Fakta Singkat
Ibukota
Semarang
Hari Jadi
15 Agustus 1945
(Perda Jateng no. 7/2004)
Dasar Hukum
Undang-Undang No.10/1950
Luas Wilayah
32.800,69 km2
Jumlah Penduduk
34.718.204 (2019)
Pasangan Kepala Daerah
(2018-2023)
Ganjar Pranowo, S.H., M.IP
H. Taj Yasin Maimoen
Jawa Tengah sebagai provinsi, dibentuk sejak masa Hindia Belanda. Provinsi ini berdiri pada 4 Juli 1950 sesuai Undang-Undang Nomor 10/1950. Hari jadinya ditetapkan pada 15 Agustus 1950, seperti tercantum dalam Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 7/2004. Ibu kotanya terletak di Semarang.
Secara administratif, provinsi ini terdiri dari 29 kabupaten, 6 kota, 576 kecamatan, dan 8.559 desa/kelurahan (BPS, 2020). Luas wilayahnya sebesar 3,25 juta hektar atau sekitar 25,04 persen dari luas Pulau Jawa dan 1,70 persen dari luas Indonesia. Jumlah penduduknya mencapai 34,71 juta jiwa (BPS, 2020), atau terbanyak ketiga di Indonesia setelah Jawa Barat, dan Jawa Timur.
KOMPAS/EDDY HASBY
Candi yang terletak di Kabupaten Magelang ini diperkirakan berdiri pada abad IX di masa wangsa Syailendra. Peninggalan sejarah ini merupakan monumen mahakarya peradaban budaya sekaligus ikon wisata Indonesia.
Sejarah pembentukan
Sejarah mengenai pemerintahan kerajaan di Jawa Tengah terekam sejak abad ke-7. Menurut Poesponegoro, M.D., dan Notosusanto, N (1993) dalam buku “Sejarah Nasional Indonesia II” disebutkan bahwa sudah terdapat kerajaan yang terkenal pada masa itu, yakni Kerajaan Budha Kalingga di Jepara yang diperintah Ratu Shima.
Merunut laman resmi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Kerajaan Budha Kalingga ini berkembang di wilayah pesisir utara Jawa Tengah. Walaupun belum ada bukti sejarah yang pasti mengenai lokasinya, para ahli memperkirakan pusat kerajaan berada di wilayah Pekalongan dan Jepara saat ini.
Pada akhir paruh pertama abad VIII, diperkirakan 732 M, Raja Sanjaya mengubah nama Kalingga menjadi Mataram. Selanjutnya Mataram diperintah oleh keturunan Sanjaya (Wangsa Sanjaya). Selama masa pemerintahan Raja Sanjaya, diperkirakan telah dibangun candi-candi Syiwa di pegunungan Dieng.
Pada akhir masa pemerintahan Raja Sanjaya, datanglah Raja Syailendra yang berasal dari Kerajaan Sriwijaya (di Palembang). Sriwijaya yang berhasil menguasai wilayah selatan di Jawa Tengah membuat kekuasaan Mataram Hindu terdesak ke wilayah utara Jawa Tengah.
Pemerintahan Raja Syailendra yang beragama Buddha ini dilanjutkan oleh keturunannya, Wangsa Syailendra. Dengan demikian, selama kurang lebih satu abad, yaitu tahun 750-850 M, Jawa Tengah dikuasai oleh dua pemerintahan, yaitu pemerintahan Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu dan Wangsa Syailendra yang menganut agama Buddha Mahayana.
Pada masa inilah sebagian besar candi di Jawa Tengah dibangun. Candi-candi di Jawa Tengah bagian utara pada umumnya adalah candi-candi Hindu, sedangkan di wilayah selatan adalah candi-candi Buddha.
Kedua Wangsa yang berkuasa di Jawa Tengah tersebut akhirnya dipersatukan melalui pernikahan Rakai Pikatan (838-851 M) dengan Pramodawardhani, Putra Maharaja Samarattungga dari Wangsa Syailendra.
