Paparan Topik | Ekonomi Syariah

Ekonomi Syariah: Menimbang Peran Perbankan Syariah Perkuat Perekonomian

Perbankan syariah di Indonesia telah dimulai sejak akhir 1980-an, sebagai negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia menggunakan perbankan diyakini harus sejalan dengan syariat Islam. Ketika terjadi krisis moneter tahun 1998, terbukti bank syariah mampu bertahan dibanding bank konvensional. Hingga mulailah tumbuh beberapa bank syariah saat itu.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Teller Bank Syariah Indonesia menghitung uang rupiah di Kantor Cabang Hasanudin, Blok M, Jakarta, Senin (1/2/2021). Bank yang merupakan hasil merger dari PT Bank BRI Syariah Tbk, PT Bank BNI Syariah, dan PT Bank Syariah Mandiri tersebut, resmi beroperasi pada Senin (1/2/2021). Bank beraset Rp 240 triliun ini diharapkan dapat memberikan efek domino bagi ekonomi syariah dan rantai pasok industri halal dalam negeri. BSI saat ini berada di posisi ke-7 dalam daftar sepuluh besar bank terbesar di Indonesia dari sisi aset.

Fakta Singkat

Ekonomi syariah:
Sistem ekonomi yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam (syariah).

Perbankan Syariah di Indonesia
Dimulai tahun 1980

Krisis Ekonomi 1998
Bank syariah lebih mampu bertahan dibandingkan bank umum

Regulasi
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Ekonomi syariah di Indonesia pada saat ini sedang melewati tahap yang penting di tengah persaingan ekonomi global maupun persaingan ekonomi kawasan atau regional yang semakin ketat.

Peran dan kontribusi ekonomi syariah melalui perbankan syariah terhadap perekonomian nasional masih belum signifikan. Peran ekonomi syariah yang minim disebabkan pengembangan berbagai sektor dalam ekosistem perekonomian syariah belum optimal. Cakupan dan pengembangan ekonomi syariah yang masih condong kepada sektor keuangan juga merupakan kendala.

Perkembangan keuangan syariah yang lebih pesat dipicu oleh beberapa faktor, seperti kebutuhan yang mendesak di masyarakat akan sistem keuangan yang bebas dari riba. Selain itu, adanya regulasi yang responsif terkait kebutuhan keuangan syariah serta model pengembangan sistem keuangan syariah yang sudah tersedia secara global.

Di sisi lain, yang menyebabkan sektor riil tidak berkembang adalah persepsi dan realitas bahwa sebagian besar sektor industri di Indonesia secara substansi sudah memenuhi syarat halal.

Namun, persepsi ini terbukti merugikan karena sertifikasi halal (ramah Muslim) berbagai produk adalah persyaratan utama dalam pemenuhan permintaan pasar. Oleh karena itu, di benak masyarakat konotasi ekonomi syariah sama dengan keuangan atau perbankan syariah. Pada implementasinya, perbankan syariah merupakan salah satu dari sejumlah aspek perekonomian dan kelembagaan syariah.

Definisi ekonomi syariah

Ekonomi syariah dalam Global Islamic Economy Report 2013 diartikan sebagai sistem ekonomi yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam (syariah). Cakupannya adalah seluruh sektor perekonomian yang ada, baik keuangan maupun sektor riil. Sistem ekonomi syariah juga harus memberikan manfaat (maslahah) yang merata dan berkelanjutan bagi setiap elemen dalam perekonomian.

Global Islamic Economy Report merupakan seri laporan global mengenai kinerja perekonomian negara Muslim dunia. Berdasarkan laporan tersebut, Islamic economy diartikan sebagai semua sektor inti perekonomian beserta ekosistemnya yang secara struktural dipengaruhi oleh gaya hidup konsumen dan praktik bisnis sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Definisi ini konsisten dengan yang diajukan oleh ekonom, seperti Frederic Pryor (1985). Menurutnya, system ekonomi syariah adalah konstruksi teoretikal dari sistem ekonomi industri, yang pelakunya mengikuti ajaran Islam.

Meski masih menganggap ekonomi syariah sebatas konstruksi teori, namun Pryor menekankan bahwa sistem ini dijalankan oleh umat Islam, konsisten dengan pengertian yang ditawarkan oleh peneliti dan pemikir ekonomi syariah lain.

