Lembaga

Badan Nasional Penanggulangan Bencana

Badan Nasional Penanggulangan Bencana merupakan lembaga yang memberikan pedoman, pengarahan, dan informasi terhadap usaha penanggulangan bencana. Penanggulangan bencana adalah usaha yang meliputi pencegahan, penanganan keadaan darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi bencana.

Fakta Singkat

Dibentuk:
20 Agustus 1945

Perubahan Nomenklatur:

Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP)
(1945 – 1966)

Badan Pertimbangan Penanggulangan Bencana Alam Pusat (BP2BAP)
(1966 – 1967)

Tim Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (TKP2BA) dan Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (Bakornas PBA)
(1967 – 1979)

Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PBA)
(1979 – 1990)

Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB)
(1990 – 2000)

Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP)
(2000 – 2005)

Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas PB)
(2005 – 2008)

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
(2008 – sekarang)

Kepala BNPB:
Ganip Warsito

Laman:
https://bnpb.go.id/

Regulasi:
Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2019 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana

Definisi bencana dan kondisi Indonesia

Definisi Bencana menurut Badan Nasional Penanggulangan (BNPB) adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam serta mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan faktor alam, nonalam, maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Sejarah mencatat, Indonesia pernah menjadi tempat terjadinya dua letusan gunung api terbesar di dunia. Tahun 1815 Gunung Tambora yang berada di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, meletus dan mengeluarkan sekitar 1,7 juta ton abu dan material vulkanik.

Sebagian dari material vulkanik ini membentuk lapisan di atmosfir yang memantulkan balik sinar matahari ke atmosfir. Karena sinar matahari yang memasuki atmosfir berkurang banyak, bumi tidak menerima cukup panas dan terjadi gelombang hawa dingin. Gelombang hawa dingin ini membuat tahun 1816 menjadi “tahun yang tidak memiliki musim panas” dan menyebabkan gagal panen di banyak tempat serta kelaparan yang meluas.

Pada abad yang sama, Gunung Krakatau meletus pada tahun 1883. Erupsi Krakatau ini diperkirakan memiliki kekuatan setara 200 megaton TNT, kira-kira 13.000 kali kekuatan ledakan bom atom yang menghancurkan Hiroshima dalam Perang Dunia ke-2.

Bencana yang paling mematikan pada awal abad ke-21 ini juga bermula di Indonesia pada tanggal 26 Desember 2004, sebuah gempa besar terjadi di dalam laut sebelah barat Pulau Sumatra di dekat Pulau Simeuleu. Gempa ini memicu tsunami yang menewaskan lebih dari 225.000 orang di sebelas negara dan menimbulkan kehancuran hebat di banyak kawasan pesisir di negara-negara yang terkena.

Dalam abad sebelumnya, abad ke-20, hanya ada sedikit bencana yang menimbulkan korban jiwa masif seperti itu. Di Indonesia sendiri, gempa dan tsunami ini mengakibatkan sekitar 165.708 orang tewas dan nilai kerusakan yang ditimbulkannya mencapai lebih dari Rp48 triliun.

Selain bencana-bencana berskala besar yang tercatat dalam sejarah di atas, Indonesia juga tidak lepas dari bencana besar yang terjadi hampir setiap tahun yang menimbulkan kerugian tidak sedikit. Banjir yang hampir setiap tahun menimpa Jakarta, kota-kota dan daerah di sepanjang Daerah Aliran Bengawan Solo dan beberapa daerah lain di Indonesia menimbulkan kerugian material dan non-material.

Kekeringan juga semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Selain mengancam produksi tanaman pangan, kekeringan juga mengakibatkan meningkatnya kemiskinan masyarakat dengan mata pencaharian yang bergantung pada pertanian, perkebunan dan peternakan.

Indonesia merupakan wilayah yang rawan bencana karena posisinya berada di garis khatulistiwa serta berbentuk kepulauan sehingga menimbulkan potensi tinggi untuk berbagai jenis bencana terkait hidrometeorologi, seperti banjir, banjir bandang, kekeringan, cuaca ekstrim, gelombang esktrim, abrasi dan juga kebakaran lahan dan hutan. Saat ini, adanya fenomena perubahan iklim dapat meningkatkan ancaman bencana hidrometeorologi.

