ARSIP KOMPAS
Pertunjukan gambang kromong asli.
Fakta Singkat
- Gambang kromong merupakan salah satu bentuk akulturasi dalam bentuk seni yang pada awalnya berkembang dari wilayah pinggiran sekitar Jakarta.
- Secara etimologi Gambang Kromong berasal dari penyebutan alat musik yang dipergunakan yaitu Gambang dan Kromong. Sebuah ensambel Gambang Kromong terdiri dari alat musik Gambang, Kromong, Sukong, Tehyan, Kongahyan, Basing/suling, Ningnong, Jutao, Kecrek, Kempul, dan Gong.
- Tangerang menjadi tempat asal muasal dan berkembangnya musik gambang kromong, lokasinya di kawasan pinggiran sungai Cisadane.
- Kehidupan masyarakat Tionghoa Tangerang yang dikenal dengan Cina Benteng dimulai dari pendaratan nenek moyang di Teluk Naga pada 1407 oleh Chen Ci Lung.
Jakarta yang dikenal dengan nama Batavia pada zaman penjajahan (abad ke-17) merupakan tempat pertemuan antarbudaya yang dibawa oleh para pendatang.
Akulturasi yang terjadi dengan adanya para pendatang tersebut menjadikan sebuah komunitas tersendiri dari masyarakat Jakarta. Percampuran penduduk multi etnis itu memberikan suatu nuansa dari kehidupan kota Batavia yang heterogen.
Dalam perkembangannya (abad ke-19), terjadilah sebuah perpaduan antarmasyarakat yang ada di Batavia dengan suatu melting pot antaretnis yang berasal dari nusantara dan mancanegara sehingga menjadikan suatu kelompok etnis yang mempunyai ciri khas. Masyarakat etnis tersebut menamakan komunitasnya dengan sebutan orang atau masyarakat Betawi.
Masyarakat Betawi yang sudah lama mendiami kota Jakarta mempunyai adat istiadat dan pola hidup yang khas. Sebagian besar masyarakat Betawi menganut agama Islam, kecuali orang Cina Benteng (peranakan orang Betawi dengan orang Cina).
Dalam hal berkesenian, masyarakat Betawi mempunyai sebuah musik tradisional yang dinamakan Gambang Kromong.
Secara etimologi, Gambang Kromong berasal dari penyebutan alat musik yang dipergunakan, yaitu Gambang dan Kromong. Sebuah ensambel Gambang Kromong terdiri dari alat musik Gambang, Kromong, Sukong, Tehyan, Kongahyan, Basing/suling, Ningnong, Jutao, Kecrek, Kempul, dan Gong.
Musik Gambang Kromong yang sudah dikenal pada tahun 1880 pada waktu Bek Teng Tjoe (seorang kepala kampung atau wilayah pada saat itu) menyajikan musik tersebut untuk sebuah sajian penyambutan para tamunya.
Suara ngaak…ngek..ngok….dari tehyan (alat musik sejenis rebab), yang merupakan alat musik utama musik gambang dan kromong terdengar samar-samar di antara bunyi alat–alat musik lainnya, seperti gendang, trompet, keyboard dan gitar.
Gabungan beberapa alat musik tersebut mengiringi biduan yang membawakan lagu lama, yang sebagian syairnya berupa pantun-pantun tentang tentang janji seorang laki-laki kepada perempuan yang ingin didekati. Suaranya sang biduan kadang melengking mendayu-dayu. Memang tidak terdengar terlalu merdu, layaknya penyani pop atau dangdut, tetapi tetap asyik untuk dinikmati.
Itulah sekilas gambaran musik gambang kromong sekarang ini. Sebuah kesenian tradisional dari Jakarta, namun bukan dari Jakarta, yang dikenal sebagai kota metropolitan seperti yang banyak tergambar dari berbagai media. Gambang Kromong hadir di daerah-daerah pinggiran, seperti, Cibinong, Bekasi, Cilincing, dan Tangerang, di mana banyak masyarakat keturunan Cina kelas menengah ke bawah tinggal dan beranak pinak di sana.
