Lembaga

Kementerian Luar Negeri

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia merupakan kementerian yang mempunyai tugas untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hubungan luar negeri.

Fakta Singkat

Dibentuk

19 Agustus 1945

Menteri Kementerian Luar Negeri pertama

Ahmad Soebardjo (2 September 1945 – 14 November 1945)

Menteri Kementerian Luar Negeri

Retno Lestari Priansari Marsudi (2019 – sekarang)

Dasar Hukum

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2015

Anggaran

Rp7,8 triliun (semula Rp8,6 triliun) berdasarkan Perpres 54/2020 tentang Perubahan Postur APBN 2020

Peran Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia menjadi sangat penting bagi Indonesia terutama dalam menghadapi isu global dan regional. Kerja sama dan diplomasi dengan negara-negara lain menjadi mutlak dilakukan untuk menghadapi beragam persoalan seperti isu terorisme global, kedaulatan wilayah dan munculnya pandemi penyakit.

Pemerintahan Indonesia saat ini sedang melakukan kerja sama dengan negara-negara lain terkait penanganan pandemi Covid-19. Salah satu kerja sama yakni dengan Amerika Serikat (AS). Negeri Paman Sam tersebut memberi bantuan 100 unit ventilator ke pada tanggal  28 Juli. Kerja sama bilateral RI dan AS memperkuat hubungan strategis di berbagai sektor.

Selain bilateral, kerja sama dan diplomasi Republik Indonesia juga dilakukan dengan banyak negara terutama kerja sama dengan anggota organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN).

Kementerian Luar Negeri RI merupakan salah satu dari tiga kementerian (bersama Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pertahanan) yang disebutkan secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat diubah atau dibubarkan oleh presiden.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Muhammad Farhan dipeluk erat keluarganya saat diserahkan dari Kementrian Luar Negeri ke keluarganya di Kantor Kementrian Luar Negeri, Jakarta, Kamis (23/1/2020). Farhan merupakan satu dari tiga warga negara Indonesia yang berhasil dibebaskan dari kelompok teroris Abu Sayyaf di Filipina.

Sejarah

KOMPAS/Muhammad Ikhsan Mahar

Pejalan kaki, Rabu (29/3), melintas di depan Gedung Pancasila, kompleks Kementerian Luar Negeri, Jakarta. Gedung tersebut menjadi saksi perumusan dasar negara, Pancasila, pada sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 28 Mei 1945–16 Juli 1945.

Masa kemerdekaan

Kementerian Luar Negeri dibentuk pada tanggal 19 Agustus 1945 merupakan salah satu lembaga kementerian pada kabinet pertama Republik Indonesia (Kabinet Presidensial). Ahmad Soebardjo merupakan Menteri Luar Negeri pertama (2 September 1945–14 November 1945). Kementerian Luar Negeri sempat mengalami perubahan menjadi “departemen” yang kemudian kembali berganti menjadi Kementerian yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2008.

Masa awal kemerdekaan (1945–1950) merupakan fase pembentukan karakter identitas politik luar negeri Indonesia. Pada April 1946, pemerintah Indonesia mengirimkan misi diplomatik untuk bertemu pemerintah Belanda. Tujuan misi diplomatik tersebut untuk berunding dengan Belanda.

Diplomasi dan kerja sama yang dilakukan pemerintah tidak hanya dalam urusan kedaulatan negara. Pada Agustus 1946, pemerintah memberikan bantuan beras dari Indonesia kepada rakyat India yang pada saat itu sedang dilanda kelaparan. Selanjutnya dibalas oleh India dengan mengirimkan obat-obatan, pakaian, dan beberapa teknologi mesin industri yang dibutuhkan Indonesia.

Memasuki tahun 1947, pemerintah mengembangkan diplomasi dan memiliki Kantor Urusan Indonesia yang didirikan di Singapura, Bangkok dan New Delhi sebagai perwakilan resmi Pemerintah, sekaligus menembus blokade ekonomi Belanda terhadap Indonesia.

Pada tanggal 27 Desember 1949, perwakilan Kerajaan Belanda menyerahkan kekuasaan formal kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) di Jakarta. Indonesia diwakili oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang menjadi Perdana Menteri RIS saat itu. Amerika Serikat menjadi negara pertama yang membuka perwakilan diplomatik di Jakarta sejak penyerahan kedaulatan Belanda kepada RIS.

