuk kader PDI, Haryanto Taslam. Pemerintahan dibawah kekuasaan Presiden B.J Habibie tetap mengakui keberadaan PDI versi Soerjadi. Namun, Pemerintah melalui Mendagri Syarwan Hamid hadir membuka Kongres PDI pimpinan Soerjadi pada 25-27 Agustus 1998.
PDI Megawati mengadakan kongres yang disebut “Kongres Perjuangan” di Bali pada 8-10 Oktober 1998. Megawati kembali terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI periode 1998-2003 dan Alexander Litaay sebagai Sekjen. Dalam Kongres V PDI mengamanatkan tiga hal, yakni mengikuti pemilu, memenangkan pemilu dan menjadikan Ketua Umum DPP PDI sebagai Presiden RI. Agar dapat mengikuti Pemilu 1999, PDI pimpinan Megawati harus mengubah nama dan lambang partai. Alasan pengubahan karena Undang-Undang nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu mensyaratkan peserta pemilu tidak boleh mempunyai nama atau lambang yang sama.
PDI pimpinan Megawati kemudian membentuk partai baru yang secara historis adalah kelanjutan tak terpisahkan dari PDI yang didirikan berdasarkan fusi lima parpol pada 10 Januari 1973. PDI Megawati mengubah nama menjadi PDI Perjuangan (PDI-P) dengan lambang banteng bermata merah dan bermulut putih dalam lingkaran. Partai yang berdiri pada 1 Februari 1999 ini berazaskan Pancasila, bercirikan Kebangsaan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Perubahan nama dan lambang dideklarasikan di Stadion Utama Senayan pada 14 Februari 1999 yang dihadiri sekitra 200 ribu warga PDI dan simpatisan.
Sesuai dengan hasil keputusan Kongres V PDI di Denpasar Bali lebih konsisten pada nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan kerakyatan. Hasil Kongres Bali yang tertuang didalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga baru juga mengamanatkan PDI-P untuk memenangkan pemilu agar memiliki sarana mencapai tujuan umum partai, yakni memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mendorong perdamaian dunia.
Pada Pemilu 1999 PDI-P meraih suara terbanyak dengan perolehan 33,76 persen suara atau 35.689.073 pemilih, setara 153 kursi di DPR atau 154 kursi dengan stembus accord (penghitungan kursi dengan memperhitungan penggabungan sisa suara). Menurut perkiraan sedikitnya 20 juta konstituen di antara pemilih PDI-P adalah konstituen baru di luar konstituen tradisional PDI. Di sisi lain PDI Soerjadi yang saat itu dipimpin oleh Budi Hardjono hanya mampu meraih 345.720 pemilih atau sebesar 0,62 persen suara yang seara dua kursi di parlemen. Perolehan tersebut tiddak dapat memenuhi batas minimak electoral threshold.
Kemenangan yang diraih PDI-P menjadikan para partai pesaing melakukan berbagai manuver politik, seperti yang dilakukan oleh kelompok politisi partai-partai Islam yang tergabung dalam kelompok “poros tengah” yang dimotori oleh Amien Rais selaku Ketua Umum Partai Amanat Nasional. Mereka memunculkan nama Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai calon presiden mendatang. Pada Sidang Umum MPR berlangsung pada September 1999, polarisasi antar-kekuatan plitik makin mengeras. Melalui proses pemilihan yang dramatis akhirnya Gus Dur terpilih menjadi Presiden yang didampingi Megawati sebagai Wakil Presiden periode 1999-2004.
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Hari pertama kampanye pemilu 1999 di Ibu Kota Jakarta, Kamis (19/5/1999) meriah dengan pawai dari partai politik peserta pemilu. Panitia Pemilihan Daerah tingkat I (PPD I) DKI mengadakan karnaval kendaraan hias partai politik peserta pemilu untuk berpawai di lima wilayah Jakarta. Tampak simpatisan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan atribut bantengnya.
Artikel Terkait
Dinamika Internal
Megawati sangat berpengaruh pada dinamika perjalanan partai ini, sosoknya masih memiliki banyak pendukung setia dari kelompok Soekarnois, kharisma yang diturunkan dari ayahnya Presiden Soekarno sangat melekat dalam dirinya. Keteguhan dalam memperjuangkan tegaknya demokrasi memberikan warna tersendiri bagi PDI-P. Berani melawan penguasa dan menjajikan sebuah perubahan, banyak dukungan dari berbagai lapisan masyarakat untuk mewujudkan perubahan secara konstitusional dan memenangkan PDI-P dalam Pemilu 1999.
PDI-P yang terkenal sebagai partai pembela “wong cilik” dalam perjalanannya telah banyak tercemar oleh berbagai sepak terjang kadernya yang justru berlawanan. Para pimpinan partai menyadari bahwa tidak lah mudah terus-menerus mempertahankan citra partai yang dahulu berjuang sebagai partai yang ditindas oleh penguasa dan saat ini merupakan bagian penguasa kekuasaan tersebut. Sophan Sophiaan saat mengundurkan diri dari DPR akhir Januari 2002 mengatakan bahwa sulit mempertahankan citra partai yang dulu dimiliki PDI Perjuangan saat memenangkan Pemilu 1999.
Di dalam tubuh PDI-P terus mengalami berbagai konflik mulai dari tingkat daerah hingga tingkat pusat. Hal ini terus memperburuk citra PDI-P, dilihat dari berbagai jajak pendapat media massa terlihat citra PDI-P menyurut saat menjadi penguasa. Konflik internal di tingkat pusat misalnya, pertentangan antara Sekjen PDI-P Sutjipto dengan Haryanto Taslam. Kemudian di tingkat daerah terjadi berbagai keputusan recall atau pemecatan anggota DPRD yang dinilai membangkang juga dapat menimbulkan masalah baru yang berkepanjangan. Seperti gugatan 14 anggota DPRD Sumatera Selatan pada kasus pemilihan gubernur, lalu kejadian lain soal perkelahian dua anggota Fraksi PDI Perjuangan di tengah rapat intern Komisi D DPRD Jawa Timur, bahkan sempat menjadi berita.
