Fakta Singkat
- Film Horor Pertama di Indonesia
Film horor pertama di tanah air berjudul Doea Siloeman Oeler Poeti en Item (1934). Jalan cerita dalam film itu bersumber dari kisah klasik asal negeri China. - Suzzanna Ikon “The Queen Of Indonesian Horror”
Sejak1981 hingga 1989 film horor yang diperankan oleh Suzzanna masuk dalam deretan Top Five Box Office bioskop di Jakarta. - Dominasi Kuntilanak dan Arwah Perempuan
Pada tahun 1998–2008, dominasi tokoh hantu kuntilanak dan arwah perempuan meningkat 66 persen. Sisanya, film horor banyak menggunakan tokoh hantu pocong, hantu anak-anak. - “KKN di Desa Penari” Menjadi Film Horor yang Banyak Ditonton
Rekor sejarah perfilman horor yang paling banyak ditonton pada tahun 2022 adalah KKN di Desa Penari, dengan menggaet 9,2 juta penonton.
Artikel terkait
Film horor menjadi saksi sejarah perkembangan film di Indonesia. Dalam perjalanannya film horor juga mengiringi kemajuan kreativitas para sineas film di Indonesia.
Perkembangan film horor Indonesia mengalami pasang surut, namun pernah memasuki masa kejayaannya pada tahun 1981–1991. Pada masa keemasan, Suzanna berperan sangat penting dalam perjalanan film horror. Dari 84 judul film horror pada masa itu, hanya film yang diperankan Suzanna yang mendapat apresiasi baik dari penonton.
Film horor mengalami kemunduran sejak tahun 1991, beriringan dengan mundurnya Suzanna sebagai pemeran utama film horror. Setelah itu, film horor hadir sebagai pemanis bahkan cenderung mengumakan sensualitas perempuan.
Kehadiran film horor sempat bangkit pada tahun 2017, namun sayangnya surut kembali mulai tahun 2018. Hingga pada tahun 2022, film KKN Desa Penari menjadi penarik massa film horor. KKN Desa Penari bahkan mampu memikat sekitar sembilan juta penonton atau sekitar 34 persen pangsa pasar Indonesia.
ARSIP MD PICTURES
Salah satu adegan dalam Film KKN Desa Penari. Arsip dari MD Pictures (20/5/2022).
Sejarah Film Horor di Indonesia
Pada awalnya film horor setan pertama kali di dunia dibuat oleh seorang sineas Perancis, Georges Melies. Dalam film bisu berdurasi dua menit berjudul Le Manoir Du Diable atau The House of the Devil (1896), Melies menggambarkan sejumlah hal atau sosok menakutkan.
Mulai dari iblis (Mephistopheles), kelelawar jadi-jadian, tengkorak, penyihir, hantu, dan juga salib pengusir setan. Alur ceritanya pun masih terbilang sangat sederhana. Akan tetapi, film itu mampu menangkap dan menampilkan simbol-simbol ikonik menyeramkan seputar sosok hantu, yang tentu saja sesuai versi Barat (Kompas, 7 November 2021).
Film-film bergenre horor disukai dan terus diproduksi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Film horor pertama di tanah air berjudul Doea Siloeman Oeler Poeti en Item (1934). Jalan cerita dalam film itu bersumber dari kisah klasik asal negeri China.
Hal itu disebutkan Karl Heider dalam buku Indonesian Cinema: National Culture on Screen (University of Hawaii Press, 1994), seperti juga disebut dalam buku Krisis dan Paradoks Film Indonesia (Penerbit Buku Kompas, 2015) oleh Garin Nugroho dan Dyna Herlina S.
Sejak itu, film horor sangat diminati. Pada tahun 1941, hadir film horor setan berjudul Tengkorak Hidoep yang disutradarai oleh Tan Tjoei Hock, saat Indonesia masih dijajah Belanda.