Masa awal kiprah diplomasi Indonesia

Pada periode 1950, Indonesia banyak melakukan diplomasi. Presiden Soekarno menyampaikan penghargaan kepada para pasukan Pakistan yang telah berjuang berpihak pada Indonesia di masa revolusi melawan Belanda hingga Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berkat upaya diplomasi yang intensif, secara resmi Indonesia diterima menjadi anggota ke-60 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal  28 September 1950.

Indonesia juga menjadi sorotan dunia saat berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang diselenggarakan di Bandung pada tanggal 18–24 April 1955. Sebanyak 29 negara hadir pada konferensi tersebut. Konferensi ini merupakan konferensi pertama yang diadakan oleh negara-negara bekas jajahan di Asia dan Afrika setelah terjadinya Perang Dunia II.

Pada 20 Januari 1958, Indonesia dan Jepang sepakat  menandatangani Perjanjian Perdamaian di Jakarta. Pemerintah bersama DPR menerbitkan UU No 13 tahun 1958 tentang Perjanjian Perdamaian dan Persetujuan Pampasan antara Republik Indonesia dan Jepang. Hubungan diplomatik Indonesia dan Jepang dibuka pada April 1958, sedangkan untuk pembukaan jalur penerbangan antara Jepang dan Indonesia diadakan pada tahun 1963.

Pada 17 Agustus 1960, Indonesia menyatakan memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda dan melakukan persiapan militer untuk membebaskan Irian Barat. Tiga tahun berikutnya, pada September 1963 Indonesia melakukan pemutusan hubungan diplomatik dengan Malaysia, menyusul pembentukan Federasi Malaysia yang mencakup daerah-daerah bekas jajahan Inggris yang ada di Pulau Kalimantan bagian utara.

Masa diplomasi Orde Baru

Pada tahun 1966, Pemerintah Orde Baru mengembalikan prinsip dasar kebijakan luar negeri Indonesia, yakni politik bebas dan aktif. Bebas artinya Indonesia tidak memihak salah satu blok kekuatan yang ada di dunia. Aktif artinya Indonesia selalu aktif dalam menciptakan perdamaian dunia. Negara Indonesia aktif dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan internasional.

Tujuan politik luar negeri Indonesia bebas dan aktif:

  1. mempertahankan kemerdekaan bangsa dan menjaga keselamatan negara,
  2. memperoleh barang-barang yang diperlukan dari luar negeri untuk memperbesar kemakmuran rakyat,
  3. meningkatkan perdamaian internasional,
  4. meningkatkan persaudaraan dengan semua bangsa.

Pada tahun 1966, Indonesia melakukan hubungan diplomatik kembali dengan Malaysia. Indonesia juga kembali aktif dalam PBB, setelah tahun sebelumnya Presiden Soekarno menyatakan keluar dari organisasi internasional tersebut.

Pada 23–24 Februari 1976, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN untuk pertama kalinya berlangsung di Bali. Kantor Sekretariat ASEAN kemudian didirikan di Jakarta. Pada tahun 1977 pertama kalinya seorang perwira militer Republik Indonesia memegang jabatan puncak dalam misi penjagaan perdamaian PBB yaitu, Letnan Jenderal TNI Rais Abin yang diangkat menjadi Panglima United Nations Emergency Forces (UNEF).

Presiden Soeharto menerima kunjungan dari Pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yaitu Yasser Arafat di Istana Merdeka pada 26 Juli 1984. Presiden Soeharto menegaskan dukungan Indonesia terhadap perjuangan kemerdekaan rakyat Palestina. Pada tahun 1986, Presiden Soeharto mendapat penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) berkat prestasi Indonesia yang berhasil mencapai swasembada beras.

Pada tahun 1987, Indonesia selaku wakil ASEAN dan Vietnam menyetujui diadakannya pertemuan informal di Jakarta, untuk menyelesaikan konflik oleh pihak-pihak bersengketa di Kamboja. Pada tahun 1988, Indonesia menerima Penghargaan Kependudukan PBB. Indonesia juga mendapatkan penghargaan dunia oleh PBB atas berhasilnya program nasional Keluarga Berencana (KB).

