Lembaga

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

BPOM menyelenggarakan tugas di bidang pengawasan obat dan makanan. Obat dan makanan tersebut terdiri atas obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor, zat adiktif, obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, dan pangan olahan.

Fakta Singkat

  • Hari Jadi: 31 Desember 2001
  • Regulasi Pendirian: Keppres 166/2000
  • Regulasi Saat Ini: Perpres 80/2017
  • Ketua pertama: Drs. Sampurno, MBA
  • Kepala BPOM saat ini: Dr. Ir. Penny K. Lukito, MCP (sejak 2016)
  • Anggaran: Rp 2.084.285.212.000 (2021)
  • Website Resmi: https://www.pom.go.id/

Sejarah

KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA

Sertifikasi izin pembuatan obat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dipegang oleh Menteri BUMN untuk PT Bio Farma, Kamis (7/1/2021). Sertifikasi ini berlaku untuk 100 juta vaksin yang akan dikemas oleh Bio Farma dengan bahan baku dari perusahaan farmasi asal China, Sinovac.

Pembentukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merupakan peningkatan kedudukan dari lembaga serupa yang sebelumnya telah ada, yakni Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM) Departemen Kesehatan.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merupakan lembaga bentukan pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2000 (Keppres 166/2000). Dalam keputusan tersebut, diatur kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi, dan tata kerja 24 lembaga pemerintah nondepartemen (LPND) termasuk BPOM. LPND merupakan lembaga pemerintah pusat yang dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintahan tertentu dari presiden. Lembaga ini berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden.

Sebagai lembaga pemerintah nondepartemen (LPND)—sekarang lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK)—BPOM mendapatkan anggaran tersendiri, terpisah dari Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial. Pada tahun anggaran 2001/2002, BPOM mendapatkan anggaran sebesar Rp 44 miliar.

Pada 31 Januari 2001, Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Ahmad Sujudi melantik mantan Dirjen POM Drs Sampurno MBA menjadi Kepala BPOM. Tanggal tersebut kemudian diperingati sebagai hari jadi BPOM hingga saat ini (Kompas, 1/2/2001).

Sebelum membentuk BPOM, lembaga sejenis dengan fungsi pengawasan obat ada sejak era Kolonial Belanda. Pada masa itu, terdapat institusi bernama De Dienst Van De valks Gezondheid (DVG) yang bertugas membuat obat-obatan kimia dan pusat penelitian farmasi.

Setelah Indonesia merdeka, DVG diambil alih oleh pemerintah Indonesia. Pada tahun 1964, DVG diubah menjadi Inspektorat Farmasi. Selanjutnya, Inspektorat Farmasi diubah menjadi Inspektorat Urusan Farmasi pada tahun 1967.

Dalam perkembangannya hingga 1976, Inspektorat Urusan Farmasi diubah menjadi Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM). Pada saat itu, Ditjen POM bekerja sama dengan berbagai pihak dalam mengurusi pengawasan obat dan makanan, yakni Lembaga Farmasi Nasional, Departemen Kesehatan, serta Industri Farmasi Negara.

Pada tahun 2000, melalui Keppres 166/2000, pemerintah Indonesia membentuk 24 lembaga pemerintah nondepartemen (LPND). Salah satu LPND yang dibentuk adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pada saat dibentuk, BPOM diberi tugas untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Keppres 166/2000 mengatur pula fungsi dan kewenangan BPOM dalam menjalankan tugasnya.

Keppres tersebut disempurnakan dengan Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 (Keppres 103/2001). Keputusan tersebut mengatur kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi, serta tata kerja LPND. Terdapat 26 LPND yang diatur dalam Keppres 103/2001, termasuk BPOM.

Untuk melengkapi Keppres 103/2001, pemerintah menetapkan Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 2001 (Keppres 110 Tahun 2001). Keppres ini mengatur unit organisasi dan tugas eselon I LPND. Dalam Keppres tersebut, diatur struktur berbagai LPND, termasuk BPOM. Struktur BPOM pada saat itu terdiri atas unsur Kepala, Sekretariat Utama, dan tiga deputi. Ketiga deputi tersebut adalah 1) Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif, 2) Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplimen, 3) Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya.