Pada tahun 1950-an, Clifford Geertz, seorang antropolog Amerika, saat itu bekerja dan tinggal di Modjokuto, di Jawa Timur. Dalam penelitian lapangannya yang tertuang dalam buku The Religion of Java, ia bertemu dengan seorang tukang kayu yang menjelaskan tiga jenis hantu (makhluk supernatural) dalam masyarakat Jawa. Sang tukang kayu menjelaskan bahwa manusia Jawa mengenal tiga jenis makhluk supranatural, yakni memedi, lelembut, dan tuyul (Kompas, 24 Juli 2011).
Jenis makhluk supernatural, kategori memedi seperti gendruwo, wéwé, banaspati, djrangkong, dan sundelbolong. Sementara lelembut berhubungan dengan setan atau jin yang bisa merasuk ke dalam jiwa seseorang. Taksonomi yang dibuat oleh Clifford Geertz ini pun dilakukan oleh James Danandjaja dan beberapa antropolog lain.
Begitu juga dengan paparan Anton Sutandio yang mengutip Kusuma (2011) bahwa tipologi film horor di Indonesia sebagai berikut horor, psikologis, ilmu hitam/ perdukunan, dan makhluk supranatural (hantu, monster) (Sinema Horor: Kontemporer Indonesia, 2016).
Sekitar tiga dekade berselang lahir dua film horor tanah air yang diproduksi dan ditayangkan pada waktu relatif berdekatan. Film horor yang hadir tahun 1971 berjudul Lisa dan Beranak dalam Kubur.
Masyarakat Indonesia mempercayai cerita-cerita mistik yang berkembang seperti penguasa Laut Kidul di Jawa. Menurut mitologi masyarakat Indonesia, Laut Selatan Jawa merupakan tempat makhluk gaib.
Tak hanya itu, masyarakat mempercayai bahwa di dalam laut terdapat kerajaan gaib yang dikepalai seorang ratu, yakni Ratu Nyi Roro Kidul. Ratu Nyi Roro Kidul dianggap selalu berhubungan dengan penguasa yang ada di Jawa, mulai masa kerajaan Mataram maupun presiden Soeharto.
Ratu Nyi Roro Kidul atau kerap dikenal ratu pantai selatan memiliki seorang anak yang bernama Nyi Blorong. Wujud Nyi Blorong oleh masyarakat berhubungan dengan ular.
Kisah mistik telas telah menjadi bagian yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Mitos dan legenda yang berkembang memberikan makna bahwa ada masyarakat yang mempercayainya sebagai rasionalisasi peristiwa-peristiwa nyata yang pernah terjadi di masyarakat. Kecenderungan masyarakat Indonesia yang mengaitkan film dengan kehidupan dilihat produser atau sutradara film sebagai peluang pasar yang menjanjikan.
Cerita film horor Indonesia selalu berkaitan dengan situasi dan konteks budaya di Indonesia. Salah satunya lewat film Beranak dalam Kubur yang pembuatannya dilakukan dengan membangun suasana mistik, seperti lokasi tepat di kuburan, dan pada malam Jumat kliwon. Film ini menjadi wujud kebebasan berkarya.
Bentuk kebebasan berkarya hadir setelah Badan Sensor Film melonggarkan sensor terhadap film. Dalam film horor terdapat kelonggaran terhadap adegan kekerasan, kejahatan, dan sensualitas. Kebebasan berkarya tersebut dimanfaatkan para sineas seperti produser dan sutradara.
Berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Muhammad Lutfi dan Agus Trilaksana tahun 2013, Badan Sensor Film atau BSF menunjukan sikap yang lebih progresif, dengan memberikan lebih banyak kebebasan gerak bagi para sineas untuk mengembangkan daya ciptanya.
Adanya kebebasan berkarya mendorong para sineas berfikir kreatif dalam menuangkan ide-ide baru dalam proses pembuatan film horor.
Perkembangan Film Horor Indonesia
Dalam database yang dikumpulkan oleh wartawan pengamat film JB Kristanto, dari sekitar 2.000 film Indonesia yang diproduksi sejak tahun 1930-an hingga 1995, kurang lebih sekitar 105 film berhubungan dengan dunia mistik. Hingga kini film horor terus berkembang, apalagi film horor Indonesia sudah mulai dipengaruhi film-film Hollywood Amerika Serikat, Jepang dan Thailand.