Sebagai negara kepulauan yang terletak di tiga lempeng tektonik dunia, yakni lempeng Australia, lempeng pasifik, serta lempeng Eurasia, Indonesia memiliki potensi tinggi terjadinya kejadian bencana gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, serta adanya gerakan tanah dan tanah longsor.

Selain bencana yang disebabkan oleh peristiwa alam, kejadian bencana nonalam seperti pandemi Covid-19 yang berkepanjangan juga menjadi salah satu fenomena yang ditangani oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Jika dilihat dari bencana nonalam di Indonesia dengan adanya peningkatan jumlah penduduk serta tempat pemukiman yang tidak tertata dengan baik, Indonesia memiliki potensi terjadinya bencana antropogenik seperti epidemik atau meluasnya wabah penyakit.

Kurang tingginya kesadaran masyarakat terhadap kebersihan berpotensi meningkatkan kejadian epidemik serta wabah penyakit seperti HIV/AIDS, Ebola, MERS, H5N1/Flu Burung dan wabah yang sedang melanda Indonesia bahkan dunia, yaitu pandemi Covid-19.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merupakan lembaga yang berada di garda terdepan dalam penanganan bencana dan mitigasi bencana. BNPB juga berperan dalam memberikan pedoman, pengarahan, dan informasi terhadap usaha penanggulangan bencana pencegahan, penanganan keadaan darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi bencana.

KOMPAS/ZULKARNAINI

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo meluncurkan program keluarga tangguh bencana di Desa Pasie Jantang, Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Minggu (8/12/2019). Pengetahuan kebencanaan dan kemampuan mitigasi dalam keluarga menekan risiko bencana.

Sejarah

1945–1966

Setelah kemerdekaan Indonesia, pada 20 Agustus 1945 dibentuk Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang saat itu berfokus pada kondisi situasi perang pascakemerdekaan Indonesia. BPKKP bertugas menolong para korban perang serta keluarga korban semasa perang kemerdekaan.

1966–1967

Berdasarkan Keprres No. 256 Tahun 1966 pemerintah kembali membentuk sebuah badan, yaitu Badan Pertimbangan Penanggulanan Bencana Alam Pusat (BP2BAP) yang berada di bawah tanggung jawab Menteri Sosial. BP2BAP bertugas melakukan penanggulangan, tanggap darurat, serta bantuan korban bencana. Hal ini menjadikan perkembangan dalam lingkup penanggulangan bencana yang kemudian mencakup bencana yang disebabkan oleh alam dan manusia.

1967–1979

Pada tahun 1967 dibentuk Tim Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (TKP2BA) oleh Presidium Kabinet dengan menerbitkan Keputusan No. 14/U/KEP/I/1967. Dibentuknya TKP2BA dirasa perlu karena frekuesi kejadian bencana alam terus meningkat sehingga penanganan bencana secara serius dan terkoordinasi sangat dibutuhkan. Kemudian, diterbitkan Keppres No. 28 Tahun 1979 yang merubah TKP2BA menjadi sebuah badan, yaitu Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (BakornasPBA) dengan kegiatan manajemen bencana mencakup pada tahapan pencegahan, penanganan darurat serta rehabilitasi. Setelahnya, dibentuk Satuan Koordinasi Pelaksanaan Penanggulangan Bencana Alam (Satkorlak PBA) di tiap provinsi oleh Menteri Dalam Negeri melaui Instruksi No. 27 Tahun 1979.

1979–1990

Berdasarkan Keppres No. 43 Tahun 1990, BakornasPBA disempurnakan menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (BakornasPB) dengan tugas yang lebih luas, yakni tidak hanya menangani bencana alam namun juga bencana sosial. Perubahan tersebut dilatarbelakangi oleh bencana yang tidak hanya disebabkan oleh alam namun juga bisa terjadi karena sebab nonalam serta sosial, seperti kecelakaan transportasi, kegagalan teknologi, dan konflik sosial. Selanjutnya, pada tahun 1999 diterbitkan Keppres No. 106 Tahun 1999, yang mengungkapkan bahwa penanggulangan bencana memerlukan penangan lintas sektor seperti, lintas pelaku dan lintas disiplin yang terkoordinasi.

