Daerah

Kota Bandar Lampung: Kota Tapis Berseri dan Pintu Gerbang Sumatera

Kota Bandar Lampung dikenal sebagai daerah transmigran saat program transmigrasi penduduk era Orde Baru dicanangkan. Mayoritas transmigran berasal dari Pulau Jawa. Berdiri sejak 1682, kota yang terkenal dengan julukan “Tapis Berseri” ini kini menjadi sentra penggerak ekonomi, jasa, dan sosial politik di Provinsi Lampung.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Gapura Siger atau mahkota pengantin wanita Suku Lampung terpasang, Bandar Lampung, Lampung, Minggu (22/3/2015). Walikota Bandar Lampung Herman HN melalui Perwali mengharuskan semua gedung di Bandar Lampung memasang siger. Pemasangan dilakukan agar warga Lampung tidak melupakan adat istiadat.

Fakta Singkat

Hari Jadi
17 Juni 1682

Dasar Hukum
Undang-Undang No. 22/1948

Luas Wilayah
197,22 km2

Jumlah Penduduk
1.166.066 jiwa (2020)

Pasangan Kepala Daerah
Wali Kota Eva Dwiana
Wakil Wali Kota Deddy Amarullah

Instansi terkait
Pemerintah Kota Bandar Lampung

Kota Bandar Lampung merupakan ibu kota dan pusat pemerintahan Provinsi Lampung. Kota terpadat ketiga di Pulau Sumatera setelah Medan dan Palembang ini juga menjadi pusat ekonomi, politik, pendidikan, dan budaya masyarakat Lampung.

Dalam sejarahnya, sebelum menjadi Kota Bandar Lampung, dahulunya merupakan gabungan dari dua kota tua, yakni Tanjung Karang dan Teluk Betung. Kedua kota kembar tersebut sebelumnya adalah bagian dari Kabupaten Lampung Selatan. Namun demikian, setelah dikeluarkannya UU 22/1948 yang kemudian memisahkan kedua kota tersebut dari Kabupaten Lampung Selatan, mulai diperkenalkan istilah penyebutan Kota Tanjung Karang-Teluk Betung.

Nama Kotamadya “Bandar Lampung” sebagai ganti dari nama lamanya Kotamadya “Tanjung Karang-Teluk Betung” secara resmi mulai dipakai sejak keluarnya PP 24/1983 tertanggal 17 Juli 1983. Sejak tanggal tersebut, kota ini resmi memakai namanya yang baru, baik di kalangan pemerintah kota sendiri maupun oleh masyarakat penghuninya. Keluarnya PP 24/1983 itu diusulkan oleh pemerintah daerah berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kotamadya Daerah Tingkat II Tanjung Karang Teluk Betung No. 6 tahun 1983 tertanggal 26 Februari 1983.

Kota yang berada di sebelah barat daya Pulau Sumatera ini  menetapkan hari kelahirannya pada tanggal 17 Juni 1682. Keputusan itu ditetapkan lewat simposium Hari Jadi Kota Tanjung Karang-Teluk Betung pada tanggal 18 November 1982 serta dikuatkan melalui Perda Nomor 5 Tahun 1983 tanggal 26 Februari 1983.

Berdasarkan sumber sejarah yang berhasil dikumpulkan, terdapat catatan laporan dari Residen Banten William Craft kepada Gubernur Jenderal Cornelis yang didasarkan pada keterangan Pangeran Aria Dipati Ningrat (Duta Kesultanan) yang disampaikan kepadanya tanggal 17 Juni 1682 antara lain berisikan: “Lampong Telokbetong di tepi laut adalah tempat kedudukan seorang Dipati Temenggung Nata Negara yang membawahi 3.000 orang”.

Kota Bandar Lampung memiliki luas wilayah 197,22 km2 yang terbagi ke dalam 20 kecamatan dan 16 kelurahan. Jumlah penduduknya mencapai 1.16 juta jiwa atau 12,95 persen dari total penduduk Provinsi Lampung, yakni sebanyak 9 juta jiwa. Sejak tahun 2021, Kota Bandar Lampung dipimpin oleh Wali Kota Eva Dwiana dan Wakil Wali Kota Deddy Amarullah.

Kota Bandar Lampung  dikenal sebagai “Kota Tapis Berseri”. Dengan slogan itu, Pemerintah Kota Bandar Lampung ingin mewujudkan visinya menjadi kota yang tertib, aman, patuh, iman, sejahtera, bersih, sehat, rapi, dan indah.