Menurut Sophan Sophiaan penyakit yang paling parah dari kader PDI-P adalah muncul dan bercokolnya mentalitas “era kekuatan partai” (aji mumpung). Sebagian besar dari kader partai yang berhasil duduk di lembaga legislatif negara kerap kali lupa akan tugas utamanya sebagai bagian dari infrastruktur politik bangsa. Para kader tersebut lebih mengedepankan ambisi pribadi dalam menumpuk uang serta kekuasaan. Sophan juga menyatakan bahwa sudah pernah berusaha dalam menerapkan merit system, yakni penunjukan kader berdasarkan prestasi, wawasan serta kemampuan. Namun, Sophan tidak mampu dalam membendung adanya “klik”, pertemanan dan nepotisme yang masih menjadi kultur partai-partai saat itu.
Dimyati Hartono dan Eros Djarot yang merupakan tokoh PDI-P yang keluar dari partai ini karena perbedaan visi dalam membangun partai. Dimyati yang juga sebagai guru besar hukum Universitas Diponegoro Semarang kemudian mendirikan Partai Indonesia Tanah Air (PITA). Lalu Eros mendirikan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) pada 6 Juni 2002 yang kemudian berganti menjadi Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia. Menurut Dimyati fungsionaris PDI-P terdiri dari dua bagian besar, yaitu kelompok idealis dan kelompok non-idealis. Dalam kelompok idealis terdapat dua kelompok yang lebih kecil, yakni mereka yang mempunyai kesetiaan kepada figur dan kelompok yang kesetiaannya kepada cita-cita partai. Dalam kelompok non-idealis, terdapat tiga kategori, yaitu mereka yang masuk ke PDI-P hanya sekadar mencari selamat, golongan yang sekedar mencari keuntungan di partai, serta “kutu loncat”. Namun kelompok-kelompok tersebut sering tak sejalan bahkan anggota kelompok yang lebih kecil sering berbeda pendapat.
Megawati mengatakan bahwa kesulitan dalam mendapatkan kader yang berkualitas dalam sidang I Majelis Permusyawaratan Partai (MPP) PDI-P di Jakarta, pada 12 Januari 2001. Hal ini menjadikan disiplin organisasi belum berjalan seperti yang diharapkan, kewibawaan partai di mata anggota juga masih lemah. Berbagai isu serta kasus yang muncul saat Megawati menjabat sebagai presiden juga menjadi catatan yang ikut mempengaruhi citra PDI-P dan kesetiaan kader partai. Seperti dalam kontroversi pencalonan Sutiyoso disebut-sebut terlibat dalam Peristiwa 27 juli, sebagai calon Gubernur DKI 2002-2007 oleh PDI Perjuangan. Atau pertentangan antara DPP PDI-P dengan DPD Perjuangan dalam pencalonan gubernur di basis-basis massa PDI Perjuangan seperti Jawa Tengah dan Bali. Kemudian sorotan publik atas berlarutnya penanganan kasus korupsi “Buloggate” dan “Bruneigate”.
Kasus lainnya seperti kontroversi penjualan Indosat kepada investor asing oleh pemerintah. Sampai kasus munculnya kebijakan yang tidak populis, seperti kenaikan harga BBM serta listrik yang mengundang reaksi masyarakat luas. Kalangan arus bawah partai berharap Megawati bersama PDI-P serius dalam menuntaskan pengusutan kasus penyerbuan pada Peristiwa 27 Juli. Ketidakpuasan masyarakat terhadap Pemerintahan Megawati bersama Hamzah Haz selaku Wakil Presiden dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangun (PPP) serta masih lemahnya proses konsolidasi di dalam tubuh PDI-P berpengaruh terhadap perolehan suara dalam pemilu.
Pada Pemilu Legislatif 2004 terlihat menurunnya jumlah perolehan suara PDI-P. Pada pemilu sebelumnya mampu memperoleh suara 33,76 persen yang menempatkan PDI-P berada di posisi teratas. Namun, Pemilu 2004 berada di posisi kedua dengan perolehan suara sebesar 18,31 persen atau 20.710.006 suara pemilih setara 109 kursi DPR. PDI-P di bawah Partai Golkar yang mengantongi 24.480.757 suara atau 21,58 persen dan meraih 127 kursi di DPR.
Pada Pilpres 2004, pasangan Megawati dan Hasyim Muzadi gagal memenangkan pemilu. Dalam putaran kedua pasangan Susilo Bambang Yudhoyono bersama Jusuf Kalla memenangkan suara tertinggi dengan perbedaan angka yang cukup mencolok. Saat itu pasangan Megawati dan Muzadi hanya meraih 39,38 persen suara dan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla meraup 60,62 persen suara.
Artikel Terkait
Menjadi Partai Oposisi
Setelah kekalahan Pemilu 2004, Megawati selaku Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat PDI-P menegaskan sikap politik partainya untuk menjadi oposisi terhadap Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Megawati meminta para kadernya untuk melakukan konsolidasi untuk merebut kembali kemenangan dalam Pemilu 2009. Menjelang Kongres II PDI-P di Bali, dinamika terus bergerak. Terdapat dua kader partai yang selama ini akan menjadi calon ketua umum partai, yaitu Arifin Panigoro dan Sophan Sophiaan, keduanya mengundurkan diri dalam rangka memuluskan regenerasi kepemimpinan partai serta memberi jalanan kepada calon lainnya, seperti Guruh Soekarnoputra, Laksamana Sukardi, dan Kwik Kian Gie.
