KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Sejumlah pekerja menuangkan cairan logam ke cetakan cor logam, di Koperasi Batur Jaya, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Senin (2/8/2021). Koperasi tersebut juga sudah memasok produk berupa alat bantu untuk memproduksi komponen mesin cincin piston ke PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Industri pengecoran logam di kawasan tersebut telah dikenal sejak lama.
Fakta Singkat
Sejarah industri dari masa kolonial hingga Orde Baru
- Dimulai sejak era sebelum kolonialisme.
- Pada masa Pemerintah Belanda, keluar peraturan bidang perindustrian, Bedrijfs Reglementeerings Ordonnantie
- Pada masa penjajahan Jepang, diterapkan kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi untuk Perang Pasifik.
- Pada era Orde Lama diterapkan kebijakan nasionalisasi
- Pada era Orde Baru, terbit UU 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU 5/1984 tentang Perindustrian
Kebijakan industri di era Reformasi
- Terbit UU 3/2014 tentang Perindustrian
- Terbit PP 14/2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015–2035
- Terbit Perpres 74/2022 tentang Kebijakan Industri Nasional Tahun 2020-2024-
Potret industri pengolahan pada era Reformasi
- Kontribusi industri manufaktur dalam PDB 17,36 persen (2021)
- Tenaga kerja industri pengolahan 18,64 juta orang (2021)
- Investasi periode 2011–2021 fluktuatif
- Kinerja ekspor industri pengolahan naik 41,52 persen (2021)
Target industri pengolahan
- Target pertumbuhan industri pengolahan nonmigas 8,4 persen pada 2024.
- Target nilai investasi sektor industri pengolahan nonmigas Rp613,83 triliun pada 2024
Peta Jalan Making Indonesia 4.0
- Diinisiasi 2018
- Terdapat tujuh sektor industri sebagai fokus prioritas
- Memuat 10 inisiatif nasional yang bersifat lintas sektoral
Industri pengolahan atau industri manufaktur memegang peranan penting di dalam perekonomian Indonesia. Industri ini mampu menggeser peran dari commodity based menjadi manufacture based. Industri pengolahan dinilai lebih produktif sehingga mampu menghasilkan sumber devisa, meningkatkan nilai tambah bahan baku, menjadi penyumbang pajak terbesar, hingga membuka lapangan kerja.
Industri pengolahan tercatat mampu memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sebesar 20 persen. Kontribusi tersebut membuat Indonesia menempati peringkat kelima di antara 20 negara yang memiliki ukuran ekonomi terbesar dunia. Posisi Indonesia dalam kontribusi industri manufaktur berada setelah China, India, Vietnam, dan Malaysia.
Industri pengolahan juga berperan penting dalam perdagangan internasional karena dengan peningkatan kualitas dan kuantitas output yang dihasilkan dapat meningkatkan daya saing industri di pasar global. Sejak kebijakan pemerintah tidak lagi mengandalkan ekspor minyak dan gas, industri pengolahan menjadi salah satu andalan ekspor nasional.
Selain besarnya pangsa ekspor pada industri pengolahan, penyerapan tenaga kerja pada industri pengolahan menempati urutan teratas sehingga membaik tidaknya kinerja sektor industri pengolahan berdampak nyata baik terhadap ekpor, penyerapan tenaga kerja maupun ekonomi secara keseluruhan.
Badan Pusat Statistik mendefinisikan industri manufaktur sebagai suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia, atau dengan tangan sehingga menjadi barang jadi/setengah jadi, dan atau barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya, dan sifatnya lebih dekat kepada pemakai akhir. Termasuk dalam kegiatan ini adalah jasa industri dan pekerjaan perakitan.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Tumpukan hasil olahan kayu sengon yang akan menjadi bahan dasar pembuatan kayu lapis di Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Minggu (7/3/2021). Kayu olahan tersebut banyak dikembangkan warga sebagai salah satu komoditas perkebunan.