Timur Kuran (1986) menjelaskan pelaku ekonomi Islam membuat keputusan berlandaskan norma yang terkandung dalam Alquran dan sunah. Yang menarik adalah bahwa ekonomi syariah bukan hanya dijalankan oleh Muslim, sebagaimana pemahaman Pryor, melainkan siapa saja yang keputusannya dipandu oleh prinsip ekonomi bersumber dari dua sumber ajaran Islam.

Umer Chapra (1997) juga menjelaskan hal yang sama. Menurutnya, sistem ekonomi syariah mengutamakan keadilan sosial dan ekonomi, serta keseimbangan antara kebutuhan materi dan spiritual. Ini adalah definisi sistem ekonomi syariah yang universal dan konsisten dengan arah pembangunan nasional, dasar negara Pancasila, serta strategi pembangunan berkelanjutan yang telah diadopsi, seperti tujuan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development goals/ SDGS).

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Petugas Bank Syariah Indonesia melayani nasabah di Kantor Cabang Hasanudin, Blok M, Jakarta, Senin (1/2/2021). Bank yang merupakan hasil merger dari PT Bank BRI Syariah Tbk, PT Bank BNI Syariah, dan PT Bank Syariah Mandiri tersebut, resmi beroperasi pada Senin (1/2/2021). Bank beraset Rp 240 triliun ini diharapkan dapat memberikan efek domino bagi ekonomi syariah dan rantai pasok industri halal dalam negeri. BSI saat ini berada di posisi ke-7 dalam daftar sepuluh besar bank terbesar di Indonesia dari sisi aset.

Apa itu Bank Syariah?

Bank syariah adalah bank yang dijalankan berdasarkan syariah sesuai dengan tuntunan Al Quran dan Hadist yang ditafsirkan oleh ulama, juga merupakan bagian dari sistem ekonomi dan keuangan syariah Islam. Karakteristik bank syariah adalah bagi hasil, yaitu loss dan profit sharing yang menjadi landasan umum bank Islam secara keseluruhan.

Bank syariah tidak terbatas pada orang orang muslim saja, orang nonmuslim pun dapat bekerja di bank syariah dengan bekerja dalam sistem syariah, bahkan nonmuslim dapat menjadi nasabah ataupun peminjam modal dari bank syariah asalkan produk bisnisnya halal.

Ada empat akad utama; yaitu al-musyarakah, al-mudharabah, al-muzara’ah al-musaqah.

  • Al-musyarakah (partnership, project financing participation) adalah akad kerja sama dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan keuntungan dan resiko ditanggung bersama.
  • Al-mudharabah (trust financing, trust investment), dimana pihak pertama menyediakan seluruh dana dan pihak lainnya menjadi pengelola saja, dan dibuat kesepakatan bersama untuk menjamin keuntungan dan jika terjadi kerugian.
  • Al-muzara’ah (harvest-yield profit sharing); perjanjian dalam mengelola pertanian antara pemilik lahan dan penggarap. Pemilik memberikan upah pada penggarap dalam bentuk bagi hasil.
  • Al-musaqah mirip dengan al-muzara’ah, penggarap hanya bertanggung jawab merawat dan menyirami tanaman/kebun dan penggarap berhak atas nisbah tertentu dari pemilik.

Dalam perbankan syariah, pihak bank bertindak sebagai mitra bagi nasabah yang datang untuk menabung, juga bagi nasabah yang meminjam/berhutang. Bagi nasabah yang menabung atau menyimpan uang, bank syariah akan bertindak sebagai mudharib atau pengelola, sedangkan nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau penyandang dana.

Sementara untuk pengusaha/peminjam dana, bank syariah bertindak sebagai Shahibul maal (penyandang dana) dan peminjam akan bertindak sebagai mudharib atau pengelola karena menggunakan uang bank untuk menjalankan usahanya.