- Film Horor Indonesia Sebelum 1981
Film mistik Indonesia pertama dibuat tahun 1935, berjudul Tie Pat Kai Kawin (Siloeman Babi Perang Siloeman Monjet) yang disutradarai The Teng Chun. Selain itu Doea Siloeman Oelar Poeti en Item (1934) yang mengisi film horor Indonesia pada masa itu (Kompas, 05 Juli 1997).
Tak hanya itu, The Teng Cung pada tahun 1936 memproduksi tiga judul film siluman sekaligus, yakni Anaknya Siloeman Oelar Poetih, Lima Siloeman Tikoes, dan Pembakaran Bio.
Film horor Indonesia terus berkembang, Tengkorak Hidoep menjadi film horor yang dianggap sebagai karya masterpiece Tan Tjoei Hock dan menjadi box office pada tahun 1941. Isi film yang disukai penonton pada masa itu adalah trik kuburan disambar petir, lalu keluar api kemudian muncul tengkorak yang bisa bergerak.
Pada tahun 1950 hingga 1970-an film Indonesia mengalami perselisihan di bidang ideologi, yang mengakibatkan film horor sempat berhenti produksi.
Bangkitnya film horor 1970-an hadir dengan genre mistik seperti Sundel Bolong, Wewe Gombel, Bangkit dari Kubur, Nenek Lampir di Rumah Angker, Jin Galunggung, Ranjang Setan, dan lainnya.
Tahun 1971 merupakan tonggak awal kembali film horor Indonesia. Dimulai dengan film berjudul Lisa yang merupakan karya sutradara, M. Syarieffudin. Lalu dilanjut dengan film horor berjudul Beranak dalam Kubur dengan sutradara Awaludin dan Ali Shahab serta bintang utama, Suzzanna.
Film Beranak dalam Kubur memakan biaya produksi sekitar Rp 72 juta. Padahal pada masa itu biaya produksi film berkisar antara Rp 25 juta sampai Rp 35 juta untuk satu judul film. PT Tidar Jaya Film sukses dalam film Beranak Dalam Kubur, sehingga mengilhami produser lain untuk memproduksi film horor baru. Sejarah mencatat, kurang lebih 22 judul film horor yang diproduksi selama tahun 1972-1980.
- Film Horor Indonesia tahun 1981–1995
Berdasarkan jurnal berjudul Perkembangan Film Horor Indonesia Tahun 1981-1991 yang ditulis oleh Muhammad Lutfi dan Agus Trilaksana, pada tahun 1980 hingga 1991 terdapat 84 judul film horor yang dibintangi oleh artis-artis terkenal Indonesia. Jumlah produksi film horor terbanyak terjadi pada tahun 1981 hingga 1984.
Meski tahun 1984 dan 1985 terjadi penurunan produksi film horor yang disebabkan film drama mendapatkan apresiasi baik dari penonton. Hal itu dapat dibuktikan dengan jumlah judul film drama pada masa itu sekitar 68 pada tahun 1984 dan 60 pada tahun 1985.
Pada masa kejayaan film horor tahun 1981 sampai 1984, film horor yang diperankan oleh Suzzanna lebih mendapatkan apresiasi baik dari penonton. Jumlah penonton menjadi bukti bahwa film horor yang dibintangi Suzzanna lebih digandrungi. Tak hanya itu, film horor yang dibintangi Suzzanna sering masuk dalam lima besar film nasional di Jakarta.
Hampir setiap tahun sejak 1981 hingga 1989 film horor yang diperankan oleh Suzzanna masuk dalam deretan Top Five Box Office bioskop di Jakarta.
Film horor yang dibintangi oleh Suzzanna selalu mendapat respon antusias penonton, sehingga pada tahun 1980-an film horor juga mengalami masa keemasan. Tahun 1989, dua film horor, yakni Santet dan Ratu Buaya Putih masuk dalam jajaran film laris di Jakarta yang tentunya dibintangi oleh Suzzanna. Lekatnya Suzzanna dengan film horor, membuatnya menjadi ikon “The Queen Of Indonesian Horror”.