Dalam kedudukannya kini, Bandar Lampung menjadi salah satu wilayah unggulan untuk menjadi pusat pertumbuhan Sumatera bagian selatan. Lokasinya di ujung selatan Pulau Sumatera memantapkan posisinya sebagai pintu gerbang utama antara Pulau Jawa dengan Sumatera.

Sejarah pembentukan

Catatan kronologis sejarah pertumbuhan Kota Bandar Lampung dapat ditelusuri sejak tahun 1600-an. Hal itu disebutkan dalam buku Sejarah Sosial Daerah Lampung Kotamadya Bandar Lampung Sang Bumi Ruwa Jurai (1985) yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Dalam buku tersebut, dijelaskan pada tanggal 17 Juni 1682, seorang duta (utusan) Kesultanan Banten bernama Pangeran Aria Dipati Ningrat memberikan keterangan resmi kepada Residen Banten (dari pemerintahan Belanda) William Caaf bahwa “Teloekbetong di tepi laut Teluk Lampung adalah daerah kuasa Banten dan yang ditunjuk sebagai dipati di sana adalah Temenggung Nata Negara, yang memerintah sebanyak 3.000 orang penduduk”.

Keterangan tersebut dilaporkan pula oleh Residen William Caaf kepada atasannya Gubemur Jenderal VOC Cornelis Speelman di Batavia.

Keterangan ini memberi gambaran bahwa di Teloekbetong sehari-harinya telah berkumpul “banyak” orang, yakni sejumlah 3.000 penduduk dengan berbagai kegiatan dan transaksinya sebagaimana yang biasa berlangsung di pasar-pasar pada umumnya.

Sebelum itu, Teloekbetong biasa pula disebut dengan Kota Suti Karang, tetapi kemudian lebih lazim dengan nama “Teluk” karena memang terletak di daerah yang banyak teluknya. Seorang Koopman bernama Herbertus de Jager menyebutnya dengan “Telloc” dan Willem Caaf menamakannya “Teloek Betoeng” karena kota ini terletak di kaki bukit Betung. Di samping itu, di puncak Bukit Betung tersebut dulunya terdapat pula sebuah danau kecil yang dikelilingi oleh Betung (sejenis bambu yang lebih keras dan lebih besar) yang dengan lebatnya memagari danau tersebut.

Mengenai cikal bakal, ada tokoh adat budaya/sejarah Lampung yang berpendapat bahwa kota Teluk mulai terbentuk sejak abad yang ke-15. Terbentuknya kota Teluk diawali dengan tempat berkumpulnya pedagang-pedagang yang membawa barang-barangnya melalui aliran sungai dan pantai, antara lain pada Pelabuhan Sukamenanti (sekarang bernama Gudang Agen) yang pada masa itu merupakan bandar pelabuhan termasuk pula Bandar Balak, Bandar Lunik, dan Bandar Teba.

Pada Agustus 1682, Koopman de Jager menerangkan bahwa Desa Kuripan Pesisir, Perwata, dan Suti Karang (Teluk Betung) yang terletak di dalam Teluk Lampung merupakan “pabean” dan tempat penimbunan lada dari seluruh pelosok daerah Lampung, hasil dari desa-desa yang jauh.

Pada tahun 1817 di Teluk Betung, Belanda telah menempatkan seorang asisten residen. Namun pada 1818, karena masih banyaknya gangguan dan perlawanan terhadap usaha-usaha dagang Belanda, Pemerintah Hindia Belanda menganggap untuk lebih baik mengalihkan pemerintahan sipil kepada seorang penguasa sipil militer (Civielen Militair Gezaghebber). Penguasa sipil militer ini ditempatkan di Teluk Betung tersebut guna lebih terjaminnya pengamanan.

Tahun 1847, Kota Teluk Betung dijadikan sebagai tempat kedudukan penguasa pemerintahan oleh Belanda. Kemudian pada tahun 1850, Kota Teluk Betung dijadikan sebagai pusat pemerintahan Belanda untuk daerah Lampung. Selain itu, didirikan pula redoute berupa bangunan atau benteng-benteng pertahanan.

Dengan Staatsblad No. 70/1873 yang membagi Keresidenan Lampung menjadi enam afdeeling, maka Teluk Betung menjadi satu di antara enam afdeeling dengan ibu kotanya Teluk Betung. Setelah tujuh tahun kemudian, lalu diubah melalui Staatsblad No. 88/1880 yang menetapkan bahwa Afdeeling Teluk Betung dengan ibu kota Tanjung Karang.

