Paparan Topik | Virus Korona

Kebijakan Fiskal, Moneter, dan Jasa Keuangan untuk Mengatasi Dampak Covid-19 di Indonesia

Menghadapi dampak Covid-19, pemerintah, Bank Indonesia, dan OJK menerbitkan beragam kebijakan fiskal, moneter, dan pengaturan jasa keuangan. Kebijakan strategis itu diambil untuk mendukung upaya penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.

KOMPAS/LASTI KURNIA

Menteri Keuangan Sri Mulyani (ketiga kiri) bersama Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kedua kiri), Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita (kiri), Ketua OJK Wimboh Santoso (kanan), dan Menteri Perdagangan Agus Suparmanto (kedua kanan) memberikan keterangan terkait Stimulus Kedua Penanganan Dampak Covid-19 di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (13/3/2020).

Fakta Singkat

Kebijakan Fiskal, Moneter, dan Jasa Keuangan Menghadapi Dampak Covid-19

Payung Hukum

  • Perppu 1/2020
  • UU 2/2020
  • PP 23/2020

Stimulus Ekonomi

  • Jilid 1: Rp10,3 triliun
  • Jilid 2: Rp22,9 triliun
  • Lanjutan: Rp405 triliun

Kebijakan Moneter

  1. Penurunan suku bunga
  2. Stabilisasi dan penguatan rupiah
  3. Perluasan instrumen dan transaksi pasar uang dan valas
  4. Injeksi likuiditas
  5. Pelonggaran kebijakan makroprudensial
  6. Kemudahan dan kelancaran sistem pembayaran tunai dan nontunai

Sektor Jasa Keuangan

  1. Kebijakan countercyclical dampak penyebaran Covid-19
  2. Menjaga stabilias dan sentimen pasar
  3. Menjaga likuiditas
  4. Dukungan dan sinergi

Hampir enam bulan lamanya, Indonesia bergulat mengatasi pandemi Covid-19. Tak hanya berdampak pada sisi kesehatan, pandemi Covid-19 juga membuat kegiatan ekonomi nasional melambat, pendapatan masyarakat berkurang, pengangguran bertambah, angka kemiskinan meningkat, dan derajat kesejahteraan secara luas menurun.

Hingga akhir Juli 2020, pekerja formal maupun informal yang terdampak Covid-19 mencapai 3,5 juta orang. Tingkat kemiskinan pada Maret 2020 naik menjadi 9,78 persen dibandingkan Maret 2019 (9,41 persen). Dari sisi jumlah, dampak Covid-19 berpotensi menambah jumlah penduduk miskin antara 3,02 hingga 5,71 juta orang.

Peningkatan kasus Covid-19 selanjutnya berdampak pula pada perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, serta peningkatan belanja dan pembiayaan negara.

Badan Pusat Statistik mencatat, pada triwulan II, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi negatif atau mengalami kontraksi -5,32 persen year on year (yoy), jauh lebih rendah dibandingkan capaian triwulan I 2020 sebesar -2,97 persen (yoy).

Kinerja penerimaan pajak juga terkontraksi. Kementerian Keuangan mencatat, sampai akhir Juli 2020, penerimaan pajak minus 14,7 persen (yoy), turun dari Rp 705,6 triliun menjadi Rp 601,8 triliun pada periode yang sama. Anjloknya penerimaan pajak ini sejalan dengan lesunya kinerja ekonomi selama tujuh bulan terakhir.

Di sisi lain, belanja negara justru meningkat karena harus mendukung berbagai sektor, seperti kesehatan dan perlindungan sosial; serta harus mendukung dunia usaha melalui pemberian insentif.

Kementerian Keuangan mencatat, defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) hingga Juli 2020 mencapai Rp 330,2 triliun atau 2,01 persen dari produk domestik bruto (PDB). Pendapatan negara hanya mencapai Rp 922,2 triliun, sedangkan posisi belanja negara meningkat mencapai Rp 1.252,4 triliun seiring dengan program pemulihan ekonomi nasional.