Dari wilayah-wilayah pinggiran tersebut, Tangerang menjadi tempat asal muasal dan berkembangnya musik gambang kromong, persisnya di pinggiran sungai Cisadane, di mana masyarakat keturunan Cina, yang sering disebut Cina Benteng tinggal.
Sejarah Cina Benteng dan Akulturasi Budaya
Nenek moyang Cina Benteng berasal dari suku Hokkian yang datang dari Fujian ke Tangerang dan tinggal turun temurun di kawasan Pasar Lama. Mereka masuk dengan perahu melalui Sungai Cisadane sejak lebih 300 tahun silam. Pada tahun 1800-an, sejumlah orang Cina di sana dipindahkan ke kawasan Pasar Baru dan sejak itu mulai menyebar ke daerah-daerah lainnya. Pasar Baru pada tempo dulu merupakan tempat transaksi (sistem barter) barang orang-orang Cina yang datang lewat sungai dengan penduduk lokal.
Mengenai asal-usul kata Cina Benteng, menurut sinolog dari Universitas Indonesia, Eddy Prabowo Witanto MA (Kompas, 3/2/2003), tidak terlepas dari kehadiran Benteng Makassar. Benteng yang dibangun pada zaman kolonial Belanda itu, sekarang sudah rata dengan tanah, terletak di tepi Sungai Cisadane, di pusat Kota Tangerang.
Pada saat itu menurut Eddy, banyak orang Cina Tangerang yang kurang mampu tinggal di luar Benteng Makassar. Mereka terkonsentrasi di daerah sebelah utara, yaitu di Sewan dan Kampung Melayu. Mereka berdiam di sana sejak tahun 1700-an. Dari sanalah muncul istilah “Cina Benteng”
Tahun 1740, terjadi pemberontakan orang Cina yang protes menyusul keputusan Gubernur Jenedral Valkenier untuk menangkapi orang-orang Cina yang dicurigai. Mereka akan dikirim ke Sri Lanka untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan milik VOC.
Pemberontakan itu dibalas serangan serdadu kompeni ke permukiman-permukiman Cina di Batavia. Sedikitnya 10.000 orang tewas dan sejak itu banyak orang Cina yang mengungsi untuk mencari tempat baru di daerah Tangerang, seperti Mauk, Serpong, Cisoka, Legok dan sampai Parung. Itulah sebabnya banyak orang Cina tinggal di pedesaan di pelosok Tangerang di luar pecinaan daerah Pasar Lama dan Pasar Baru.
Meskipun demikian, menurut pemerhati budaya Cina Indonesia, David Kwa, mereka yang tinggal di luar Pasar Lama dan Pasar Baru itu tetap disebut Cina Benteng.
Yang unik dari masyarakat Cina Benteng adalah mereka sudah berakulturasi dan beradaptasi dengan lingkungan dan kebudayaan lokal. Sebagian besar dari mereka hidup dengan bertani, berternak, menjadi nelayan dan buruh kasar. Layaknya orang pribumi, warna kulit mereka pun banyak yang gelap.
Dalam percakapan sehari-hari, di antara mereka sudah tidak dapat lagi berbahasa Cina. Logat mereka bahkan sudah sangat Sunda pinggiran bercampur Betawi. Ini sangat berbeda dengan masyarakat Cina Singkawang di Kalimantan Barat, yang tetap berbahasa Cina meskipun hidup kesehariannya juga banyak yang menjadi petani miskin
Logat Cina Benteng juga sangat khas, misalnya, ketika mengucapkan kalimat, “Mau ke mana”. Kata “na” diucapkan lebih panjang sehingga terdengar, “mau kemanaaaa”
Meskipun demikian, masyarakat Cina Benteng masih mempertahankan dan melestarikan adat istiadat leluhur mereka yang sudah ratusan tahun. Hal tersebut bisa dilihat pada tata cara upacara perkawinan dan kematian. Salah satunya tampak pada keberadaan “meja abu” hampir di setiap rumah orang Cina Benteng.