Antara bank syariah dengan bank nonsyariah memiliki beberapa perbedaan, yaitu :

  1. Bank syariah tidak menerapkan sistem bunga, tetapi loss and profit sharing. Dalam hal ini nasabah tidak mendapat kepastian keuntungan yang mereka dapatkan dengan menabung di bank syariah. Sedangkan pengusaha/peminjam uang tidak mempunyai nilai bunga yang tetap.
  2. Bank syariah menekankan pada investasi sektor riil, karena mengharamkan bunga.
  3. Bank syariah hanya membiayai invenstasi yang halal, mereka akan selektif dalam memilih investasi yang akan dibiayai.
  4. Orientasi tidak hanya keuntungan juga falah, yaitu kebaikan di dunia dan akhirat.
  5. Hubungan antara bank syariah dengan nasabah atau peminjam berdasarkan atas dasar kemitraan.
  6. Seluruh produk dan operasional didasarkan pada syariat Islam.

Infografis: Aset Bank Syariah Indonesia

Sejarah perbankan syariah di Indonesia

Di Indonesia wacana perbankan Syariah sudah dimulai sejak awal periode 1980-an, dipengaruhi oleh berkembangnya bank syariah di negara-negara Islam lainnya. Dalam buku Bank Syariah (Antonio, 2001:25) disebutkan bahwa diskusi mengenai ekonomi syariah sudah dimulai dengan dirintisnya Baitut Tamwil Salman, Bandung dan Koperasi Ridho Gusti di Jakarta. Hal itu merupakan perwujudan gagasan dan hasil diskusi antara para tokoh, yaitu Karnaen A. Perwataatmaja, M. Dawam Rahardjo, A.M. Saefuddin, dan Amin Azies.

Gagasan tentang ekonomi syariah menjadi diskusi serius saat berlangsungnya Lokakarya MUI pada 18–20 Agustus 1990 dengan tema “Bunga dan Perbankan” di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Dalam Munas IV MUI tanggal 22–25 Agustus 1990 di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, terdapat salah satu rekomendasi, yaitu membentuk Kelompok Kerja yang disebut Tim Perbankan MUI.

Dengan bantuan Presiden RI dengan Tim Perbankan MUI ini, kemudian keluarlah Akte Pendirian PT Bank Muamalat Indonesia yang ditandatangani tanggal 1 November 1991. Dengan itu, pada 1 Mei 1992 Bank Muamalat beroperasi dengan komitmen modal disetor sebesar Rp106.126.382.000,00 dan telah memiliki 45 outlet di Jakarta pada tahun 1999.

Pemerintah Indonesia lebih serius dengan perbankan syariah dengan membentuk Komite Ahli Pengembangan Bank Syariah yang digawangi Bank Indonesia, Ketua Komite Prof. KH. Ali Yafie,  dengan anggota Bismar Siregar, Sayuti Hasibuan, Yusril Ihza Mahendra,  Nurcholis Madjid dan Imaduddin Abdurrahim. Kemudian, dibentuk pula Komite Pengarah yang beranggotakan, antara lain, Mentri Keuangan, Menteri Agama, Menteri Sekretaris Negara dan Gubernur B.I. (Kompas, 4 September 1998)

Payung hukum perbankan syariah

Pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang (UU) Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang mengatur secara terperinci landasan hukum dan jenis usaha yang dapat diimplementasikan dalam perbankan syariah.

Dalam praktek perbankan, sebuah bank syariah harus berpedoman pada DSN-MUI, Undang-undang Perbankan Syariah, Peraturan Bank Indonesia (PBI) untuk bank syariah, Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) untuk bank syariah, Peraturan OJK (POJK) untuk bank syariah, Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah (PAPSI), Pernyataan Standar Akuntansi Syariah (PSAK), serta regulasi internasional seperti AAOIFI dan IFSB Standard.

Untuk menjamin praktik bank syariah berjalan sesuai dengan prinsip syariah, dibentuklah Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI. Dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang memberikan kewenangan kepada MUI, melalui DSN-MUI untuk menerbitkan fatwa kesesuaian syariah suatu produk bank. Peraturan Bank Indonesia (sekarang POJK) menegaskan bahwa seluruh produk perbankan syariah hanya boleh ditawarkan kepada masyarakat setelah bank mendapat fatwa dari DSN-MUI dan memperoleh izin dari OJK.

