Lembaga

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

Dalam upaya peradilan dan pengungkapan kasus pidana, saksi maupun korban kerap berada dalam posisi yang tertekan sekaligus terpinggirkan. Hadirnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menghidupkan perlindungan dan penguatan sehingga peradilan kasus pun dapat terselesaikan secara adil.

Fakta Singkat

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

  • Kehadiran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban didasari pada UU Nomor 31 Tahun 2004 yang menggantikan UU Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai regulasi lama.
  • Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban secara resmi terbentuk dua tahun kemudian, yakni pada 8 Agustus 2008.
  • Visi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban adalah mewujudkan perlindungan saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana.
  • Gagasan perlindungan terhadap saksi dan korban telah muncul sejak tahun 1999 dengan mempersiapkan RUU Perlindungan Saksi dan Korban. Meski begitu, RUU ini baru berhasil disahkan pada 2006.
  • Layanan yang dilakukan dan jumlah laporan yang diterima oleh LPSK kian meningkat. Dari jumlah 148 layanam pada 2015, meningkat hingga 9.308 layanan pada 2019. Dari 2.341 permohonan pada 2021, menjadi 7.777 permohonan pada 2022.
  • Meski Bom Bali I telah terjadi dua dekade yang lalu, LPSK masih aktif mengurus penyelesaian dampak pada korban. Terakhir, pada 2021 LPSK memberikan uang kompensasi pada 36 korban Bom Bali I dan II.
  • Perlindungan saksi diberikan pada LPSK untuk menjamin tercapainya pengungkapan dan penyelesaian kasus secara adil.
  • Sebagaimana terhadap Eliezer, LPSK dapat memberikan perlindungan darurat pada saksi dan korban yang dilakukan tanpa proses rapat paripurna terlebih dahulu.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Solidaritas untuk Korban Kejahatan Seksual. Para simpatisan menulis pernyataan dukungan pada bentangan kain pada Malam Solidaritas untuk Anak Korban Kejahatan Seksual di Gedung Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Jakarta, Rabu (9/1/2013). Acara ini digelar sebagai dukungan moral kepada korban dan keluarga korban kejahatan terhadap anak.

Dalam pelaksanaan peradilan, saksi maupun korban kerap memperoleh tekanan dari pihak pelaku. Apalagi ketika terkandung relasi kuasa yang begitu timpang di dalamnya, di mana pelaku yang digugat memiliki kekuasaan terhadap kehidupan saksi maupun korban. Bukan tidak jarang pihak saksi dan korban lantas memperoleh ancaman, persekusi, hingga kekerasan.

Pada hakikatnya, saksi maupun korban yang terlibat dalam penegakkan peradilan haruslah bebas dari tekanan dalam bentuk apapun dan dari siapapun. Pentingnya hakikat ini lantas termuat dalam Pasal 117 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Secara eksplist tertulis bahwa “keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun”.

Melengkapi hal tersebut, pemerintah juga telah menghadirkan Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Hadirnya asas-asas perlindungan saksi dan korban di dalamnya menjadi kemajuan tersendiri dari sistem peradilan dan penegakan hukum di Indonesia. Pada Pasal 2, dituliskan bahwa kehadiran UU ini merupakan usaha penghargaan dan pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan.

Meski begitu, dalam sejarah peradilan nasional, hadirnya basis regulasi masih belum mampu mengentaskan ancaman terhadap saksis dan korban. Kasus kepolisian yang melibatkan Ferdy Sambo dan Richard Eliezer sebagai saksi sekaligus justice collaborator menjadi salah satu contohnya. Eliezer beberapa kali mendapatkan ancaman, apalagi dengan posisi dan narasinya yang dinilai bertentangan dengan kuasa yang dimiliki Sambo sebagai perwira tinggi kepolisian.

Dalam realita sosial, mengacu pada artikel akademik “Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dan Korban Oleh Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK)” oleh Tuage, penegak hukum tidak peduli apakah saksi maupun korban merasa aman atau nyaman, begitu juga anggota keluarga mereka. Hal ini diperparah dengan setiap tahap pemeriksaan dari tingkat penyidikan sampai pemeriksaan di pengadilan yang bertele-tele.