Beberapa tradisi lainnya yang masih dipertahan kan, antara lain, Cap Go Meh (perayaan 15 hari setelah Imlek), Pek Cun, Tiong Ciu Pia (kue bulan), dan Pek Gwee Cap Go (hari kesempurnaan).
Dalam pergaulan sehari-hari, sebagai rasa hormat, orang Cina Benteng biasa memanggil orang yang lebih tua dengan sebutan-sebutan. Misalnya, encek untuk laki-laki, encim untuk perempuan yang sudah bersuami dan engkong untuk lansia laki-laki
Yang khas dari masyarakat Cina Benteng adalah pakaian pengantin yang merupakan campuran budaya Cina dan Betawi. Pakaian pengantin laki-laki meniru pakaian kebesaran pada Dinasti Ching, yang tampak dari topinya, sedangkan pakaian pengantin perempuan hasil akulturasi Cina-Betawi yang ditandai dengan penggunaaan kembang goyang di sanggulnya
Dibidang kesenian, masyarakat Cina Benteng memainkan musik gambang kromong. Musik ini merupakan bentuk lain akulturasi masyarakat Cina Benteng. Pertunjukan musik ini biasanya dimainkan dalam pesta-pesta perkawinan, dan diramaikan dengan tari Cokek, yang sebenarnya merupakan budaya tayub masyarakat Sunda pesisir seperti di Indramayu.
KOMPAS/Budi Suwarna
Engkong Lim Tjoan Lie (73) sedang bercukur di depan rumah kebaya kediamannya, (19/5/2010). Rumah kebaya dengan hiasan aksara Cina merupakan ciri rumah peranakan Tionghoa di Tangerang yang lebih sering disebut Cina Benteng.
Artikel terkait
Kesenian Gambang Kromong
Akulturasi dalam musik gambang kromong sangat terlihat jelas dari alat-alat musik yang digunakan, yang merupakan perpaduan alat musik asli Indonesia dan Cina. Alat musik Cina yang dipakai ada tiga buah, yaitu alat musik gesek (sejenis rebab) dari tempurung kelapa dengan bentuk yang sama tetapi ukuran berbeda, disebut dari yang terkecil: tehyan, kongahyan, dan shukong, sedangkan unsur alat musik khas Indonesia adalah: gambang, kromong, gendang, kecrek, ningnong, dan gong. Peralatan musik lokal tersebut umum dipakai pada perangkat gamelan Jawa dan Sunda.
Menurut almarhum Tan Picis, mantan pimpinan gambang kromong “Si Mana Lagi” dari Kalilio 22 Senen, Jakarta Pusat, (Kompas, 18/2/ 1979), yang membandingkan fungsi masing-masing alat musik gambang kromong dengan orkes keroncong. Menurutnya, fungsi tehyan sama dengan biola, gambang sebagai gitar melodi, kromong sebagai ukulele, gendang sebagai cello, dan gong sebagai bass.
Laras alat musik gambang kromong cenderung menyerupai slendro (do-re-mi-sol-la), yang oleh para seniman gambang kromong nadanya diberi nama dalam bahasa Cina, yaitu oh-liu kong-tse-hsiang.
KOMPAS/Robert Adhi Kusumaputra
Akulturasi masyarakat China Benteng di Tangerang terjadi alamiah melalui kegiatan seni dan budaya. Peng Tjuk dan Peng Ok, warga Selapajangjaya, Neglasari, Tangerang, dengan tehyan dan gambang kromong di rumah mereka yang sederhana. Foto tahun 2008.
