Paparan Topik | Pemilu 2024

Independensi Media Massa di Tahun Politik

Independensi media dan pers kian penting dalam mengamplifikasi kebenaran dan menyingkap fakta di tengah kontestasi pemilu.

KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja (kanan) mengisi acara Diskusi Media dan Aturan Pemberitaan Kampanye Pemilu di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Rabu (9/8/2023). Acara yang diselenggarakan Dewan Pers ini bertujuan untuk menghadirkan media-media yang independen dan bertanggung jawab di masa pemilihan umum (Pemilu) khususnya Pemilu 2024. Independensi ini penting bagi masyarakat untuk menentukan arah pilihannya karena media tidak hanya menghadirkan informasi juga memberikan edukasi. Pers berfungsi menghadirkan pemilu yang baik, sehat, menyenangkan, dan damai. 

Fakta Singkat

  • Mengacu hasil riset lembaga Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) terdapat empat model afiliasi politik media saat ini: ekstrem, kuat (strong), moderat, dan lemah.
  • Peran media dalam pemilu: mengedukasi publik, menjadi sarana kampanye yang adil, menyediakan forum diskusi, dan mengawasi jalannya pemilu.

Menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum atau Pemilu di tahun 2024, suasana kompetisi politik semakin ketat. Masa kampanye bagi tiga pasangan capres dan cawapres serta para calon anggota legislatif di DPR, DPD, serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota, untuk merebut suara pemilih telah dimulai pada Selasa (27/11/2023).

Peserta pemilu diberikan kesempatan untuk berkampanye, beradu visi, misi, program dan komitmen kepada rakyat hingga awal Februari 2024 nanti. Masyarakat pun berkesempatan mengenali para kontestan pemilu beserta janji dan program yang ditawarkan .

Dalam waktu itu, peran media semakin penting. Media berperan untuk memberikan informasi dan edukasi terhadap masyarakat, baik terkait pemilu serentak maupun integritas atau rekam jejak setiap peserta pemilu. 

Sebagai pilar keempat demokrasi, media berperan dalam mengawasi dan mengevaluasi jalannya pesta demokrasi. Media juga berperan menyebarkan pemahaman yang besar soal demokrasi.

Oleh karena itu, media perlu menyampaikan berita-berita yang mencerahkan untuk menjaga ruang publik agar tetap sehat melalui informasi yang benar dan tepercaya. Berita yang faktual dan berimbang kepada masyarakat adalah gawang yang harus dijaga oleh para awak media. Pendek kata, media dituntut menjaga independensi.

Namun, nampaknya independensi dan netralitas jurnalisme dan media di Indonesia semakin banyak dipertanyakan orang. Keterlibatan pemilik media dalam aktivitas atau partai politik adalah penyebabnya. Hal itu membuat pers kesulitan menjalankan tugasnya karena kepentingan politik berkelindan dengan pemberitaan yang seharusnya dibuat untuk kepentingan publik.

KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA

Dewan Pers menggelar program Workshop Peliputan Pemilu 2024 di Bali. Dalam lokakarya tentang peliputan Pemilu 2024 di Sanur, Kota Denpasar, Senin (31/7/2023), dihadirkan sejumlah pembicara, di antaranya, anggota Dewan Pers, yang juga Ketua Komisi Pendidikan dan Pengembangan Profesi di Dewan Pers, Paulus Tri Agung Kristanto (berdiri, kiri), Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Bali I Dewa Agung Gede Lidartawan (duduk, tengah), dan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Bali I Wayan Wirka (duduk, kedua dari kanan).

Media dan Afiliasi Politik

Secara historis, di Indonesia, pemosisian media sebagai alat kepentingan politik secara integratif sebenarnya tidak baru saja terjadi akhir-akhir ini. Sejak lama, media telah menjadi arena pertarungan kepentingan, yang mana peran yang diambil adalah memproduksi isu dan wacana publik.  