1990–2000

Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB). Melalui Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1990, lingkup tugas dari Bakornas PB diperluas dan tidak hanya berfokus pada bencana alam tetapi juga nonalam dan sosial. Hal ini ditegaskan kembali dengan Keputusan Presiden Nomor 106 Tahun 1999. Penanggulangan bencana memerlukan penanganan lintas sektor, lintas pelaku, dan lintas disiplin yang terkoordinasi. Pada periode tahun 1990–2001, mulai disadari bahwa bencana bukan saja bencana alam tetapi juga bencana karena ulah manusia.

2000–2005

Sebelum periode ini Indonesia mengalami beragam krisis. Bencana sosial yang terjadi di beberapa tempat menimbulkan sebuah permasalahan yang baru, yaitu pengungsian. Karenanya, diterbitkan Keppres No. 3 Tahun 2001 dan telah diperbarui dengan Keppres No. 111 Tahun 2001. Isi surat keputusan tersebut, yaitu Bakornas PB dikembangkan menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP).

2005–2008

Pada tahun 2004 terjadi sebuah bencana alam yang cukup dahsyat, gempa bumi dan tsunami di Aceh. Pemerintah Indonesia, bahkan dunia, sangat memperhatikan tragedi tersebut. Pemerintah saat itu menerbitkan Perpres No. 83 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas PB). Bakornas PB memiliki fungsi koordinasi yang didukung oleh pelaksana harian sebagai unsur pelaksana penanggulangan bencana. Saat itu, paradigma pengurangan resiko bencana menjadi perhatian utama pemerintah Indonesia.

2008–sekarang

Akibat perjalanan panjang mengenai sistem penanggulangan bencana, pemerintah membangun legalisasi, lembaga, serta budgeting terkait bencana. Diterbitkanlah UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, serta diterbitkan Perpres No. 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). BNPB memiliki fungsi sebagai pengkoordinasi pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, serta menyeluruh.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Penanganan Dampak Bencana – Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho memberikan keterangan kepada awak media di ruang Pusdalops, Graha BNPB, Jakarta Timur, Selasa (5/12/2017). Dalam kesempatan itu Sutopo menjelaskan penanganan dampak bencana siklon tropis cempaka, antisipasi banjir dan longsor memasuki musim penghujan, serta informasi terkini mengenai erupsi Gunung Agung.

Organisasi

 Kepala BNPB dari Masa ke Masa

  • Mayjen TNI (Purn) Syamsul Maarif (6 Mei 2008 – 7 September 2015)
  • Laksamana Muda TNI Purn) Willem Rampangilei (7 September 2015 – 3 Januari 2019)
  • Letjen TNI Doni Monardo (3 Januari 2019 – 5 Mei 2021)
  • Letjen TNI Ganip Warsito (5 Mei 2021 – sekarang)

Tugas

  • Memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan keadaan darurat bencana, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan setara
  • Menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundang-undangan
  • Menyampaikan informasi kegiatan penanggulangan bencana kepada masyarakat
  • Melaporkan penyelenggaraan penaggulangan bencana kepada Presiden setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana
  • Menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan/bantuan nasional serta internasional
  • Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
  • Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan
  • Menyusun pedoman pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah

Fungsi

  • Perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat serta efektif dan efisien
  • Pengoordinasin pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, serta menyeluruh

Visi

Ketangguhan bangsa dalam menghadapi bencana

Misi

  • Melindungi bangsa dari ancaman bencana dengan membangun budaya pengurangan risiko bencana dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana menjadi bagian yang terintegrasi dalam pembangunan nasional
  • Membangun sistem penanganan darurat bencana secara cepat, efektif dan efisien
  • Menyelenggarakan pemulihan wilayah dan masyarakat pascabencana melalui rehabilitasi dan rekonstruksi yang lebih baik yang terkoordinasi dan berdimensi pengurangan risiko bencana
  • Menyelenggarakan dukungan dan tata kelola logistik dan peralatan penanggulangan bencana
  • Meyelenggarakan penanggulangan bencana secara transparan dengan prinsip good governance.