Megawati dalam pidatonya mengakui bahwa sejumlah kekurangan partainya sehingga PDI-P kalah di pemilu legislatif dan Pemilu Presiden 2004. Megawati mengatakan salah satu faktornya PDI-P adalah tidak konsisten melaksanakan amanat kongres di Semarang untuk membawa PDI-P sebagai partai modern yang memiliki roh kerakyatan, yakni belum mencapai fase sebagai partai modern yang ideal, namun secara bertahap justu kehilangan wataknya sebagai partai kerakyatan.
PDI-P aktif berbenah melakukan konsolidasi, kaderisasi, pembenahan organisasi, serta berjuang memenangkan kader-kadernya di daerah dalam pelaksanaan pemilu kepala daerah, baik ditingkat provinsi ataupun kabupaten/kotamadya. Rencana strategi ini cukup membuahkan hasil, yaitu dari tahun 2005 sampai pertengahan tahun 2010 dari 92 pemilihan umum kepada daerah yang diikuti calon dari PDI-P, calon yang diusung PDI-P meraih suara terbanyak di 43 pilkada. Sebanyak 24 pilkada di antaranya dimenangi oleh kader PDI-P.
Namun, upaya pembenahan didalam tubuh PDI-P tidak berjalan mulus. Peran PDI-P sebagai partai oposisi belum optimal. Konflik internal dan kurang disiplinnya para kader partai masih terus terjadi. Berdasarkan penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi atas kasus aliran dana Bank Indonesia ke DPR, Agus Condro Prayitno selaku anggota DPR dari Fraksi PDI-P mengaku mendapat uang Rp 500 juta seusai pemilihan deputi gubernur senior BI, yang memilih Miranda Gultom. Kasus korupsi aliran dana BI yang terus diberitakan media akhirnya mengungkap keterlibatan tokoh elite PDI-P, seperti Dudhie Makmun Murod, Emir Moeis, serta Panda Nababan. Terdapat pula kader PDI-P yang lain, yakni Max Moein yang menjadi sorotan publik terkait terjerat kasus suap pemilihan deputi senior BI dan di recall PDI-P karena pelanggaran kode etik DPR terkait perbuatan asusila. Hal tersebut makin mempersulit dalam mengembalikan kepercayaan rakyat kepada partai ini serta memenangkan Pemilu 2009.
Pada Pemilu 2009, terdapat 38 partai nasional dan enam partai politik lokal di Aceh berebut suara pemilih. PDI-P harus menerima kenyataan berada di posisi ketiga yang berada dibawah Partai Demokrat dan Partai Golkar. Pada hasil Pemilu 2009 mengalami penurunan yang sangat signifikan yaitu memperoleh 14,01 persen suara atau setara 14.576.388 suara. Jumlah kursi di parlemen berkurang menjadi 94 kursi. Pada Pilpres 2009, pasangan Megawati Soekarnoputri dengan Prabowo Subianto hanya memperoleh 26,79 persen suara yang setara dengan 32.548.105 suara. Sementara pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Boediono mencapai 60,80 persen suara yang setara dengan 121.504.481 suara.
Keterpurukan yang dialami oleh PDI-P menimbulkan perbedaan pandangan apakah partai ini akan melanjutkan oposisi atau sebaliknya berkoalisi dengan Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Namun Megawati cenderung tetap melanjutkan posisi sebagai oposisi, di sisi lain Taufiq Kiemas berserta sejumlah elite partainya cenderung mendorong untuk berkoalisi. Megawati tentu tidak mudah dalam mengambil keputusan. Godaan berkoalisi juga pernah datang pada tahun 2006 pada saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan pergantian menteri atau reshuffle kabinet.
Pada awal Mei 2009, Hatta Rajasa selaku tokoh Partai Amanat Nasional (PAN) berkunjung ke kediaman Megawati. Menurut Achmad Mubarok selaku Ketua Umum DPP Partai Demokrat, maksud kunjungan Hatta Rajasa yang saat itu menjadi Menteri Sekretaris Negara, terkait keinginan SBY untuk menyatukan semua pihak yang diyakini memiliki tujuan mulia yang sama, yang saat itu tercerai-berai. Hal tersebut dikarenakan sejak awal Partai Demokrat ingin koalisi yang besar diatas 50 persen untuk efektivitas pemerintahan.
PDI-P berusaha meyakinkan kepada anggotanya bahwa beroposisi sama terhormatnya dengan menduduki pemerintahan. Oposisi yang dibangun oleh PDI-P menurut Sutradara Gintings bukanlah sikap asal beda atau like and dislike kepada pemerintah. Prinsip oposisi PDI-P adalah keberpihakan kepada rakyat. Secara konseptual prinsip-prinsip oposisi dituangkan dalam Format Oposisi Yang Diilaksanakan PDI-P 2005-2009, berdasarkan pada Keputusan Kongres II PDI-P No.11/2005 tentang sikap dan kebijakan partai politik, khususnya yang menyatakan bahwa PDI-P menjadi partai oposisi pada periode 2005-2009.
Praktik politik di Indonesia, memilih menjadi partai oposisi bukanlah pilihan yang populer karena selama ini oposisi tidak mempunyai tempat yang layak dan terhormat. Hal ini menjadi salah arti bahwa oposisi dianggap sebagai pengganggu dan perongrong pemerintah yang sah atau sikap tak bisa menerima kekalahan. PDI-P ingin meluruskan pandangan buruk mengenai oposisi dalam kehidupan berdemokrasi dan pendidikan politik yang sehat. Oposisi dilakukan berdasarkan Pancasila yang dijabarkan menjadi ideologi kerja dalam menyikapi kinerja pemerintah dan berpihak kepada “wong cilik” atau untuk kesejahteraan rakyat.