Setelah runtuhnya kerajaan Majapahit Hindu pada abad ke-16, kerajaan Islam muncul di Demak. Sejak saat itu, agama Islam disebarkan di Jawa Tengah. Setelah kerajaan Demak runtuh, Djoko Tingkir, anak menantu Raja Demak (Sultan Trenggono), memindahkan kerajaan Demak ke Pajang (dekat Solo). Djoko Tingkir kemudian menyatakan diri sebagai Raja Kerajaan Pajang dan bergelar Sultan Adiwijaya.
Selama pemerintahan Sultan Adiwijaya, kerusuhan dan pemberontakan acapkali terjadi. Perang yang paling besar adalah antara Sultan Adiwijaya melawan Aryo Penangsang. Sultan Adiwijaya menugaskan Danang Sutowijaya untuk menumpas pemberontakan Aryo Penangsang dan berhasil membunuh Aryo Penangsang.
Karena jasanya yang besar kepada Kerajaan Pajang, Sultan Adiwijaya memberikan hadiah tanah Mataram kepada Sutowijaya. Setelah Pajang runtuh ia menjadi Raja Mataram Islam pertama di Jawa Tengah dan bergelar Panembahan Senopati.
Pada pertengahan abad ke-16, bangsa Portugis dan Spanyol datang ke Indonesia untuk mencari rempah-rempah yang akan diperdagangkan di Eropa. Pada saat yang sama, bangsa Inggris dan kemudian bangsa Belanda juga datang ke Indonesia.
Di awal abad ke-18 Kerajaan Mataram diperintah oleh Sri Sunan Pakubuwono II. Setelah beliau wafat, muncul perselisihan diantara keluarga raja yang ingin memilih atau menunjuk raja baru. Perselisihan bertambah keruh setelah adanya campur tangan pemerintah Kolonial Belanda pada perselisihan keluarga raja tersebut.
Pertikaian ini akhirnya diselesaikan dengan Perjanjian Gianti tahun 1755. Kerajaan Mataram kemudian dibagi menjadi dua kerajaan yang lebih kecil, yaitu Surakarta Hadiningrat atau Kraton Kasunanan di Surakarta dan Ngayogyakarta Hadiningrat atau Kraton Kasultanan di Yogyakarta.
Setelah pemerintahan Perusahaan Dagang Hindia Timur (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, VOC) di wilayah Nusantara diambil alih oleh Pemerintah Kerajaan Belanda pada 31 Desember 1799, di wilayah-wilayah yang sudah dikuasai Belanda lantas didirikan pemerintahan kewilayahan atau Gewesten.
Hingga tahun 1905, wilayah Jawa bagian tengah dibagi menjadi lima pemerintah daerah, yaitu Semarang, Pati, Kedu, Banyumas, dan Pekalongan. Surakarta yang merupakan wilayah kerajaan menjadi wilayah tersendiri dan terdiri dari dua wilayah pemerintahan, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran. Di bawah masing-masing gewest adalah kabupaten-kabupaten atau regentschap. Khusus di Pati Gewest, dua wilayah yang kini masuk ke dalam Provinsi Jawa Timur saat itu menjadi lingkup tanggung jawabnya yaitu Regentschap Tuban dan Bojonegoro.
Undang-undang desentralisasi atau Decentralisatie Besluit pada tahun 1905 memberikan otonomi yang lebih luas kepada gewesten. Hal itu membuat tiap wilayah yang kemudian dikenal dengan nama karesidenan itu diberi otonomi dan dilengkapi sejenis lembaga perwakilan yang disebut dewan daerah (raad). Kemudian, dibentuk pula pemerintahan kota otonom atau gemeente (kotapraja) di Pekalongan, Tegal, Semarang, Salatiga, dan Magelang.
Sejak tahun 1930, provinsi ditetapkan sebagai daerah otonom yang memiliki Dewan Provinsi (Provinciale Raad). Provinsi Jawa Tengah terdiri atas lima karesidenan, yaitu Pekalongan, Pati, Semarang, Banyumas, dan Kedu.