Sejarah industri dari era kolonial sampai Orde Baru
Sejarah perkembangan industri di tanah air diawali dari sebelum masa kolonialisme. Hasil temuan sejarah membuktikan, industri gerabah berkembang hampir merata di seluruh Indonesia dan mulai mengalami perubahan ketika masa perkembangan industrialisasi di Eropa.
Masa kolonialisme turut mempengaruhi kondisi perindustrian Indonesia. Keberadaan Serikat Dagang Belanda, Vereenigle Oost-Indische Compagnie (VOC) dan masa tanam paksa (1830–1870), menjadi catatan sejarah awal industri pertanian di Indonesia. Seiring dengan itu, tumbuh pula bengkel-bengkel perawatan mesin dan konstruksi baja yang menjadi embrio pabrik permesinan di Pulau Jawa.
Pada tahun 1934, pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan baru bidang perindustrian, Bedrijfs Reglementeerings Ordonnantie (BRO). Dengan adanya peraturan itu, pemerintah berhak memberi izin membangun pabrik, menutup pabrik, dan melakukan perubahan-perubahan.
Pada masa kolonial Belanda, ekonomi perkebunan menjadi instrumen untuk mendorong perkembangan ekonomi di Netherlands. Meskipun demikian, industri perpabrikan bukan berarti tidak ada sama sekali. Industri perpabrikan yang pertama kali ada adalah industri tekstil yang dimiliki oleh orang-orang Eropa, China, dan Arab.
Pada masa penjajahan Jepang (1942–1945), Jepang menerapkan kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi untuk mendukung gerak maju Jepang dalam Perang Pasifik. Akibatnya, terjadi perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat. Kesejahteraan merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan, karena produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak jarak untuk pelumas pesawat tempur menempati prioritas utama.
Pada masa awal kemerdekaan, pembangunan ekonomi Indonesia mengarah pada perubahan struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Tujuannya, untuk memajukan industri kecil dengan memproduksi barang-barang pengganti impor yang pada akhirnya diharapkan mengurangi tingkat ketergantungan luar negeri.
Pada era Orde Lama, pemerintah menerapkan kebijakan nasionalisasi atau pengalihan kepemilikan atas perusahaan peninggalan Belanda. Selama periode itu, kebijakan pemerintah menekankan pada pengembangan industri kecil yang berisikan pengusaha pribumi.
Secara umum, pembangunan industri di masa Orde Lama sulit berkembang lantaran pemerintah masih fokus pada upaya-upaya membangun stabilitas politik. Selain itu, kondisi keuangan negara dan keterbatasan sumber daya manusia ahli dan terampil juga turut berkontribusi terhadap terhambatnya pembangunan industri manufaktur.
Dengan kondisi tersebut, industri manufaktur pada zaman Orde Lama secara keseluruhan belum memberikan sumbangan yang signifikan dalam perekonomian nasional. Kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto atau PDB hanya berkisar di angka 8 persen.
Namun demikian, beberapa industri strategis berhasil dibangun antara lain PT. Pupuk Sriwijaya yang kini menjadi perusahaan induk PT. Pupuk Indonesia (Persero) dan PT. Semen Gresik yang kini menjadi perusahaan induk bagi PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk.
Pada masa Orde Baru, pembangunan industri manufaktur mulai berkembang. Awalnya, industrialisasi difokuskan pada substitusi impor kebutuhan pokok, khususnya pangan, sandang, dan papan, serta mendukung pembangunan sektor pertanian. Bantuan khusus juga diberikan pada pengembangan industri dasar yang meliputi pupuk, semen, kertas, dan lain-lain. Industri tekstil juga mendapat perhatian utama selama periode ini.