Megawati dalam pidato pembukaan Kongres III PDI-P di Bali tanggal 6-9 April 2010 mengatakan dengan tegas bahwa PDI Perjuangan tak akan tergiur untuk berkoalisi dengan kekuasaan. Ideologis yang berbeda antara PDI-P dan partai-partai koalisi dalam pemerintahan sering kali tampak jelas terlihat pada saat terjadinya perbedaan cara pandang di parlemen dalam membahas berbagai kasus atau kebijakan. Seperti misalnya terlihat dalam pembahasan kasus Blok Cepu dan kebijakan kenaikan harga BBM. PDI-P melihat dua kasus tersebut dalam perspektif nasionalis-kerakyatan, berhadapan dengan pemerintah yang memandangnya dari perspektif internasional-liberal.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Tamu undangan (dari kiri), Ketua Umum Partai Hanura Wiranto, Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto, dan Ketua Nasional Demokrat Surya Paloh bergantian menyalami Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri dan Sekretaris Jenderal PDI-P Pramono Anung saat pembukaan Kongres III PDI-P di Hotel Inna Bali Beach, Sanur, Bali, Selasa (6/4/2010)
Fenomena Jokowi
Menjelang Pemilu 2014, PDI-P mengalami peningkatan elektabilitas dan diprediksi mampu mengambil simpati rakyat melalui peran sebagai kekuatan politik penyeimbang di luar pemerintah. Terdapat prestasi kader partai ini yang sangat menonjol yakni Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi dan sedang menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sebelumnya Jokowi merupakan Walikota Solo dengan program-program pembangunan yang memihak wong cilik dan mendorong ekonomi rakyat.
Sosoknya yang sederhana dengan gaya kepemimpinannya yang melayani dan selalu terjun langsung ke masyarakat memperoleh perhatian masyarakat dan media massa. Nama Jokowi makin melambung dan di gadang-gadang sebagai calon pemimpin bangsa di masa mendatang. Nama Jokowi pada akhirnya diusung oleh PDI Perjuangan dan Partai Gerindra untuk dicalonkan dalam pemilihan kepada daerah DKI Jakarta. Jokowi berpasangan dengan Basuki Tjahja Purnama atau akrab disapa Ahok dari Partai Gerindra sebagai calon Wakil Gubernur DKI Jakarta. Keduanya kemudian menjadi pemenang dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta.
Jokowi bersama Ahok banyak melakukan gebrakan dalam melakukan pembenahan di ibu kota Jakarta yang menjadi sorotan publik. Sering kali media massa menyoroti kegiatan mereka dengan gaya kepemimpinannya yang berbeda dengan gubernur sebelumnya. Sikapnya yang tegas dan berani dalam memberikan sanksi kepada aparat birokrasi yang berkinerja buruk dan membela atau mempromosikan staf pemerintah daerah yang berprestasi. Mereka tidak senang menunda-nunda masalah, dan mendorong jajaran di bawahnya untuk segera mengatasi tiap masalah yang ada di masyarakat.
Program pembangunan Jokowi-Ahok banyak dinilai berpihak pada wong cilik, teruma terkait dengan pelayanan kesehatan dan pendidikan. Sejak masa kampanye mereka mempromosikan program Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar (KJP) untuk warga miskin di Jakarta. Selain melakukan program pembangunan dengan pendekatan lingkungan dan budaya, mereka juga mengadakan berbagai festival atau kegiatan seni budaya yang dapat dinikmati warga masyarakat secara gratis.
Pada politik nasional nama Jokowi melambung dalam sekejap dan disebut sebagai calon Presiden Republik Indonesia yang diharapkan akan memberikan perubahan. Dukungan yang didapat bukan hanya dari warga PDI-P akan tetapi mendapatdukungan dari dari anggota partai lain dan juga warga masyarakat umum. Berdasarkan hasil survei yang digelar berbagai lembaga riset terkait popularitas dan elektiabilitas para tokoh yang berpotensi sebagai calon presiden mayoritas menempatkan nama Jokowi berada di urutan pertama. Elektabilitas PDI-P memiliki kecenderungan yang sama walaupun tidak sebesar kenaikan elektabilitas Jokowi.
Dibalik naiknya pendukung Jokowi sebagai calon Presiden RI, terjadi konflik eksternal dan internal yang dapat menghambat proses pencalonan. Masalah eksternal yakni calon Presiden dari partai lain yang tidak menghendaki Jokowi untuk bertarung tidak akan tinggal diam. Sementara itu, jika Jokowi tetap maju, diprediksikan tidak akan ada kompetisi yang berarti dengan capres-capres lain. Kemudian masalah internal PDI-P adalah adanya tiga kelompok yang berbeda pendapat. Kelompok yang dianggap konservatif tetap menginginkan Megawati untuk maju berpasangan dengan Jokowi. Kelompok lain menginginkan Jokowi berpasangan dengan Puan Maharani, Ketua Fraksi PDI-P di DPR. Kelompok lain menginginkan Jokowi dipasangkan dengan calon dari partai lain.
Ketua Umum Megawati merahasiakan nama kader partai banteng moncong putih yang akan diajukannya. Meskipun demikian, Megawati kerap memberikan sinyal-sinyal yang menjadi buah bibir di masyarakat. Seringnya pertemuan Jokowi di kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar dan hadir dalam Rakernas (Rapat Kerja Nasional) PDI-P 6 September 2013 yang lalu Jokowi dipilih oleh Megawati membacakan naskah “Dedication of Life” yang merupakan surat yang dibuat Soekarno pada 10 September 1966 yang menggambarkan pentingnya pengabdian kepada rakyat dan negara.
Megawati kemudian berkomentar bahwa Jokowi mendapat getaran Bung Karno. Dalam pidatonya ia menyebutkan kata ‘regenerasi’ atau menyebut nama Jokowi. Pada Rakernas, dalam pidatonya juga secara tersirat dukungan ditujukan kepada Jokowi, dengan mengatakan kriteria capres yakni orang Jawa dan pernah menjadi kepala daerah. Isyarat politik juga muncul ke publik saat tiba-tiba Jokowi bersama Megawati berziarah ke makam Bung Karno di Blitar pada Rabu (12/03/2014).