Pada masa pendudukan Jepang, terjadi perubahan tata pemerintahan daerah, melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1942 yang menetapkan bahwa seluruh Jawa kecuali Vorstenkendeh (kerajaan-kerajaan) terbagi dalam wilayah Syuu (Karesidenan), Si (Kotapraja), Ken (Kabupaten), Gun (Distrik), Son Conder Distrik dan Ku (Kelurahan).
Setelah Indonesia merdeka pada 1945 hingga 1950, struktur pemerintahan daerah masih merujuk pada struktur peninggalan Belanda. Khusus di wilayah Surakarta, status swapraja atau wilayah kerajaan yang berdiri sendiri dengan pemerintahan sendiri dihapuskan dan diganti dengan pemerintahan keresidenan.
Baru pada 1950, tepatnya pada 15 Agustus, ditetapkan UU Nomor 10 mengenai Pembentukan Provinsi Jawa Tengah. Undang-undang itu menghapuskan Pemerintah Daerah Keresidenan Semarang, Pati, Pekalongan, Banyumas, Kedu, dan Surakarta serta membubarkan dewan perwakilan rakyat daerah keresidenan tersebut.
Selanjutnya wilayah bekas Keresidenan Semarang, Pati, Pekalongan, Banyumas, Kedu, dan Surakarta ditetapkan menjadi Provinsi Jawa Tengah. Tanggal penetapan undang-undang tersebut lantas diperingati sebagai Hari Jadi Provinsi Jawa Tengah.
Hal itu juga ditegaskan dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 7 Tahun 2004. Secara administratif, Provinsi Jawa Tengah terdiri atas 29 kabupaten dan enam kota (dulu disebut kotapraja/kotamadya).
Geografis
Provinsi Jawa Tengah terletak di 5°40’ – 8°30’ Lintang Selatan dan 108°30’ – 111°30’ Bujur Timur. Luasnya mencapai 32.548 km² atau 25,67 persen luas daratan Jawa-Madura. Jarak terjauh dari barat ke timur adalah 263 kilometer dan dari utara ke selatan 226 kilometer (tidak termasuk pulau Karimunjawa).
Wilayah Jateng berbatasan dengan Samudera Hindia dan D.I. Yogyakarta di sebelah selatan, Provinsi Jawa Barat di sebelah barat, Provinsi Jawa Timur di sebelah timur, dan Laut Jawa di sebelah utara. Provinsi Jawa Tengah juga meliputi Pulau Nusakambangan di sebelah selatan, serta Kepulauan Karimun Jawa di Laut Jawa.
Kondisi topografi wilayah Jawa Tengah beraneka ragam. Dataran rendah yang berpantai pada bagian utara, pegunungan dengan beberapa gunung muda yang masih aktif pada bagian tengah, dan pegunungan kapur di bagian selatan.
Jenis tanah di provinsi ini didominasi oleh tanah aluvial, latosol dan gramosol. Jenis tanah ini tergolong mempunyai tingkat kesuburan relatif baik sehingga membuat pertanian berkembang baik dan menjadi andalan di wilayah ini.
Jumlah gunung di Jawa Tengah cukup banyak, beberapa diantaranya Gunung Merapi, Gunung Slamet, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Dieng, dan Gunung Merbabu.
Bengawan Solo merupakan sungai terpanjang di Pulau Jawa (572 km). Memiliki mata air di Pegunungan Sewu, Kabupaten Wonogiri. Sungai ini mengalir ke utara, melintasi Kota Surakarta, dan akhirnya menuju ke Jawa Timur dan bermuara di daerah Gresik. Sungai-sungai yang bermuara di Laut Jawa di antaranya adalah Kali Pemali, Kali Comal, dan Kali Bodri. Sedang sungai-sungai yang bermuara di Samudra Hindia di antaranya adalah Kali Serayu, Sungai Bogowonto, Sungai Luk Ulo, dan Kali Progo.