Pemerintahan Presiden Soeharto juga mulai membuka pintu bagi masuknya modal asing sejak diterbitkannya UU 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing. Pada masa itu, dapat dikatakan sebagai masa liberalisasi ekonomi dan titik awal bagi pembangunan ekonomi serta industri yang berkelanjutan di Indonesia.
Pada era 1980-an, industrialisasi sebagai faktor utama perkembangan ekonomi dinyatakan sebagai tujuan utama. Promosi utama menekankan pada industri pada karya. Adapun kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB masih berada di angka 12,4 persen, lebih rendah dari kontribusi sektor pertambangan dan sektor pertanian sebesar 23 persen dan 22 persen.
Pada tahun 1984, pemerintah mengeluarkan UU 5/1984 tentang Perindustrian sebagai payung hukum kebijakan di bidang perindustrian Indonesia. Dalam undang-undang tersebut, disebutkan bahwa untuk mencapai sasaran pembangunan di bidang ekonomi dalam pembangunan nasional, industri memegang peranan yang menentukan dan oleh karenanya perlu lebih dikembangkan secara seimbang dan terpadu dengan meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif serta mendayagunakan secara optimal seluruh sumber daya alam, manusia, dan dana yang tersedia.
Peristiwa oil booming, di mana harga minyak melonjak tinggi akibat embargo minyak oleh negara-negara Arab, menjadi momentum bagi pemerintah Orde Baru untuk melakukan industrialisasi secara lebih ekspansif.
Hasilnya, dalam kurun satu dekade, sumbangan industri manufaktur terhadap PDB mencapai 20,3 persen pada tahun 1994. Ekonomi Indonesia saat itu bahkan menjadi contoh kesuksesan pembangunan di negara berkembang.
Kontribusi industri manufaktur pada masa Orde Baru mencapai puncaknya sebesar 24,3 persen justru pada saat krisis ekonomi tahun 1997 di mana pertumbuhan industri pada tahun tersebut sebenarnya minus 13 persen.
KOMPAS/KRISTI DWI UTAMI
Warga melebur logam menggunakan peralatan tradisional tanpa memakai alat perlindungan diri di rumahnya, Desa Pesarean, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Kamis (24/6/2021). Di Desa Pesarean ada sekitar 100 industri logam berskala rumahan yang menyuplai komponen kendaraan ke sejumlah bengkel. Di desa tersebut, sekitar 1.200 pekerja menggantungkan hidupnya pada industri logam.
Kebijakan industri di era Reformasi
Dalam perkembangannya, UU 5/1984 tentang Perindustrian dinilai belum bisa menjawab tantangan globalisasi dan liberalisasi perdagangan. Hal ini tampak pada bidang perindustrian Indonesia yang turut terkena imbas krisis ekonomi.
Indonesia mengalami dua masa krisis, yaitu pada tahun 1997–1998 krisis finansial Asia dan pada tahun 2008 krisis global. Dampaknya, sektor industri manufaktur Indonesia tumbuh jauh lebih lamban.
Pada tahun 1997, industri manufaktur hanya tumbuh sebesar 5,3 persen dan tahun 1998 mengalami kontraksi sebesar 11,4 persen. Sementara krisis global 2008 berdampak pada menurunnya pertumbuhan PDB dari ekspor dimulai pada kuartal ketiga tahun 2008 hingga kurtal ke-3 tahun 2009.
Selain tantangan globalisasi dan liberalisasi perdagangan, perubahan sistem pemerintahan sentralisasi menjadi desentralisasi menjadi alasan terbitnya UU 3/2014 tentang Perindustrian, menggantikan UU 5/1984 tentang Perindustrian.
Dalam UU 3/2014, diatur mengenai penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang perindustrian, rencana induk pembangunan industri nasional, kebijakan industri nasional, perwilayahan industri, pembangunan sumber daya industri, pembangunan sarana dan prasarana industri, pemberdayaan industri, tindakan pengamanan dan penyelamatan industri, perizinan, penanaman modal bidang ondustri dan fasilitas, komite industri nasional, peran serta masyarakat, serta pengawasan dan pengendalian.