Pada taraf demikianlah, kehadiran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau LPSK menjadi begitu penting – tidak hanya bagi inklusivitas peradilan dan lurusnya penegakkan hukum, melainkan juga demi kemanusiaan sendiri. Pasal 1 UU Nomor 13 Tahun 2006 mengamanatkan LPSK menjadi lembaga terdepan dalam perlindungan saksi dan korban. Disebutkan bahwa “perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK”.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo (kedua dari kanan) bersama jajaran komisioner LPSK Susilaningtias, Edwin Partogi, Achmadi, dan Maneger Nasution (dari kiri ke kanan) berkunjung ke redaksi Harian Kompas dan diterima oleh Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman tanuredjo (ketiga dari kanan) beserta jajaran redaksi, Selasa (7/2/2023). Kunjungan tersebut diisi dengan diskusi mengenai berbagai masalah yang sedang ditangani oleh LPSK.

Sekilas tentang LPSK

Dengan peran serta dan posisi tersebut, LPSK menetapkan visi lembaganya untuk “terwujudnya perlindungan saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana”. Melalui visi tersebut, LPSK sebagai aktor utama yang memperoleh mandat dari UU dalam memberikan perlindungan saksi dan korban harus mampu mewujudkan suatu kondisi dimana saksi dan korban benar-benar merasa terlindungi. Dengan tercapainya kondisi tersebut, maka akan berimplikasi positif terhadap pengungkapan kasus dalam peradilan pidana.

Melengkapi visinya tersebut, LPSK memiliki empat misi yang lebih konkret. Pertama, adalah untuk mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi saksi dan korban dalam peradilan pidana. Kedua, mewujudkan kelembagaan yang profesional dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi saksi dan korban.

Misinya yang ketiga adalah memperkuat landasan hukum dan kemampuan dalam pemenuhan hak-hak saksi dan korban. Keempat, mewujudkan dan mengembangkan jejaring dengan para pemangku kepentingan dalam rangka pemenuhan hak saksi dan korban. Sedangkan yang kelima, mewujudkan kondisi yang kondusif serta partisipasi masyarakat dalam perlindungan saksi dan korban.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, kehadiran dan fungsionalitas LPSK diamanatkan melalui UU Nomor 13 Tahun 2006. Meski begitu, sebagai basis hukumnya yang terbaharukan, LPSK berlandaskan pada UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Kehadiran UU Nomor 31 Tahun 2014 merevisi dan merubah UU Nomor 13 Tahun 2006 untuk memberikan kekuatan lebih pada LPSK.

Salah satu poin yang direvisi adalah Pasal 1, di mana dalam UU Nomor 31 Tahun 2014 kini tertulis bahwa LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau korban sebagaimana diatur dalam UU. Selain itu, pada Pasal 12 juga disebutkan bahwa LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam UU ini. Padal Pasal 8 ayat (1), perlindungan yang dimaksud tersebut diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai.

Sejarah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

Upaya Inisiasi Perlindungan Saksi dan Korban

Mengacu pada publikasi Roadmap Reformasi Birokrasi Sekretariat Jenderal Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Tahun 2020-2024 oleh LPSK, sejarah kehadiran LPSK dapat ditilik sejak tahun 1999. Sejarahnya dimulai dari gagasan untuk menghadirkan perlindungan terhadap saksi dan korban telah hadir sejak tahun 1999. Pada masa itu, sejumlah elemen masyarakat mulai mempersiapkan perancangan undang-undang perlindungan saksi.

Sebelumnya, gagasan ini sendiri merupakan suatu terobosan yang sangat baik dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Pasalnya, sebagaimana ditulis dalam laman resmi Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan, Mahkamah Agung, KUHP yang telah eksis sejak Indonesia merdeka begitu kurang mengakomodir hak, posisi, dan keselamatan korban kejahatan secara adil dan berkemanusiaan. Bahkan sangat kurang bila dibandingkan dengan perlindungan yang diberikan KUHP kepada pelaku kejahatan pidana.