Pemerintahan
Provinsi Jawa Tengah terbagi menjadi 29 kabupaten dan 6 kota, 576 kecamatan dan 8.559 desa/kelurahan. Sebelum diberlakukan Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, Jawa Tengah terdiri atas tiga kota administratif, yaitu Kota Purwokerto, Kota Cilacap, dan Kota Klaten. Namun sejak diberlakukan Otonomi Daerah tahun 2001, kota-kota administratif tersebut dihapus dan menjadi bagian dalam wilayah kabupaten.
Menyusul otonomi daerah, tiga kabupaten memindahkan pusat pemerintahan ke wilayahnya sendiri, yaitu Kabupaten Magelang (dari Kota Magelang ke Mungkid), Kabupaten Tegal (dari Kota Tegal ke Slawi), serta Kabupaten Pekalongan (dari Kota Pekalongan ke Kajen).
Sejak kemerdekaan hingga saat ini, Jawa Tengah telah dipimpin oleh 14 kepala pemerintahan. Gubernur pertama Jateng adalah Gubernur R. Pandji Soeroso (5 September 1945 hingga 12 Oktober 1945). Kemudian diteruskan oleh Gubernur KRT Mr Wongsonegoro yang memerintah antara 13 Oktober 1945 hingga 4 Agustus 1949.
Kepala daerah saat ini adalah Gubernur Ganjar Pranowo dan Wakil Gubernur H. Taj Yasin Maimoen. Ganjar Pranowo menjabat selama dua periode pemerintahan dari tahun 2013-2018 dan terpilih kembali pada Pilkada Jawa Tengah tahun 2018. Ganjar kembali menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah setelah memenangkan Pilkada Jawa Tengah tahun 2018 berpasangan dengan Taj Yasin Maimoen.
Perolehan suara pasangan Ganjar-Yasin pada pilgub 2018 tersebut sebanyak 10.362.694 suara atau 58,78 persen dari total 17.630.687 pemilih yang memberikan hak suaranya. Adapun pasangan lain yaitu H. Sudirman Said – Dra. Hj. Ida Fauziah hanya meraih 7.267.993 suara atau 41,22 persen.
Politik
Jawa Tengah dalam perpolitikan nasional adalah lumbung suara dalam pemilihan umum dengan populasi mencapai 34,71 juta jiwa (BPS, 2020). Penduduk yang memiliki hak pilih mencapai 27,89 juta (Pemilu 2019) atau sekitar 13 persen dari suara nasional. Besarnya kontribusi Jawa Tengah dalam pemilu itu membuat wilayah ini menjadi ajang perebutan suara partai peserta pemilu.
Namun demikian, mencermati peta politik sejak pemilu tahun 1955 sampai sekarang, partai berideologi nasionalis memiliki sejarah kemenangan panjang. Pada Pemilu pertama tahun 1955, provinsi ini merupakan basis utama partai nonagama, seperti Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Perolehan suara kedua partai besar ini apabila digabung mencapai 60,8 persen dari total pemilih. Sedangkan gabungan suara partai Islam, Nahdlatul Ulama (NU) dan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi), hanya meraih 30,4 persen.
Pada Pemilu 1971-1997, seiring dengan munculnya Presiden Soeharto sebagai penguasa baru, muncul pula kekuatan politik baru yang mendominasi setiap pemilu yang diselenggarakan. Golkar yang didukung penuh oleh penguasa selalu unggul di enam pemilu. Perolehan suaranya berkisar antara 50 hingga 60-an persen.
Pada Pemilu Pertama yang diselenggarakan di era Orde Baru, Pemilu 1971, Golkar langsung meraih separuh suara (50,3 persen). Di kabupaten-kabupaten yang dulunya merupakan kantong-kantong suara PNI dan PKI, seperti Kabupaten Pati, Kabupaten Blora, dan Kabupaten Wonogiri, Golkar mampu meraih suara di atas 70-an persen.