Film Laris Jakarta tahun 1989
No. Urut |
Judul Film |
Jumlah Penonton |
1 | Saur Sepuh II | 583.604 |
2 | Malu Malu Mau | 564.127 |
3 | Si Kabayan | 545.826 |
4 | Namaku Joe | 380.423 |
5 | Santet | 352.473 |
6 | Bayar Tapi Nyicil | 291.620 |
7 | Jaringan Terlarang | 241.568 |
8 | Kanan Kiri OK | 237.187 |
9 | Ratu Buaya Putih | 211.326 |
10 | Pemburu Berdarah Dingin | 210.600 |
Sumber : S.M. Ardan, Majalah Film, 1990
Suzzanna pamit dari industri film horor pada tahun 1990-an. Di sisi lain, tahun tersebut menjadi titik awal kemunduran film horor Indonesia. Kemunduran terkait segi kualitas film hingga jumlah produksi film horor.
Pada masa itu, film horor Indonesia hanya bersifat statis, artinya tidak ada terobosan baru baik dari segi tema, penyajian, maupun cerita. Mayoritas film horor yang hadir tahun 1990-an hanya mengulang film tahun 1980-an, seperti Misteri dari Gunung Merapi II, yang mengulang film Titisan Roh Nyai Kembang diproduksi tahun 1990, Misteri dari Gunung Merapi III juga mengulang film Perempuan Berambut Api diproduksi tahun 1990.
Kemerosotan yang paling parah terjadi pada tahun 1992 dan 1995, yakni hanya terdapat satu judul film horor. Kondisi tersebut sejalan dengan lesunya dunia perfilman Indonesia secara menyeluruh. Lesunya minat masyarakat terhadap film horor disebut sebut sebagai penyebabnya. Selain itu, kemunduran film horor dinilai terjadi karena adanya perpaduan horor dan eksploitasi tubuh seorang perempuan. Adapun judul-judul tersebut, antara lain, pada tahun 1993: Mistri di Malam Pengantin, Susuk Nyi Roro Kidul, Ranjang Pemikat, dan Gairah Malam; dan pada tahun 1994: Godaan Membara, Wanita Berdarah Dingin, dan Si Manis Jembatan Ancol.
Faktor lain kejatuhan film horor adalah kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap dunia mistik mulai luntur pada tahun 1990-an. Lunturnya kepercayaan ini dinilai akibat semakin derasnya arus globalisasi. Selain itu, barang elektronik seperti televisi beserta tayangan-tayangan film yang hadir di dalamnya mendorong publik tidak lagi harus menonton ke biskop.
- Era 2000-an
Lekatnya sosok Suzzanna dengan film horor belum tergantikan hingga kini. Suzzanna mampu membintangi 16 judul film dalam kurun 1981–1991, semua tema dan cerita film-film horor diambil dari budaya mistik yang berkembang di masyarakat Indonesia.
Berbeda pada masa Suzzanna, era 2000-an film horor cenderung urban, di mana aspek struktur visual menjadi lebih utama dibanding alur cerita. Sehingga, erotisisme menjadi lebih menonjol, terutama tubuh perempuan.
Meski tetap mengangkat cerita sosok-sosok hantu yang dipercayai masyarakat Indonesia, nyatanya masih belum mampu mengangkat film horor pada era keemasan 1980-an. Padahal dalam rentang 2000–2009, film horor hadir sekitar 74 judul. Namun, hanya beberapa judul film horor yang digemari sebut saja Pocong (2006), Kuntilanak (2006), Hantu Jeruk Purut (2006), Suster Ngesot (2007), dan Terowongan Casablanca (2007) (Kompas, 15 September 2013). Film dengan judul sama seperti tahun 1971, yakni Beranak dalam Kubur dibuat kembali tahun 2007 dengan melibatkan Julia Perez sebagai sosok hantu.
Dalam catatan peneliti film horor Indonesia oleh Veronica Kusumaryati menyatakan bahwa produsen film horor kembali ke trik lama pada era tahun 1990-an, yakni menonjolkan seksualitas dan komedi. Pesona raga dianggap sebagai pesona mata paling ampuh (Kompas,13 Maret 2011).