Misalnya Javache Courant, Soerabajaasch Advertantiebland, dan De Semarangsche. Surat kabar-surat kabar ini adalah kepanjangan mulut dari serikat dagang dan pemerintah kolonial yang memiliki kepentingan ekonomi sekaligus politik. Kemudian, ada pula Bataviaasch Handelsblad yang menjadi perpanjangan suara orang-orang Indo-Belanda, yang kerap mengkritik pemerintah kolonial. Juga, De Locomotif yang dikenal menjadi media kaum etis. 

Pentingnya media juga dimanfaatkan oleh para tokoh pergerakan Indonesia. Mereka membuat medianya sendiri sebagai sarana perjuangan. Seperti Tirto Adhi Soerjo dengan Medan Prijaji, Soekarno menerbitkan dan memimpin Soeloeh Indonesia Moeda serta Fikiran Ra’jat, dan Hatta bersama dengan Sjahrir menerbitkan Majalah Daulat Ra’jat.

Pada era awal kemerdekaan, khususnya demokrasi liberal, media semakin kental hadir sebagai alat politik pemerintahan Soekarno. Media menjadi bagian penting dari partai politik. Hal itu terlihat dari banyaknya surat kabar yang beredar yang memiliki afiliasi politik dengan partai politik. Di antaranya adalah Harian Rakjat (PKI), Abadi (Masjumi), Suluh Indonesia (PNI), Duta Masjarakat (NU).

Pada era Orde Baru, Pemerintah Soeharto memanfaatkan media sebagai sarana propaganda agenda kepentingan pemerintah. Bahkan, Golongan Karya, partai pemerintah yang tak mau disebut partai politik saat itu, membentuk harian Suara Karya sebagai penopang politik.

Mengacu riset PR2Media bertajuk “Kepemilikan dan Afiliasi Politik Media di Indonesia”, afiliasi politik media dengan partai politik dan juga pemerintahan yang berkuasa terus terjadi setelah masa reformasi. Aktornya saja yang mengalami perubahan karena dinamika politik.

Dalam riset tersebut, afiliasi politik dipahami bukan saja berhubungan dengan partai politik, tetapi juga pemerintahan. Hal ini karena hubungan partai politik dengan pemerintahan yang sangat kompleks, berbasis lintas partai politik, sehingga media tidak selalu berhubungan dengan partai politik, tetapi dapat langsung dengan pejabat pemerintahan.

Berdasarkan riset tersebut, terdapat empat model afiliasi politik media saat ini, yaitu ekstrem, kuat (strong), moderat, dan lemah (weak). Model ekstrem adalah pemilik media dan keluarganya (pemegang saham, komisaris, direksi) sekaligus menjadi ketua parpol, calon legislatif, atau anggota DPR/DPD/DPRD, kepala pemerintahan tingkat pusat/daerah.

Model kuat: berposisi sebagai komisaris di media sekaligus pengurus parpol/calon atau anggota DPR/DPD/DPRD, kepala pemerintahan pusat/daerah. Moderat: menjabat direksi di media sekaligus pengurus parpol/calon atau anggota DPR/DPD/DPRD/kepala pemerintahan pusat/daerah. Model lemah: jurnalis atau editor media yang menjadi calon legislatif/anggota parlemen dan pengurus parpol.

Model ekstrem terlihat pada Hary Tanoesoedibjo, pemilik saham, direktur utama MNC Group yang juga merupakan Ketua Umum Partai Indonesia Raya (Perindo), sekaligus menjadi calon anggota DPR. Pada saat yang sama, putri Hary Tanoesoedibjo, Angela Tanoesoedibjo, menjadi Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Dengan kata lain, ada model koneksi pemerintah, partai politik, parlemen, dan media, yang dikendalikan hanya oleh satu tangan oligarki.

