KOMPAS/PRIYOMBODO
Ratusan Hansip/Linmas dari berbagai kabupaten di Jawa Tengah hadir pada upacara peringatan HUT Hansip/Linmas ke-43 se-Jawa Tengah di Lapangan Kota Barat, Solo (26/04/2005).
Fakta Singkat
- Lucht Bescherming Deints (LBD) atau Perlindungan Pemecah Udara
dibentuk oleh pemerintah Belanda pada tahun 1939 untuk menjaga keamanan masyarakat dari serangan perang. Organisasi ini merupakan cikal bakal lahirnya Satlinmas atau Hansip. - Tugas Pokok Satlinmas tertuang dalam beberapa produk hukum yang ada, meliputi menjaga keamanan dan ketertiban, sebagai komponen cadangan pertahanan negara, dan meminimalisir akibat bencana perang dan bencana alam.
- Tanggal 20 Mei 1960 Indonesia resmi menjadi anggota International Civil Defence Organization (ICDO). Keikusertaan Indonesia dalam organisasi internasional itulah yang kemudian mengilhami pembentukan organisasi Pertahanan Sipil (Hansip) dan organisasi Perlawanan Rakyat (Wankamra) secara nasional.
- 19 April 1962 merupakan tanggal di mana Organisasi Hansip di Indonesia
pertama kali diatur oleh Keputusan Wakil Menteri Pertama Urusan Pertahanan/Keamanan No. MI/A/72/62 tertanggal 19 April 1962 tentang Peraturan Pertahanan Sipil. - Tanggal 12 Agustus 1972 Organisasi Pertahanan Sipil yang semula dibina oleh Departemen Pertahanan Keamanan diserahkan kepada Departemen Dalam Negeri melalui Keppres No.56 Tahun 1972 tentang Penyerahan Pembinaan Organisasi Pertahanan Sipil dari Departemen Pertahanan Keamanan kepada Departemen Dalam Negeri.
Keterlibatan rakyat sipil dalam sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta sesuai yang diamatkan dalam pasal 30 ayat 2 UUD 1945 merupakan manifestasi nyata peran rakyat untuk menciptakan keamanan dan ketertiban.
Pasal tersebut sekaligus menegaskan bahwa pertahanan dan keamanan bukan hanya menjadi tanggung jawab TNI dan POLRI tetapi juga menjadi tanggung jawab warga Negara. Salah satu pemberdayaan masyarakat untuk mencapai tujuan di atas, yaitu melalui organisasi Perlindungan Masyarakat (Linmas).
Berdasarkan Permendagri No.84 Tahun 2014 pasal 1 ayat 3 dijelaskan bahwa Satuan Perlindungan Masyarakat atau disebut Satlinmas adalah Organisasi yang dibentuk oleh pemerintah desa/kelurahan dan beranggotakan warga masyarakat.
Anggota organisasi ini disiapkan dan dibekali pengetahuan serta keterampilan untuk melaksanakan kegiatan penanganan bencana guna mengurangi dan memperkecil akibat bencana, serta ikut memelihara keamanan, ketenteraman dan ketertiban masyarakat, kegiatan sosial kemasyarakatan.
Keberadaannya yang dekat dengan masyarakat diharapkan mampu membantu pemerintah daerah, Polisi, dan TNI.
Kedudukan Satlinmas berada dibawah pengawasan Satuan Polisi Pamong Praja mulai tahun 2004. Satlinmas sendiri merupakan penyempurnaan dari organisasi sebelumnya bernama Pertahanan Sipil (Hansip) yang memiliki sejarah yang panjang dalam pembentukannya. Jika ditelusuri perjalanannya, ada beberapa masa, antara lain:
Masa Kolonial Belanda
Keinginan pemerintah kolonial Belanda untuk mengikutsertakan rakyat pribumi untuk menjaga pertahanan dan keamanan memicu lahirnya suatu organisasi bernama Lught Buscherming Dients (LBD) pada tahun 1939.