Secara umum, Golkar meraih suara terbanyak di 27 dari 35 kabupaten/kota yang ada di provinsi ini. Faktor kemenangan Golkar, selain didukung penguasa waktu itu, adalah kemunculan program pembangunan sebagai isu yang ditonjolkan organisasi politik ini. Faktor lain yang mendukung adalah pembubaran PKI.
Dalam pemilu selanjutnya, setelah beberapa partai politik digabung (fusi) menjadi dua, yaitu PPP dan PDI, perolehan suara Golkar justru semakin meningkat. Beberapa daerah yang pada Pemilu 1971 suaranya masih kalah dengan partai lain, pada pemilu berikutnya berhasil ditaklukkan.
Sementara itu, PPP dalam setiap pemilu selalu menduduki urutan kedua. Perolehan suara partai Islam ini cenderung terus menurun sejak Pemilu 1971 hingga Pemilu 1987. Namun mulai tahun 1992, suaranya bertambah. Bahkan, beberapa daerah yang ditaklukkan Golkar berhasil kembali direbut PPP. Puncaknya pada Pemilu 1997, seiring munculnya isu “Mega-Bintang”, ketika pendukung PDI pimpinan Megawati Soekarnoputri memberikan dukungan. PPP berhasil meraih 29 persen suara. Bahkan di Kota Pekalongan, PPP berhasil meraih 59,2 persen.
Pada Pemilu 1999, turunnya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan di negeri ini berpengaruh secara signifikan terhadap merosotnya suara Partai Golkar pada Pemilu 1999 di Jawa Tengah. Partai Golkar hanya mampu meraih 13 persen suara.
Suara terbanyak justru diraih oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri. Partai ini meraup dukungan masyarakat Jateng hingga 42,8 persen dan unggul di daerah-daerah yang dulunya merupakan basis massa PNI dan PKI.
Dari sisi cakupan, PDI-P unggul di 33 wilayah dari 35 kabupaten/kota di Jateng. Konsentrasi kemenangan PDI-P terpusat di Kabupaten Sukoharjo, Klaten, Karanganyar, Kota Surakarta, dan Wonogiri. Kemenangan ini tidak saja menempatkan PDI-P sebagai partai terkuat di Jateng, tetapi juga menjadikan Jateng sebagai basis terbesar kekuatan PDI-P di Pulau Jawa.
Lima tahun berselang, pada Pemilu 2004, PDI-P masih unggul di Jawa Tengah meski perolehan suaranya turun dari 43 persen pada Pemilu 1999 menjadi 30 persen. Jumlah basis pemilihnya juga berkurang dari 33 menjadi 24 daerah.
Konstelasi politik ini memunculkan Partai Golkar sebagai pemenang di beberapa daerah basis PDI-P pada Pemilu 1999. Perolehan suara Golkar bertambah menjadi 16 persen. Penambahan suara ini seiring dengan penambahan basis pemilih yang tersebar di Kota Salatiga, Kabupaten Rembang, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Temanggung, dan Kabupaten Banjarnegara.
Pada pemilu 2014, PDI-P masih menguasai Jawa Tengah. Dari 10 dapil di Jawa Tengah, PDI-P unggul di delapan dapil. Di dapil Jawa Tengah I, perolehan suaranya mencapai 516.122 suara. Kemenangan PDI-P juga didapati di dapil Jawa Tengah III dengan perolehan suara 392.472. Sementara di Jawa Tengah IV mendapat 417.714 suara.
PDI-P mencapai angka perolehan suara tertinggi di dapil Jateng V dengan 861.673. Sedangkan di Jawa Tengah VI memperoleh 454.259. Jateng VII PDI-P 300.978. Dua dapil terakhir di Jawa Tengah yang juga dimenangkan PDI-P yakni dapil Jawa Tengah VIII dengan perolehan 487.813 suara dan dapil Jawa Tengah IX dengan perolehan 376.245 suara.