Ketidaksepadanan perlindungan ini terjadi baik dalam perspektif normatif maupun filosofis. Sebagai contoh, hak utama terkait semisal pemulihan atas penderitaan akibat terjadinya tindak pidana berupa ganti kerugian baik dalam bentuk restitusi maupun kompensasi serta rehabilitasi tidak sepenuhnya diakomodir KUHP baik secara eksplisit maupun secara implisit. Begitu pula pemberian hukuman kepada pelaku yang hanya berorientasi pada pembalasan daripada pemulihan materiil maupun imateriil terhadap korban.

Dengan landasan tersebut, gagasan perlindungan terhadap saksi dan korban ini lantas disusul dengan melahirkan naskah akademis terkait dalam proses peradilan pidana. Naskah akademis ini kemudian menghasilkan RUU Perlindungan Saksi dan Korban, yang kemudian diamanatkan oleh MPR pada 2001 untuk segera dibentuk menjadi UU. Amanat MPR ini termaktub lewat Ketetapan MPR No. VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Lebih lanjut, pada Juni 2002 RUU Perlindungan Saksi dan Korban diajukan oleh Badan Legislasi DPR. Sebanyak 40 anggota DPR dari berbagai fraksi menandatangani RUU tersebut sebagai usul inisiatif dari DPR. Meski begitu, pada tahun ini RUU tersebut masih tak kunjung disahkan.

Pada 2003, usaha perlindungan saksi dan korban mengalami kemajuan dengan Indonesia meratifikasi UN Convention Against Corruption. Pada Pasal 32 dan 33 dari konvensi tersebut disebutkan bahwa kepada setiap negara yang meratifikasi wajib menyediakan perlindungan yang efektif terhadap saksi atau ahli dalam persidangan, terutama dari ancaman pembalasan atau intimidasi. Tak hanya itu, perlindungan juga harus diberikan kepada pihak keluarga atau orang-orang lain yang dekat dengan mereka.

Setelah tertunda sedemikian lama, akhirnya wacana RUU Perlindungan Saksi dan Korban muncul kembali pada awal 2005. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN PK) yang disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menjadwalkan agar RUU Perlindungan Saksi dibahas pada triwulan kedua di 2005.

Lebih lanjut, pada Februari 2005, Rapat Paripurna ke 13 DPR RI Periode 2004–2009 telah menyetujui Program Legislasi Nasional. Salah satu RUU yang masuk prioritas untuk segera dibahas adalah RUU Perlindungan Saksi dan Korban. Sebanyak 10 fraksi di DPR memandang bahwa RUU Perlindungan Saksi dan Korban memiliki potensi strategis untuk penegakan hukum dan menciptakan pemerintahan yang bebas dari korupsi.

Sesuai dengan susunan jadwal dan prioritas, pada Juni 2005 RUU Perlindungan Saksi dan Korban disampaikan dalam surat pimpinan DPR kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hal ini dilanjutkan oleh Preiden Yudhoyono pada Agustus 2005 dengan mengeluarkan surat yang menunjuk wakil Menteri Hukum dan Ham sebagai wakil pemerintah untuk membahas RUU Perlindungan Saksi dan Korban.

Proses berlanjut hingga awal 2006. Pada bulan Januari, pemerintah melalui perwakilannya telah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah tentang RUU Perlindungan Saksi dan Korban kepada DPR. Dari dokumen tersebut, pada Februari 2006 Komisi III DPR membentuk Panitia Kerja yang terdiri atas 22 orang untuk membahas lebih lanjut RUU Perlindungan Saksi dan Korban.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Para komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) periode 2018-2023 mengucapkan sumpah jabatan di Istana Negara Jakarta, Senin (7/1/2019). Mereka diangkat sebagai Komisioner LPSK berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 232/P/2018 tentang Pengangkatan Keanggotaan LPSK tertanggal 26 Desember 2018.

Berdirinya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

Akhirnya, pada bulan Juli 2006 Rapat Paripurna DPR akhirnya mengesahkan RUU yang telah diwacanakan selama hampir tujuh tahun ini menjadi UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Kesepuluh fraksi di DPR mendukung keberadaan UU tersebut. Pada 11 Agustus 2006, Presiden Yudhoyono mengesahkan UU tersebut.