LBD atau diartikan Perlindungan Pemecah Udara memang awalnya bertugas untuk melindungi masyarakat terhadap serangan musuh dari udara. Namun, selanjutnya LBD juga diberikan tugas lainnya meliputi penerangan masyarakat, perlindungan, penyamaran, pemadam kebakaran, pertolongan pertama penderita kecelakaan, pengungsian dan sebagainya.
Organisasi LBD dibentuk dari tingkat pusat sampai daerah dan dikoordinasikan oleh pejabat pemerintahan sipil. Pendiriannya tertuang dalam Peraturan (Staats Ordonanitie) dalam Berita Negara (Staatblad) Tahun 1939 No.5814.
Anggotanya merupakan warga masyarakat Indonesia nonmiliter yang ikut secara sukarela. Di sinilah terlihat suatu upaya mobilisasi warga sipil sebagai penjaga kota untuk pertama kalinya.
Masa Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang organisasi pertahanan sipil mengalami penyempurnaan, yaitu melalui pelibatan aktif masyarakat, tidak saja di kota tapi juga hingga ke pelosok desa. Hal ini dilakukan karena berkaitan dengan kepentingan Jepang dalam upaya menghadapi serangan sekutu.
Praktek pelibatan masyarakat hingga pada lingkungan yang terkecil dalam bentuk “tonarigumi” atau “gumi” (RT/RW) ini dimulai tahun 1943. Tonarigumi sendiri merupakan sebuah persekutuan yang berlandaskan pada konsep-konsep tradisional Jepang. Tujuannya tidak lain agar pemerintah pusat Jepang mampu mengawasi bahwa setiap kebijakannya berjalan hingga taraf pedesaan. Konsep “gumi” kemudian ditiru oleh pemerintah Indonesia dalam pembentukan Pertahanan Sipil (Hansip).
Masa Demokrasi Terpimpin
Pasca-Proklamasi Kemerdekaan RI, yakni tahun 1950 sampai tahun 1959, situasi Indonesia dihadapkan pada masalah-masalah politik, ekonomi, dan pertahanan keamanan.
Munculnya berbagai pemberontakan di sejumlah daerah seperti Pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil), RMS
(Republik Maluku Selatan), DI TII menginisiasi pembentukan Organisasi Keamanan Desa (OKD) dan Pasukan Keamanan Desa (PKD), serta organisasi keamanan lainnya.
Selanjutnya, semua organisasi tersebut disatukan dalam Organisasi Perlawanan Rakyat (OPR) dan diarahkan dalam operasi-operasi pemulihan keamanan. OPR juga berperan dalam tugas-tugas Pertahanan Sipil teritorial, antara lain, mengatur pengungsian, penjagaan keamanan lingkungan, membantu kelangsungan produksi pangan dan sebagainya.
Pengalaman Indonesia membentuk organisasi pertahanan sipil membuat Indonesia percaya diri untuk ikut serta menjadi anggota Internasional Civil Defence Organisation (ICDO), yaitu organisasi Pertahanan Sipil International yang berkedudukan di Jenewa, Swiss pada tanggal 20 Mei 1960.
Satu tahun kemudian, tahun 1961, keinginan masyarakat untuk terlibat aktif dalam mempertahankan keamanan semakin menguat seiring dengan adanya operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) dalam membebaskan Irian barat dari tangan Belanda. Merespon hal tersebut pemerintah Indonesia berupaya membentuk organisasi Pertahanan Sipil (Hansip) dan Perlawanan Rakyat (Wanra) dalam rangka menggalang kewaspadaan nasional.
Pembentukan keduanya tertuang di dalam Undang-undang No.14 tahun 1962 dan pelaksanaannya diatur dengan Keppres No.48 dan No.128 Tahun 1962. Adapun maksud dan tujuan dibentuknya organisasi pertahanan sipil, yaitu sebagai wadah yang senantiasa terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemanusiaan, pemerintahan, penanggulangan bencana dan pengungsi,kegiatan bela negara maupun penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.