Struktur organisasi

  • Kepala BNPB
  • Inspektorat Utama
  • Sekretariat Utama
  • Deputi Bidang Sistem dan Strategi
  • Deputi Bidang Pencegahan
  • Deputi Bidang Penanganan Darurat
  • Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi
  • Deputi Bidang Logistik dan Peralatan
  • Pusat Pendidikan dan Pelatihan
  • Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan
  • Pusat Pengendalian Operasi
  • Unit Pelaksana Teknis

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Kepala BNPB Letjen TNI Ganip Warsito melihat Rumah Sakit Lapangan Indrapura, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (11/6/2021). Kunjungan kepala BNPB dilakukan untuk mengecek kesiapan dan kondisi rumah sakit untuk mengantisipasi lonjakan pasien Covid-19 khususnya rujukan dari Kabupaten Bangkalan. Saat ini Rumah Sakit Lapangan Indrapura merawat sebanyak 265 pasien Covid-19. Sejak berdiri sebanyak 7161 pasien Covid-19 telah sembuh.

Ragam istilah bencana

Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan serta penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam, nonalam, serta faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, serta dampak psikologis.

  • Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
  • Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
  • Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.
  • Kejadian Bencana adalah peristiwa bencana yang terjadi dan dicatat berdasarkan tanggal kejadian, lokasi, jenis bencana, korban dan/ataupun kerusakan. Jika terjadi bencana pada tanggal yang sama dan melanda lebih dari satu wilayah, maka dihitung sebagai satu kejadian.
  • Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi di permukaan bumi yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng bumi, patahan aktif, akitivitas gunung api atau runtuhan batuan.
  • Letusan gunung api merupakan bagian dari aktivitas vulkanik yang dikenal dengan istilah “erupsi”. Bahaya letusan gunung api dapat berupa awan panas, lontaran material (pijar), hujan abu lebat, lava, gas racun, tsunami dan banjir lahar.
  • Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang berarti gelombang ombak lautan (“tsu” berarti lautan, “nami” berarti gelombang ombak). Tsunami adalah serangkaian gelombang ombak laut raksasa yang timbul karena adanya pergeseran di dasar laut akibat gempa bumi.
  • Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng.
  • Banjir adalah peristiwa atau keadaan dimana terendamnya suatu daerah atau daratan karena volume air yang meningkat.
  • Banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba dengan debit air yang besar yang disebabkan terbendungnya aliran sungai pada alur sungai.
  • Kekeringan adalah ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan. Adapun yang dimaksud kekeringan di bidang pertanian adalah kekeringan yang terjadi di lahan pertanian yang ada tanaman (padi, jagung, kedelai dan lain-lain) yang sedang dibudidayakan .
  • Kebakaran adalah situasi dimana bangunan pada suatu tempat seperti rumah/pemukiman, pabrik, pasar, gedung dan lain-lain dilanda api yang menimbulkan korban dan/atau kerugian.
  • Kebakaran hutan dan lahan adalah suatu keadaan di mana hutan dan lahan dilanda api, sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan lahan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan. Kebakaran hutan dan lahan seringkali menyebabkan bencana asap yang dapat mengganggu aktivitas dan kesehatan masyarakat sekitar.
  • Angin puting beliung adalah angin kencang yang datang secara tiba-tiba, mempunyai pusat, bergerak melingkar menyerupai spiral dengan kecepatan 40-50 km/jam hingga menyentuh permukaan bumi dan akan hilang dalam waktu singkat (3-5 menit).
  • Gelombang pasang atau badai adalah gelombang tinggi yang ditimbulkan karena efek terjadinya siklon tropis di sekitar wilayah Indonesia dan berpotensi kuat menimbulkan bencana alam. Indonesia bukan daerah lintasan siklon tropis tetapi keberadaan siklon tropis akan memberikan pengaruh kuat terjadinya angin kencang, gelombang tinggi disertai hujan deras.
  • Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak. Abrasi biasanya disebut juga erosi pantai. Kerusakan garis pantai akibat abrasi ini dipicu oleh terganggunya keseimbangan alam daerah pantai tersebut. Walaupun abrasi bisa disebabkan oleh gejala alami, namun manusia sering disebut sebagai penyebab utama abrasi.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Seorang warga dengan tongkat berjalan menyisiri pinggir kolam di depan Masjid Baiturrahman yang penuh dengan puing akibat sapuan gempa dan gelombang tsunami di Banda Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Selasa (28/12/2004). Masjid Baiturrahman tak mengalami kerusakan berarti dan tetap tegar berdiri mesti tempat di sekitarnya, yaitu Pasar Aceh, porak-poranda.