Pada tahun 2010 muncul film horor yang lebih mengutamakan unsur erotis, eksploitasi daerah sensitif perempuan, dan juga sensasi. Lagi-lagi tubuh perempuan menjadi sorotan utama, sebut saja Rintihan Kuntilanak Perawan (2011), Pocong Mandi Goyang Pinggul (2011), Suster Keramas 2 (2011), dan lainnya. Namun, sejak tahun 2008 hingga 2016 jumlah penonton film horor berdasarkan pangsa pasar (15 film terlaris tiap tahun) masih dibawah 20 persen.
Sejak tahun 2017, film horor hadir lebih variatif, tidak hanya mengangkat hantu urban, namun juga sinematografi berkembang cukup pesat. Pada periode 2017–2021, data dari filmindonesia.or.id memperlihatkan, sekitar tiga hingga tujuh film horor masuk dalam daftar film dengan penonton terbanyak setiap tahun. Dalam beberapa kesempatan, film horor menduduki posisi puncak, misalnya Pengabdi Setan (2017) dengan 4,2 juta penonton dan Makmum 2 (2021) dengan 1,8 juta penonton (Kompas, 7 Agustus 2022).
Horor, Perempuan, dan Sensualitas
Hantu-hantu dalam film horor dari masa ke masa kurang lebih tidak terlalu berbeda. Hasil penelitian Veronica dalam catatan peneliti film horor Indonesia menunjukkan, 49 persen jenis hantu dalam film horor Indonesia dari tahun 1926-1998 didominasi kuntilanak dan arwah perempuan. Dominasi kuntilanak dan arwah perempuan itu meningkat 66 persen pada 1998-2008. Sisanya, film horor banyak menggunakan tokoh hantu pocong, hantu anak-anak (KOMPAS, 13 Maret 2011)
Selain kuntilanak, adapula sundel bolong, sampai si manis jembatan ancol sebagai bentuk dominasi hantu perempuan. Akibatnya, film-film horor dinilai merendahkan posisi perempuan lantaran dianggap baru memiliki kekuatan setelah mati kemudian menjadi hantu.
Di sisi lain, hantu perempuan dikaitkan dengan masa lalu yang menuntut pembalasan. Dalam konteks ini, hantu memiliki potensi untuk memberikan gambaran yang lebih beragam tentang berbagai kemungkinan dalam merepresentasikan trauma yang dialami.
Dalam level bangsa, bertahannya cerita hantu dan film-film horor mencerminkan struktur traumatik sebuah bangsa dan sejarahnya, sejarah yang penuh kekerasan dan keterpecahan (KOMPAS, 24 Juli 2011).
Film horor adalah film yang penuh dengan eksploitasi unsur-unsur horor bertujuan membangkitkan ketegangan penonton. Sayangnya, film horor tidak lepas dari adegan seks yang sering menyudutkan kaum perempuan.
Berdasarkan buku Film Horor & Roman Indonesia: Sebuah Kajian bahwa film panas merupakan hasil dari rangkaian sebuah cerita dan gerak tubuh serta ekspresi yang mengandung semua unsur ekploitasi hubungan seksual dan aurat manusia sebagai pemerannya. Dalam teori tubuh, perempuan secara keseluruhan lebih memiliki daya tarik dan sensualitas daripada laki-laki. Keindahan perempuan tersebut lebih sering dijual dalam perfilman.
Menurut buku Film Horor & Roman Indonesia: Sebuah Kajian, Julia Perez dan Dewi Perssik menyebutkan dua aktris tersebut sangat fenomenal dalam dunia film horor Indonesia. Mereka selalu dihadirkan dalam adegan-adegan panas yang memperlihatkan bentuk tubuh dan acapkali dijadikan objek untuk menarik para penonton.