Menindaklanjuti Keppres tersebut, Departemen Pertahanan/Keamanan yang ditunjuk sebagai pembina organisasi Pertahanan Sipil mengeluarkan Surat Keputusan Wakil Menteri Pertama Urusan Pertahanan/Keamanan No. MI/A/72/1962 pada tanggal 19 April tahun 1962. Tanggal inilah yang sekarang diperingati sebagai Hari Ulang Tahun Pertahanan Sipil (HUT HANSIP).
Masa Orde Baru
Stabilitas politik dan keamanan menjadi tumpuan pada era Orde baru. Sejalan dengan keadaan pertahanan keamanan domestik yang telah membaik, pemerintah mengadakan refungsionalisasi aparat pemerintah.
Pada tanggal 12 Agustus 1972 lahirlah Keppres No. 55 Tahun 1972 tentang penyempurnaan organisasi pertahanan sipil dan perlawanan rakyat dalam rangka penertiban pelaksanaan sistim HANKAMRATA (Pertahananan Keamanan Rakyat Semesta).
Keluarnya Keppres tersebut mengubah fungsi dan tujuan dari pembentukan organisasi petahanan sipil dari semula dibentuk sebagai pasukan cadangan untuk bertempur menjadi organisasi yang bergulat dalam bidang kemanusiaan.
Selain itu, berdasarkan Keppres No.56 Tahun 1972, pembinaan organisasi Pertahanan Sipil yang bersifat nonkombatan diserahkan kepada Departemen Dalam Negeri, sementara pembinaan organisasi perlawanan rakyat dan keamanan rakyat yang bersifat kombatan tetap berada di Departemen Pertahanan Keamanan.
Seiring dengan perkembangan ketatanegaraan Indonesia dan pertumbuhan Angkatan Bersenjata, maka pada tanggal 19 September 1982 lahirlah Undang-Undang No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan Negara.
Di dalam undang-undang dikuatkan posisi dan tugas pokok organisasi Hansip. Dalam aturan itu, Hansip melaksanakan fungsi Linmas dalam penanggulangan akibat bencana perang, bencana alam atau bencana lainnya, maupun memperkecil akibat malapetaka dengan menempatkan Hansip sebagai komponen khusus di bidang pertahanan keamanan rakyat semesta.
Sebagai tindak lanjut Pasal 42 Undang-Undang No. 20 Tahun 1982, maka pada tanggal 3 Oktober 1997 lahirlah Undang-Undang No. 27 Tahun 1997 tentang mobilisasi dan demobilisasi yang menyebutkan, ”mobilisasi dikenakan terhadap warga negara yang termasuk Perlindungan Masyarakat” sebagai komponen khusus kekuatan pertahanan keamanan negara yang mampu berfungsi membantu masyarakat menanggulangi bencana dan memperkecil akibat malapetaka.
Masa Reformasi
Memasuki era Reformasi terjadi perubahan paradigma yang berpengaruh kepada eksistensi Pertahanan Sipil. Adanya pemisahan TNI dan POLRI, telah menghasilkan perubahan kepada Undang-Undang No. 20 Tahun 1982 menjadi Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Pada Undang-undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara khususnya Pasal 8 Ayat 1 diterangkan, salah satu komponen cadangan pertahanan negara adalah Satlinmas. Sejak ini pula penggunaan nama Hansip diganti menjadi Satlinmas.
Dalam dua undang-undang tersebut, baik pada Undang-Undang No.2 Tahun 2002 maupun Undang-Undang No.3 Tahun 2002, keberadaan Perlindungan Masyarakat tidak lagi secara tegas disebutkan. Undang-Undang No.3 Tahun 2002 hanya mengatur bahwa komponen-komponen Pertahanan Negara dalam menghadapi bahaya ancaman militer dan nonmiliter terdiri atas tiga komponen, yaitu: komponen utama, cadangan, dan pendukung yang masing-masing komponen akan diatur dengan undang-undang.