Model kuat (strong) terlihat pada Surya Paloh, pemilik Media Group dengan saham mayoritas sekaligus menjadi direktur utama. Ia menjadi Ketua Umum Partai Nasdem dengan anaknya, Prananda, menjadi Ketua Pemenangan Pemilu Partai Nasdem. Prananda juga menduduki peran anggota DPR RI periode 2019 – 2024, dan mencalonkan diri lagi.

Partai Nasdem menempatkan tiga menteri dalam kabinet Presiden Joko Wododo, yaitu Menteri Komunikasi dan Informatika Johny G Plate, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, serta Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar. Posisi Johny G Plate sudah diganti pada Mei 2023 karena terlibat korupsi, demikian juga Syahrul yang mundur dari jabatannya pada Oktober 2023 karena diduga terlibat korupsi.

Model moderat dapat ditemui pada Syafril Nasution, selaku Direktur Corporate Secretary di MNC Group, Ketua ATVSI 2019 – 2022, dan pada Pemilu 2024 menjadi calon anggota legislatif Partai Perindo Dapil Jawa Tengah 1. Syafril Nasution juga menjadi Wakil Ketua Pengurus Pusat Partai Perindo Bidang Organisasi.

Adapun model lemah dapat dijumpai pada sejumlah jurnalis senior di berbagai provinsi yang maju menjadi calon anggota legislatif pada Pemilu 2024, baik di tingkat DPR maupun DPRD. Para jurnalis dan sejumlah media juga menunjukkan keberpihakan (partisanship) kepada partai politik atau figur politik tertentu lewat berita (presiden, menteri, kepala daerah, dan lain-lain).

Namun, empat model ini tidak terjadi pada grup media berskala nasional lainnya, seperti Grup Emtek, Kelompok Kompas Gramedia, Jawa Pos Grup, Mahaka Media, BeritaSatu Media Group, dan Trans Group.

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Implikasi Afiliasi Politik Media

Fenomena afiliasi media dengan tokoh atau partai politik tidak bisa dipungkiri turut memengaruhi pemberitaan yang cenderung bermuatan politis pada tokoh atau kelompok tertentu. Mengacu Kompas (23/11/2023), mendekati Pemilu serentak 2024, Aliansi Jurnalis Independen atau AJI menemukan enam masalah yang dapat memengaruhi profesionalisme dan independensi media akibat pemilik media terafiliasi dengan partai politik.

Enam masalah tersebut adalah intervensi ke ruang redaksi untuk kepentingan politik pemilik media, swasensor berita berkaitan dengan pemilik media, jurnalis tidak kuasa menolak perintah atasan, dan jurnalis tidak berani melapor. Ada juga masalah kepercayaan publik terhadap pers yang semakin tergerus serta normalisasi komunitas pers terhadap penyalahgunaan pers.

Sebelumnya, berbagai penelitian juga telah menunjukkan bahwa media, baik itu televisi, surat kabar, maupun berita online yang pemiliknya memiliki kaitan dengan aktivitas partai politik memiliki implikasi tidak independen dan netral dalam pemberitaan politik. Ketidakindependenan dan ketidaknetralan berita politik dapat diamati dari sejumlah indikator. Salah satunya adalah bias pemberitaan yang cenderung menonjolkan kepentingan salah satu tokoh atau kelompok politik.

Setidaknya pemberitaan yang menekankan kegiatan pemilik media dan afiliasinya terlihat memiliki porsi yang lebih banyak dibandingkan dengan pemberitaan saingan politiknya. Bahkan, tak jarang digunakan untuk mengkritisi lawan politik kelompok tertentu.

Pada tahun 2012, berdasarkan catatan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), pada saat Hary Tanoesoedibjo, pemilik RCTI dan MNC group, masih di Partai Nasdem, antara bulan Oktober sampai dengan November 2012, stasiun televisi swasta tersebut menayangkan sebanyak 127 iklan partai tersebut.