Selain itu, dibentuk pula Dewan Pengawas Syariah, yaitu suatu badan yang dibentuk dan keanggotaan dalam DPS atas rekomendari dari DSN-MUI. Tugas DPS adalah melakukan pengawasan terhadap penerapan prinsip syariah dalam lembaga keuangan syariah. Fungsi DPS adalah melakukan proses pengawasan secara periodik, melaporkan perkembangan produk, merumuskan permasalahan serta berkewajiban mengajukan usulan pengembangan bank syariah pada lembaga keuangan yang bersangkutan, serta melaporkannya pada DSN-MUI.

Perkembangan Bank Syariah Indonesia

Setelah Bank Muamalat berkembang baik pada pascakrisis moneter, ditambah lagi dengan UU No.10/1998, dunia perbankan Indonesia bergairah menyambut gagasan bank syariah. Bank Indonesia kemudian melakukan “Pelatihan Perbankan Syariah” bagi para pejabat bank Indonesia. Hal itu pun dilakukan oleh bank lainnya.

Bank pemerintah yang pertama kali menggunakan  prinsip syariah pada operasionalnya adalah Bank Syariah Mandiri (BSM). Krisis moneter tahun 1998 membuat dunia perbankan Indonesia kolaps banyak bank berjatuhan hingga merger pun harus terjadi. Pada November 1999 resmi dijalankan Bank Syariah Mandiri yang secara penuh beroperasi menerapkan atas dasar prinsip  syariah. BSM ini merupakan hasil konversi dari Bank Susila Bakti, salah satu bank yang di merger ketika krisis moneter 1998. Dengan Presiden Komisaris pertama Binhadi, BSM memiliki lima cabang di Jakarta dan tiga cabang di Bandung, Surabaya, dan Medan.

Hingga tahun 2020 di Indonesia terdapat setidaknya 12 bank syariah, 20 unit usaha syariah, dan 160-an Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Sejak Februari 2021, dilakukan merger tiga BUMN, yaitu BNI Syariah, BRI Syariah dan Bank Syariah Mandiri menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI). Merger ini sejalan dengan  Masterplan Ekonomi Keuangan Syariah Indonesia (MEKSI) 2019–2024 yang mencanangkan pengembangan jasa keuangan syariah, pengembangan industri halal, industri produk halal dan mendorong kegiatan jasa keuangan sosial syariah.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Nasabah mencari informasi tentang Bank Syariah Indonesia di Kantor Cabang Hasanudin, Blok M, Jakarta, Senin (1/2/2021). Bank yang merupakan hasil merger dari PT Bank BRI Syariah Tbk, PT Bank BNI Syariah, dan PT Bank Syariah Mandiri tersebut, resmi beroperasi pada Senin (1/2/2021). Bank beraset Rp 240 triliun ini diharapkan dapat memberikan efek domino bagi ekonomi syariah dan rantai pasok industri halal dalam negeri. BSI saat ini berada di posisi ke-7 dalam daftar sepuluh besar bank terbesar di Indonesia dari sisi aset.

Kekuatan dan kelemahan bank syariah

Kekuatan dan Kelemahan Bank Syariah

  • Kekuatan utamanya adalah bermain di sektor riil hingga dapat mengurangi angka pengangguran dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, sistem loss and profit sharing telah membuktikan bisa mengurangi resiko kerugian bank jika terjadi krisis ekonomi. Hal ini dikarenakan bank tidak sendirian menanggung resiko kerugian.
  • Kelemahannya adalah hingga saat ini jumlah cabang bank syariah masih terbatas di Indonesia. Selain itu, nama “Syariah” masih kurang dipercaya oleh masyarakat nonmuslim dan jenis usaha terbatas.

Perbandingan Bank Syariah dan Bank Konvensional

Bank Syariah

Bank Konvensional

  • Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli atau sewa
  • Memakai perangkat bunga
  • Berorientasi pada profit dan falah (dunia-akhirat)
  • Berorientasi profit
  • Hubungan dengan nasabah bentuknya kemitraan
  • Hubungan dengan nasabah debitor-kreditor
  • Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah
  • Tidak terdapat dewan sejenis

Sumber: Masterplan Ekonomi Syariah 2019-2024

Klaster perbankan syariah

Berdasarkan data dari State of the Global Islamic Economy tahun 2018, keuangan syariah global pada tahun 2016 tercatat memperoleh pemasukan sebesar USD 2.202 miliar. Pada tahun 2022 diproyeksikan meningkat menjadi USD 3.782 miliar.