Berdasarkan arsip Kompas 15 September 2013, dua film horor Indonesia yang pernah diputar di Jakarta adalah Rumah Angker Pondok Indah dan Perawan Seberang. Perawan Seberang secara eksplisit menampilkan sensualitas Julia Perez yang berperan sebagai tokoh utama Yulia Sumbukurung.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Poster film Ivana di bioskop CGV Grand Indonesia, Jakarta (4/8/2022). Film-film horor yang muncul sejak awal tahun 2022 dianggap sukses secara industrial dengan mencatatkan jumlah penonton yang tinggi.
Dalam film yang disutradarai Chiska Doppert ini, sensualitas perempuan terdapat pada adegan Jupe berendam di bak mandi. Begitu pula dalam Rumah Angker Pondok Indah tampil Bella Shofie mengenakan rok mini, bersimpuh di ranjang, dan menggoda lelaki.
Cara pengemasan sosok hantu perempuan seperti perempuan berambut panjang dengan pakaian serba putih. Hal tersebut ada dalam film Rumah Angker Pondok Indah, sosok makhluk yang menghantui penghuni rumah itu ditampilkan dengan jelas dan berulang kali, yakni perempuan berambut panjang dan berpakaian serba putih.
Alih-alih dibuat takut, mayoritas penonton justru pulang dengan tertawa cekikikan atau mengomentari tubuh-tubuh seksi yang dimunculkan dalam film horor tersebut. Hantu yang ada hanya menjadi bumbu, sedangkan kemunculan perempuan seksi sebagai menu utamanya.
Film lainnya adalah Arwah Goyang Jupe Depe yang sebelumnya diberi judul Arwah Goyang Karawang, misalnya, sarat dengan tontonan tubuh-tubuh Julia Perez dan Dewi Persik sebagai pemeran utama. Mereka bergoyang dalam balutan kain supertipis. Termasuk goyang gergaji ala Dewi Persik.
Jurus serupa film Jenglot Pantai Selatan yang menampilkan puluhan gadis seksi dalam balutan baju bikini. Lokasi shooting di pantai selatan dengan hamparan luas pasir dan deburan suara ombak menjadikan kehadiran gadis-gadis berbikini ini seolah menjadi wajar. Bisa dikatakan rasa horor dalam film ini hanya 10 persen, sedangkan 90 persen bikini.
Film horor Indonesia era 2000-an mengalami fase di mana antara horor, perempuan, dan sensualitas selalu berhubungan. Sehingga eksploitasi perempuan dan film horor Indonesia ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat terpisahkan, karena hampir semua film horor melakukan eksploitasi secara langsung dan tidak langsung.
Bangkitnya Film Horor Indonesia: Dari Pengabdi Setan hingga KKN Desa penari
Kini, masyarakat pencinta film horor di Indonesia jauh lebih menyukai film yang memang murni horor ketimbang memuat tambahan unsur lain, seperti komedi atau kehadiran pemeran perempuan cantik dan seksi, seperti pernah booming pada masa sebelumnya.
Pangsa pasar film horor pada periode 2008–2019 mengalami dinamika. Pada 2017 mencapai angka tertingginya, yaitu 42,2 persen dengan memperoleh 12 juta penonton. Angka ini dapat tercapai berkat kontribusi dari 25 judul film horor yang dirilis tahun itu. Apabila dicermati, terdapat tiga judul yang menyumbang jumlah penonton secara signifikan (Kompas, 13 Agustus 2022).
Tiga film horor terlaris pada tahun 2017, di antaranya, adalah Pengabdi Setan dengan perolehan 4,2 juta penonton. Selanjutnya, film arahan sutradara Awi Suryadi, Danur: I Can See Ghosts, ditonton oleh 2,7 juta pasang mata. Pada urutan ketiga ada film Jailangkung yang membukukan raihan 2,6 juta penonton. Artinya, 9,3 juta dari 12 juta penonton film horor sepanjang tahun 2017 diraup oleh tiga film papan atas tersebut.
Film-film tersebut ternyata sanggup menarik minat penontonnya di kursi bioskop bak ”rollercoaster” yang membuat mereka berteriak sekaligus tertawa terbahak-bahak hingga akhirnya ketagihan dihantu-hantui.