Pada titik inilah, kemajuan besar akan kehadiran lembaga LPSK terjewantahkan. Salah satu dari sekian banyak amanat yang terkandung dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah soal pembentukan LPSK. Ditetapkan pula agar pembentukan lembaga yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab langsung pada Presiden ini dilakukan paling lambat setahun setelah UU Nomor 13 Tahun 2006 disahkan. Dalam perkembangan selanjutnya, LPSK secara resmi dibentuk pada 8 Agustus 2008.

Melalui UU ini, juga dimaktubkan bahwa ruang lingkup perlindungan yang dilakukan oleh LPSK berada dalam semua tahap proses peradilan pidana. Hadirnya LPSK menjadi salah satu bagian dari semangat besar UU Perlindungan Saksi dan Korban yang berkeinginan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan dalam proses peradilan pidana.

Pada tahun 2009, disadari perlunya sekretaris untuk membantu berjalannya tugas dan fungsi LPSK yang telah diamanatkan oleh UU. Untuk itu, melalui Peraturan Menteri Sekretaris Negara (Permensesneg) Nomor 5 Tahun 2009 tentang Organisasi Tata Kerja Sekretariat Jenderal Jenderal LPSK dibentuklah organ Sekretariat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

Secara struktural, organ sekretariat ini dipimpin oleh seorang sekretaris dan berada di bawah Ketua/Pimpinan LPSK. Maka dari itu, Sekretariat LPSK mempunyai tugas utama untuk memberikan pelayanan administratif yang mendukung penyelenggaraan kegiatan LPSK.

Penguatan dan Perkembangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

Seiring berjalannya waktu, kehadiran LPSK kian disadari sebagai suatu hal yang penting. Oleh karenanya, tuntutan dan aspirasi publik terhadap kinerja LPSK juga semakin menguat signifikan untuk mendukung proses penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Hal demikian menuntut peningkatan kemampuan dan kapasitas kelembagaan LPSK. Akhirnya pada 2010 mulai muncul wacana penguatan kelembagaan LPSK.

Salah satu pengejawantahannya adalah dengan melaksanakan langkah untuk merubah dan menyesuaikan UU Nomor 13 Tahun 2006. Ditemukan poin kewenangan LPSK yang berkaitan dengan perlindungan saksi dan korban yang masih belum diatur dalam UU tersebut. Oleh karena itu, sejak 2010 LPSK mulai merintis usaha untuk melakukan revisi atau perubahan UU Nomor 13 Tahun 2006.

Salah satu usaha tersebut dihidupkan pada 2012, di mana LPSK memastikan agar RUU yang akan menggantikan UU lama masuk ke dalam Program Legilasi 2013. Penyesuaian UU menjadi tahapan penting dan fundamental untuk memperkuat kelembagaan LPSK.

Apalagi selama UU tersebut berlaku, kapasitas LPSK dinilai tidak berbanding lurus dengan tugas, fungsi, dan cakupan kerja serta tanggung jawab LPSK dalam memberikan layanan perlindungan. Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan memobilisasi kembali sumber daya manusia dalam LPSK, secara khusus melalui penguatan lini substansi terkait kerja-kerja pemberian perlindungan dan pembentukan struktur yang berada dibawah kendali anggota LPSK sebagai penanggung jawab utama.

Dalam usaha penguatan LPSK demikian, juga turut terjadi peristiwa yang menguji ketegasan dan kredibilitas LPSK. Mengacu pada artikel dari situs LPSK, dua anggota LPSK, yakni Myra Diarsih dan I Ketut Sudiharsa, terbukti melindungi tersangka Anggoro Widjojo dan Anggodo Widjojo tanpa melalui prosedur yang telah ditentukan.

Kedua nama yang disebutkan terakhir merupakan pengusaha yang saat itu tengah berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam sebuah rekaman pembicaraan yang diputar pada 2008, terdengar suara Sudiharsa berdialog dengan Anggodo.

Sebagai tindak lanjut dari hal tersebut, LPSK mengambil pun langkah tegas dengan memecat kedua orang pimpinan tersebut. Sebagai gantinya, pada Februari 2012, ditetapkanlah dua anggota baru dalam Rapat Paripurna DPR. Kedua anggota LPSK baru tersebut ialah Tasman Gultom dan Hotma David Nixon Simanjuntak.