Pada masa pendudukan kolonial Hindia Belanda, wilayah Kota Bandar Lampung merupakan bagian dari wilayah Onder Afdeling Telokbetong, yang terbentuk berdasarkan Staatsblad 1912 No. 462. Berdasarkan ketetapan ini, wilayah Kota Bandar Lampung terdiri dari Telokbetong yang berkedudukan sebagai ibu kotanya, beserta daerah-daerah yang ada di sekitarnya.

Selanjutnya terhitung sejak tanggal 1 Oktober 1912 dengan Staatsblad No. 7746/1912, Kota Teluk Betung dijadikan sebagai ibu kota Keresidenan Lampung. Sedangkan kedudukan kepala Onderafdeeling Teluk Betung yang daerahnya cukup luas pula di sekitar Teluk Lampung tetap berada di Tanjung Karang, yakni bagian dari Keresidenan Lampung.

Kota Teluk Betung dan Tanjung Karang yang telah mulai menjadi kembar tersebut dikepalai oleh seorang asisten demang yang tunduk kepada Hoofd Van Plaatselijk Bestuur (kontroler BB), yakni kepala Onderafdeeling Teluk Betung di Tanjung Karang.

Pada masa kekuasaan Jepang, Kota Tanjung Karang-Telokbetong dijadikan sebuah shi (kota) yang dikepalai oleh seorang shicho (orang Jepang), dan dibantu oleh fuku shicho (orang pribumi).

KOMPAS/HELENA F NABABAN

Sejumlah siswa mengamati dan mencatat benda-benda cagar budaya yang tersimpan di Museum Lampung, Bandar Lampung, Rabu (6/2/2008). Upaya pengenalan dini mengenai isi museum kepada siswa merupakan cara yang ditempuh sekolah dalam mengajarkan sejarah dan budaya Lampung.

Setelah Indonesia merdeka, Kota Teluk Betung dan Kota Tanjung Karang termasuk bagian dari Kabupaten Lampung Selatan berdasarkan UU 22/1948, dengan status kota kecil, berpenduduk kurang lebih 80.000 jiwa, dan luas wilayah 1.300 ha.

Kira-kira delapan tahun kemudian, berdasarkan pada Undang-undang Darurat No. 5 Tahun 1956, status Kota Tanjung Karang-Teluk Betung dinaikkan menjadi kota besar. Selanjutnya berdasarkan UU 1/1957, status kota ini berubah lagi menjadi Kotapraja Tanjung Karang-Teluk Betung yang meliputi dua kecamatan, yakni Kecamatan Tanjung Karang dan Kecamatan Teluk Betung.

Setelah itu, Kota Tanjung Karang-Teluk Betung terus mengalami perubahan. Kedua kota ini juga mengalami beberapa kali perluasan. Pada akhirnya, Keresidenan Lampung berubah status menjadi Provinsi Lampung di tahun 1965. Penggantian status tersebut tertuang dalam UU 18/1965. Kota Tanjung Karang-Teluk Betung berubah pula menjadi Kotamadya Tanjung Karang-Teluk Betung serta menjadi ibu kota Provinsi Lampung.

Kotamadya Daerah Tingkat II Tanjung Karang-Teluk Betung kembali berubah status menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Bandar Lampung yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1983.

Kemudian, status ini kembali berganti dengan adanya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 tahun 1998 tentang perubahan tata naskah dinas lingkungan Pemerintah Kabupaten dan Kotamadya Dati II seluruh Indonesia.

Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut selanjutnya ditindaklanjuti Wali Kota Bandar Lampung dengan dikeluarkannya surat keputusan Nomor 17 tahun 1999. Dengan keputusan itu, penyebutan “Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandar Lampung” menjadi “Pemerintah Kota Bandar Lampung.” Penyebutan nama inipun digunakan sampai sekarang.

KOMPAS/ANGGER PUTRANTO

Peserta Pawai Adat Begawai Bandar Lampung berjalan menyusuri jalan protokol Kota Bandar Lampung, Minggu (7/6/2015). Pawai adat tersebut diselenggarakan sebagai rangkaian hari jadi ke-333 Kota Bandar Lampung. Peserta pawai dari perwakilan masing-masing kecamatan dan sekolah menampilkan berbagai atraksi kebudayaan dari berbagai daerah di Indonesia.