Jika Pengabdi Setan menyuguhkan cukup banyak hantu, seperti pocong, hadirnya kembali arwah orang mati, iblis yang bangkit dalam rupa seorang perempuan, dan mayat hidup alias zombie. Film Danur menyajikan hantu perempuan mirip kuntilanak dan hantu anak-anak Belanda. Hantu perempuan bernama Mbak Asih ini sengaja tidak dikategorikan sebagai kuntilanak dan lebih dikenal lewat namanya.
Berbeda dengan film horor 1990-an, hantu yang ditampilkan di film tersebut terdapat hantu seram dan sosok hantu yang baik hati. Di film Pengabdi Setan, hantu baik hati itu adalah arwah si nenek, sedangkan hantu baik hati di Danur diwujudkan dalam rupa anak-anak lucu Belanda yang dikisahkan sebagai sahabat tokoh utama yang kisahnya bersumber dari kisah nyata yang dialami Risa Saraswati.
Dalam fenomena sosiologis, ketidakjelasan dalam memandang hantu termasuk yang dihadirkan dalam film horor merepresentasikan ketidakjelasan dalam sistem bermasyarakat. Di Indonesia, film terkait hantu selalu dikaitkan dengan kenyataan bahwa masyarakat Indonesia adalah makhluk beragama dan hantu biasanya dijinakkan oleh kekuatan agama. Hantu dianggap selalu menggoda umat beragama untuk melakukan kesalahan (Kompas, 29 Oktober 2017).
Film yang mampu menembus rekor sejarah perfilman di tanah air yang paling banyak ditonton di bioskop pada tahun 2022 adalah KKN di Desa Penari. Film karya Awi Suryadi yang berhasil menggaet 9,2 juta penonton.
Keberhasilan KKN di Desa Penari di bioskop diikuti oleh Ivanna (2,8 juta penonton), The Doll 3 (1,8 juta penonton), Kuntilanak 3 (1,3 juta penonton), Menjelang Magrib (556.193 penonton), Teluh (500.039 penonton), dan Iblis dalam Kandungan (494.896 penonton). Bahkan, film horor Pengabdi Setan 2: Communion garapan Joko Anwar langsung menggebrak begitu dirilis.
Faktor antusiasme penonton film horor di Indonesia secara keseluruhan patut diperhitungkan. Pasalnya, minat penonton didorong oleh aspek kualitas film serta atmosfer yang memayungi sebuah film. Hal itu menjadikan capaian jumlah penonton pada setiap film bernilai relatif.
Pada dasarnya film horor nampak menjanjikan sebagai pijakan industri film nasional. Transformasi film horor yang pada masa lampau lekat dengan nuansa erotis, kini semakin matang dari segi kualitas narasi, karakter tokoh, dan unsur sinematografi. Tak hanya itu, film horor tak hanya menyajikan sensasi ketakutan semata, namun juga mulai menyentuh aspek kritik sosial.
Referensi
- “Kritik Film: Hantu-hantu Kontemporer”, Kompas, 24 Juli 2011, hlm 20.
- “Hantu-hantu Bergentayangan di Televisi…”, Kompas, 5 Juli 1997, hlm. 18.
- “Film Horor: Utak-atik Mencari Sisi Seram Setan”, Kompas, 7 November 2021, hlm. 07.
- “Figur: Riset di Jalur Hantu”, Kompas, 7 November 2021, hlm.07.
- “Film: Horor, Perempuan, dan Sensualitas”, Kompas, 15 September 2013, hlm. 15.
- “”Roller Coaster” Film Horor”, Kompas, 29 Oktober 2017, hlm. 18.
- “Riset: “Pengabdi Setan” dan Tingginya Peminat Film Horor Di Indonesia”, Kompas, 13 Agustus 2022, hlm.A.
- “Urban: Ditakut-takuti, tapi Bahagia”, Kompas, 7 Agustus 2022, hlm. 07.
- “Film: Horor KKN nan Fenomenal”, Kompas, 22 Mei 2022, hlm.12.
- Sutandio, Anton. Sinema Horor: Kontemporer Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak. 2016.
- Andrea Hadiyanto, Tania (ed). 2012. Film Horor & Roman Indonesia Sebuah Kajian. Yogyakarta : Buku Litera