Tasman dan Hotma ditetapkan sebagai anggota LPSK setelah melalui proses uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi III DPR dan bertugas sebagai anggota hingga periode 2008–2013 usai (Kompas, 8/2/2012, “Kilas Politik & Hukum: Dua Anggota Baru LPSK”).

Kembali pada usaha penguatan lembaga dan pengaturan wewenang, akhirnya DPR dan pemerintah menyetujui revisi atas UU Nomor 13 Tahun 2006. Hal tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya UU Nomor 31 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Kehadiran UU ini menjadi fondasi baru atas fungsionalitas LPSK. Selain itu, UU Nomor 31 tahun 2014 juga memberikan tuntutan lebih kepada LPSK untuk meningkatkan kinerjanya dalam memberikan perlindungan saksi dan korban, terutama lewat pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban.

Dengan konsistensi dan keberpihakkan pada saksi dan korban, juga dengan penguatan kelembagaan, LPSK terus mengalami perkembangan. Dari sisi pemberian layanan, sejak 2015 hingga 2019, jumlah layanan yang dibutuhkan korban dan diberikan oleh LPSK terus meningkat. Pada tahun 2015 hanya 148 layanan, tetapi pada 2019 menjadi 9.308 layanan. Angka-angka ini bahkan belum termasuk jumlah total laporan yang masuk namun tidak bisa dilayani karena tidak memenuhi syarat (Kompas.id, 18/1/2021, “Separuh Napas, LPSK Menolak Menyerah!”).

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD didampimgi Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo (tidak tampak dalam foto) menyerahkan kompensasi kepada korban terorisme di Jakarta, Jumat (13/12/2019). Negara melalui Kementerian Politik Hukum dan Kemanan dan LPSK memberikan kompensasi kepada 4 korban tindak pidana terorisme dengan nilai total mencapai Rp 450.339.525. Dua orang merupakan korban terorisme di Tol Kanci-Pejagan, satu orang menjadi korban di Kota Cirebon dan satu orang merupakan korban penyerangan di Lamongan, Jawa Timur.

Kepemimpinan di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

Ketua/Pemimpin LPSK:

  1. Abdul Haris Semendawai (2008–2013 dan 2013–2018)
  2. Hasto Atmojo Suroyo (2019–2024)

Pimpinan Sekretariat LPSK: Noor Sidharta (2017–sekarang)

Kasus yang Ditangani

Keberadaan LPSK terus mengalami perkembangan. Masyarakat yang harus berurusan dengan hukum kian menyadari pentingnya kehadiran LPSK. Tidak hanya itu, mereka juga meletakkan harapan dan kepercayaan pada lembaga perlindungan ini – menjadi bukti tersendiri akan kuatnya determinasi LPSK dalam memberikan perlindungan.

Hal ini terbukti dengan mengacu pada Kompaspedia (23/6/2023, “Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) periode 2019-2024 Hasto Atmojo Suroyo”). Sejak tahun 2021 ke 2022, LPSK menerima peningkatan jumlah permohonan perlindungan yang begitu masif, yakni hingga 232 persen, dari total 2.341 permohonan pada 2021 menjadi 7.777 permohonan pada tahun berikutnya.

Meski begitu, memang LPSK tidak dapat melayani setiap permohonan perlindungan tersebut. LPSK sendiri telah menetapak persyaratan formil maupun meteriil yang harus dipenuhi pihak pemohon. Oleh karenanya, dari 7.777 permohonan tersebut, LPSK hanya dapat melayani 6.104 permohonan, sedangkan 1.673 permohonan lainnya tidak memenuhi syarat dan tidak bisa diproses lebih jauh. Permohonan disampaikan baik melalui surat maupun dengan datang secara langsung.