Geografis

Secara geografis, Kota Bandar Lampung terletak pada koordinat 5°20’–5°30’ Lintang Selatan dan 105°28’–105°37’ Bujur Timur. Secara administratif, Kota Bandar Lampung berbatasan dengan Kecamatan Natar Kabupaten, Lampung Selatan di sebelah utara, Kecamatan Padang Cermin dan Kecamatan Ketibung, Kabupaten Lampung Selatan serta Teluk Lampung di sebelah selatan, Kecamatan Tanjung Bintang, Kabupaten Lampung Selatan di sebelah timur dan Kecamatan Gedung Tataan dan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan di sebelah barat.

Letak tersebut berada pada Teluk Lampung di Ujung Selatan Pulau Sumatera. Berdasarkan kondisi ini, Kota Bandar Lampung menjadi pintu gerbang utama pulau Sumatera dan memiliki peran sangat penting bagi masyarakat Lampung.

Dengan luas wilayah 197,22 km2, topografi Bandar Lampung sangat beragam, mulai dari dataran rendah pantai sampai kawasan perbukitan hingga bergunung dengan ketinggian permukaan antara 0 sampai 500 meter di atas permukaan laut. Daerah perbukitan hingga bergunung membentang dari arah barat ke timur dengan puncak tertinggi pada Gunung Betung di sebelah barat dan Gunung Dibalau serta perbukitan Batu Serampok di sebelah timur.

Kota Bandar Lampung mempunyai dua sungai besar, yaitu Sungai Way Kuripan dan Sungai Way Kuala serta 23 sungai-sungai kecil. Semua sungai tersebut merupakan DAS (Daerah Aliran Sungai) yang berada dalam wilayah Kota Bandar Lampung dan sebagian besar bermuara di Teluk Lampung.

KOMPAS/LASTI KURNIA

“Buoy” pelampung suar yang dijadikan monumen peringatan meletusnya Gunung Krakatau tahun 1883, di Taman Dipangga, Teluk Betung, Bandar Lampung, Lampung, tampak tak terawat dan penuh coretan, Kamis (11/8/2011). Buoy tersebut terempas hingga ke darat akibat tsunami dari erupsi Krakatau tahun 1883. Posisi terdamparnya buoy adalah tempat saat ini monumen berdiri.

Pemerintahan

Sejak tahun 1957 sampai saat ini, Kota Bandar Lampung telah dijabat oleh 11 wali kota. Menurut catatan sejarah, wali kota Bandar Lampung  yang pertama adalah Sumarsono yang menjabat antara tahun 1956 hingga 1957.

Kemudian wali kota Bandar Lampung berikutnya adalah H. Zainal Abidin Pagar Alam (1957–1963), Alimudin Umar (1963–1969), H.M. Thabranie Daud (1969–1976), H. Fauzi Saleh (1976–1981), Zulkarnain Subing (1981–1986), Nurdin Muhayat (1986–1991), Suharto (1996–2005), Eddy Sutrisno (2005–2010), H. Herman Hn (2010–2021) dan Hj. Eva Dwiana (2021–sekarang).

Dalam sejarahnya, secara administratif Kota Bandar Lampung beberapa kali mengalami perubahan. Berdasarkan UU 5/1975 dan PP 3/1982 tentang perubahan wilayah, Kota Bandar Lampung diperluas dengan pemekaran dari 4 kecamatan 30 kelurahan berkembang menjadi 9 kecamatan 58 kelurahan.

Kemudian berdasarkan SK Gubernur No. G/185.B.111/Hk/1988 tanggal 6 Juli 1988 serta surat persetujuan Mendagri Nomor 140/1799/PUOD tanggal 19 Mei 1987 tentang pemekaran kelurahan di wilayah Kota Bandar Lampung, maka Kota Bandar Lampung terdiri dari sembilan kecamatan dan 84 kelurahan. Pada tahun 2001 berdasarkan Peraturan Kawasan Kota Bandar Lampung No. 04, Kota Bandar Lampung berkembang lagi menjadi 13 kecamatan dengan 98 kelurahan.

Lalu, pada tanggal 17 September 2012 bertempat di Kelurahan Sukamaju, diresmikan pula kecamatan dan kelurahan baru di wilayah Kota Bandar Lampung sebagai hasil pemekaran sesuai dengan Peraturan Kawasan Kota Bandar Lampung Nomor 04 Tahun 2012 tentang Penataan dan Pembentukan Kelurahan dan Kecamatan. Kota Bandar Lampung berkembang lagi menjadi 20 kecamatan dengan 126 kelurahan.