Di tingkat implementasi, pemerintah mengeluarkan PP 14/2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015–2035. Dikenal sebagai PP RIPIN, pemerintah menetapkan pedoman bagi pemerintah maupun pelaku industri dan usaha sebuah kerangka perencanaan dan pembangunan industri nasional untuk periode 20 tahun.
Melalui skema PP RIPIN, pemerintah menetapkan 10 industri prioritas, yaitu industri pangan, industri farmasi, kosmetik, dan alat kesehatan, industri tekstil, kulit, alas kaki, dan aneka, industri alat transportasi, industri elektronik dan informatika (ICT), industri pembangkit listrik, industri barang modal, komponen, bahan penolong, dan jasa industri, industri hulu agro, industri logam dasar dan bahan galian bukan logam, dan industri kimia dasar berbasis migas dan batubara.
Kemudian, untuk memperjelas arah implementasi di lapangan, pemerintah mengeluarkan regulasi terkait. Salah satunya, terbit Perpres 2/2018 tentang Kebijakan Industri Nasional 2015–2019 dan diteruskan dengan Perpres 74/2022 tentang Kebijakan Industri Nasional Tahun 2020–2024. Perpres ini mengatur diantaranya terkait sasaran pembangunan, fokus pengembangan, hingga tahapan capaian dalam pembangunan industri-industri di Indonesia.
Potret perkembangan industri pengolahan di era Reformasi
Perkembangan industri manufaktur tecermin dari kontribusi industri manufaktur terhadap PDB, tenaga kerja, investasi, dan kinerja ekspor.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi industri manufaktur dalam PDB sejak 1996 hingga kini cenderung menurun. Pada tahun 2001, kontribusi industri manufaktur dalam PDB tercatat sempat mencapai 25,2 persen pada tahun 2001. Capaian ini merupakan tertinggi sepanjang sejarah perkembangan industri manufaktur Indonesia.
Namun, kontribusi industri pada tahun-tahun berikutnya cenderung stagnan, lalu perlahan terus menurun. Pada 2008, kontribusi industri manufaktur terhadap PDB sempat naik menjadi 23,81 persen tetapi dikoreksi menjadi 19,2 persen akibat diberlakukannya sistem akun nasional yang baru. Tren penurunan kontribusi secara gradual terus berlangsung hingga menyentuh 17,36 persen di tahun 2021.
Kontribusi Industri Pengolahan Non-Migas Terhadap PDB
Tahun |
Kontribusi Industri Pengolahan Non Migas terhadap PDB (%) |
2011 | 18,13 |
2012 | 17,99 |
2013 | 17,72 |
2014 | 17,87 |
2015 | 18,20 |
2016 | 18,21 |
2017 | 17,89 |
2018 | 17,63 |
2019 | 17,58 |
2020 | 17,88 |
2021 | 17,36 |
Sumber: BPS
Penurunan kontribusi industri manufaktur dalam PDB diyakini dipicu oleh stagnansi pertumbuhan industri manufaktur yang terjadi sejak tahun 1996. Pertumbuhan industri manufaktur pada 1996 anjlok ke angka 6,1 persen dari posisi 11,6 persen pada tahun 1995. Kemudian pada krisis 1997, pertumbuhan industri pengolahan bahkan minus 13 persen. Sejak itu, rata-rata pertumbuhan industri selalu di bawah 6 persen dengan pertumbuhan rata-rata per lima tahun berkisar di angka 5 persen.
Daya serap tenaga kerja di sektor industri pengolahan dalam kurun waktu satu dekade terakhir menunjukkan tren peningkatan, dari 14,83 juta orang pada tahun 2011 menjadi 18,64 juta orang pada tahun 2021. Sementara itu, kontribusi tenaga kerja industri pengolahan terhadap total pekerja selama periode 2011–2021 berada di titik terendah 13,41 persen (2016) hingga tertinggi 14,91 persen (2019).