Kemudian, ketika Hary Tanoesoedibyo berpindah ke Partai Hanura, dalam periode yang sangat singkat, yaitu 2 – 15 April 2013, KPI mencatat adanya 11 berita tentang Hanura yang muncul tidak hanya di RCTI, tapi juga di seluruh grup MNC (MNC TV dan Global TV).

Pada 2013, Aburizal Bakrie yang sempat akan mencalonkan diri sebagai presiden pada Pemilu 2014 juga banyak bermunculan di TV One. KPI mencatat 10 pemberitaan dan 143 kali tayangan iklan politik tentang Aburizal Bakrie sepanjang April 2013.

Grafik:

Kemudian pada Pilpres 2014, berdasarkan laporan riset Remotivi bertajuk “Indepedensi Televisi Menjelang Pemilu Presiden 2014: Ketika Media Jadi Corong Kepentingan Politik Pemilik”, terjadi peningkatan drastis pada frekuensi pemberitaan pasangan calon presiden nomor urut satu Prabowo Subianto – Hatta Rajasa di stasiun televisi yang tergabung dalam Grup Viva yang dimiliki Aburizal Bakrie, serta Grup MNC yang dimiliki Harry Tanoesoedibjo.

Hal ini seiring dengan koalisi Partai Gerindra dengan Golkar yang diketuai oleh Aburizal Bakrie, serta dukungan Harry Tanoesoedibjo pada pasangan capres-cawapres nomor urut satu tersebut.

Saat Pemilu 2014, di TVOne porsi pemberitaan positif untuk Prabowo Subianto, adalah 96 persen, dan untuk Joko Widodo hanya sebesar 16 persen.

Sedangkan di MNC, porsi pemberitaan positif untuk Prabowo Subianto nyaris mencapai 100 persen, dan pemberitaan positif Joko Widodo hanya 4 persen.

Sementara Metro TV, yang dimiliki oleh dewan Pembina Partai Nasdem Surya Paloh yang mendukung pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla. Porsi pemberitaan positif terhadap pasangan nomor urut dua tersebut mencapai 70 persen, sedangkan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa hanya mendapatkan 15 persen. Sedangkan untuk pemberitaan negatif, Prabowo Subianto – Hatta Rajasa mendapatkan hampir 100 persen.

Data KPI juga menunjukan adanya ketidakberimbangan dalam pemberitaan di kedua media tersebut selama 19 – 25 Mei 2014. Total tayangan Joko Widodo – Jusuf Kalla di Metro TV mencapai 187 kali. Angka ini jauh di atas tayangan pemberitaan Prabowo Subianto – Hatta yang hanya sebesar 110 kali.

Sebaliknya, Prabowo Subianto – Hatta Rajasa muncul sebanyak 153 kali di TV One dalam periode ini. Sedangkan Joko Widodo – Jusuf Kalla hanya muncul sebanyak 79 kali.

Di salah satu Grup MNC, yaitu RCTI, Joko Widodo – Jusuf Kalla hanya muncul sebanyak tujuh kali. Angka ini jauh dibandingkan dengan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa yang muncul hingga 30 kali.

Hal yang sama kembali terjadi pada 2019. Hanya saja pada Pilpres 2019, Hary Tanoesoedibjo, yang pada Oktober 2014 mendirikan partai Persatuan Indonesia (Perindo), berubah haluan dengan mendukung pasangan Joko Widodo – Ma’aruf Amin.

Berbagai data di atas menunjukkan dengan sangat jelas bahwa media yang pemiliknya memiliki kepentingan politik atau berafiliasi dengan partai politik cenderung digunakan pemilik untuk kepentingan politik.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Suasana di ruang kontrol Kompas TV, Jakarta, saat berlangsung program berita Kompas Siang, Rabu (27/1/2016). Kompas TV yang mengawali siaran pada tahun 2011 sebagai televisi dokumenter kini fokus menjadi televisi berita.

Independensi dan Peran Media dalam Pemilu

Menyongsong pesta demokrasi Pemilu 2024, independensi media dan pers semakin penting dalam mengamplifikasi kebenaran dan menyingkap fakta di tengah kontestasi politik yang kian menghangat.