Untuk mendukung jalannya roda pemerintahan, Kota Bandar Lampung memiliki pegawai negeri sipil (PNS)  sebanyak 8.346 orang, yang terdiri atas 2.739 PNS laki-laki dan 5.607 PNS perempuan.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Baliho pilkada pasangan calon wali kota dan wakil wali kota Bandar Lampung di pusat kota Bandar Lampung, Rabu (2/12/2015). KPU Bandar Lampung menggelar pemilihan tiga pasangan calon walikota dan wakil walikota pada Pilkada Bandar Lampung, Rabu 9 Desember 2015.

Politik

Peta politik di Kota Bandar Lampung dalam tiga kali penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) berlangsung dinamis. Pada Pemilu 2009, Partai Demokrat menguasai kursi DPRD Kota Bandar Lampung. Namun pada dua pemilu berikutnya, Pemilu 2014 dan 2019, PDI-P berhasil mendominasi perolehan suara sekaligus kursi DPRD Kota Bandar Lampung.

Pada Pemilu 2009, dari 45 anggota DPRD Kota Bandar Lampung, Partai Demokrat memperoleh kursi terbanyak, yakni 10 kursi. Disusul Golkar mendapat 8 kursi, kemudian PDI Perjuangan, PKS, dan PAN masing-masing mendapat lima kursi. Adapun Gerindra, PPP, dan Hanura masing-masing mendapat empat kursi.

Lima tahun kemudian, di Pemilu 2014, dari 45 kursi di DPRD Kota Bandar Lampung, PDI Perjuangan menempati posis teratas dengan 10 kursi, mengalahkan Partai Demokrat yang hanya memperoleh lima kursi. Adapun partai-partai lainnya yang memperoleh kursi DPRD Kota Bandar Lampung adalah PAN memperoleh tujuh kursi. PKS, Golkar, Gerindra, dan Nasdem masing-masing meraih lima kursi. Kemudian, PPP (4 kursi), Hanura (2 kursi), serta PKB dan PKPI yang masing-masing memperoleh 1 kursi. Sementara PBB belum berhasil meraih kursi di DPRD Lampung.

Adapun di Pemilu 2019, dari 20 partai yang berkompetisi, ada 10 partai yang meraih kursi DPRD Kota Bandar Lampung. Kesepuluh parpol yang mendapatkan kursi tersebut yakni, PDI Perjuangan, Gerindra, PKS, Golkar, PAN, Demokrat, Nasdem, Perindo, PKB, dan PPP.

PDI Perjuangan kembali menjadi peraih kursi terbanyak dengan sembilan kursi. Sementara itu, untuk partai-partai besar lainnya seperti Gerindra mendapatkan tujuh kursi, kemudian PKS, PAN, dan Golkar masing-masing mendapatkan enam kursi. Adapun, Nasdem dan Demokrat mendapatkan masing-masing lima kursi, sedangkan PKB memperoleh tiga kursi, Perindo dua kursi dan PPP satu kursi.

KOMPAS/VINA OKTAVIA

Petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) di TPS 002 Kelurahan Bumi Waras, Kecamatan Bumi Waras, Kota Bandar Lampung, melayani warga yang hendak menyalurkan hak pilihnya, Rabu (9/12/2020). TPS bertema pantai ini dihadirkan untuk menarik minat pemilih yang sebagian besar bekerja sebagai nelayan.

Kependudukan

Penduduk Kota Bandar Lampung menurut sensus penduduk 2020 tercatat sebanyak 1.166.066 jiwa atau atau 12,95 persen dari total penduduk Provinsi Lampung sebanyak 9 juta jiwa. Dengan sex ratio 104, jumlah penduduk laki-laki lebih banyak daripada penduduk perempuan.

Kepadatan penduduk paling besar terdapat di Kecamatan Tanjung Karang Timur yakni 21.220 jiwa/km2, sedangkan kecamatan yang paling kecil kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Sukabumi yaitu 3.215 jiwa/km2.

Sebagai ibu kota Provinsi Lampung, masyarakat Kota Bandar Lampung merupakan kota multietnis, baik suku asli maupun pendatang Masyarakat di kota ini terdiri dari berbagai suku antara lain Lampung, Rawas, Melayu, dan Pasemah.