Saat ini, BPOM diatur oleh Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 (Perpres 80/2017) tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Dalam aturan terbaru tersebut, BPOM bertugas menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan. Selain itu, disebutkan pula bahwa BPOM berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Petugas Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) DI Yogyakarta memeriksa kemasan dan tanggal kedaluwarsa makanan yang dijual di sebuah pusat perbelanjaan di Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (15/12/2020). BPPOM meningkatkan pengawasan pangan menjelang libur Natal dan tahun baru. Hal itu dilakukan untuk mencegah masyarakat mengonsumsi makanan yang tidak layak edar, mengandung bahan berbahaya, serta melewati tanggal kedalurwarsa.

Visi

Obat dan Makanan aman, bermutu, dan berdaya saing untuk mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong-royong.

Misi

  1. Membangun SDM unggul terkait obat dan makanan dengan mengembangkan kemitraan bersama seluruh komponen bangsa dalam rangka peningkatan kualitas manusia Indonesia.
  2. Memfasilitasi percepatan pengembangan dunia usaha obat dan makanan dengan. keberpihakan terhadap UMKM dalam rangka membangun struktur ekonomi yang produktif dan berdaya saing untuk kemandirian bangsa.
  3. Meningkatkan efektivitas pengawasan obat dan makanan serta penindakan kejahatan obat dan makanan melalui sinergi pemerintah pusat dan daerah dalam kerangka negara kesatuan guna perlindungan bagi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga.
  4. Pengelolaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan tepercaya untuk memberikan pelayanan publik yang prima di bidang obat dan makanan.

KOMPAS/J GALUH BIMANTARA

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Penny K Lukito dalam konferensi pers daring hari Jumat (25/9/2020) menunjukkan produk obat dan makanan ilegal. BPOM mengungkap adanya gudang di Rawalumbu, Bekasi, yang dijadikan tempat menyimpan obat tradisional dan makanan ilegal senilai total Rp 3,25 miliar.

Tugas, Fungsi, dan Kewenangan

Berdasarkan Pasal 2 Perpres 80/2017, tugas utama BPOM adalah menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Obat dan makanan yang dimaksud, terdiri atas obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor, zat adiktif, obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, dan pangan olahan.

Selanjutnya, Perpres 80/2017 juga mengatur 11 fungsi BPOM berdasarkan tugasnya sebagai pengawas obat dan makanan. Kesebelas fungsi tersebut adalah:

  1. Penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan obat dan makanan.
  2. Pelaksanaan kebijakan nasional di bidang pengawasan obat dan makanan.
  3. Penyusunan dan penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pengawasan sebelum beredar dan pengawasan selama beredar.
  4. Pelaksanaan pengawasan sebelum beredar dan pengawasan selama beredar.
  5. Koordinasi pelaksanaan pengawasan obat dan makanan dengan instansi pemerintah pusat dan daerah.
  6. Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pengawasan obat dan makanan.
  7. Pelaksanaan penindakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengawasan obat dan makanan.
  8. Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan BPOM.
  9. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab BPOM.
  10. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan BPOM.
  11. Pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan BPOM.

Yang dimaksud dengan pengawasan sebelum beredar adalah pengawasan obat dan makanan sebelum beredar sebagai tindakan pencegahan untuk menjamin obat dan makanan yang beredar memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu produk yang ditetapkan. Sedangkan, pengawasan selama beredar merupakan pengawasan obat dan makanan selama beredar untuk memastikan obat dan makanan yang beredar memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat/ manfaat, dan mutu produk yang ditetapkan serta tindakan penegakan hukum.