Megawati akhirnya secara resmi mengumumkan bahwa Joko Widodo sebagai calon presiden 2014. Dua bulan setelahnya, PDI-P, Partai Nasdem, serta Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) secara resmi berkoalisi dan sepakat untuk mengusung Jokowi sebagai calon presiden. Pencalon Jokowi mendapat simpati besar dari banyak kalangan yang kemudian menjadi relawan dalam memenangkan Jokowi sebagai presiden bersama dengan Jusuf Kalla sebagai wakil presiden.
Dalam Pemilu Legislatif 2014, PDIP menempati posisi teratas dengan perolehan 23.681.471 suara atau 18,95 persen dan meraih 109 kursi di DPR. Pasangan Jokowi-Jusuf Kalla yang diusung partai PDI-P, PKB, Partai NasDem, Partai Hanura, dan PKP Indonesia memenangkan Pilpres 2014 unggul atas pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Lima tahun kemudian dalam Pemilu Legislatif 2019, PDIP kembali di peringkat pertama perolehan suara dengan meraih 27.053.961 suara atau 19,33 persen. Dari hasil itu PDIP menempatkan 128 wakil rakyat di DPR.
Dalam Pemilihan Presiden 2019, koalisi partai yang terdiri: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Nasional Demokrat (NasDem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), dan Partai Bulan Bintang (PBB) mencalonkan Joko Widodo berpasangan dengan Ma’ruf Amin sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2019. Pasangan ini terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2019-2024 unggul dari pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga S Uno.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Perwakilan sembilan Partai Koalisi Pendukung Calon Presiden Joko Widodo berkunjung ke Kantor Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, Jakarta, Selasa (7/8/2018). Kunjungan perwakilan partai koalisi ini untuk konsultasi dengan komisioner KPU untuk mengetahui aspek-aspek teknis dan administrasi pendaftaran capres dan cawapres. Perwakilan sembilan Partai Koalisi ini antara lain (dari kiri ke kanan) Sekjen PSI Raja Juli Antoni, Sekjen Perindo Ahmad Rofiq, Sekjen PKB Abdul Kadir Karding, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Sekjen Golkar Lodewijk Freidrich, Sekjen Partai Nasdem Johnny G. Plate, Sekjen PPP Arsul Sani, Sekjen Hanura Herry Lontung, dan Wakil Sekjen PKPI Imam Anshor.
Penguasaan dan Basis Massa Partai
Basis suara terbesar pendudukung PDI-P sejak Pemilu 1999 hingga Pemilu 2014 berada di Pulau Jawa, khususnya di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, D.I. Yogyakarta, dan sebagian Jawa Barat di bagian utara dan DKI Jakarta. Perolehan suara PDI-P di sebagian besar provinsi yang berada di Jawa memberikan kontribusi signifikan terhadap hasil perolehan suara secara nasional. Pada wilayah Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, dan Bangka-Belitung yakni daerah di luar Jawa yang menjadi daerah loyalitas PDI-P. Dari pemilu ke pemilu setelah era Orde Baru di tiap daerah tersebut partai ini selalu mampu menguasai mayoritas suara pemilih. Adanya penurun perolehan suara pada saat Pemilu 2004 dan 2009 yang berada dibawah Partai Demokrat.
Pada Pemilu Legislatif 2014 PDI-P kembali memenangkan pemilu dengan perolehan suara 18,95 persen yaitu setara dengan 23.681.471 suara setelah sepuluh tahun menjadi oposisi. PDI-P unggul di 16 provinsi dengan kemenangan telak di daerah basis pendukung tradisional. Angk tersebut sebenarnya masih jauh dari target partai ini yakni 27,02 persen atau 152 kursi di parlemen meskipun saat Pileg 2014 mencalonkan Gubernur DKI Jakarta saat itu Joko Widodo sebagai calon Presiden dalam Pilpres 2014.
Jokowi sangat populer selaku kader PDI-P dikalangan masyarakat dengan gaya kepemimpinannya yang merakyat atau populis. PDI-P berkoalisi dengan Partai Nasdem, PKB, dan Hanura untuk menghimpun kekuatan politik. Joko Widodo dan Jusuf Kalla berhasil memenangkan Pilpres 2014 dengan dukungan para relawan yang luas koalisi.
Hasil survei Litbang Kompas terhadap para pemilih PDI-P memperlihatkan adanya perubahan karakteristik pemilih PDI-P berdasarkan aspek wilayah tempat tinggal mereka. Pada Pemilu 2009, mayoritas pendukung PDI-P tinggal di pedesaan di Jawa. Namun, pengaruh PDI-P perjuangan kini mulai merambah ke daerah perkotaan di Jawa dan luar Jawa. Pada Pemilu 2014, karakteristik pemilih PDI Perjuangan menjadi proposional di pedesaan dan perkotaan.
Berdasarkan karakteristik demografi pemilih PDI Perjuangan tidak banyak brubah sampai Pemilu 2014, yakni mayoritas pemilih PDI-P adalah laki-laki. Jika dari segi usia, pemilih PDI-P di dua pemilu terakhir tersebar cukup merata di berbagai kelompok usia. Akan tetap ada gejala penurunan pemilih usia 17-50 tahun dan peningkatan pemilih usia 50 tahun ke atas. Sebagai partai nasionalis PDI-P juga menjadi “rumah” bagi dukungan pemilih non-muslim.