Tanpa adanya media yang menyajikan informasi yang berkualitas, berimbang, dan akurat, maka publik berpotensi tidak mampu mengambil keputusan yang tepat.

Stanley Adi Prasetyo dalam artikel “Independensi dan Netralitas Pers dalam Pemilu” mengatakan, Sebagaimana perannya yang tercantum dalam Pasal 6 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, media dan pers harus melaksanakan peranannya mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Dalam konteks Pemilu 2024, merujuk buku Panduan Peliputan Pemilu 2024 bagi Jurnalis, sedikitnya ada empat peran media dalam Pemilu.

Pertama, mengedukasi publik. Media sebagai pendidik masyarakat bertanggung jawab untuk memberikan edukasi kepada pemilih mengenai jalannya pemilu yang benar, berkewajiban memberikan informasi yang diperlukan untuk mengevaluasi perilaku pejabat serta proses pemilu secara luas. Terkait hal ini, media bisa menyediakan informasi mengenai agenda politik partai dan kandidat yang berpartisipasi secara setara.

Kedua, menjadi sarana kampanye yang adil. Kandidat dan partai memiliki hak eksplisit untuk memberikan informasi kepada pemilih mengenai atribut, agenda politik, dan rencana yang diusulkan melalui berbagai alat komunikasi publik, salah satunya media.

Dalam hal ini, sangat penting bagi media untuk memberi akses yang sama kepada kandidat dan partai yang hendak beriklan atau kampanye. Meratakan ruang kampanye adalah salah satu justifikasi utama regulasi media selama pemilu.

Terkait hal ini, media harus memberitakannya secara seimbang dan adil karena peran kunci dari media dalam kampanye adalah pelaporan yang berimbang, memastikan bahwa setiap kandidat menerima liputan yang adil.

Ketiga, menyediakan forum diskusi. Media bisa berperan menyediakan forum terbuka untuk debat dan diskusi dari para kontestan sehingga pemilih dapat mengetahui kapasitas dari setiap kandidat atau partai yang hendak dipilihnya.

Peran media dalam menyediakan platform untuk debat dan diskusi sangat penting. Sebab, menjadi ruang yang berharga untuk rekonsiliasi dan dialog antara perspektif politik yang saling bersaing.

Ketika perspektif dilibatkan secara efektif, hal ini dapat membantu mengurangi polarisasi, dan selanjutnya menentukan dan mengkonsolidasikan agenda pembangunan negara dan bangsa.

Keempat, mengawasi pemilu. Media berperan sebagai pengawas dengan menjaga transparansi proses demokrasi. Transparansi yang diperlukan untuk akses ke informasi berarti bahwa pemilih diberikan informasi yang diperlukan dan komprehensif.

Transparansi diperlukan di banyak tingkatan termasuk untuk akses ke informasi; akuntabilitas dan legitimasi individu, institusi dan proses itu sendiri; dan untuk partisipasi yang sah dan debat publik.

Terkait hal itu, media harus berani menyampaikan fakta-fakta para kontestan dari sisi terang atau mungkin gelap. Dengan demikian, bisa mendorong terpilihnya pemimpin yang berkualitas dan mumpuni untuk memimpin pemerintahan selama lima tahun ke depan.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Memilih Presiden, Wakil Presiden dan Anggota Legislatif. Sejumlah jurnalis meliput kegiatan Pengundian dan Penetapan Debat Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Pemilu 2019 di Ruang Sidang Utama Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Rabu (26/12/2018). Pada Pemilu 2019, pemilih akan diberikan 5 surat suara untuk memilih anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden.