Selain tugas dan fungi BPOM, Perpres 80/2017 juga mengatur tiga kewenangan BPOM, yakni:

  1. Menerbitkan izin edar produk dan sertifikat sesuai dengan standar dan persyaratan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu, serta pengujian obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Melakukan intelijen dan penyidikan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Pemberian sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

KOMPAS/MEGANDIKA WICAKSONO

Tim dari Kantor Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di Kabupaten Banyumas memeriksa sejumlah makanan dan minuman yang dijual pada pasar takjil di depan Taman Makam Pahlawan Tanjung Nirwana, Purwokerto, Kamis (9/5/2019). Dari 16 sampel makanan tidak ditemukan bahan berbahaya seperti formalin, boraks, dan rhodamin-B.

Struktur Organisasi BPOM

Struktur Organisasi BPOM, sesuai Pasal 5 Perpres 80/2017, terdiri atas:

  1. Kepala
  2. Sekretariat Utama
  3. Deputi Bidang Pengawasan Obat, Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif
  4. Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik
  5. Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan
  6. Deputi Bidang Penindakan
  7. Inspektorat Utama

Selain tujuh struktur tersebut, terdapat empat pusat di lingkungan BPOM. Sesuai Pasal 31 dan 32 Perpres 80/2017, pusat dapat dibentuk di lingkungan BPOM sebagai unsur pendukung tugas dan fungsi BPOM. Terdapat empat pusat yang berada di bawah Ketua BPOM, yakni:

  1. Pusat Data dan Informasi Obat dan Makanan
  2. Pusat Pengembangan SDM Pengawasan Obat dan Makanan
  3. Pusat Pengembangan Pengujian Obat dan Makanan Nasional
  4. Pusat Riset dan Kajian Obat dan Makanan

Selain ketujuh struktur dan empat tersebut, dalam organisasi BPOM juga terdapat unit pelaksana teknis (UPT). Sesuai Pasal 33 dan 34 Perpres 80/2017, UPT BPOM bertugas melaksanakan kebijakan teknis operasional di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam struktur BPOM, UPT merupakan Balai Besar POM serta Balai POM yang ditetapkan dan berada di bawah Ketua BPOM. Terdapat 20 Balai Besar POM dan 13 Balai POM dalam website resmi BPOM yang tersebar di seluruh Indonesia.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Vaksin Covid-19 CoronaVac buatan Sinovac Biotech, China yang digubakan untuk vaksinasi terhadap tenaga kesehatan di Rumah Sakit Sari Asih, Tangerang Selatan, Banten, Senin (18/1/2021). Sebanyak 1,4 juta tenaga kesehatan menjadi prioritas utama pemberian vaksin tahap pertama. Vaksinasi mulai dilakukan secara bertahap kepada seluruh tenaga kesehatan dan tenaga medis di 34 provinsi di seluruh Indonesia.

Peran BPOM dalam Pandemi

Hingga Januari 2021 Indonesia telah memasuki 10 bulan memasuki kondisi kedaruratan pandemi COVID-19 yang ditetapkan Pemerintah pada bulan April 2020 lalu melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai Bencana Nasional.

Berbagai upaya Pemerintah telah dan akan terus dilakukan untuk percepatan penanganan pandemi COVID-19 ini. Salah satu upaya pemerintah yang saat ini akan segera digulirkan adalah program vaksinasi COVID-19. Vaksin COVID-19 diharapkan menjadi penentu dalam mengatasi pandemi COVID-19 ini, dan seluruh negara di dunia sedang melakukan upaya yang sama.

Memperhatikan kondisi kedaruratan dan merespon kebutuhan percepatan penanganan COVID-19, maka Badan POM mengambil langkah kebijakan dengan menerapkan Emergency Use Authorization (EUA) atau persetujuan penggunaan dalam kondisi darurat untuk Vaksin COVID-19. Kepala Badan POM RI, Penny K. Lukito menyampaikan bahwa penerapan EUA ini dilakukan oleh semua otoritas regulatori obat di seluruh dunia untuk mengatasi pandemi COVID-19 ini.