Artikel terkait
Pada awal mulanya, lagu-lagu gambang kromong adalah lagu-lagu Cina, disebut juga “gambang encek” atau lagu lama, yang terdiri dari lagu-lagu instrumental dan ada juga yang dinyanyikan. Lagu-lagu instrumental itu disebut lagu Phobin, yang artinya pembukaan dan terdiri dari puluhan judul, antara lain, Phobin Matujin, Macutay, Bankinhwa, Cincoweke, Phebotan, Phebotan, Phepantauw, Citnosa, Kingkit, Cutaypan, Kongjilok dan sebagainya. Di samping lagu instrumental di atas, lagu-lagu lama dengan syair dalam bahasa Cina, antara lain, Sipatmo dan Posilitan, yang sayang sekali, sekarang bisa dibilang sudah punah, karena saat ini sudah tidak ada lagi penyanyi gambang kromong yang mampu menyanyikan.
Dalam perkembangannya kemudian muncul lagu-lagu yang syairnya berbahasa betawi, yang sebagian orang, terutama generasi tua masih tahu dengan lagu-lagu tersebut. Sebut saja lagu berjudul Balo-balo, Kramat Kerem, Glatik Nguknguk, Surilang, Jali-jali, Cente Manis, dan sebagainya. Lagu-lagu berbahasa Betawi versi lama itu lazim disebut dengan “lagu sayur” atau “lagu dalem”.
KOMPAS/Wawan H Prabowo
Foto kenang, ketika Presiden Komisaris Kompas Gramedia Jakob Oetama menyerahkan trofi Bentara Budaya Award kepada penyanyi legenda gambang kromong Pang Tjin Nio atau yang lebih dikenal dengan Encim Masna di Bentara Budaya Jakarta, (26/9/2012). Dialah satu-satunya penyanyi gambang kromong yang tersisa saat itu, yang masih bisa menyanyikan lagu-lagu phobin atau lagu lama.
Cokek dalam Pertunjukan Gambang Kromong
Dalam setiap pertunjukan musik gambang kromong, khususnya pada pesta-pesta perkawinan, gambang kromong tidak bisa dilepaskan dari penari cokek. Mereka menari mengikuti alunan lagu yang yang diiringi musik akulturasi tersebut.
Pada awalnya fungsi tari cokek adalah untuk menyambut tamu dalam acara pesta atau upacara. Beberapa penari wanita akan memberikan selendang (yang disebut cukin) kepada para tamu pria sebagai tanda bahwa ia diajak sebagai pasangan menari. Tiap pasang penari saling berhadapan dalam jarak yang cukup dekat tetapi tidak saling bersentuhan dengan gerak di tempat, maju atau mundur.
Dalam beberapa lagu sering terjadi pasangan penari saling membelakangi. Kalau tempatnya cukup luas atau pasangan yang menari tidak terlalu banyak, kadang-kadang ada gerak jalan melingkar dalam lingkaran cukup luas. Setelah selesai menari, pada umumnya, tamu pria memberikan imbalan sekadarnya kepada penari wanita.
Kecepatan langkah kaki dalam tari cokek jatuh pada tiap bunyi kecrek dan kromong dengan langkah-langkah yang cukup panjang. Gerakan tangan dengan rentangan setinggi bahu. Ada sedikit penonjolan gerak pinggul pada para penari wanita, namun tidak terlalu mengarah kepada erotis karena sasaran utamanya adalah humor atau kemeriahan pesta atau upacara saja.
Menurut Nio Hok San, pimpinan Lenong “Setia Kawan” dari Jakarta Utara (Kompas, 18/3 1979), kostum penari cokek pada masa lampau adalah celana panjang, kebaya encim dengan rambut dikepang dua. Namun, dalam perkembangannya penampilan penari cokek terus berubah mengikuti zaman dan selera penonton.
Apabila pada masa lampau tari cokek lebih banyak digemari kalangan masyarakat keturunan Cina sehingga sering disebut “hiburan babah”, dewasa ini tari cokek juga digemari oleh masyarakat lainnya di pinggiran Jakarta. Fungsi tari cokek tampaknya pun sudah bergeser, dari tarian menyambut tamu menjadi tari pergaulan yang mewarnai pesta-pesta perkawinan.