Dampak pandemi Covid-19 mengharuskan pemerintah melakukan berbagai upaya luar biasa, baik di bidang kesehatan maupun di bidang ekonomi. Secara makro, langkah-langkah tersebut dapat dilihat dari sisi kebijakan fiskal dan moneter.

SEKRETARIAT PRESIDEN
Presiden Joko Widodo melakukan pertemuan dengan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, Menteri BUMN Erick Thohir, Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin, serta Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (20/7/2020). Pertemuan membahas tentang pembentukan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional.

Payung hukum

Pemerintah merespons dampak Covid-19 dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemik Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Perppu tersebut kemudian diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020.

Secara garis besar, Perppu tersebut mengatur kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan negara. Kebijakan keuangan negara tersebut meliputi kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, dan kebijakan pembiayaan.

Sedangkan kebijakan stabilitas sistem keuangan meliputi kebijakan untuk penanganan permasalahan lembaga keuangan yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.

Di bidang fiskal, perppu ini memperbolehkan kebijakan fiskal menjadi fleksibel, yakni defisit dapat melebihi aturan fiskal, di atas 3 persen PDB paling lama hingga akhir tahun anggaran 2022.

Perppu di atas juga memberikan kewenangan tambahan kepada Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Otoritas Jasa Keuangan.

Komite Stabilitas Sistem Keuangan diberi kewenangan menangani stabilitas sistem keuangan, di antaranya memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek pada bank sistemik dan bukan sistemik. Selain itu, BI diberi kewenangan membeli surat utang negara atau surat berharga syariah negara berjangka panjang di pasar perdana. Korporasi juga diberi kesempatan memperoleh pendanaan melalui penjualan kembali surat utang (repo).

Awalnya, pemerintah mengalokasikan total Rp 405,1 triliun untuk penanganan Covid-19 di bidang kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional. Selanjutnya, pemerintah merangkum berbagai kebijakan dalam menanggulangi dampak Covid-19 dalam program bernama Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Pemerintah mengalokasikan dana APBN untuk pemulihan ekonomi sebesar Rp 695,2 triliun.

Kebijakan ini termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 yang diteken Presiden Joko Widodo pada 9 Mei lalu. Tujuannya untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan kemampuan ekonomi.

Jumlah tersebut diturunkan dalam enam pos anggaran, yakni bidang kesehatan Rp 87,55 triliun, perlindungan sosial Rp 203,9 triliun, insentif usaha Rp 120,61 triliun, UMKM Rp 123,46 triliun, pembiayaan korporasi Rp 53,57 triliun, serta sektoral kementerian/lembaga dan pemda Rp 106,11 triliun.

Pendekatan dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) adalah memberikan stimulus secara komprehensif, baik dari sisi demand maupun supply.

Dari sisi demand, stimulus bertujuan untuk mempertahankan daya beli masyarakat. Bentuknya berupa program perlindungan sosial, baik yang bersifat perluasan dari program existing maupun program-program baru.

Program existing meliputi Program Keluarga Harapan, kartu sembako, dan kartu prakerja. Sementara itu, program-program baru terdiri atas bantuan sembako Jabodetabek, bansos tunai non-Jabodetak, BLT dana desa, dan diskon listrik.

Dari sisi supply, pemberian insentif perpajakan dan dukungan untuk dunia usaha ditujukan untuk mempertahankan aktivitas usaha sekaligus meningkatkan produksi nasional.

Untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat tiga kebijakan yang dilakukan, yaitu peningkatan konsumsi dalam negeri, peningkatan aktivitas dunia usaha, serta menjaga stabilitasi ekonomi dan ekspansi moneter. Kebijakan tersebut dilaksanakan secara bersamaan dengan sinergi antara pemegang kebijakan fiskal, pemegang kebijakan moneter dan institusi terkait.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2021 dalam rapat paripurna DPR yang digelar di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/5/2020).