Mitigasi bencana

Dalam UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Selain itu, mitigasi juga merupakan upaya mengurangi dampak kerusakan lingkungan akibat bencana.

Ada empat hal penting yang perlu diperhatikan dalam mitigasi bencana:

  1. Tersedianya informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap kategori bencana
  2. Sosialisasi dalam meningkatkan pemahaman serta kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana
  3. Mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari serta cara penyelamatan diri jika bencana terjadi sewaktu-waktu dan pengaturan
  4. Penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi ancaman bencana

Pertimbangan dalam menyusun Program Mitigasi di Indonesia, di antaranya:

  • Mitigasi bencana harus diintegrasikan dengan proses pembangunan
  • Fokus bukan hanya dalam mitigasi bencana tapi juga pendidikan, pangan, tenaga kerja, perumahan bahkan kebutuhan dasar lainnya
  • Sinkron terhadap kondisi sosial, budaya serta ekonomi setempat
  • Dalam sektor informal, ditekankan bagaimana meningkatkan kapasitas masyarakat untuk membuat keputusan, menolong diri sendiri dan membangun sendiri.
  • Menggunakan sumber daya lokal (sesuai dengan prinsip desentralisasi)
  • Mempelajari pengembangan konstruksi rumah yang aman bagi golongan masyarakat kurang mampu, serta pilihan subsidi biaya tambahan dalam membangun rumah.
  • Mempelajari teknik merombak (pola dan struktur) pemukiman
  • Mempelajari tata guna lahan untuk melindungi masyarakat yang tinggal di daerah rentan bencana dan kerugian, baik secara sosial, ekonomi, maupun implikasi politik
  • Mudah dimengerti dan diikuti oleh masyarakat.

Tujuan dari mitigasi sendiri adalah mengurangi kerugian pada saat terjadinya bahaya pada masa mendatang, mengurangi risiko kematian dan cedera terhadap penduduk, mencakup pengurangan kerusakan dan kerugian-kerugian ekonomi yang ditimbulkan terhadap infrastruktur sektor publik.

Mitigasi dibagi menjadi dua jenis, yakni mitigasi struktural dan mitigasi nonstruktural.

Mitigasi struktural merupakan upaya dalam meminimalkan bencana dengan membangun berbagai prasarana fisik menggunakan teknologi. Misalnya dengan membuat waduk untuk mencegah banjir, membuat alat pendeteksi aktivitas gunung berapi, menciptakan early warning system untuk memprediksi gelombang tsunami, hingga membuat bangunan tahan bencana atau bangunan dengan struktur yang direncanakan sedemikian rupa sehingga mampu bertahan dan tidak membahayakan para penghuninya jika bencana terjadi sewaktu-waktu.

Mitigasi nonstruktural merupakan suatu upaya dalam mengurangi dampak bencana melalui kebijakan dan peraturan. Contohnya, penyusunan Undang-Undang Penanggulangan Bencana, pembuatan tata ruang kota, atau aktivitas lain yang berguna bagi penguatan kapasitas warga.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Evakuasi warga menggunakan perahu karet di Perumahan Pondok Gede Permai di Jatiasih, Kota Bekasi, Jawa Barat, Jumat (19/2/2021) akibat luapan banjir Sungai Cileungsi dan Sungai Cikeas. Banjir diperparah dengan jebolnya tanggul Sungai Bekasi dan merendam kawasan ini hingga ketinggian dua meter. Puluhan warga sementara mengungsi di gudang logistik BNPB. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Bekasi mencatat hingga Jumat siang (19/2/2021) ada 40 titik genangan yang tersebar di delapan kecamatan di Kota Bekasi.

