Paparan Topik | Politik Luar Negeri

Genosida: Holocaust, Terbentuknya Israel, dan Tragedi Palestina

Istilah genosida pertama kali muncul tahun 1944 untuk menyebut kejahatan Nazi membantai jutaan jiwa saat Perang Dunia II. Isu Genosida kembali mengemuka seiring tewasnya puluhan ribu rakyat Palestina akibat serangan Israel sejak 7 Oktober 2023.

KOMPAS/NELI TRIANA
Memorial to the Murdered Jews of Europe, monumen peringatan korban pembunuhan massal Hitler di tengah kota Berlin (14/11/2009).

Fakta Singkat Genosida

Penggagas Kata
Raphael Lemkin (1944)

Asal-usul Kata

  • Geno (bahasa Yunani): ras atau suku
  • Cide (bahasa Latin): pembantaian

Definisi:

  • Pembunuhan besar-besaran secara berencana terhadap suatu bangsa atau ras (KBBI).
  • Tindakan apa pun yang dilakukan untuk menghancurkan, seluruhnya atau sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, ras atau agama (Konvensi Genosida 1948).

Kategori Genosida (Konvensi Genosida 1948)

  • Membantai anggota kelompok.
  • Menyebabkan kerusakan fisik atau mental yang serius terhadap anggota kelompok.
  • Secara sengaja memberikan kondisi hidup yang tidak menyenangkan kepada kepada kelompok masyarakat yang diperhitungkan akan menimbulkan pengrusakan fisik secara keseluruhan atau separuhnya.
  • Menerapkan tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok masyarakat.
  • Secara paksa memindahkan anak-anak dari suatu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lainnya.

Pada awal tahun 2024, Afrika Selatan menggugat Israel ke Mahkamah Internasional (ICJ) dengan tudingan Israel melakukan genosida di Gaza, Palestina. Meski tidak menghentikan perang dan hanya berujung perintah agar Israel tidak melakukan genosida, sidang ini merupakan proses pengadilan pertama Israel dengan tuduhan genosida. Hingga awal Juli 2024 tercatat hampir 40 ribu jiwa tewas akibat serangan Israel ke Palestina.

Dalam KBBI, genosida didefinisikan sebagai pembunuhan besar-besaran secara berencana terhadap suatu bangsa atau ras. Secara etimologis genosida berasal dari bahasa Yunani geno, yang berarti ras atau suku, dan cide (sida), dari bahasa Latin yang berarti pembantaian.

Istilah genosida pertama kali digagas oleh pengacara Yahudi dari Polandia bernama Raphael Lemkin pada tahun 1944. Lemkin menggambarkan genosida sebagai rencana yang terkoordinasi disertai aksi yang bertujuan memusnahkan kelompok-kelompok masyarakat secara nasional.

Kata genosida pertama kali digunakan dalam dokumen tertulis pada dakwaan kepada pimpinan Nazi atas kejahatan terhadap kemanusiaan pada tahun 1945, di Nuremberg, Jerman. Pencantuman kata genosida dalam dakwaan tersebut bukan merupakan istilah hukum melainkan hanya sebagai istilah deskriptif.

Pada 9 Desember 1948, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida. Konvensi ini menetapkan genosida sebagai suatu kejahatan internasional, dan negara-negara yang turut menandatangi dituntut untuk mencegah dan menghukum kejahatan ini. Larangan genosida ini tertuang dalam Pasal 1 Konvensi Genosida 1948 yang menyatakan, genosida dilarang untuk dilakukan baik dalam waktu perang maupun dalam masa damai.

Dalam poin-poin kesepakatan Konvensi Genosida 1948, definisi genosida dipertegas sebagai tindakan apa pun yang dilakukan untuk menghancurkan, seluruhnya atau sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, ras atau agama. Aksi ini meliputi antara lain membantai kelompok, menyebabkan kerusakan fisik dan mental serius kepada anggota kelompok, hingga secara paksa memindahkan anak-anak dari suatu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lain.

Dalam perkembangannya, pengertian genosida tertuang dalam statuta International Criminal Court (ICC) dan UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pada Pasal 8 UU Pengadilan HAM, definisi genosida serupa dengan yang tertuang dalam Konvensi Genosida 1948.

Meski sama-sama kejahatan yang menghabisi nyawa manusia, genosida berbeda dengan kejahatan terhadap manusia biasa. Genosida merupakan kejahatan yang menyasar pada kelompok seperti bangsa, ras, etnis, maupun agama, sementara kejahatan terhadap manusia biasa hanya menyasar kepada warga negara atau penduduk sipil.