Stimulus ekonomi

Untuk meredam dampak ekonomi Covid-19, pemerintah memberikan beberapa insentif dan stimulus ekonomi kepada masyarakat, dunia usaha, dan pasar keuangan.

Kebijakan stimulus ekonomi tahap pertama difokuskan untuk memperkuat perekonomian domestik 2020 melalui belanja. Anggaran yang disediakan sebesar Rp 10,3 triliun.

Stimulus ekonomi jilid I tersebut berupa kebijakan belanja untuk memperkuat perekonomian domestik tahun 2020 dengan dua kelompok kegiatan, yakni 1) percepatan belanja dan kebijakan mendorong padat karya serta 2) stimulus belanja.

Percepatan belanja dan kebijakan mendorong padat karya dilakukan dengan empat hal, yakni percepatan pencairan belanja modal, percepatan pencairan belanja bantuan sosial, serta transfer ke daerah dan dana desa.

Sedangkan stimulus belanja dilakukan dengan perluasan kartu sembako, perluasan subsidi bunga perumahan, insentif sektor pariwisata, dan kartu prakerja.

Pemerintah kemudian melanjutkan dengan paket stimulus kedua pada tanggal 13 Maret 2020. Kebijakan ini difokuskan untuk menjaga daya beli masyarakat dan kemudahan ekspor-impor. Kebijakan jilid II ini dilakukan melalui empat kebijakan fiskal dan empat kebijakan nonfiskal. Anggaran yang disiapkan sebesar Rp 22,9 triliun.

Kebijakan fiskal dalam paket stimulus ekonomi tahap II ini terdiri dari empat hal. Pertama, relaksasi pajak penghasilan pasal 21 (PPh pasal 21). Relaksasi tersebut diberikan melalui skema PPh pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP) sebesar 100 persen atas penghasilan dari pekerja dengan besaran sampai dengan Rp 200 juta pada sektor industri pengolahan. Total perkiraan pembebasan sebesar Rp 8,6 triliun.

Kedua, relaksasi pajak penghasilan pasal 22 impor (PPh 22 impor). Relaksasi diberikan melalui skema pembebasan PPh 22 impor kepada 19 sektor tertentu, wajib pajak kemudahan impor tujuan ekspor (KITE), dan wajib pajak KITE industri kecil menengah (IKM). Kebijakan ini ditempuh sebagai upaya memberikan ruang cashflow bagi industri sebagai kompensasi switching cost atau biaya sehubungan perubahan negara asal impor.

Pembebasan PPh 22 impor diberikan selama 6 bulan terhitung mulai bulan April hingga September 2020 dengan total perkiraan pembebasan sebesar Rp 8,15 triliun.

Ketiga, pengurangan pajak penghasilan pasal 25 (PPh 25) sebesar 30 persen kepada 19 sektor tertentu, wajib pajak KITE, dan wajib pajak KITE-IKM selama 6 bulan terhitung mulai bulan April hingga September 2020 dengan total perkiraan pengurangan sebesar Rp 4,2 triliun.

Melalui kebijakan tersebut, industri diharapkan memperoleh ruang cashflow sebagai kompensasi switching cost (biaya sehubungan perubahan negara asal impor dan negara tujuan ekspor). Selain itu, dengan upaya mengubah negara tujuan ekspor, peningkatan ekspor diharapkan akan terjadi.

Keempat, restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) dipercepat (pengembalian pendahuluan) bagi 19 sektor tertentu, wajib pajak KITE dan KITE-IKM. Restitusi PPN dipercepat diberikan selama 6 bulan, terhitung mulai bulan April hingga September 2020 dengan total perkiraan besaran restitusi sebesar Rp 1,97 triliun.

Tidak ada batasan nilai restitusi PPN khusus bagi para eksportir. Sementara bagi noneksportir, besaran nilai restitusi PPN ditetapkan paling banyak Rp 5 miliar. Dengan adanya percepatan restitusi, wajib pajak dapat lebih optimal menjaga likuiditasnya.