Etika Media dalam Pemilu

Mengacu buku Panduan Peliputan Pemilu 2024 bagi Jurnalis, setidaknya ada 12 poin yang bisa dijadikan pedoman etis bagi media dalam melakukan peliputan Pemilu:

Bersikap independen. Media dan jurnalis harus bersikap independen dalam meliput pemilu, tidak boleh menjadi perpanjangan tangan para kontestan untuk menyuarakan kepentingan para kontestan. Hanya berpihak pada kepentingan rakyat dan penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Jika pemilik media, pemimpin redaksi, atau jurnalis ikut berkompetisi dalam pemilu, harus mengundurkan diri dari profesinya dan aktivitas jurnalistik.

Disiplin verifikasi. Menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam 10 elemen jurnalisme, esensi jurnalisme adalah verifikasi. Oleh sebab itu, jurnalis tidak boleh mempublikasikan informasi yang belum jelas kebenarannya. Sebab, informasi salah karena tak terverifikasi berpotensi memperkeruh suasana pemilu yang panas dan penuh ketegangan.

Memberikan kesempatan yang sama. Media dan jurnalis harus memberikan kesempatan yang sama pada setiap peserta pemilu untuk mendapatkan ruang pemberitaan.

Memastikan informasi sesuai dengan konteksnya. Pemberitaan media yang dipublikasikan sepotong-sepotong tanpa konteksnya bisa menimbulkan kesalahpahaman persepsi, baik positi maupun negatif. Oleh karena itu, media dan jurnalis harus memahami dan menyertakan konteks informasi yang dipublikasikan, bisa bentuk suasana yang diberitakan, pernyataan para politisi, bisa juga tambahan data dan penjelasan yang diperlukan.

Bedakan antara fakta dan opini. Dalam jurnalistik, ada adagium “opinion is free, but fact is sacred”. Opini itu bebas, sementara fakta itu suci. Maksudnya, orang memiliki hak untuk menyampaikan pandangan pribadi mereka yang didasarkan pada persepsi atau keyakinan subjetif mereka.

Tapi, opini bukanlah kebenaran objektif. Karya jurnalistik harus didasarkan pada fakta objektif. Itu kenapa fakta disebut suci. Fakta adalah informasi yang dapat diverifikasi dan didukung oleh bukti yang jelas dan objektif.

Dalam konteks pemilu, lazim terjadi, para peserta pemilu menyampaikan pernyataan-pernyataan yang memiliki kepentingan tertentu di baliknya. Karenanya, media perlu memverifikasi atas setiap pernyataan yang disampaikan oleh para peserta pemilu, mencermati, itu opini atau fakta.

Jangan mengamplifikasi ujaran kebencian dan hasutan. Pilpres 2014 dan 2019 adalah pelajaran berharga betapa ujaran kebencian dan hasutan telah memecah belah masyarakat sedemikian rupa.

Ujaran kebencian dan hasutan merupakan bentuk komunikasi yang bertujuan untuk memicu emosi negatif dan sikap intoleransi terhadap lembaga, kelompok, atau individu tertentu, sehingga merusak demokrasi.

Menjaga imparsialitas di media sosial. Sebagai warga negara, jurnalis memiliki hak politik untuk berpihak pada kontestan pemilu. Namun, profesi jurnalis yang terikat pada kode etik tidak bisa dipisahkan dengan mudah dengan representasi dirinya di media sosial. Penunjukan keberpihakan yang vulgar akan mempengaruhi persepsi publik atas independensi profesi dan medianya.

Hindari Clickbait. Clickbait adalah judul yang dibuat menarik agar mengundang klik. Clickbait dengan judul yang dibesar-besarkan dan sensasional sama berpotensi menyesatkan pembaca. Dalam pemilu, informasi yang dikemas dalam judul clickbait bisa mempengaruhi persepsi masyarakat yang berujung pada putusan pemungutan suara yang salah.

Beri ruang pada voice of voiceless dan isu-isu lokal. Pemberitaan pada masa pemilu biasanya selalu berfokus pada para kontestan pemilu. Padahal, pemilu merupakan pesta demokrasi rakyat.