Tahun 1990, Indonesia dan China melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) terkait pemulihan kembali hubungan diplomatik RI-RRC pada tanggal 8 Agustus di Jakarta. Hubungan diplomatik kembali dibuka setelah lama dibekukan selama lebih dari dua dekade oleh Indonesia terkait Gerakan 30 September 1965.

Indonesia juga mulai melakukan serangkaian hubungan diplomatik dengan negara-negara bekas Uni Soviet di Asia Tengah, seperti Armenia, Turkmenistan, Azerbaijan, dan menyusul Georgia dengan Kazakhstan tahun 1992. Ditahun 1993 Indonesia mendapat sebuah Penghargaan Ibnu Sina (Avicenna Award) dianugerahkan organisasi ekonomi, sosial, dan budaya PBB UNESCO atas hasil-hasil yang telah dicapai pada bidang pendidikan nasional.

Pada akhir masa era Pemerintahan Orde Baru, pada tahun 1994, Indonesia mendapat kembali penghargaan internasional atas keberhasilan program KB dari Dana PBB untuk kegiatan Kependudukan (UNFPA). Di tahun yang sama, Menlu Ali Alatas di hadapan Sidang Majelis Umum PBB ke-49 menegaskan kembali dukungan Indonesia terhadap reformasi PBB dan Dewan Keamanan PBB, di New York.

KOMPAS//WAWAN H PRABOWO

Presiden Joko Widodo, didampingi Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Sekjen ASEAN Lim Jock Hoi (tidak tampak dalam foto), meresmikan Gedung Sekretariat ASEAN di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (8/8/2019).

Kiprah Indonesia di ASEAN

Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau ASEAN telah didirikan sejak 8 Agustus tahun 1967 oleh lima Negara Anggota, yaitu, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Tentunya Indonesia dalam anggota ASEAN sudah melakukan banyak kiprah politik luar negeri sejak awal berdiri hingga saat ini demi mempercepat pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya.

Di Indoneisa Sekretariat ASEAN didirikan di Jakarta saat kali pertama Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN berlangsung di Bali pada 1976, konferensi tersebut menandatangai “Declaration on ASEAN Concord” dan “ASEAN Treaty of Amity and Cooperation”.

Selain sebagai salah satu pelopor pendirinya ASEAN, Indonesia memiliki pengaruh sikap politik keberadaan ASEAN yaitu dengan bebas tidak adanya keberpihakan dan aktif turut serta dalam upaya perdamaian dunia.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2008 menandatangani RUU Pengesahan Piagam ASEAN menjadi UU No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN pada tanggal 6 November 2008 setelah adanya pertemuan KTT ASEAN ke-13 di Singapura tahun 2007. Piagam ASEAN mengubah ASEAN dari asosiasi yang bersifat longgar menjadi organisasi yang memiliki legal personality dan berdasarkan aturan-aturan yang jelas.

Seiring perjalanannya, Indonesia banyak menjadi mediator atau penengah ketika terjadi bebagai konflik di negara Asia Tenggara. Seperti dalam konflik di Kamboja dan Vietnam, Indonesia ditunjuk ASEAN sebagai pihak penengah. Kemudian, Indonesia juga pernah berperan dalam konflik Pemerintah Filipina dengan Moro National Font Liberation (MNFL). Indonesia juga ikut serta dalam pembentukan komunitas keamanan ASEAN. Hal tersebut memiliki tujuan untuk menanggulangi tindak kejahatan, kriminal dan kekerasan.

Kiprah Indonesia dalam ASEAN sangat jelas memerangi narkotika, yang kemudian menjadi inisiator pembentukan ASEAN Seaport no Counter Interdition Task Force (ASITF) dengan menjadikan pelabuhan sebagai daerah perbatasan pengawasan Narkotika.

Indonesia juga sangat terlibat aktif dalam pengembangan start up business melalui penguatan pelatihan di bidang peningkatan produksi, akses pasar, akses finansial, dan pengembangan peraturan serta sumber daya manusia.