Secara internasional, kebijakan EUA ini selaras dengan panduan WHO, yang menyebutkan bahwa EUA dapat ditetapkan dengan beberapa kriteria. Pertama, telah ditetapkan keadaan kedaruratan kesehatan masyarakat oleh Pemerintah. Kedua, terdapat cukup bukti ilmiah terkait aspek keamanan dan khasiat dari obat (termasuk vaksin) untuk mencegah, mendiagnosis, atau mengobati penyakit/keadaan yang serius dan mengancam jiwa berdasarkan data non-klinik, klinik, dan pedoman penatalaksanaan penyakit terkait.

Kriteria ketiga, obat (termasuk vaksin) memiliki mutu yang memenuhi standar yang berlaku serta dan Cara Pembuatan Obat yang Baik. Keempat, memiliki kemanfaatan lebih besar dari risiko (risk-benefit analysis) didasarkan pada kajian data non-klinik dan klinik obat untuk indikasi yang diajukan, dan terakhir belum ada alternatif pengobatan/penatalaksanaan yang memadai dan disetujui untuk diagnosa, pencegahan atau pengobatan penyakit penyebab kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat.

Saat ini pemerintah telah melakukan pengadaan vaksin Coronavac yang diproduksi oleh Sinovac Biotech dan didaftarkan di Indonesia oleh PT. Bio Farma. Dalam pengembangan vaksin ini, uji klinik fase 3 dilakukan di beberapa negara termasuk Indonesia, Brazil dan Turki. Berdasarkan data-data yang telah disampaikan oleh PT. Bio Farma kepada Badan POM dan hasil pembahasan yang dilakukan bersama Komite Nasional Penilai Obat dan Para Ahli pada Bulan Desember 2020 dan Januari 2021.

Berdasarkan hasil evaluasi data keamanan vaksin Coronavac diperoleh dari studi klinik fase 3 di Indonesia, Turki dan Brazil yang dipantau sampai periode 3 bulan setelah penyuntikan dosis yang ke 2, secara keseluruhan menunjukkan vaksin Coronavac aman. Hasil evaluasi menunjukkan Coronavac aman dengan kejadian efek samping yang ditimbulkan bersifat ringan hingga sedang, yaitu efek samping lokal berupa nyeri, indurasi (iritasi), kemerahan dan pembengkakan. Selain itu terdapat efek samping sistemik berupa myalgia (nyeri otot), fatigue, dan demam. Efek samping tersebut bukan merupakan efek samping yang berbahaya dan dapat pulih kembali.

Vaksin CoronaVac telah menunjukkan kemampuan dalam pembentukan antibodi di dalam tubuh dan juga kemampuan antibodi dalam membunuh atau menetralkan virus (imunogenisitas), yang dilihat dari mulai uji klinik fase 1 dan 2 di Tiongkok dengan periode pemantauan sampai 6 bulan. Pada uji klinik fase 3 di Bandung, data imunogenisitas menunjukkan hasil yang baik. Sampai 3 bulan jumlah subjek yang memiliki antibody masih tinggi yaitu sebesar 99,23%.

Selain itu, hasil analisis terhadap efikasi vaksin CoronaVac dari uji klinik di Bandung menunjukkan efikasi vaksin sebesar 65,3%, dan berdasarkan laporan dari efikasi vaksin di Turki adalah sebesar 91,25%, serta di Brazil sebesar 78%. Hasil tersebut telah memenuhi persyaratan WHO dengan minimal efikasi vaksin adalah 50%. Efikasi vaksin sebesar 65,3% dari hasil uji klinik di Bandung tersebut menunjukkan harapan bahwa vaksin ini mampu untuk menurunkan kejadian penyakit COVID-19 hingga 65,3%.