Dalam konteks demikian, LPSK telah melayani begitu banyak kasus dan memberikan perlindungan pada puluhan ribu pemohon. Dari jumlah masif tersebut, setidaknya terdapat beberapa kasus yang mencolok dan memperoleh sorotan media, yakni:

Chusnul Khotimah: Korban Terorisme Bom Bali I 2002

Berangkat dari fenomena yang paling lampau, LPSK dalam upayanya melindungi dan menangani korban kejahatan, memberikan kompensasi kepada para korban dari Peristiwa Terorisme Bom Bali I yang terjadi pada Oktober 2002. Pengeboman yang menewaskan 202 orang dan melukai 209 orang rupanya masih menyisakan permasalahan dan penderitaan yang belum usai. Hingga belasan tahun lamanya, para korban menuntut dan menanti keberpihakan negara pada mereka untuk memperoleh kompensasi.

Salah satu korban yang menanti tersebut adalah Chusnul Khotimah. Ia menderita luka bakar serius sehingga harus mendapatkan perawatan khusus. Bahkan dalam tubuhnya masih tersimpan serpihan besi, tepatnya pada bagian kaki dan dada. Meski begitu, Chusnul memilih untuk tidak mengangkatnya karena potensi dampaknya pada kecacatan permanen hingga meninggal.

Selama bertahun-tahun, Chusnul harus berobat menggunakan uangnya sendiri dengan biaya yang begitu mahal. Untuk itu, ia harus mencari sumber pembiayaan lain hingga terjerat utang kepada rentenir. Ketidakhadiran negara menjadi kian parah karena Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang dimilikinya tidak dapat digunakan – dengan alasan perawatan suntik keloid pada bekas lukanya dikategorikan sebagai tindakan di luar layanan BPJS Kesehatan.

Beruntung, LPSK mendeteksi situasi yang dialami Chusnul. Pada 2021, ia pun memperoleh uang kompensasi melalui LPSK. “Saya berterima kasih kepada LPSK karena bisa mendapatkan buku hijau. Uang kompensasi dari negara juga bisa saya gunakan untuk berobat dan membayar utang kepada rentenir,” ujar Chusnul terisak.

Sejak kehadiran Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2020 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan ke Saksi dan Korban, LPSK segera aktif menyalurkan ganti rugi kepada para korban terorisme. Hingga tahun 2020, LPSK telah memberikan kompensasi dengan nilai total berjumlah Rp 47,54 miliar.

Besaran tersebut disalurkan kepada 341 korban dalam 51 peristiwa terorisme. Kompensasi diberikan kepada korban bom Bali I dan II, bom JW Marriott, bom Kedubes Australia, aksi terorisme di Poso, Surabaya, dan bom Thamrin. Sementara Chusnul sendiri adalah satu dari 35 korban tindak pidana terorisme Bom Bali I dan II yang memperoleh kompensasi (Kompas.id, 1/9/2021, “Malaikat Tanpa Sayap, Pelindung Saksi dan Korban”).

Dalam giatnya tersebut, LPSK juga aktif menghimbau para korban tindak pidana terorisme masa lalu, agar mengurus kompensasi. Cara pertama yang harus dilakukan adalah dengan terlebih dahulu mendaftarkan diri ke Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atau BNPT (Kompas.id, 4/2/2021, “LPSK Serahkan Kompensasi bagi Korban Terorisme Bom Bali”).

Suharno: Pelapor dan Saksi Korupsi Dana Desa Banjarsari Wetan 2011

Pada 12 Juni 2011, darah mengalir begitu deras dari tubuh Suharno yang berlubang. Sebanyak dua liter darah keluar dari bagian perutnya yang robek. Beruntung, tim medis dari RSUD dr. Soedono, Jawa Timur, bertindak cepat dengan mengoperasi luka-luka pada tubuh Suharno, tepatnya akibat tusukan di tiga organ vitalnya, yakni leher, iga kanan, dan perut. Ia pun selamat dari maut dan dalam waktu singkat mulai menunjukkan pemulihan.

Suharno merupakan warga Desa Banjarsari Wetan, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Dengan posisinya sebagai Ketua Badan Permusyawaratan Desa Banjarsari Wetan, Suharno menjadi saksi kunci bagi korupsi alokasi dana di desanya sebesar Rp 109 juta. Kepala Polres Madiun Ajun Komisaris Besar Nanang Juni M mengatakan, pihaknya menduga penusukan yang dialami Suharno terkait erat dengan posisinya sebagai pelapor sekaligus saksi.