Hingga sekarang, Indonesia memiliki peranan aktif dalam ASEAN. Seperti saat ini, Kementerian Luar Negeri terus membentuk dan menggerakan Pusat Studi ASEAN yang berjumlah 68 dan tersebar di seluruh Indonesia. Hal ini dilakukan untuk turut serta mendiseminasikan informasi kepada masyarakat luas dan meberikan rekomendasi kebijakan.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi disaksikan oleh Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto secara simbolis menyematkan hand badge ke personil tim evakuasi untuk menjemput warga negara Indonesia (WNI) dari Wuhan, China di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Sabtu (1/2/2020). Sebanyak 250 orang WNI di Wuhan, China akan dievakuasi karena merebaknya virus Korona Baru. Evakuasi menggunakan pesawat Airbus A 330-300 milik maskapai Batik Air. WNI yang dievakuasi dari Wuhan, China bersama tim evakuasi termasuk kru pesawat terlebih dulu akan diisolasi untuk diobservasi kesehatannya di pangkalan militer di Natuna, Kepulauan Riau.

Kiprah Indonesia di PBB

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, didirikan pertama kali Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di San Francisco, Amerika Serikat (AS) pada tanggal 24 Oktober 1945. Terdapat 192 negara yang menjadi anggota PBB dan di wakili dari 51 negara dalam Sidang Majelis Umum pada 10 Januari 1946 di Church House, London, Inggris.

Dalam pendiriannya, negara-negara yang tergabung sebagai anggota PBB sangat berkomitmen dalam memelihara perdamaian serta keamanan internasional, persahabatan antar negara, mempromosikan pembangunan sosial, peningkatan standar kehidupan layak, dan Hak Asasi Manusia. Peran PBB mencakup penjaga perdamaian, pencegahan konflik dan bantuan kemanusiaan.

Lima tahun setelah berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia bergabung dan resmi menjadi anggota PBB ke 60 pada tanggal 28 September 1950 diwakili oleh Lambertus Nicodemus Palar yang langsung diutus oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Keterikatan sejarah yang kuat oleh Indonesia dan PBB terkait kemerdekaan Indonesia tahun 1945 bersamaan dengan berdirinya PBB dan secara penuh mendukung Indonesia menjadi negara yang merdeka dan berdaulat. Peran PBB terhadap Indonesia cukup penting terkait Agresi Militer Belanda I, yang kemudian PBB membentuk Komisi Tiga Negara dengan mempertemukan Indonesia dengan Belanda pada meja Perundingan Renville. Pada Agresi Militer Belanda II, PBB mempertemukan lagi Indonesia dengan Belanda dalam Perundingan Roem Royen.

Duta Besar Palar memiliki peran yang besar dalam mendapatkan pengakuan internasional kemerdekaan Indonesia ketika konflik yang berlangsung antara Belanda dan Indonesia pada tahun 1947. Perdebatan yang dilakukan oleh Palar mengenai posisi kedaulatan Indonesia di PBB dan di Dewan Keamanan meski saat itu hanya sebagai peninjau dikarenakan saat itu masih belum menjadi anggota PBB.

Kiprah diplomasi Indonesia yang lain, seperti menyelesaikan sengketa Irian Jaya dengan Belanda. Indonesia berupaya mengajukan penyelesaian permasalahan tersebut kepada PBB pada tahun 1954. Indonesia didukung oleh Konferensi Asia Afrika pada bulan April tahun 1955 dengan keluarnya sebuah resolusi untuk mendukung Indonesia, yang kemudian meminta PBB sebagai jembatan kedua belah pihak yang sedang berkonflik agar mendapat solusi damai.

Namun sampai tahun 1961, indikasi solusi damai tidak kunjung terbentuk, meski isu tersebut dibahas dalam rapat pleno Majelis Umum PBB dan di Komite I. Dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-17 pada tahun 1962, sengketa tersebut menemukan titik terang dengan dikeluarkannya Resolusi No. 1752 yang mengadopsi “The News York Agreement” pada 21 September 1962.

Presiden Soekarno mengumumkan pengunduran diri Indonesia dari keanggotaan PBB pada tanggal 20 Januari 1965 setelah menanggapi keputusan PBB yang mengakui kedaulatan Malaysia dan menjadikan Malaysia anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Setelah pergantian kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, Indonesia pun kembali bergabung menjadi anggota PBB pada tanggal 28 September 1966.