Strategi mitigasi bencana

Pemetaan
Pemetaan menjadi hal terpenting dalam mitigasi bencana, khususnya bagi wilayah yang rawan bencana. Hal ini dibuat sebagai acuan dalam membentuk keputusan antisipasi kejadian bencana. Pemetaan akan tata ruang wilayah juga diperlukan agar tidak memicu gejala bencana. Di Indonesia pemetaan tata ruang dan rawan bencana belum terintegrasi dengan maksimal. Hal tersebut disebabkan oleh belum menyeluruhnya pemetaan wilayah; kurangnya sosialisasi peta bencana yang dihasilkan; peta bencana yang belum terintegrasi; serta beragamnya peta dasar yang dipakai untuk membuat peta bencana sehingga menyulitkan proses integrasi.

Pemantauan
Pemantauan hasil pemetaaan tingkat kerawanan bencana pada setiap daerah akan sangat membantu dalam prediksi terjadinya bencana. Hal ini akan memudahkan upaya penyelamatan saat bencana terjadi. Pemantauan juga dapat dilakukan untuk pembangunan infrastruktur agar tetap memperhatikan AMDAL.

Penyebaran infromasi
Penyebaran informasi dilakukan, antara lain, dengan cara memberikan poster dan leaflet kepada Pemerintah Kabupaten atau Kota dan Provinsi seluruh Indonesia yang rawan bencana. Poster dan leaflet tersebut dapat berisi tentang tata cara mengenali, mencegah dan menangani bencana. Tujuannya, untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap bencana geologi di kawasan tertentu. Koordinasi pemerintah daerah sangat berperan dalam penyebaran informasi ini, mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas.

Sosialisasi, penyuluhan, pendidikan
Beberapa lapisan masyarakat mungkin ada yang tidak dapat mengakses informasi mengenai bencana. Oleh karenanya, menjadi tugas aparat pemerintahan untuk melakukan sosialisasi ke masyarakat. Adapun bahan penyuluhan hampir sama dengan penyebaran informasi. Pelatihan difokuskan kepada tata cara pengungsian dan penyelamatan jika terjadi bencana. Tujuan latihan lebih ditekankan pada alur informasi dari petugas lapangan, pejabat teknis dan masyarakat sampai ke tingkat pengungsian dan penyelamatan korban bencana. Dengan pelatihan ini kesiagaan tinggi menghadapi bencana akan terbentuk.

Peringatan dini
Peringatan dini dilakukan untuk memberitakan hasil pengamatan kontinu di suatu daerah yang rawan bencana, dengan tujuan agar masyarakatnya lebih siaga. Peringatan dini tersebut disosialisasikan kepada masyarakat melalui pemerintah daerah dengan tujuan memberikan kesadaran masyarakat dalam menghindarkan diri dari bencana. Peringatan dini dan hasil pemantauan daerah rawan bencana berupa saran teknis, pengalihan jalur jalan (sementara atau seterusnya), pengungsian, dan saran penanganan lainnya.

Infografik Data Bencana Indonesia tahun 2020, Sumber BNPB

Penanganan Covid-19

BNPB sebagai Gugus Tugas Percepatan Penangangan Covid-19 memiliki empat strategi sebagai penguat kebijakan physical distancing sebagai strategi dasar untuk mengatasi pandemi Virus Corona Covid-19. Berikut adalah keempat strategi tersebut:

  • Strategi pertama, yakni dengan gerakan masker untuk semua yang mengampanyekan kewajiban memakai masker saat berada di ruang publik atau di luar rumah. Hal ini dikarenakan tidak dapat mengetahui orang yang berada disekitar kita terpapar virus covid-19 tanpa gejala atau tidak.
  • Strategi kedua, diadakannya penelusuran kontak (tracing) dari tiap kasus positif yang dirawat dengan menggunakan Rapid Test. Di antaranya seperti orang terdekat yang pernah berinteraksi dengan pasien Covid-19, tenaga kesehatan yang merawat pasien Covid-19, dan juga masyarakat di daerah yang ditemukan kasus banyak.
  • Strategi ketiga, dengan adanya edukasi serta penyiapan isolasi secara mandiri pada sebagian hasil tracing yang telah menunjukan hasil test positif dari Rapid Test atau negatif dengan gejala untuk melakukan isolasi mandiri di rumah. Kemudian, jika dilakukan test ulang ditemukan positif atau keluhan klinis yang memburuk, maka akan ditindak lanjut dengan pengecakan antigen melalui metode PCR agar lebih efektif dalam pemeriksaan.
  • Strategi keempat adalah isolasi Rumah Sakit apabila tidak memungkinkan isolasi mandiri di rumah, seperti adanya tanda klinis yang membutuhkan layanan definitif di rumah sakit. Termasuk dilakukan isolasi di RS Darurat di Wisma Atlet dan juga di Pulau Galang yang diikuti beberapa daerah untuk melakukan isolasi kasus positif dengan gejala klinis ringan hingga sedang yang tidak mungkin dapat dilakukan isolasi mandiri.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Tim relawan pelacak kontak pasien Covid-19 dari Puskesmas Kecamatan Pademangan mendokumentasikan data warga untuk menelusuri kontak erat pasien yang terkonfirmasi positif Covid-19 di kawasan Pademangan Timur, Jakarta Utara, Kamis (18/3/2021). Tim dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tersebut menelusuri riwayat kontak erat pasien yang telah terkonfirmasi positif untuk memutus mata rantai penularan Covid-19. Kontak erat yang teridentifikasi lantas dihubungi dan diarahkan untuk tes melaksanakan tes usap PCR gratis di Puskesmas.

Pendanaan

Saat ini kebencanaan bukan hanya isu lokal atau nasional, tetapi melibatkan internasional. Komunitas internasional mendukung pemerintah Indonesia dalam membangun manajemen penanggulangan bencana menjadi lebih baik. Di sisi lain, kepedulian dan keseriusan pemerintah Indonesia terhadap masalah bencana sangat tinggi dengan dibuktikan dengan penganggaran yang signifikan khususnya untuk pengarusutamaan pengurangan risiko bencana dalam pembangunan.

Sumber pendanaan yang terkait dengan penanggulangan bencana di Indonesia:

  1. Dana DIPA (APBN/APBD)
  2. Dana Kontijensi
  3. Dana On-call
  4. Dana Bantual Sosial Berpola Hibah
  5. Dana yang bersumber dari masyarakat
  6. Dana dukungan komunitas internasional

Upaya meningkatkan anggaran penanggulangan bencana dari APBN memang diperlukan bila melihat intensitas kejadian bencana yang terus meningkat. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 113/2020 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2021, anggaran penanganan bencana tahun 2021 sebesar Rp11,5 triliun yang dialokasikan melalui Kementerian dan Lembaga sebesar Rp3,5 triliun.

Dana cadangan bencana serta pooling fund bencana dalam NK APBN 2021 dianggarkan sebesar Rp8 triliun dan rata-rata kerugian yang diakibatkan bencana alam Rp22,85 triliun per tahun.

Dana cadangan penanggulangan bencana yang dialokasikan pada Kementerian Keuangan dapat digunakan pada saat kejadian tanggap daurat (dana on call) rata-rata  berkisar Rp5,78 triliun per tahun.

Pada 22 Maret 2021, Komisi VIII DPR menyetujui penambahan pagu anggaran BNPB sebesar Rp814 miliar. Komisi VIII DPR juga memahami usulan anggaran penanganan Covid-19 sebesar Rp5,2 triliun. (LITBANG KOMPAS)

Artikel Terkait

Referensi