Untuk menjamin mutu vaksin, Badan POM telah melakukan evaluasi terhadap data mutu vaksin, yang mencakup pengawasan mulai dari bahan baku, proses pembuatan hingga produk jadi vaksin sesuai dengan standar penilaian mutu vaksin yang berlaku secara internasional. Salah satunya melalui inspeksi langsung ke sarana produksi vaksin CoronaVac yaitu fasilitas Sinovac Life-Science di Beijing pada akhir Oktober 2020, untuk memastikan proses pembuatan vaksin memenuhi ketentuan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) sehingga dapat dipastikan konsistensi mutu dari vaksin tersebut.

Badan POM melalui Pusat Pengembangan Pengujian Obat dan Makanan Nasional (P3OMN) juga melakukan pemastian mutu setiap bets yang akan digunakan dengan melakukan pengujian dalam rangka pelulusan bets atau Lot Release.

Berdasarkan data-data tersebut di atas, dan mengacu kepada panduan dari WHO dalam pemberian persetujuan EUA untuk vaksin COVID-19 (Considerations for Evaluation of COVID-19 Vaccines), yaitu memiliki minimal data hasil pemantauan keamanan dan khasiat/efikasi selama 3 bulan pada uji klinik fase 3, dengan efikasi vaksin minimal 50%, maka Vaksin CoronaVac ini memenuhi persyaratan untuk dapat diberikan persetujuan penggunaan dalam kondisi emergensi (Emergency Use Authorization).

Pada hari Senin, tanggal 11 Januari 2021, Badan POM memberikan persetujuan penggunaan dalam kondisi emergensi (Emergency Use Authorization/EUA) untuk vaksin COVID-19 yang pertama kali kepada vaksin CoronaVac, produksi Sinovac Biotech Inc. yang bekerja sama dengan PT. Bio Farma.

Pengambilan keputusan didasarkan pada rekomendasi yang diterima oleh Badan POM berupa hasil pembahasan yang dirumuskan dalam rapat pleno dari Anggota Komite Nasional (Komnas) Penilai Obat, Tim Ahli dalam bidang Imunologi, Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) dan Ahli Epidemiologi pada tanggal 10 Januari 2021. Pengambilan keputusan ini dilakukan berdasarkan hasil evaluasi dan diskusi yang komprehensif terhadap data dukung dan bukti ilmiah yang menunjang aspek keamanan, khasiat dan mutu dari vaksin.

Badan POM mengedepankan kehati-hatian, integritas dan independensi, serta tranparansi dalam pengambilan keputusan pemberian EUA ini, dalam rangka perlindungan kesehatan masyarakat. Sebagai Otoritas Regulatori Obat, Badan POM secara rutin diaudit oleh WHO, dan telah mendapatkan pengakuan sebagai salah satu Otoritas Regulatori Obat yang memiliki tingkat maturitas tinggi (maturity level 3-4).

Pemberian persetujuan EUA ini, diharapkan dapat mendukung upaya Pemerintah dalam percepatan penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia. BPOM mengajak masyarakat mendukung program vaksinasi COVID-19, karena keberhasilan penanganan COVID-19 ini merupakan keberhasilan kita bersama sebagai bangsa.

Anggaran

Dalam lampiran Perpres 54/2020 tentang Perubahan Postur dan Rincingan APBN 2020, anggaran BPOM pada tahun 2020 disesuaikan dari Rp 1.916.726.169.000 menjadi Rp 1.544.407.583.000. Sedangkan dalam APBN 2021 yang diperinci dalam lampiran III.1 Perpres 113/2020, angaran BPOM  tahun 2021 sebesar Rp 2.084.285.212.000.

Referensi

Arsip Kompas

“Ditjen POM menjadi Badan POM”, Kompas, 1 Februari 2001, hlm. 10.

Dokumen
  • Keppres 166/2000 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah NonDepartemen
  • Keppres 103/2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah NonDepartemen
  • Keppres 110/2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen
  • Perpres 80/2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan
  • Lampiran Perpres 54/2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020
  • Perpres 113/2020 tentang Rincian APBN 2021
  • Lampiran III.1 Perpres 113/2020 tentang Rincian APBN 2021 Pemerintah Pusat menurut Organisasi/Bagian Anggaran