Penusukan dilakukan oleh seorang tamu yang menyambangi rumah Suharno pada pukul 20.00. Dengan jaket hitam, berhel “cakil”, dan motor bebek, orang tersebut mengaku hendak bertemu Suharno dan telah membuat janji. Anak Suharno yang membukakan pintu segera membangunkan ayahnya. Begitu Suharno keluar, tamu tersebut menyerahkan sepucuk surat dan langsung menusukkan pisau kecil ke tubuh Suharno. Dalam surat tersebut tertulis, “Saya arek Suroboyo. Ojo njarak (jangan macam-macam). Kowe adol aku tuku (Kamu jual aku beli)” (Kompas, 22/6/2011, “Tak Gentar meski Bersimbah Darah”).

Dari situasi tersebut, LPSK segera mengabulkan permohonan perlindungan untuk Suharno dan keluarganya. Permohonan perlindungan langsung disampaikan oleh istri Suharno kepada LPSK. Menurut sang istri, ia dan keluarga akan tetap mendukung Suharno untuk menguak korupsi dana desa. Namun, mereka tetap membutuhkan perlindungan demi kehidupan yang aman.

Hal ini dengan segera mendapat respon LPSK. Pada 21 Juni 2011, LPSK mengabulkan permohonan perlindungan tersebut. Ketua LPSK 2008–2013 Abdul Haris Semendawai menyampaikan bahwa Suharno secara khusus akan memperoleh perlindungan fisik, pendampingan dan bantuan medis karena jiwanya terancam (Kompas, 23/6/2011, “Kilas Politik & Hukum: LPSK Lindungi Suharno”).

Richard Eliezer: Saksi dan Justice Collaborator Pembunuhan Brigadir J

Pada Agustus 2022, Ketua LPSK 2019–2024 Hasto Atmojo Suroyo mengumumkan bahwa lembaganya memberikan perlindungan darurat kepada Bhayangkara Dua E atau Richard Eliezer Pudihang Lumiu, salah satu tersangka pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat yang dipimpin oleh Inspektur Jenderal Polri Ferdy Sambo. Perlindungan darurat diberikan LPSK karena Eliezer yang bersedia menjadi justice collaborator dalam kasus pembunuhan Brigadir J mendapatkan ancaman serius.

Ancaman tersebut berkaitan dengan kasusnya yang begitu lekat dengan dimensi relasi kuasa dengan Sambo sebagai atasannya dan petinggi di lembaga Polri. Oleh karenanya, Eliezer dinilai berada dalam posisi yang rentan dalam relasi kuasa tersebut. Dengan pemantauan dan perlindungan 24 jam lewat pemberian perlindungan darurat LPSK, hal-hal yang berpotensi merugikan Bharada E dan juga kesaksiannya, bisa dihindari.

“Kami juga (menjaga) agar keterangan dia konsisten. Kemudian proses hukumnya berjalan sampai akhir,” kata Hasto di kantor Redaksi Kompas pada bulan yang sama. Hasto mengungkapkan bahwa pemberian perlindungan darurat bisa dilakukan karena tiga pemimpin LPSK memutuskan menyetujui pemberian tersebut kepada Eliezer. Disebut darurat karena diputuskan tanpa melalui rapat paripurna. Keputusan juga diambil setelah pimpinan LPSK menemui langsung Eliezer di tahanan Badan Reserse Kriminal Polri.

Disampaikan Hasto, perlindungan darurat dapat diberikan LPSK dengan syarat minimal persetujuan oleh tiga pemimpin LPSK. Selanjutnya, rapat paripurna LPSK berikutnya akan digunakan untuk memutuskan apakah perlindungan darurat kepada Eliezer akan diteruskan sebagai perlindungan permanen atau tidak.

Melalui perlindungan ini, LPSK berharap agar kehadiran Eliezer – sebagai justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk membongkar suatu kasus – dapat membuat kasus ini lebih cepat terselesasikan secara adil. Kehadiran justice collaborator ini juga penting untuk mengurai kasus yang memang begitu abu-abu dan penuh selimut rekayasa fakta sejak pertama kali diungkap (Kompas.id, 14/8/2022, “Dapat Ancaman Serius, Bharada E Dipantau LPSK 24 Jam”).