Oleh sebab itu, media dan pers selayaknya memberi ruang pemberitaan pada harapan masyarakat, utamanya kepentingan mereka yang tak pernah tersuarakan, seperti masyarakat adat, rakyat miskin kota, kaum difabel, hak-hak perempuan, dan warga lansia.

Termasuk juga isu-isu lokal yang acapkali tenggelam oleh riuh dinamika politik di tingkat pusat. Media sudah seharusnya memberikan porsi yang seimbang antara isu pusat dan daerah.

Tidak mendukung politik identitas dan menjaga kebhinekaan Indonesia. Menurut pengalaman di pemilu-pemilu sebelumnya, politik identitas kerap digunakan sebagai strategi untuk mendapatkan dukungan politik.

Politik identitas dalam pemilu merujuk pada strategi politik yang didasarkan pada identitas kelompok tertentu seperti etnis, suku, agama atau kelompok lainnya. Isu ini menciptakan perpecahan, konflik, dan polarisasi politik, yang mengancam kebhinekaan Indonesia. Karenanya, media dan pers harus berpihak pada kebhinekaan Indonesia.

Berperspektif jurnalisme damai dalam memberitakan konflik. Pada hakikatnya, tidak ada konflik yang membawa keuntungan bagi masyarakat. Namun, konflik tidak mungkin terhindari dalam situasi kompetisi besar ini.

Konflik bisa terjadi antara para pendukung atau para kontestan. Dalam situasi seperti ini, penting bagi media untuk menggunakan perspektif jurnalisme damai dalam peliputan. Tidak mengangkat pemberitaan yang provokatif yang menguatkan konflik, tapi mencari celah pemberitaan yang mendorong perdamaian antara kelompok yang terlibat konflik.

Melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional. Dalam Pasal 11 Kode Etik Jurnalistik, wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.

(LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku dan Laporan
  • Margianto, Heru, dkk. 2023. Panduan Peliputan Pemilu Bagi Jurnalis. Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen.
  • Masduki, dkk. 2023. Kepemilikan dan Afiliasi Politik Media di Indonesia. Yogyakarta: Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media).
  • Nuh, Mohammad. 2020. “Pers dan Dinamika Politik di Indonesia”, Jurnal Dewan Pers, 21 , hlm. 4-6.
  • Isnan, Jamalul. 2020. “Independensi Ruang Redaksi (Catatan Tayangan Berita Pilpres di TV)”, Jurnal Dewan Pers, vol.21, hlm. 8-16.
  • Setiawan, Asep. 2020. “Indepedensi Redaksi: Membandingkan Kasus di Inggris, AS, dan Indonesia”, Jurnal Dewan Pers, 21, hlm. 17-25.
  • Prasetyo, Stanley Adi. 2023. “Independensi dan Netralitas Pers dalam Pemilu”, Jurnal Dewan Pers, 25, hlm. 10-17.
  • Hendriana, Yadi. 2023. “Peliputan Pemilu 2024, Menguji Integritas “Sang Wasit”, Jurnal Dewan Pers, vol 25, hlm. 18-23.
Arsip Kompas
  • “Media Perlu Memberitakan Semua Proses Pemilu”, Kompas, 19 Oktober 2018.
  • “Media, Tahun Politik dan Permainan”, Kompas, 16 Desember 2022.
  • “Media adalah Pesan”, Kompas, 5 Agustus 2023.
  • “Kemenkominfo: 678 Stasiun Televisi Telah Bersiaran Digital Terestrial”, Kompas, 13 Agustus 2023.
  • “Media Arus Utama Turut Berperan Wujudkan Pemilu Damai”, Kompas, 5 September 2023.
  • “AJI Temukan Enam Masalah di Media Jelang Pemilu 2024”, Kompas, 23 November 2023.
Internet
  • “Peran Penting Radio di Tengah Kepungan Hoaks dan Politik Kebencian”, diakses dari kpi.go.id