Pada karakteristik sosial ekonomi pemilih PDI-P. Massa pendukung partai “wong cilik” ini di dominasi oleh pemilih dengan tingkat pendidikan rendah dan kelas ekonomi bawah. Namun, pada Pemilu 2014 mulai terjadi peningktan jumlah pemilih PDI-P yang berpendidikan menengah. Walaupun besaran masih kecil jumlah pemilih yang berpendidikan tinggi terus bertambah. Adapun dari segi pekerjaan, pemilih PDI-P yang paling besar adalah kalangan wirausaha. Pada Pemilu 2014, PDI-P juga memperoleh peningkatan dukungan dari pemilih yang berporfesi sebagai pegawai swasta.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Djarot Saiful Hidayat, Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto, Ketua DPP PDIP Andreas Hugo Pareira dan Wakil Sekjen DPP PDIP Eriko Sotarduga (kiri ke kanan) bersiap memberikan keterangan dalam konferensi pers menjelang pelaksanaan Kongres ke V PDIP di Kantor Pusat DPP PDIP, Jakarta, Kamis (1/8/2019).
Menuju Pemilu 2024
Dinamika politik di internal partai berlambang banteng bermoncong putih ini terkait Pemilihan Presiden 2024 mulai menghangat meski pemilu masih tiga tahun lagi dan berbagai kemungkinan masih mungkin terjadi. Nuansa kontestasi ini terlihat dengan tidak diundangnya Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah yang juga kader PDI Perjuangan, pada pembukaan Pameran Foto Esai Marhaen dan Foto Bangunan Cagar Budaya di Kantor Dewan Pimpinan Daerah PDI-P Jateng di Kota Semarang, Sabtu (22/5/2021). Padahal, semua bupati/ wali kota di Jateng yang berasal dari PDI-P hadir dalam acara yang juga dihadiri Ketua DPP PDI-P Puan Maharani.
Saat dikonfirmasi, Ganjar membenarkan bahwa dirinya tak diundang. ”Iya (tidak diundang),” kata Ganjar melalui pesan singkat, Minggu (23/5/2021). Ketua DPP PDI-P Bidang Pemenangan Pemilu sekaligus Ketua DPD PDI-P Jateng, Bambang Wuryanto mengatakan bahwa semua kepala daerah di Jateng dari PDI-P diundang, kecuali gubernur. ”Tidak diundang! (Ganjar) Wis kemajon (kelewatan). Yen kowe pinter, ojo keminter (meskipun pintar, jangan sok pintar),” kata Bambang seusai acara.
DPD PDI-P Jateng menganggap sikap Ganjar selama ini menunjukkan bahwa ia terlalu berambisi dengan jabatan presiden. Padahal, sampai saat ini, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri belum memberikan instruksi apa pun terkait pilpres. Selain itu, menurut Bambang, kader PDI-P harus tegak lurus pada perintah ketua umum. menurut Bambang, tak baik bagi keharmonisan partai. Ia juga mengingatkan bahwa tingginya elektabilitas Ganjar saat ini hanya terdongkrak dari pemberitaan media dan media sosial. Derajat keterpilihan saat ini pun belum bisa dijadikan patokan keberhasilan dalam pilpres. (Kompas, 24 Mei, 2021, Kontestasi Internal PDI-P Menghangat)
Pada Pilpres 2024, sejumlah parpol dan pengamat politik memperkirakan akan ada tiga poros koalisi. Meskipun secara hitungan, bisa ada empat koalisi jika mempertimbangkan persyaratan pencalonan presiden, yakni 20 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau 25 persen suara sah hasil pemilihan legislatif terakhir, yakni Pemilu 2019. Dengan catatan PDI Perjuangan tidak mencalonkan kandidatnya sendiri dan memilih membangun koalisi. Dari hasil Pemilu 2019, hanya PDI-P yang dari sisi perolehan kursi memenuhi syarat mengusulkan kandidat sendirian. PDI-P memiliki 128 kursi dari 575 kursi DPR (22,2 persen).
Effendi Simbolon politisi PDI-P mengakui, pertemuan antara Megawati dan Prabowo menyiratkan kedekatan keduanya. Akan tetapi politik jelang pilpres masih sangat dinamis. Megawati sebagai pemegang hak prerogatif nantinya akan menentukan partai mana yang akan diajak membentuk koalisi. Para kader akan selalu patuh terhadap keputusan tersebut.
Menurutnya, PDI-P tak punya pilihan lain selain mencalonkan kader sendiri di Pilpres 2024. Pencalonan kader sendiri diyakini memunculkan ”efek ekor jas” yang bisa mendongkrak perolehan suara di pemilu legislatif. Kader yang akan diajukan diharapkan merupakan kader genuine yang lahir dari PDI-P, dalam hal ini ia menyebut Ketua DPR Puan Maharani.
Terkini Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, pada 21 September 2021, menyampaikan arahan baru yakni menerbitkan larangan bagi kader mengikuti dinamika yang berkaitan dengan Pemilu Presiden 2024. Kali ini, kader dilarang mengikuti acara deklarasi calon presiden karena belum ada keputusan resmi dari partai. Larangan itu ditengarai dikeluarkan untuk mencegah konflik di tubuh PDI-P. Hasto juga menegaskab bahwa jika ada anggota partai yang tidak memiliki disiplin, dan ikut-ikutan dalam deklarasi calon presiden sebelum partai menetapkan, partai akan menegakkan disiplin dengan memberi sanksi organisasi. (Kompas, 22 September, 2021, PDI-P Terus Cegah Konflik Internal)
Hal ini untuk menghindari kembali konflik internal karena beberapa pekan terakhir, sejumlah kelompok sukarelawan mendeklarasikan dukungan kepada kader PDI-P yang juga Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk maju pada Pilpres 2024. Di sisi lain, sukarelawan pendukung Ketua DPR Puan Maharani juga mulai muncul. Hasto menegaskan, saat ini, tahapan Pemilu 2024 masih dirancang. Bukan hanya dari sisi anggaran, melainkan juga jadwal setiap tahapan pemilu belum diputuskan. Maka itu, seluruh anggota PDI-P diminta bersabar, terutama terkait dengan capres-cawapres. Apalagi Kongres V 2019 di Bali telah memberikan mandat kepada Ketua Umum Megawati Soekarnoputri untuk menetapkan capres-cawapres.