Selain kebijakan fiskal, pemerintah menyiapkan pula paket kebijakan nonfiskal yang bertujuan untuk memberikan dorongan terhadap kegiatan ekspor-impor. Stimulus nonfiskal tersebut meliputi empat hal.

Pertama, penyederhanaan dan pengurangan jumlah larangan dan pembatasan (Lartas) untuk aktivitas ekspor yang bertujuan untuk meningkatkan kelancaran ekspor dan daya saing. Kebijakan ini akan dikenakan kepada 749 kode HS.

Kedua, penyederhanaan dan pengurangan jumlah larangan serta pembatasan (Lartas) aktivitas impor pada komoditas tertentu, termasuk penopang manufaktur, pangan, dan kesehatan/medis. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kelancaran dan ketersediaan bahan baku

Ketiga, percepatan proses ekspor dan impor untuk Reputable Traders, yakni perusahaan-perusahaan terkait dengan kegiatan ekspor-impor yang memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi.

Keempat, peningkatan dan percepatan layanan proses ekspor-impor serta pengawasan melalui pengembangan National Logistic Ecosystem (NLE).

Pemerintah meluncurkan stimulus lanjutan pada tanggal 31 Maret 2020. Anggaran yang dikucurkan sebesar Rp 405 triliun atau setara dengan 2,5 persen dari PDB Indonesia.

Dana tersebut rencananya dialokasikan ke dalam empat pos program, yakni jaring pengaman sosial (27 persen), bantuan kesehatan (19 persen), bantuan industri (17 persen), dan pemulihan ekonomi nasional (34 persen).

Di sektor kesehatan, dilakukan intervensi untuk penanganan Covid-19 dan subsidi iuran BPJS. Di bidang sosial, dilakukan penambahan jaring pengaman sosial, yakni penambahan penyaluran PKH, bansos, kartu prakerja, subsidi tarif listrik, serta program jaring pengaman sosial lainnya.

Di bidang industri, dilakukan perluasan insentif pajak untuk PPh 21, PPh 22 impor, PPN, bea masuk DTP, dan stimulus KUR. Dukungan untuk dunia usaha diberikan berupa pembiayaan untuk mendukung program pemulihan ekonomi nasional termasuk untuk ultra mikro.

Selain stimulus fiskal, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan terkait transfer ke daerah (TKD) dalam rangka penanggulangan Covid-19. Kebijakan itu meliputi penyesuaian alokasi transfer ke daerah dan dana desa (TKDD); refocusing TKDD agar digunakan untuk penanganan Covid-19; relaksasi penyaluran TKDD; serta refocusing belanja APBD agar fokus pada penanganan Covid-19. Anggaran yang disiapkan mencapai Rp 17,17 triliun.

BANK INDONESIA UNTUK KOMPAS
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam pemaparan perkembangan ekonomi terkini di Jakarta, Kamis (2/4/2020). Ia menilai mekanisme pasar keuangan saat ini tengah menghadapi situasi yang tidak normal akibat pandemi Covid-19 yang berimbas pada kapasitas pasar dalam menyerap SUN berkurang.

Kebijakan moneter

Sejak merebaknya pandemi Covid-19, Bank Indonesia (BI) terus memperkuat seluruh instrumen bauran kebijakan untuk melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah, mengendalikan inflasi, dan mendukung stabilitas sistem keuangan. Pada saat yang sama, BI juga giat mencegah penurunan kegiatan ekonomi lebih lanjut melalui koordinasi erat dengan Pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

Bauran kebijakan BI tersebut terdiri dari enam aspek penting. Pertama, penurunan suku bunga kebijakan moneter (BI7DRR) empat kali hingga Juli 2020 masing-masing sebesar 25 bps. Penurunan suku bunga kebijakan ini konsisten dengan prakiraan inflasi yang rendah dan terkendali pada kisaran sasaran 3+1 persen, serta untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional.