Terakhir pada Pemilu 2019 lalu, PDI-P memperoleh suara secara signifikan. PDI-P unggul dengan perolehan suara 29,7 persen. Di urutan kedua PKB memperoleh suara 14 persen. Kemudian, Golkar di urutan ketiga dengan 12,3 persen suara. Posisi keempat hingga terakhir secara berurutan, yaitu Gerindra, Nasdem, Demokrat, PKS, PPP, PAN, Perindo, Berkarya, PSI, Hanura, Garuda, PBB, dan PKPI.
Dari 77 kursi anggota DPR yang tersedia di seluruh daerah pemilihan di Provinsi Jawa Tengah, partai berlambang banteng itu mampu meraup 26 kursi, diikuti PKB sebanyak 13 kursi.
Kependudukan
Populasi penduduk Jawa Tengah mencapai 34,71 juta jiwa. Secara nasional, jumlah penduduknya terbesar ketiga setelah Jawa Barat (48,04 juta jiwa), dan Jawa Timur (39,29 juta jiwa).
Sebaran penduduk umumnya terkonsentrasi di pusat-pusat kota, baik kabupaten maupun kota. Kawasan permukiman yang cukup padat berada di daerah Semarang Raya (termasuk Ungaran dan sebagian wilayah Kabupaten Demak dan Kendal), daerah Salatiga Raya (termasuk wilayah Ambarawa, Bringin, Kopeng, Tengaran dan Suruh), Solo Raya (termasuk sebagian wilayah Kabupaten Karanganyar, Sukoharjo, dan Boyolali), serta Tegal-Brebes-Slawi.
Pertumbuhan penduduk Provinsi Jawa Tengah sebesar 0,67 persen per tahun. Pertumbuhan penduduk tertinggi berada di Kabupaten Demak (1,5 persen per tahun), sedangkan yang terendah adalah Kota Pekalongan (0,09 persen per tahun).
Kepadatan penduduk tertinggi di Jawa Tengah adalah Kota Surakarta, yakni sebesar 11.770 jiwa/km². Diikuti oleh Kota Tegal (7.324 jiwa/km²) dan Kota Pekalongan (6.766 jiwa/km²). Sementara kepadatan penduduk terendah berada di Kabupaten Blora (481 jiwa/km²), Kabupaten Wonogiri (525 jiwa/km²), dan Kabupaten Rembang (625 jiwa/km²).
Jawa Tengah tergolong homogen dari segi etnis dan budayanya. Mayoritas penduduknya, 98 persen, bersuku Jawa dan dalam keseharian menggunakan bahasa Jawa. Saking seragamnya, orang Jepara yang terletak di pesisir utara dapat dengan mudah mengerti ucapan bahasa Jawa yang dikeluarkan orang Kebumen yang lokasinya di pesisir selatan meskipun dengan dialek yang berbeda.
Meskipun bahasa Indonesia adalah bahasa resmi, sebagian besar masyarakat menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa Jawa dialek Solo-Jogja atau Mataram dianggap sebagai bahasa Jawa standar.
Kesejahteraan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
71,73 (2019)
Rata-rata Lama Sekolah
7,53 tahun (2019)
Harapan Lama Sekolah
12,68 tahun (2019)
Penduduk Miskin
11,41 persen (Maret 2020)
Rasio Gini
0,362 (Maret 2020)
Tingkat Pengangguran Terbuka
4,25 persen (Februari 2020)
Angka Harapan Hidup
74,23 tahun (2019)
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah terus meningkat dalam satu dekade terakhir. Sejak tahun 2017, status pembangunan manusia di Jawa Tengah sudah mencapai kategori “tinggi” (IPM di atas 70), sementara antara tahun 2010-2016, masih terkategori “sedang” (60 ≤ IPM < 70). Tahun 2019 lalu, IPM Jawa Tengah mencapai 71,73, meningkat 0,61 poin dibandingkan tahun 2018 yang besarnya 71,12.