Sementara itu, sektor perbankan syariah komersial pada tahun 2016 menerima pemasukan USD 1.599 miliar dan diproyeksikan akan mengalami peningkatan menjadi USD 2.439 miliar pada tahun 2022.

Selain itu, pangsa pasar muslim terhadap pasar ekonomi syariah global dari sisi pengeluaran mencapai 11,9 persen pada tahun 2016, dan diproyeksikan akan meningkat dari USD 2.006 miliar pada tahun 2016 menjadi USD 3.081 miliar pada 2022.

Secara umum, keuangan syariah global dalam kurun waktu 2014 hingga 2018 masih dikuasai oleh negara-negara yang sama, antara lain, Malaysia, Uni Emirat Arab (UEA), dan Bahrain.

Di sisi lain, perkembangan ekonomi syariah secara global mulai bergeser. Semula mendorong pengembangan industri keuangan syariah. Kini fokusnya menjadi sektor riil. Dasarnya adalah asas syariah. Maka, konsep ekonomi halal secara global mulai digaungkan. Di dalamnya terdapat berbagai produk halal yang siap dikembangkan.

Halal Industry Development Corporation (HDC) menjabarkan bahwa produk halal saat ini menjadi nilai utama rantai pasokan dalam sektor industri yang beragam. Produk halal berpotensi besar mengembangkan sektor keuangan baik secara global maupun domestik dari sektor riil. Sehingga secara global, perkembangan ekonomi syariah akan sesuai dengan fitrahnya, yaitu menjadi kesatuan antara keuangan dan sektor riil.

Sementara itu, industri keuangan syariah Indonesia dalam Global Islamic Economy Index (GIEI) 2018/19 menempati posisi ke-8 di dunia, meningkat dua poin, setelah pada tahun sebelumnya, Indonesia menempati posisi ke-10.

Industri keuangan syariah yang dimaksud mencakup perbankan syariah dan pasar modal syariah, baik dari sisi sukuk negara (sovereign sukuk) maupun sukuk korporasi (corporate sukuk).

Jika dilihat berdasarkan urutan aset keuangan syariah secara global, seperti yang diungkapkan ICD Thomson Reuters pada tahun 2018, aset keuangan syariah Indonesia mengalami peningkatan dari sebesar USD 47,6 miliar pada tahun 2016 menjadi USD 81,8 miliar pada tahun 2017, atau meningkat dari peringkat ke-9 menjadi ke-7 di dunia pada periode tersebut.

Masuknya Indonesia ke dalam 10 besar pemilik aset keuangan syariah terbesar di dunia menjadi pertanda bahwa Indonesia semakin kompeten untuk turut serta melejitkan perkembangan keuangan syariah di dunia.

Sektor perbankan syariah menjadi salah satu sorotan dalam perkembangan industri keuangan syariah. Meskipun demikian, jika dilihat dari jumlah aset, rasio kecukupan modal (CAR), potensi pengembalian (ROA), dan penurunan kredit macet (NPF Net), data perbankan syariah di tahun 2014 hingga 2018 menunjukkan tren yang positif.

Per bulan Juli 2018, aset bank syariah telah mencapai Rp431.4 trilliun dengan CAR 20,41 persen; ROA 1,35 persen; serta NPF Net sebesar 3,92 persen. Sementara itu, jika dilihat melalui total aset perbankan syariah menurut data Kementerian Keuangan sampai April 2018, total aset perbankan syariah Indonesia mencapai Rp435 triliun atau 5,79 persen dari total aset industri perbankan nasional.

Pencapaian pangsa pasar perbankan syariah Indonesia selama 20 tahun masih berada di angka 5 persen. Beragam upaya telah dilakukan pemangku kepentingan melalui kebijakan kebijakan dalam rangka meningkatkan pangsa pasar perbankan syariah sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Walaupun pangsa pasarnya masih kecil, perbankan syariah telah memberikan kontribusi terhadap pengembangan sistem perbankan nasional. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku

Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah, dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.

Ifham, Ahmad. 2015. Ini Lho Bank Syariah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Arsip Kompas
  • Dibentuk Komite Ahli Pengembangan Bank Syariah, Kompas, 4 September 1998
  • Bank Syariah Mandiri Resmi Beroperasi, Kompas, 19 Nov 1999