Kedua, BI juga melakukan stabilisasi dan penguatan rupiah melalui peningkatan intensitas kebijakan intervensi baik di pasar spot, Domestic Non Deliverable Forward (DNDF), maupun pembelian SBN dari pasar sekunder. Stabilisasi rupiah juga diupayakan melalui penurunan wajib minimum (GWM) valuta asing, penurunan GWM rupiah untuk banyak yang melakukan kegiatan ekspor-impor, pembiayaan UMKM dan sektor prioritas lain, serta peluasan jenis underlying transaksi bagi investor asing.

Ketiga, BI terus memperluas instrumen dan transaksi di pasar uang dan pasar valas. Hal ini ditempuh, antara lain dengan menyediakan lebih banyak instrumen lindung nilai terhadap risiko nilai tukar rupiah melalui transaksi DNDF; memperbanyak transaksi swap valas; menyediakan term repo untuk kebutuhan perbankan; serta memperkuat operasi moneter dan pendalaman pasar keuangan syariah melalui berbagai instrumen. BI juga memperkuat instrumen term deposit valas guna meningkatkan pengelolaan likuiditas valas di pasar domestik serta mendorong perbankan untuk menggunakan penurunan giro GWM valas yang telah diputuskan BI.

Keempat, untuk mendorong pembiayaan bagi dunia usaha dan pemulihan ekonomi nasional, BI telah melakukan injeksi likuiditas (quantitative easing) ke pasar uang dan perbankan dalam jumlah yang besar. Hingga 14 Juli 2020, BI telah melakukan injeksi likuiditas sekitar Rp 633,24 triliun yang dilakukan, antara lain melalui pembelian SBN dari pasar sekunder; penyediaan likuiditas perbankan dengan repo SBN; swap valas; serta penurunan giro wajib minimum (GWM) rupiah.

Kelima, pelonggaran kebijakan makroprudensial untuk mendorong perbankan dalam pembiayaan dunia usaha dan ekonomi. Hal ini dilakukan melalui pelonggaran ketentuan Loan to Value Ratio (LTV), Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM), serta penurunan GWM rupiah untuk pembiayaan dunia usaha, khususnya untuk ekspor-impor maupun untuk UMKM dalam rangka memitigasi dampak Covid-19. Selain itu, diusahakan juga penyediaan likuiditas bagi perbankan dalam restrukturisasi kredit UMKM dan usaha ultra mikro yang telah memiliki pinjaman di lembaga keuangan.

Keenam, kemudahan dan kelancaran sistem pembayaran baik tunai maupun nontunai untuk mendukung berbagai transaksi ekonomi dan keuangan. Hal ini dilakukan melalui pengedaran uang yang higienis, serta dorongan bagi masyarakat untuk lebih banyak menggunakan transaksi nontunai, seperti uang elektronik, internet banking, maupun penggunaan QR Code Indonesia Standard (QRIS). BI juga mengadakan percepatan implementasi ekonomi dan keuangan digital sebagai bagian dari upaya pemulihan ekonomi melalui kolaborasi antara bank dan fintech.

Selain itu, pembayaran nontunai juga dimaksudkan untuk mendukung program-program pemerintah dalam menyalurkan dana bantuan sosial, seperti program keluarga harapan (PKH) dan bantuan pangan nontunai (BPNT), program kartu prakerja, dan program kartu Indonesia pintar-kuliah.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso memberikan keterangan kepada wartawan sesuai bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (2/3/2020). Pertemuan tersebut terkait dengan penanganan dampak virus Covid-19 pada sektor ekonomi.

Sektor jasa keuangan

Dari sisi lain, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengoptimalkan sinergi kebijakan untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional yang terdampak Covid-19.

OJK sendiri menerbitkan Peraturan OJK Nomor 11/2020 kemudian ditambah dengan Peraturan OJK Nomor 14/2020 sebagai kebijakan countercyclical dampak penyebaran Covid-19.