Indonesia juga terdaftar dalam beberapa lembaga di bawah Naungan PBB seperti ECOSOC (Dewan Ekonomi dan Sosial), ILO (Organisasi Buruh Internasional), dan FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian). Prestasi Indonesia dalam keanggotaanya di PBB, misalnya Menteri Luar Negeri Adam Malik menjabat sebagai ketua sidang Majelis Umum PBB saat masa sidang tahun 1974. Kemudian, Indonesia juga terlibat langsung dalam pasukan perdamaian PBB yang juga mengirimkan Pasukan Garuda untuk mengemban misi perdamaian PBB di berbagai negara yang mengalami konflik.

Pencapaian lain dalam kiprahnya sebagai anggota PBB, yaitu menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK) PBB periode 1974-1975. Indonesia juga terpilih untuk kedua kalinya menjadi anggota tidak tetap DK PBB untuk periode 1995-1996. Dalam periode ini Wakil tetap RI Nugroho Wisnumurti tercatat dua kali menjadi Presiden DK PBB. Sampai kali ketiga Indonesia kembali terpilih sebagai anggota tidak tetap DK PBB periode 2007-2009.

Indonesia kembali mencatat prestasi terpilihnya mantan Menlu Mochtar Kusuma Atmadja sebagai anggota di Komisi Hukum Internasional PBB atau International Law Commission (ILC) pada periode 1992-2001. Dalam pemilihan terakhir Sidang Majelis Umum PBB ke-61, Duta Besar Nugroho Wisnumurti terpilih sebagai anggota ILC periode 2007-2011. Indonesia juga merupakan salah satu anggota pertama Dewan HAM dari 47 negara anggota PBB yang dipilih pada tahun 2006 dan pada periode 2007-2010.

Baca juga:

Wawancara Kompas bersama Menlu Retno LP Marsudi tentang “Diplomasi RI, Konsisten, dan Adaptif

KOMPAS/B JOSIE SUSILO HARDIANTO

Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi memberikan pidato dalam Forum Kontraterorisme Global yang digelar, Rabu (26/9/2018) di Hotel Roosevelt, New York, Amerika Serikat. Pertemuan itu merupakan kegiatan yang digelar di sela-sela Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebanyak 30 negara anggota forum hadir dalam pertemuan itu.

Peran Saat Pandemi Covid-19

Menghadapi situasi dan kondisi pandemi Covid-19 Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia bekerja ekstra dalam melakukan upaya diplomasi berbagai sektor di luar negeri. Di sektor perekonomian, upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia, salah satu upaya tersebut adalah memanfaatkan keunggulan pasar dan demografi Indonesia untuk mendorong investasi dan perdagangan di sektor strategis.

Dalam kiprahnya di politik luar negeri, Pemerintah Indonesia juga berupaya memaksimalkan peran sentral di ASEAN (Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara) dan juga Indo-Pacific untuk membuka peluang di tengah gangguan yang terjadi dalam kondisi saat ini.

Upaya lain saat pandemi Covid-19 adalah perlindungan terhadap para Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada diluar negeri. Kemenlu bersama dengan perwakilan RI yang ada di luar negeri semaksimal mungkin memberikan perlindungan terhadap WNI. Adapun tantangan yang dihadapi Pemerintah Indonesia adalah kepulangan WNI ke Indonesiua dalam jumlah yang cukup besar selama pandemi. Kepulangan tersebut karena beberapa faktor seperti, kehilangan pekerjaan dan masa kontrak kerja habis tidak diperpanjang.

Baca juga:

“Pandemi Jadi Batu Uji bagi Diplomasi” (Kompas 19/8/2020)

SEKRETARIAT KEPRESIDENAN

Presiden Joko Widodo mengikuti KTT ASEAN khusus membahas penanganan Covid-19 dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (14/4/2020). Sepanjang KTT yang digelar secara virtual itu Presiden didampingi Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi dan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.

Kedutaan dan Konsulat

Seluruh kegiatan dalam hubungan antarbangsa dan antarnegara pada hakikatnya adalah hubungan diplomasi yang pada intinya merupakan usaha memelihara hubungan antarnegara. Diplomasi secara formal dilakukan baik oleh korps perwakilan diplomatik maupun oleh korps perwakilan konsuler. Korps perwakilan diplomatik dipimpin oleh seorang Duta Besar sedangkan korps perwakilan konsuler di pimpin oleh seorang Konsul Jenderal. Konsulat pada dasarnya hampir sama dengan kedutaan, namun area kerjanya hanya pada penanganan hubungan konsuler atau hubungan antarmanusia dan hubungan ekonomi, tidak termasuk hubungan politik.