Sejak dicabutnya Undang-Undang No.20 Tahun 1982 dan digantikan dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2002 yang menempatkan Satlinmas sebagai komponen cadangan, maka dasar hukum organisasi Hansip kembali mengacu kepada Keppres No.55 Tahun 1972 mengingat Keppres tersebut belum dicabut atau diganti dengan aturan yang baru
Selanjutnya, hadir Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pasal 13 yang menyatakan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi di antaranya adalah penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat termasuk di dalamnya linmas, Linmas kembali memiliki landasan hukum yang kuat bagi eksistensi keberadaan Hansip/Linmas pada era sekarang ini.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Petugas hansip berlatih mendirikan tenda untuk evakuasi pengungsi saat menghadapi bencana letusan Gunung Merapi di halaman Balaidesa Bawukan, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah (21/10/2010).
Keberadaan Satlinmas dapat dilihat menurut tugas dan fungsinya yang mengikuti ketentuan hukum yang berlaku.
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 131 Tahun 2003 tentang Pedoman Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi di Daerah, pada Pasal 1 Huruf d menegaskan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi di daerah dilakukan secara berjenjang, meliputi Kepala Desa/Lurah selaku Kepala Satuan Hansip/Linmas.
Sementara, Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, khususnya pada Pasal 4 Huruf a, Pasal 6 Huruf b, dan Pasal 8 Huruf b menyebutkan bahwa tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi perlindungan masyarakat dari dampak bencana. Dalam konteks itulah, Satlinmas memegang peranan penting.
Keberadaan Satlinmas dipertegas lagi dalam Undang-Undang No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pada Pasal 152 Ayat 4.
Dalam aturan ini, disebutkan penanganan ketenteraman, ketertiban, dan keamanan di setiap TPS dilaksanakan oleh 2 (dua) orang petugas yang ditetapkan oleh PPS.
Dijelaskan lebih lanjut, petugas yang menangani ketenteraman, ketertiban, dan keamanan dalam ketentuan ini berasal dari satuan Hansip/Linmas. Tugas ini juga tercantum dalam Pasal 13 Ayat 3 dari PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Sementara dalam Permendagri Nomor 84 Tahun 2014 juga menjelaskan bahwa salah satu tugas penting Satlinmas adalah membantu dalam penanggulangan bencana.
Peran dan keberadaan Satlinmas masih sangat dibutuhkan di setiap kelurahan maupun desa, khususnya di daerah-daerah. Satlinmas memegang peran penting dalam berbagai kegiatan masyarakat dari kegiatan kecil seperti hajatan di kampung-kampung hingga maupun kegiatan besar seperti pemilihan kepala daerah. Di perkotaan, tugas Satlinmas dibantu oleh Satpol PP dan Polri. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Kumpulan peraturan petunjuk pembinaan hansip dan menwa. Jakarta: Direktorat Jenderal Sosial Politik Departemen Dalam Negeri
- Pusat Perlawanan dan Keamanan Rakyat (Indonesia). (1972). Partisipasi Rakyat dalam Usaha Pembelaan Negara – Dasawarsa Organisasi Hansip/Wanra. Jakarta: Puswankamra.
- Hamudy, Moh. Ilham A.(2014). Eksistensi Satuan Perlindungan Masyarakat. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan (BPP) Kementerian Dalam Negeri.
- Agustin, Dian Chrystiana. (2017). “Eksistensi Hansip di Surabaya Tahun 1962-1982”. Avatara, e-Journal Pendidikan Sejarah Vol. 5 No.3
- Gumelar, Nanda Ridzki. (2018). Peran Satuan Perlindungan Masyarakat (Satlinmas) Dalam Perlindungan Masyarakat Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 84 Tahun 2014 di Kabupaten Sleman. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
- Lestari, Melinda Nurcahya. (2021). “Satuan Perlindungan Masyarakat”. Jurnal Konstituen Vol.3, No.2, 107-116.
- “Penjelasan Pendam V/Djaya tentang Hansip/Hanra” Kompas, 11 Mei 1967. hal. 1.
- “Diserahkan ke Departemen Dalam Negeri”. Kompas, 2 Oktober 1972. hal. 3.
- “Hansip siap Grak!!” ”. Kompas, 2 November 2000, hal. 20.
Artikel terkait