Kedua aturan tersebut menjadi pedoman dalam melakukan restrukturasi kredit/pembiayaan dan penetapan kualitas aset perbankan, perusahaan pembiayaan, dan lembaga keuangan mikro dalam satu pilar. Kebijakan ini berhasil menahan laju kenaikan kredit macet (NPL) dan mengurangi tekanan permodalan sehingga stabilitas sektor jasa keuangan terjaga.

Bersama dengan Self-Regulatory Organization (SRO) pasar modal, OJK mengusahakan keberlangsungan aktivitas perdagangan bursa efek yang teratur, wajar dan efisien, serta layanan pasar modal kepada seluruh pemangku kepentingan pasar modal. Hal tersebut dilakukan melalui pelaksanaan aktivitas Business Continuity Management (BCM).

Selain itu, dalam menjaga stabilitas dan sentimen pasar, terdapat empat hal yang dilakukan. Pertama buyback saham oleh emiten tanpa persetujuan RUPS, batasan auto rejection perdagangan di bursa efek, pelarangan transaksi short selling, serta trading halt 30 menit jika IHSG turun 5 persen. Hingga 3 Agustus 2020, kebijakan tersebut berhasil meredakan volatilitas pasar dan menarik investor asing masuk kembali ke pasar modal domestik. Selain itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik dan stabil di atas 5.000.

Dalam menjaga likuiditas, terdapat bauran kebijakan OJK, BI, dan Kemenkeu. OJK melakukan kebijakan penurunan batas minimum rasio kecukupan likuiditas (LCR) dan rasio pendanaan stabil bersih (NSFR) serta penundaan pemberlakukan standar pengaturan perbankan Basel III. BI melakukan penurunan kebijakan penurunan suku bunga BI7DRR dan GWM rate serta pelonggaran likuiditas pembelian surat berharga negara (SBN). Sedangkan Kementerian Keuangan menempatkan dana pemerintah di industri perbankan serta pemberian subsidi bunga kepada debitur dengan kriteria tertentu.

Secara umum, peran OJK dalam pemulihan ekonomi nasional dilakukan dalam bentuk dukungan dan sinergi. Pertama, OJK melakukan dukungan pelaksanaan penempatan dana pemerintah pada Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) dan Bank Pembangunan Daerah (BPD). Dukungan ini dilakukan dengan cara menyampaikan informasi profil bank penerima dana pemerintah, memfasilitasi pertemuan perbankan dan asosiasi penguasaha (KADIN, HIPMI, dan APINDO), serta melakukan monitoring penyaluran kredit secara periodik.

Kedua, dukungan pelaksanaan subsidi bunga oleh pemerintah. Peran ini diupayakan dengan beberapa kegiatan, antara lain penyusunan tata cara subsidi bunga, sosialisasi tata cara bunga kepada perbankan, serta penyampaian informasi kepada calon profil bank peserta dan calon debitur penerima subsidi bunga.

Ketiga, dukungan pelaksanaan penjaminan kredit UMKM dan korporasi. Hal ini dijalankan dengan penyampaian informasi profil bank selaku penerima jaminan serta monitoring realisasi penjaminan kredit secara periodik.

Keempat, sinergi dengan pemerintah daerah dalam menggerakkan sektor riil. OJK bersama dengan pemda melakukan identifikasi kondisi perekonomian daerah, serta mengoptimalkan peran KR/KO dalam melaksanakan program pemulihan ekonomi nasional.  (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Internet
Arsip Kompas
Aturan Pendukung
  • Perppu 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan
  • Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid- 19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang
  • PP 23/2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan serta Menyelamatkan Perekonomian Nasional
  • PP 43/2020 tentang Perubahan atas PP 23/2020
  • Keppres 12/2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Covid-19 Sebagai Bencana Nasional
  • Permenkeu 23/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona dilanjutkan Permenkeu 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Covid-19 dilanjutkan Permenkeu 88/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Covid-19
  • Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019.
  • Peraturan OJK Nomor 14/POJK.05/2020 tentang Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 bagi Lembaga Jasa Keuangan Nonbank