Struktur Lembaga LPSK

Dalam menjalankan tugasnya, LPSK terdiri atas tujuh unsur pimpinan dan anggota. Unsur pimpinan LPSK terdiri atas satu orang ketua dengan enam wakil ketua, dimana masing-masing juga merangkap anggota dan berhak memiliki suara untuk memilih Ketua LPSK. Saat ini, Ketua LPSK adalah Hasto Atmojo Suroyo. Sementara keenam wakil ketuanya adalah Achmadi, Antonius P. S. Wibowo, Edwin Partogi, Livia Istania, Maneger Nasution, dan Susilaningtias.

Kelima wakil bertanggung jawab terhadap lima bidang yang berbeda yang diatur melalui Peraturan LPSK Nomor 5 Tahun 2010 tentang Tugas dan Fungsi LPSK. Selain itu, anggota LPSK ini berasal dari unsur profesional seperti kepolisian, kejaksaan, Kementerian Hukum dan HAM, akademisi, advokat, atau LSM.(LITBANG KOMPAS)

Artikel Akademik
  • Tuage, S. N. (2013). “Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dan Korban Oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)”. Lex Crimen Volume II Nomor 2, 56-64.

Jurnal
  • Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. (2020). Roadmap Reformasi Birokrasi Sekretariat Jenderal Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Tahun 2020-2024. Jakarta: Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Internet
  • Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan, Mahkamah Agung. (2013). Perlindungan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana Ditinjau dari Perspektif Restoratif Justice . Diambil kembali dari bldk.mahkamahagung.co.id: https://bldk.mahkamahagung.go.id/id/puslitbang-id/dok-keg-puslitbang-id/731-perlindungan-korban-dalam-sistem-peradilan-pidana-ditinjau-dari-perspektif-restoratif-justice.html
  • Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. (2023, Mei 8). LPSK Ingatkan Pentingnya Kerja Kolaboratif. Diambil kembali dari lpsk.go.id: https://lpsk.go.id/berita/detailberita/3614
  • Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. (2012, Juni 16). Kasasi Ditolak, Ketut Sudiharsa Resmi Dipecat dari LPSK. Diambil kembali dari lpsk.go.id: https://lpsk.go.id/berita/detailwartahukum/681
Peraturan
  • UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Arsip Kompas

• Kompaspedia. (2023, Juni 23). Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) periode 2019-2024 Hasto Atmojo Suroyo. Diambil kembali dari Kompaspedia.Kompas.id: https://kompaspedia.kompas.id/baca/profil/tokoh/ketua-lembaga-perlindungan-saksi-dan-korban-lpks-periode-2019-2024-hasto-atmojo-suroyo
• Kompas. (2023, Februari 9). LPSK Berkunjung ke Redaksi ”Kompas”. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 4.
• Kompas. (2012, Februari 8). Kilas Politik & Hukum: Dua Anggota Baru LPSK. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 2.

• Kompas. (2021, Juni 22). Tak Gentar meski Bersimbah Darah. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 1&15.
• Kompas.id. (2021, Januari 18). Separuh Napas, LPSK Menolak Menyerah! Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/dikbud/2021/01/18/separuh-napas-lpsk-menolak-menyerah?open_from=Search_Result_Page
• Kompas.id. (2021, Februari 4). LPSK Serahkan Kompensasi bagi Korban Terorisme Bom Bali. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2021/02/04/lpsk-serahkan-kompensasi-bagi-korban-terorisme-bom-bali

• Kompas. (2011, Juni 23). Kilas Politik & Hukum: LPSK Lindungi Suharno. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 2.
• Kompas.id. (2021, September 1). Malaikat Tanpa Sayap, Pelindung Saksi dan Korban. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/09/01/malaikat-tanpa-sayap-pelindung-saksi-dan-korban

Kompas.id. (2022, Agustus 8). Dapat Ancaman Serius, Bharada E Dipantau LPSK 24 Jam. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/08/13/dapat-ancaman-serius-bharada-e-dipantau-lpsk-24-jam