Pembukaan hubungan diplomatik juga merupakan suatu upaya konkrit untuk mempererat hubungan dan kerjasama dengan negara-negara lain yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan ​masyarakat di kedua negara.

Pemerintah Indonesia saat ini telah memiliki sebanyak 132 perwakilan yang terdiri dari 95 Kedutaan Besar, 3 Perutusan Tetap untuk PBB di New York dan Jenewa, serta Perutusan Tetap untuk ASEAN di Jakarta 30 Konsulat Jenderal dan 4 Konsulat Republik Indonesia. Selain itu Indonesia juga telah mengangkat 64 Konsul kehormatan.

KBRI Den Haag

Retno Marsudi, Duta Besar RI di Den Haag, Belanda,menginspeksi pasukan kehormatan jelang penyerahan surat kepercayaan kepada Ratu Beatrix di Den Haag, Rabu (25/1/2012). Retno Marsudi resmi menjabat Duta Besar RI di Den Haag, Belanda. Hal itu disampaikan siaran pers Kedutaan Besar RI di Belanda, yang diterima Kompas, Senin (30/1/2012).

Pusat Studi/Kajian

Terdapat empat pusat studi atau pengkajian dalam ruang lingkup Kemenlu:

KOMPAS/DAHLIA IRAWATI

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata bekerja sama dengan Kedutaan Besar RI di Beijing dan Perhimpunan Indonesia Tionghoa pada 25-30 Agustus 2009 melakukan promosi kebudayaan Indonesia ke Shenyang,China.

Organisasi

  • Menteri Luar Negeri
  • Wakil Menteri Luar Negeri
  • Sekretariat Jenderal
  • Direktorat Jenderal Asia Pasifik dan Afrika
  • Direktorat Jenderal Amerika dan Eropa
  • Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN
  • Direktorat Jenderal Kerja Sama Multilateral
  • Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional
  • Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik
  • Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler
  • Inspektorat Jenderal
  • Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan
  • Staf Ahli Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
  • Staf Ahli Bidang Diplomasi Ekonomi
  • Staf Ahli Bidang Sosial Budaya dan Pemberdayaan Masyarakat Indonesia di Luar Negeri
  • Staf Ahli Bidang Hubungan Antarlembaga
  • Staf Ahli Bidang Manajemen
  • Staf Khusus Menteri Luar Negeri Bidang Isu-Isu Strategis

KOMPAS/LAKSANA AGUNG SAPUTRA

Presiden Joko Widodo dan Ibu Iriana Joko Widodo didampingi Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengunjungi Kampung Budaya Gamcheon di Busan, Korea Selatan, Minggu (24/11/2019). Dalam lawatan ke negeri ginseng itu, Presiden akan menghadiri Konferensi Asean – Korea Selatan Commemorative Summit serta pertemuan bilateral dengan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in dan pimpinan perusahaan asal Korea Selatan.

Anggaran

Sebelumnya dalam postur APBN 2020 anggaran Kementerian Luar Negeri sebesar Rp 8,6 triliun, namun akibat situasi pandemi Covid-19 berdasarkan Peraturan Presiden No 54 tahun 2020 tentang Perubahan Postur APBN 2020 dikurangi menjadi Rp 7,8 triliun. Penyesuaian anggaran ini juga berlaku bagi kementerian dan lembaga lainnya.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Menteri Luar Negeri Jepang Motegi Toshimitsu menaiki MRT dari Stasiun Bundaran Hotel Indonesia menuju Stasiun ASEAN, Jakarta, Jumat (10/1/2020). Proyek MRT Jakarta fase I, Lebak Bulus-Bundaran HI, merupakan proyek transportasi massal yang ikut dibiayai lembaga Jepang JICA (Japan International Cooperation Agency). Sebelumnya, Motegi bertemu dengan Presiden Joko Widodo dan Menter Luar Negeri Retno P Marsudi.

Referensi

Kementerian Luar Negeri

Sekretariat Nasional ASEAN

Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2015 Tentang Kementerian Luar Negeri