Kinerja investasi langsung sektor industri pengolahan berfluktuasi dan cenderung mengalami tren penurunan, khususnya Penanaman Modal Asing (PMA) dalam satu dekade terakhir. Pada periode 2011–2013, nilai realisasi PMA sektor industri pengolahan masih meningkat. Namun setelah itu, realisasi investasinya cenderung menurun.
Pada periode 2014–2015, PMA mengalami penurunan setiap tahunnya dan kembali meningkat pada tahun 2016. Namun, kembali mengalami penurunan tiap tahunnya di sepanjang 2017–2020 dan meningkat lagi pada tahun 2021.
Sementara Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) trennya sedikit berbeda dengan PMA. Pada periode 2011–2016 masih mampu bertumbuh setiap tahunnya. Namun, tren penurunan setiap tahunnya mulai terlihat pada periode 2017–2019.
Untuk tahun 2020, baik realisasi PMA maupun PMDN mengalami peningkatan meskipun pandemi berlangsung. Realisasi PMA meningkat 38,23 persen dari 9,55 miliar dollar AS menjadi 13,20 miliar dollar AS.
Kinerja ekspor sektor industri pengolahan dalam satu dekade terakhir cenderung fluktuatif. Pada periode 2011–2015, kinerja ekspor sektor industri pengolahan cenderung mengalami tren yang menurun.
Perkembangan Jumlah dan Kontribusi Tenaga Kerja Industri Pengolahan
Tahun | Jumlah Tenaga Kerja (juta orang) | Kontribusi Tenaga Kerja Industri Pengolahan terhadap Total Pekerja (%) |
2011 | 14,83 | 13,81 |
2012 | 16,14 | 14,35 |
2013 | 15,55 | 13,79 |
2014 | 15,62 | 13,63 |
2015 | 15,54 | 13,53 |
2016 | 15,87 | 13,41 |
2017 | 17,56 | 14,51 |
2018 | 18,54 | 14,68 |
2019 | 19,20 | 14,91 |
2020 | 17,48 | 13,61 |
2021* | 18,64 | 14,00 |
2022* | 20,90 | 15,00 |
* Target
Sumber: BPS
Pada tahun 2011, ekspor sektor industri pengolahan masih mampu tumbuh 19,82 persen dan kemudian mengalami pertumbuhan negatif pada tahun 2012–2013. Meskipun sempat kembali bertumbuh positif di tahun 2014 sebesar 3,99 persen, kinerja ekspor kembali terkontraksi tajam hingga mencapai negatif 9,31 persen pada 2015.
Kemudian pada periode 2016–2020, kinerja ekspor industri pengolahan sempat mengalami perbaikan dengan pertumbuhan positif. Namun setelah itu, kinerja ekspornya mengalami tren yang menurun dan bahkan pada 2019 kembali mengalami pertumbuhan negatif 2,11 persen.
Pada tahun 2020, kinerja ekspor industri pengolahan masih mampu bertumbuh positif sebesar 2,91 persen meskipun di tengah pandemi Covid-19. Sementara untuk 2021, secara kumulatif, nilai ekspor nonmigas naik 41,52 persen.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Pekerja berada di antara tumpukan hasil kerajinan dari limbah tali plastik di Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Selasa (9/11/2021). Tali dari bekas pengikat kapas ini mereka buat menjadi keranjang, wadah barang hingga anyaman untuk dinding rumah. Mereka menjualnya dari kisaran harga Rp 25 ribu hingga Rp 200 ribu.
Artikel Terkait
Target industri pengolahan dan peta jalan Making Indonesia 4.0
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, pengembangan kawasan industri menjadi salah satu strategi untuk meningkatkan kontribusi industri bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam rangka transformasi ekonomi yang berkelanjutan, industrialisasi diarahkan melalui peningkatan produktivitas, peningkatan investasi, dan juga ekspor produk industri. Hal tersebut dapat dicapai melalui peningkatan keterampilan dan kompetensi tenaga kerja serta pengembangan Kawasan Industri Terpadu (KIT).