Di bidang pendidikan, Harapan Lama Sekolah (HLS) Jawa Tengah menempati peringkat ke-25 dari 34 provinsi di Indonesia pada 2019 atau mencapai 12,68 Tahun. Capaian HLS Jawa Tengah itu masih di bawah capaian nasional sebesar 12,95 tahun. Sedangkan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) Jawa Tengah pada tahun 2019 sebesar 7,53, menempati peringkat ke-31 dari 34 provinsi di Indonesia.
Tingkat pengangguran Jateng pada Februari 2020 sebesar 4,25 persen dari total angkatan kerja yang jumlahnya mencapai 17,98 juta orang. Angka TPT tersebut meningkat dibandingkan Februari 2019 sebesar 4,22 persen. TPT Jateng tersebut lebih rendah dari rata-rata nasional (4,99 persen).
Adapun dari tingkat pendidikannya, kelompok penduduk tamatan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menempati urutan pertama pengangguran di Jateng yang mencapai 7,50 persen. Disusul kelompok penduduk tamatan universitas (7,37 persen), diploma (6,63 persen), SMA (4,79 persen), SMP (4,07 persen, dan SD (2,53 persen).
Kemiskinan di Jawa Tengah selama kurun waktu 2014–2019 terus menurun kendati jumlahnya masih cukup besar. Jumlah penduduk miskin pada Maret tahun 2020 sebanyak 3,867 juta jiwa (11,41 persen), naik dibanding September 2019 sebanyak 3,68 juta jiwa (10,58 persen). Persentase penduduk miskin di Jawa Tengah itu masih berada di atas nasional, bahkan selama lima tahun terakhir.
Ekonomi
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Rp 14,11 triliun (2019)
Dana Perimbangan
11,78 triliun (2019)
Pertumbuhan ekonomi
5,07 persen (2019)
PDRB per Kapita 2019
Rp 36,78 juta/tahun (2018)
Nilai ekspor
456,42 juta dolar AS (Desember 2019)
Nilai impor
441,94 juta dolar AS (Desember 2019)
Pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah berada di kisaran 3,59 persen hingga 5,8 persen selama hampir 20 tahun terakhir. Tahun 2019, pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah sebesar 5,41 persen meningkat dibandingkan tahun 2018 (5,31 persen), dan lebih baik dibandingkan nasional (5,02 persen).
Berdasarkan data BPS, dari 35 kota/kabupaten di Jawa Tengah, ada tiga wilayah yang berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi. Ketiga wilayah itu adalah Kota Semarang berkontribusi 13,45 persen, Kabupaten Cilacap menyumbang 9,22 persen, dan Kabupaten Kudus sebesar 8,3 persen. Adapun 32 kota/kabupaten lainnya berkontribusi di bawah empat persen terhadap pertumbuhan ekonomi Jateng.
Produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita provinsi ini selama 2018 lalu adalah 36,78 juta rupiah, meningkat dibandingkan tahun 2017 yang sebesar 34,22 juta rupiah.
Struktur perekonomian Jawa Tengah masih didominasi oleh tiga lapangan usaha utama, yaitu industri pengolahan (34,42 persen), perdagangan besar-eceran dan reparasi mobil-sepeda motor (13,74 persen) serta pertanian, kehutanan dan perikanan (13,52 persen).
Jumlah tenaga kerja sektor industri dan perdagangan di Jateng cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Saat ini jumlah tenaga kerja sektor industri dan perdagangan menyerap tenaga kerja sebesar 40,99 persen. Sedangkan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sebesar 26,24 persen.
Di sektor pariwisata, Jawa Tengah memiliki objek wisata yang beragam baik wisata alam, budaya maupun sejarah. Salah satu peninggalan sejarah seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan menjadi kebanggaan Indonesia dan menjadi obyek wisata yang menarik. Kedua candi tersebut banyak dikunjungi baik oleh wisatawan mancanegara, maupun wisatawan nusantara.
Referensi
Buku
- Poesponegoro, M.D., dan Notosusanto, N. (1993). Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka
Situs internet