Pertunjukan Gambang Kromong Dewasa Ini
KOMPAS/Robert Adhi Ksp
Penari cokek dan pasangannya tak jarang saling berdekapan mesra. Di sebelah kiri tampak kotak kayu berisi botol bir. Alkohol merupakan “bumbu” penghangat tamu pengunjung untuk bergoyang dengan pasangan masing-masing. Foto tahun 1990.
Maraknya hiburan-hiburan musik lain seperti orgen tunggal dan dangdut, yang sering mengisi acara di pesta-pesta perkawinan dewasa ini ikut memberi banyak perubahan pada penampilan musik gambang kromong. Agar bisa bersaing dengan hiburan lainnya, banyak grup gambang kromong turut menyesuaikan dengan selera penonton atau penyelenggara acara.
Sekarang ini peralatan musik gambang kromong tidak hanya alat-alat musik tradisional tetapi sudah ditambah dengan alat musik modern, seperti keyboad, terompet, saksofon, gitar, dan bass listrik. Alunan alat gesek tehyan, kongahyan, dan shukong yang dulu selalu mendominasi di antara bunyi alat-alat musik lainnya saat mengiringi lagu yang dibawakan penyanyi kini terdengar samar-samar, khususnya di lagu-lagu baru. Pemimpin grup gambang kromong sekarang pun harus siap membawakan lagu-lagu pop atau dangdut demi memenuhi selera penonton, khususnya generasi muda.
Meriahnya hiburan gambang kromong pun kini tak terlalu berbeda dengan panggung dangdut, banyak penonton, baik laki-laki dan perempuan, turun ke gelanggang untuk berjoget. Penyanyi berpakain seksi dengan mikrofon memanggil-manggil nama pengunjung untuk joget dan memberi saweran.
Tarian cokek yang selalu meramaikan pertunjukan gambang kromong pun sudah lama mengalami pergeseran makna. Tarian untuk menyambut tamu tersebut kini lebih sebagai tari pergaulan yang erotis. Mereka menari berdekatan, bahkan tidak jarang pasangan penari bergoyang sambil berdekapan dan berpelukan mesra.
Saat ini banyak para penari cokek tidak lagi memakai pakaian kebaya dan membawa selendang (cukin) untuk “memancing” tamu ikut laki-laki ikut menari. Untuk menarik pasangan mereka umumnya berpakain seksi dan berdandan tebal. Gerakan tariannya pun hanya sekadarnya, tidak terlalu mengikuti alunan irama musik, yang penting sang penari laki-laki terhibur dan terpuasakan hasratnya. (LITBANG KOMPAS)
KOMPAS/Lucky Pransiska
Penari cokek dan tamu undangan menari bersama diiringi musik gambang kromong pada pesta pernikahan di Rumah Kawin 9 Saudara, Tangerang (14/3/2015).
Referensi
Hastanto, Sri. 2005. Musik Tradisi Nusantara : Musik yang belum banyak dikenal. Jakarta. Penerbit: Kementrian Kebudayaan Dan Parawisata Deputi Bidang Pelestarian Dan Pengembangan Kebudayaan
I Gde Made Indra Sadguna. 2011. Sekilas tentang Gamelan Gambang Kromong. Jurnal ISI Denpasar
KOMPAS, 18 Februari 1979, hal 4. Gambang Kromong “Aseli”
KOMPAS, 18 Maret 1979, hal 4. Tari Cokek
KOMPAS, 24 April 1990, hal 12. Cokek yang Makin Tergusur
KOMPAS, 3 Februari 2003, hal 18. Akulturasi Cina Benteng, Wajah Lain Indonesia
KOMPAS, 3 Februari 2003, hal 18. Gambang Kromong dan Tradisi Cina Benteng
KOMPAS, 22 Juli 2005, hal 41. Gambang Kromong Tetap Melenggang
KOMPAS, 8 Februari 2006, hal 28. Gambang Kromong Versus TTM
KOMPAS, 8 Februari 2008, hal 26. Miskin, Tetapi Masih Pertahankan Budaya.
Penulis
Eristo Subyandono
Editor
Topan Yuniarto