Dalam RPJMN 2020–2024, disebutkan pengembangan KIT diutamakan pada 11 KIT prioritas dengan fokus pada percepatan penyediaan sarana penunjang, fasilitasi perizinan, peningkatan investasi, revitalisasi pasca-bencana, kerja sama pemerintah dengan badan usaha, serta penyiapan sumber daya manusia yang terampil dan berdaya saing.
Adapun sasaran pembangunan industri pengolahan nonmigas 2022–2024 seperti tertera dalam Perpres 74/2022, antara lain, pertumbuhan industri pengolahan nonmigas ditargetkan mencapai 5,26 persen pada 2022 dan 8,4 persen pada 2024. Ada juga nilai investasi sektor industri pengolahan nonmigas yang ditargetkan mencapai Rp334,9 triliun pada 2022 dan Rp613,83 triliun pada 2024.
Laju Pertumbuhan Lapangan Usaha Industri Pengolahan Non Migas
Lapangan Usaha | 2019 | 2020 | 2021 |
Industri Makanan dan Minuman | 7,78 | 1,58 | 2,54 |
Industri Pengolahan Tembakau | 3,36 | -5,78 | -1,32 |
Industri Tekstil dan Pakaian Jadi | 15,35 | -8,88 | -4,08 |
Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki | -0,99 | -8,76 | 7,75 |
Industri Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus dan Barang Anyaman dari Bambu, Rotan dan Sejenisnya | -4,55 | -2,16 | -3,71 |
Industri Kertas dan Barang dari Kertas; Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman | 8,86 | 0,22 | -2,89 |
Industri Kimia, Farmasi dan Obat Tradisional | 8,48 | 9,39 | 9,61 |
Industri Karet, Barang dari Karet dan Plastik | -5,52 | -5,61 | 1,08 |
Industri Barang Galian bukan Logam | -1,03 | -9,13 | 0,89 |
Industri Logam Dasar | 2,83 | 5,87 | 11,50 |
Industri Barang Logam; Komputer, Barang Elektronik, Optik; dan Peralatan Listrik |
-0,51 | -5,46 | -1,62 |
Industri Mesin dan Perlengkapan | -4,13 | -10,17 | 11,43 |
Industri Alat Angkutan | -3,43 | -19,86 | 17,82 |
Industri Furnitur | 8,35 | -3,36 | 8,16 |
Industri Pengolahan Lainnya; Jasa Reparasi dan Pemasangan Mesin dan Peralatan |
5,17 | -0,88 | -1,64 |
Industri Pengolahan Non Migas | 4,34 | -2,52 | 3,67 |
Sumber: BPS
Sementara itu, pada tahun 2018, Kementerian Perindustrian telah menginisiasi Peta Jalan Making Indonesia 4.0 yang merupakan inisiatif untuk percepatan pembangunan industri memasuki era industri 4.0. Tujuannya mengembangkan sektor industri manufaktur di tanah air agar bisa mengadopsi teknologi digital sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan berdaya saing global. Sasaran utamanya adalah untuk menjadikan Indonesia sebagai 10 negara ekonomi terbesar dunia pada tahun 2030.
Berdasarkan peta jalan tersebut, terdapat tujuh sektor industri yang didorong sebagai fokus prioritas, yaitu industri makanan dan minuman, tekstil dan busana, otomotif, kimia, elektronika, farmasi, serta alat kesehatan. Ketujuh sektor ini dipilih karena dapat memberikan kontribusi sebesar 70 persen dari total PDB manufaktur, 65 persen ekspor manufaktur, dan 60 persen pekerja industri
Di samping itu, Peta Jalan Making Indonesia 4.0 memuat 10 inisiatif nasional yang bersifat lintas sektoral untuk mempercepat perkembangan industri manufaktur di Indonesia.