Secara hukum, kejahatan genosida berbeda dengan kejahatan terhadap manusia biasa. Kejahatan genosida menyasar pada kelompok seperti bangsa, ras, etnis, maupun agama, sementara kejahatan terhadap manusia biasa tertuju pada warga negara dan penduduk sipil.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO 
Seniman yang tergabung dalam Solidaritas Kultural Kontra Genosida menampilkan karya mereka dalam pameran yang berjudul From The Wall To The Sea di Kafe Decored, Yogyakarta, Minggu (25/2/2024). Pameran sebagai wujud dukungan kaum seniman terhadap Palestina ini berlangsung hingga 1 Maret 2024. 

Holocaust

Perhatian dunia terhadap kejahatan genosida berawal dari Holocaust, istilah untuk menyebut aksi pembantaian Nazi terhadap 6 juta orang Yahudi Eropa, dan orang-orang yang dianggap tidak layak di Jerman seperti seniman, pendidik, orang Romawi, komunis, homoseksual, hingga orang yang cacat secara mental dan fisik. Holocaust juga disebut “Shoah”, kata Ibrani yang berarti malapetaka.

Rangkaian Holocaust dimulai ketika Adolf Hitler dan Partai Nazi memimpin Jerman pada Januari 1933 dan bertekad membuat semua orang tunduk pada Jerman sebagai ras superior. Pembantaian kaum Yahudi Eropa secara masif dan terstruktur terjadi pada kurun 1941-1945. Holocaust berakhir pada Mei 1945 ketika Kubu Sekutu mengalahkan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.

Pembantaian kaum Yahudi oleh Nazi berdasarkan antisemitisme atau prasangka buruk. Nazi menuduh orang Yahudi sebagai biang kekalahan Jerman di Perang Dunia I (1914-1918). Mereka dianggap sebagai penyebab masalah sosial, ekonomi, politik, dan budaya Jerman. Ide Nazi ini diterima oleh masyarakat Jerman lantaran kekecewaan terhadap Pemerintahan Weimar (1918-1933). Rakyat Jerman juga masih terluka akibat kekalahan perang dan ekonomi yang rapuh.

Diskriminasi terhadap kaum Yahudi Eropa merupakan antisemitisme lama yang diangkat kembali. Pada abad pertengahan antara tahun 500-1400, muncul kepercayaan di penganut Kristen yang menyebut kaum Yahudi bertanggung jawab terhadap kematian Yesus. Prasangka ini berlanjut hingga abad ke-19.

Antisemitisme terhadap kaum yahudi meluas tak hanya persoalan agama. Kaum Yahudi terkucil dari masyarakat Eropa dan dianggap sebagai biang keladi penyakit sosial, politik, dan ekonomi. Kebencian terhadap kaum Yahudi semakin dibenarkan oleh teori ras, dan Darwinisme Sosial yang dimanfaatkan oleh Nazi untuk propaganda mereka.

Gerbang kamp konsentrasi Auschwitz Birkenau, Polandia (15/5/2018). Gerbang ini sekaligus tempat tentara Nazi penjaga kamp. Rel kereta dan jalan tanah ini membelah kamp dalam dua sisi. Foto: KOMPAS/NINUK MARDIANA PAMBUDY

Pelaksanaan Holocaust dilakukan secara bertahap. Setelah Hitler berkuasa, Nazi sebagai satu-satunya partai yang berkuasa di Jerman mulai melakukan aksi pembersihan etnis. Pasukan Nazi membangun Ghetto, sebuah area khusus baik di kota kecil maupun kota besar yang memaksa orang Yahudi untuk tinggal dalam kondisi penuh sesak. Berbagai aksi dikakukan mulai dari kerja paksa, diskriminasi, kekerasan, penahanan, eksperimen manusia, dan aksi keji lainnya.

Memasuki Perang Dunia II, Adolf Hitler menerapkan kebijakan yang disebut sebagai Solusi Akhir. Awalnya, pasukan Jerman mulai melakukan penembakan massal terhadap orang-orang Yahudi. Penembakkan massal terjadi di lebih dari 1.500 kota dan desa. Sebanyak 2 juta orang Yahudi dibantai dalam penembakan massal atau mobil van gas di wilayah-wilayah yang direbut dari pasukan Soviet.