Larangan tersebut tidak hanya diarahkan kepada Ganjar, namun juga kepada Puan dan sukarelawan pendukung keduanya. Belajar dari sejarah di masa lalu, PDI-P merasa perlu mengeluarkan larangan karena tak ingin parpol dirugikan dan terjadi perpecahan.
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Para calon kepala daerah dari PDI Perjuangan mengikuti Sekolah Partai Calon Kepala Daerah di Kantor DPP PDI Perjuangan, Jakarta, Minggu (28/6/2015). Sekolah partai tersebut untuk mempersiapkan calon-calon kepala daerah dalam mengikuti Pilkada serentak.
Visi dan Misi
Visi
Berdasarkan amanat pasal 6 Anggaran Dasar Partai PDI Perjuangan adalah :
Partai adalah:
- Alat perjuangan guna membentuk dan membangun karakter bangsa berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945
- Alat perjuangan untuk melahirkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ber-Ketuhanan, memiliki semangat sosio nasionalisme, dan sosio demokrasi (Tri Sila)
- Alat perjuangan untuk menentang segala bentuk individualisme dan untuk menghidupkan jiwa dan semangat gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Eka Sila)
- Wadah komunikasi politik, mengembangkan dan memperkuat partisipasi politik warga negara
- Wadah untuk membentuk kader bangsa yang berjiwa pelopor, dan memiliki pemahaman, kemampuan menjabarkan dan melaksanakan ajaran Bung Karno dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
Misi
Misi PDI Perjuangan adalah muatan hidup yang diemban oleh partai, sekaligus menjadi dasar pemikiran atas keberlangsungan eksistensi Partai, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 7,8, 9 dan 10 Anggaran Dasar Partai, yaitu :
Pasal 7 Partai mempunyai tujuan umum:
- mewujudkan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam bentuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika
- berjuang mewujudkan Indonesia sejahtera berkeadilan sosial yang berdaulat di bidang politik, berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi, dan Indonesia yang berkepribadian dalam kebudayaan.
Pasal 8 Partai mempunyai tujuan khusus:
- Membangun gerakan politik yang bersumber pada kekuatan rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan berkeadilan sosial
- Membangun semangat, mengkonsolidasi kemauan, mengorganisir tindakan dan kekuatan rakyat, mendidik dan menuntun rakyat untuk membangun kesadaran politik dan mengolah semua tenaga rakyat dalam satu gerakan politik untuk mencapai kemerdekaan politik dan ekonomi
- Memperjuangkan hak rakyat atas politik, ekonomi, sosial dan budaya, terutama demi pemenuhan kebutuhan absolut rakyat, yaitu kebutuhan material berupa sandang, pangan, papan dan kebutuhan spiritual berupa kebudayaan, pendidikan dan kesehatan
- Berjuang mendapatkan kekuasaan politik secara konstitusional sebagai alat untuk mewujudkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu mewujudkan pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial
- Menggalang solidaritas dan membangun kerjasama internasional berdasarkan spirit Dasa Sila Bandung dalam upaya mewujudkan cita-cita Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945
Pasal 9 Partai mempunyai fungsi:
- Mendidik dan mencerdaskan rakyat agar bertanggung jawab menggunakan hak dan kewajibannya sebagai warga negara
- Melakukan rekrutmen anggota dan kader partai untuk ditugaskan dalam struktural partai, lembagalembaga politik dan lembaga-lembaga publik
- Membentuk kader partai yang berjiwa pelopor, dan memiliki pemahaman, kemampuan menjabarkan dan melaksanakan ajaran bung karno dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
- Menghimpun, merumuskan, dan memperjuangkan aspirasi rakyat menjadi kebijakan pemerintahan negara
- Menghimpun, membangun dan menggerakkan kekuatan rakyat guna membangun dan mencapai cita-cita masyarakat pancasila
- Membangun komunikasi politik berlandaskan hakekat dasar kehidupan berpolitik, serta membangun partisipasi politik warga negara.
Pasal 10 Partai mempunyai tugas:
- Mempertahankan dan mewujudkan cita-cita negara Proklamasi 17 Agustus 1945 di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
- Mempertahankan, menyebarluaskan dan melaksanakan Pancasila sebagai dasar, pandangan hidup, tujuan berbangsa dan bernegara
- Menjabarkan, menyebarluaskan dan membumikan ajaran Bung Karno dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
- Menghimpun dan memperjuangkan aspirasi rakyat berdasarkan ideologi Pancasila 1 Juni 1945 dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, serta jalan TRISAKTI sebagai pedoman strategi dan tujuan kebijakan politik Partai
- Memperjuangkan kebijakan politik Partai menjadi kebijakan politik penyelenggaraan Negara
- Mempersiapkan kader Partai sebagai petugas Partai dalam jabatan politik dan jabatan publik
- Mempengaruhi dan mengawasi jalannya penyelenggaraan negara agar senantiasa berdasarkan pada ideologi Pancasila 1 Juni 1945 dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, serta jalan TRISAKTI sebagai pedoman strategi dan tujuan kebijakan politik Partai demi terwujudnya pemerintahan yang kuat, efektif, bersih dan berwibawa
- Sebagai poros kekuatan politik nasional wajib berperan aktif dalam menghidupkan spirit Dasa Sila Bandung untuk membangun konsolidasi dan solidaritas antar bangsa sebagai bentuk perlawanan terhadap liberalisme dan individualisme.
Sumber: Kanal Youtube Harian Kompas, Kudatuli, Sebuah Catatan Kelam Demokrasi, 29 Juli 2020.
Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI Perjuangan 2019-2024
- Ketua Umum: Megawati Soekarnoputri
- Sekretaris Jenderal: Hasto Kristiyanto
- Wakil Sekjen Bidang Internal: Utut Adianto
- Wakil Sekjen Bidang Program Kerakyatan: Sadarestuwati
- Wakil Sekjen Bidang Program Pemerintahan: Arief Wibowo
- Bendahara Umum: Olly Dondo Kambey
- Wakil Bendahara Umum Bidang Internal: Rudiyanto Tjen
- Bidang Ekonomi Kreatif dan Ekonomi Digital: Prananda Prabowo
- Bidang Pemuda dan Olahraga: Eriko Sutardua
- Bidang Politik dan Keamanan: Puan Maharani
- Bidang Keanggotaan dan Organisasi: Sukur Nababan
- Bidang Ideologi dan Kaderisasi: Djarot Saiful Hidayat
- Bidang Pemenangan Pemilu: Bambang Wuryanto
- Bidang Kehormatan Partai: Komarudin Watubun
- Bidang Hukum HAM dan Perundang-undangan: Yasonna Laoly
- Bidang Perekonomian: Said Abdullah
- Bidang Kehutanan dan Lingkungan Hidup: I Made Urip
- Bidang Kemaritiman: Rokhmin Dahuri
- Bidang Luar Negeri: Ahmad Basarah
- Bidang Sosial dan Penanggulangan Bencana: Ribka Tjiptaning
- Bidang Industri, Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial: Nusirwan Sujono
- Bidang Kesehatan dan Anak: Sri Rahayu
- Bidang Koperasi dan UMKM: Mindo Sianipar
- Bidang Pariwisata: Wiranti Sukamdani
- Bidang Keagamaan dan Kepercayaan kepada Tuhan YME: Hamka Haq
- Bidang Kebudayaan: Tri Rismaharini
Sumber: Kanal Youtube Harian Kompas, Megawati Versus Suryadi di “Kandang Banteng”, 9 Maret 2021
Sikap Politik PDI Perjuangan
Pada Kongres ke V PDIP pada 2019 di Bali, PDI Perjuangan menegaskan Sikap Umum yang merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari Sikap Umum pada Kongres IV, sebagai berikut:
- PDI Perjuangan menegaskan akan terus solid bergerak bersama rakyat memastikan, mengarahkan, mengawal dan mengamankan kebijakan-kebijakan politik dan program-program kerja yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat yang telah terpilih untuk ke dua kalinya agar tetap mengandung satu muatan, satu arah, serta satu haluan ideologi, Pancasila 1 Juni 1945, berpijak pada konstitusi UUD NRI Tahun 1945 dan memilih jalan Trisakti yang terwujud secara nyata menjiwai Pembangunan Nasional Semesta Berencana.
- PDI Perjuangan solid bergerak bersama rakyat menegaskan jalan Trisakti sebagai satu-satunya pilihan untuk mewujudkan kedaulatan di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.
- PDI Perjuangan solid bergerak bersama rakyat terus mengobarkan jiwa bangsa yang bermartabat, bergotong royong dan berkeadilan sosial, serta mewujudkan kehidupan politik yang menjamin kedaulatan politik Rakyat.
- PDI Perjuangan solid bergerak bersama rakyat secara serius mencermati ancaman konflik dan perpecahan bangsa yang dipicu oleh gerakan radikalisme, terorisme, penyeragaman tafsir dan klaim kebenaran tunggal serta pemaksaan kehendak oleh segelintir kelompok masyarakat yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. PDI Perjuangan mendesak Pemerintah untuk segera melakukan langkah-langkah konstitusional secara terencana, terukur dan sistematis untuk menyelamatkan kehidupan berbangsa dan bernegara demi mempertahankan NKRI di atas pondasi Pancasila, UUD NRI Tahun 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika.
- PDI Perjuangan solid bergerak Bersama Rakyat mewujudkan berdikari dalam bidang ekonomi dan keberpihakannya pada Rakyat Marhaen sebagai kekuatan produksi nasional yang menopang berjalannya sistem ekonomi kerakyatan, yaitu sistem ekonomi gotong-royong yang berlandaskan ideologi Pancasila guna melakukan koreksi terhadap berjalannya sistem ekonomi neo-liberal.
- PDI Perjuangan solid bergerak bersama Rakyat untuk mewujudkan kepribadian dalam kebudayaan nasional melalui jalan machtvorming kebudayaan yang aktif dalam upaya pemajuan kebudayaan.
- PDI Perjuangan solid bergerak bersama Rakyat melawan kemiskinan dan ketimpangan struktural dan mencegah berbagai bentuk penghisapan guna melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, serta menjamin terpenuhinya hak dasar warga negara Indonesia.
- PDI Perjuangan solid bergerak bersama Rakyat membangun manusia Indonesia unggul, produktif, berdaya saing dan mandiri, yang berkepribadian dalam kebudayaan Indonesia.
(LITBANG KOMPAS)
Referensi
Litbang Kompas. 2004. Partai-partai Politik Indonesia, Ideologi dan Program 2004-2009. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Litbang Kompas. 1999. Partai-partai Politik Indonesia, Ideologi, Strategi dan Program. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Litbang Kompas. 2004. Peta Politik Pemilihan Umum 1999-2004. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Litbang Kompas. 2016. Partai Politik Indonesia 1999-2019, Jakarta : Penerbit Buku Kompas
Pusat Informasi Kompas, pemberitaan Kompas mengenai PDI Perjuangan 1973-2021.
Informasi dan Dokumen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam laman https://pdiperjuangan.id/
Informasi dan Dokumen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam laman https://pdiperjuangan.id/
Dokumen kepartaian dalam laman resmi www.kpu.go.id