Kesepuluh inisiatif tersebut mencakup perbaikan alur aliran barang dan material, membangun satu peta jalan zona industri yang komprehensif dan lintas industri, mengakomodasi standar-standar keberlanjutan, memberdayakan industri kecil dan menengah, serta membangun infrastruktur digital nasional.
Kemudian, menarik minat investasi asing, peningkatan kualitas sumber daya manusia, pembangunan ekosistem inovasi, insentif untuk investasi teknologi, serta harmonisasi aturan dan kebijakan. (LITBANG KOMPAS)
Artikel Terkait
Referensi
- Nazara, Suahasil. Sektor Industri Manufaktur dan Pembangunan Daerah. Jurnal Riset Industri Vol. 2, No. 3, Desember 2008: 145-155
- Ahmad, Muchtar. Analisis Kebijakan Industrialisasi di Indonesia Mutakhir. Jurnal Industri Dan Perkotaan Vol 13, No 24 (2009)
- Carunia Mulya Firdausy. 2014. Kebijakan dan Pengembangan Industri Nasional di Indonesia. P3DI Setjen DPR RI dan Azza Grafika
- Budiyanti, Eka. Penguatan Kembali Industri Manufaktur Indonesia. Info Singkat Vol. VIII, No. 12/II/P3DI/Juni/2016
- Kharisma, Dona Budi. Politik Hukum Perindustrian Indonesia. Jurnal Rechts Vinding
- “Kinerja Industri: Sektor Manufaktur Tetap Ekspansif di Tengah Gejolak Global”, Kompas, 06 Mei 2022, hlm. 09
- “Kebijakan Industri Perlu Redefinisi”, Kompas, 25 Juni 2022, hlm. 09
- “Kinerja Manufaktur Melambat”, Kompas, 04 Juli 2022, hlm. 09
- “Manufaktur: Memetakan Ulang Arah Industri”, Kompas, 06 Juli 2022, hlm. 10
- “Pertumbuhan Ekonomi: Lampu Kuning Industri Manufaktur”, Kompas, 12 Agustus 2022, hlm. 09
- UU 5/1984 tentang Perindustrian
- UU 3/2014 tentang Perindustrian
- PP 14/2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015-2035
- PP 28/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian
- Perpres 2/2018 tentang Kebijakan Industri Nasional 2015-2019
- Perpres 74/2022 tentang Kebijakan Industri Nasional 2020-2024
- Keppres 24/2018 tentang Tim Nasional Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri
- Permenperin 15/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Perindustrian Tahun 2020-2024
- Kinerja Industri Pengolahan dan Catatan Kritis Strategi Peningkatan Nilai Tambah Industri Pengolahan 2022. Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian – Sekretariat Jenderal DPR RI
- Laporan Akuntabilitas Kinerja Kementerian Perindustrian Tahun 2021, Kementerian Perindustrian
- Perkembangan Indeks Produksi Industri Manufaktur 2020, BPS
- Booklet Informasi Industri edisi I – 2021. Kementerian Perindustrian
- Booklet Informasi Industri edisi II – 2021. Kementerian Perindustrian
- Making Indonesia 4.0. Kementerian Perindustrian. 2018
- Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional 2015-2035. Kementerian Perindustrian
- Industri Pengolahan Nonmigas Terbelit Masalah, laman Kompas.id
- Industri Pengolahan Jadi Tumpuan Pemulihan Ekonomi, laman Kompas.id
- Sasar Pemain Manufaktur Global, Kemenperin Percepat Penerapan “Making Indonesia 4.0”. laman Kompas.com
- Membangun Industri Dalam Negeri yang Mandiri, Berdaulat, Maju, Berkeadilan dan Inklusif, laman Kontan.co.id