Pada akhir 1941 Nazi mulai membangun kamp konsentrasi yang dilengkapi dengan kamar gas beracun di Polandia (Chelmno, Belzec, Sobibor, Treblinka, dan Auschwitz-Birkenau). Tujuan utama kamp ini adalah membantai orang Yahudi secara efisien dan berkala dengan melepaskan gas beracun ke kamar gas atau mobil van gas yang tertutup rapat. Dalam melaksanakan Holocaust Nazi tidak sendirian dan bergantung pada bantuan sekutu dan para kaki tangannya.

Berakhirnya Holocaust disebabkan oleh kekalahan Jerman oleh Pasukan Sekutu Utama (Inggris Raya, Amerika Serikat, dan Uni Soviet) pada Mei 1945. Saat menyerbu kamp-kamp konsentrasi, Pasukan Sekutu Utama menemukan dan membebaskan para tahanan yang masih hidup. Meski telah dibebaskan, para penyintas Holocaust menghadapi mimpi buruk lain seperti ancaman anti antisemitisme dan pengusiran.

KOMPAS/MARIA HARTININGSIH
Salah satu pojok di kamp utama Auschwitz, kamp konsentrasi kerja paksa,  setelah memasuki gerbang bertuliskan ‘Arbeit Macht Frei’, kerja membawa kebebasan (15/1/2012).

Terbentuknya Israel

Setelah kekalahan Jerman, Sekutu memulangkan jutaan orang ke negara asal mereka, tetapi banyak penyintas Holocaust yang menolak kembali. Selain kehilangan keluarga dan harta benda, para penyintas harus menghadapi trauma berat dan antisemitisme di kampung halaman. Para penyintas juga menghadapi aksi kekerasan, salah satunya kasus pembantaian 42 orang penyintas Holocaust dalam kerusuhan antisemit di Kielce, Polandia, Juli 1946.

Penyintas yang enggan kembali ke kampung halaman memilih menuju wilayah Eropa yang telah dibebaskan sekutu. Namun, impian mereka sulit terwujud, pembatasan imigrasi terjadi di banyak negara termasuk wilayah Mandat Palestina yang berada di bawah kendali Inggris. Dampaknya, banyak penyintas Holocaust ditampung di kamp pengungsi terlantar. Puncaknya pada tahun 1947 terdapat 250.000 pengungsi terlantar Yahudi.

Nasib para penyintas Yahudi yang terlantar menimbulkan perdebatan antara Inggris dan Amerika serikat. Pada 1945, perwakilan Amerika Serikat untuk Komite Antarpemerintah untuk Pengungsi, Earl G. Harrison, memberikan laporan investigasi yang menyebut perlakuan tidak pantas terhadap para pengungsi terlantar Yahudi. Menurutnya para pengungsi ingin pergi ke wilayah Mandat Palestina.

Dari hasil laporan Harrison muncul petisi yang berujung desakan Presiden AS, Harry S. Truman kepada Inggris untuk mengizinkan 100.000 Pengungsi Telantar Yahudi berimigrasi ke wilayah Mandat Palestina. Perdana Menteri Inggris, Clement Attlee, dengan tegas menolak dan memperingatkan Truman tentang ancaman serius terhadap hubungan Inggris-AS bila pemerintah AS mendukung imigrasi Yahudi ke wilayah Mandat Palestina.

Dalam situasi yang serba tidak pasti di antara pengungsu, gerakan Zionisme modern berkembang. Nama “Zion” berasal dari Alkitab Ibrani sebagai nama untuk Israel. Gerakan politik ini mendukung pembentukan negara Yahudi otonom di Israel. Menurut Zionisme, wilayah Mandat Palestina merupakan milik orang Yahudi selama lebih dari 4.000 tahun sesuai agama Yahudi dan Alkitab Ibrani.

Kompas, 24 Mei 2021, hlm. 2

Para penyintas Yahudi menaruh harapan besar pada Zionisme dan dari tahun 1945 hingga 1948 semakin banyak penyintas Yahudi yang menuju wilayah Mandat Palestina. Situasi ini tak lepas dari pengaruh David Ben Gurion, pemimpin komunitas Yahudi di wilayah Mandat Palestina. Pada kurun 1945 dan 1946, David beberapa kali mengunjungi kamp-kamp pengungsian di Eropa. Kunjungan itu meningkatkan moral pengungsi terlantar dan mendorong berdirinya negara Yahudi.

Gelombang penyintas Yahudi yang menuju Palestina semakin deras, dan Inggris tetap pada pendiriannya memberlakukan imigrasi terbatas. Sepanjang 1945-1948 sebanyak 50.000 pengungsi Yahudi ditangkap dan dikirim ke kamp-kamp penahanan di Pulau Mediterania, Siprus.

Momen krusial yang mengundang simpati terhadap Yahudi terjadi ketika Inggris menghentikan kapal “Exodus 1947” yang menampung 4.500 penyintas Holocaust. Insiden penolakan ini menarik perhatian dunia internasional. Pemerintah Inggris pun mengajukan masalah ini ke PBB. Majelis Umum  (MU) PBB memberikan suara pada 29 November 1947 untuk membagi wilayah Mandat Palestina menjadi dua negara baru.

Resolusi MU PBB Nomor 181 menegaskan pembagian wilayah historis Palestina antara Arab dan Yahudi dengan status kota Jerusalem di bawah mandat internasional. Sesuai resolusi tersebut, Arab Palestina mendapat sekitar 42 persen dan Yahudi 56 persen dari keseluruhan tanah historis Palestina. Adapun 2 persen Jerusalem ditetapkan sebagai corpusseparatum dan dikelola perwalian internasional.

Rekomendasi ini ditolak bangsa Arab. Saat David Ben Gurion mendeklarasikan negara Israel pada 14 Mei 1948, bangsa Arab memilih perang. Pasukan negara-negara Arab memasuki wilayah Palestina pada 15 Mei 1948. Perang ini disebut sebagai Perang Arab-Israel pertama. Dalam perang ini pihak Arab mengalami kekalahan yang berdampak terhadap berkurangnya wilayah Palestina. Pascaperang Arab-Israel pertama, Israel menguasai 77 persen wilayah historis Palestina, jauh lebih luas dari jatah wilayah sesuai resolusi MU PBB.

Kompas, 24 Mei 2021, hlm. 1

Tragedi Palestina

Pada peristiwa 15 Mei 1948, sedikitnya 750.000 orang Palestina terusir dari tempat tinggalnya. Rumah ratusan ribu warga Palestina diserang, dirusak, dan dijarah milisi Israel. Kelompok milisi Yahudi dipersenjatai senapan mesin hingga mortir yang menghancurkan ratusan desa orang-orang Arab.

Perang besar terjadi lagi pada tahun 1967. Arab kembali mengalami kekalahan dan menyebabkan wilayah Israel semakin luas. Dalam perang  yang berlangsung enam hari, Israel menguasai wilayah Arab mencakup Semenanjung Sinai (Mesir), Dataran Tinggi Golan (Suriah), Tepi Barat, Jerusalem Timur, dan Jalur Gaza. Sejak saat itu, bangsa Arab mulai realistis.

Pemimpin Palestina Yasser Arafat mendeklarasikan negara Palestina secara sepihak (unilaterally) pada 15 November 1988. Saat itu terjadi peristiwa Intifada yakni perlawanan rakyat Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Intifada berlangsung dua kali yakni Intifada I (1987-1991), dan Intifada II (2000-2005). Sejak dideklarasikan, sebanyak 145 negara dari 193 anggota PBB telah mengakui negara Palestina.

Berbagai upaya damai telah dilakukan, tetapi konflik terus terjadi. Human Rights Watch (HRW) mencatat, sejak 2007, Pemerintah Israel secara sistematis telah menindas warga Palestina di Gaza. Menurut catatan Al Jazeera, serangan Israel ke Palestina sejak 7 Oktober 2023 telah menewaskan sekitar 38.345 orang, sebanyak 88.295 luka-luka, dan lebih dari 10.000 orang hilang (11/7/2024).

Pengalaman traumatis Perang Dunia II tidak lantas menjadikan bangsa Israel lebih manusiawi. Kekejaman Holocaust justru diadopsi Israel untuk menindas Palestina yang telah mendiami wilayah Israel-Palestina selama 1.200 tahun. Catatan sejarah menyebutkan, Bangsa Yahudi pernah eksis di tanah Israel-Palestina hanya selama 200 tahun. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • Genos dan Cide. Kompas, 3 Juli 2001, hlm. 3.
  • Tajuk Rencana: Becermin dari Tragedi Armenia. Kompas, 26 April 2010, hlm. 6.
  • Pemilu Rwanda: Genosida Masih Membayangi. Kompas, 24 Mei 2010, hlm. 10.
  • Kemanusiaan: Warga Bosnia Peringati Pembantaian Srebrenica. Kompas, 12 Juli 2010, hlm. 8
  • Menuju Palestina Merdeka dan Damai. Kompas, 24 Mei 2021, hlm. 1.
  • Perjuangan Palestina dari 1948 hingga 2021. Kompas, 24 Mei 2021, hlm. 2.
  • Derita akibat Perang Gaza Melampaui Nakba 1948. Kompas, 16 Mei 2024, hlm. 4.