Masyarakat Lampung bentuknya yang asli memiliki struktur hukum adat yang tersendiri, bentuk masyarakat hukum adat tersebut berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya, kelompok-kelompok tersebut menyebar di berbagai tempat di daerah Lampung.

Adapun penduduk pendatang yang menetap di kota ini, antara lain, Jawa, Banten/Sunda, Minangkabau, Semendo. Kelompok etnis lain yang cukup banyak jumlahnnya adalah Bali, Batak, Bengkulu, Bugis, China, Ambon, Aceh, Riau, dan lain-lain.

Banyaknya penduduk pendatang di Lampung ini akibat adanya progam relokasi yang dilakukan sejak tahun 1905 oleh pemerintah kolonial Belanda dengan memindahkan petani dari Bagelan Jawa Tengah dan membangun Kota Wonosobo dan Kota Agung. Kemudian tahun 1932–1937 ada pembukaan lahan transmigrasi baru di Kota Metro, Pringsewu, dan berbagai kota lainnya. Program transmigrasi ini terus berlangsung hingga akhir dekade 80-an.

Karakteristik mata pencaharian penduduk pendatang pada umumnya memiliki kekhasan dalam beradaptasi. Sebagai contoh pendatang asal Pati, Jawa Tengah yang semula sebagai petambak lebih memilih usaha tambak di lokasi barunya. Semula mereka berbudidaya bandeng dan jenis ikan lainnya, tetapi seiring dengan perkembangan tren budidaya udang windu mereka beralih ke jenis yang lebih menguntungkan ini ditambah lagi dengan dukungan dari pihak pemberi modal.

Demikian pula dengan pendatang dari etnis Bugis yang terkenal sebagai pelaut lebih memilih menjadi nelayan. Pendatang dari Jawa yang semula petani lebih memilih usaha di bidang pertanian dan perkebunan.

KOMPAS/YULVIANUS HARJONO

Sejumlah perajin mengerjakan cucuk selendang tapis, beberapa waktu lalu, di Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung. Tapis yang merupakan kerajinan khas Lampung kini menjadi sarana akulturasi dan pembauran karena dikerjakan warga Lampung dari beragam etnis dan latar belakang.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
77,44 (2020)

Angka Harapan Hidup 
71,37 tahun (2020)

Harapan Lama Sekolah 
14,64 tahun (2020)

Rata-rata Lama Sekolah 
10,93 tahun (2020)

Pengeluaran per Kapita 
Rp12,19 juta (2020)

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
8,79 persen (Agustus 2020)

Tingkat Kemiskinan
8,81 persen (Maret 2020)

Kesejahteraan

Pembangunan manusia di Kota Bandar Lampung dari tahun ke tahun menunjukkan kemajuan. Hal itu tecermin dari pencapaian indeks pembangunan manusia (IPM) sebesar 77,44 pada tahun 2020. Nilai IPM Kota Bandar Lampung tersebut masuk status “tinggi”. Dibandingkan kabupaten/kota di Provinsi Lampung, pencapaian IPM Kota Bandar Lampung itu terhitung paling tinggi.

Dari komponennya, umur harapan hidup sebesar 71,37 tahun. Di bidang pendidikan, harapan lama sekolah selama 14,64 tahun dan rata-rata lama sekolah selama 10,93 tahun. Sedangkan pengeluaran per kapita sebesar Rp12,19 juta.

Angka kemiskinan Kota Bandar Lampung pada tahun 2020 tercatat sebesar 8,81 persen atau sebanyak 93,74 ribu orang, meningkat 0,10 persen dibandingkan tahun 2019 sebesar 8,71 persen. Sedangkan angka pengangguran terbuka di kota ini meningkat 1,64 persen menjadi 8,79 persen pada 2020.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Buruh perempuan menyortir biji kopi kering jenis robusta di gudang pengolahan kopi di kawasan Way Laga, Bandar Lampung, Lampung, Kamis (8/2/2018). Saat masa panen tiba jumlah buruh perempuan yang bekerja lepas untuk menyortir kopi akan bertambah.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) 
Rp1,13 triliun (2020)

Dana Perimbangan 
Rp1,45 triliun (2020)

Pertumbuhan Ekonomi
-1,85 persen (2020)

PDRB per kapita
Rp55,27 juta/tahun (2020)

Inflasi
0,18 persen (Juni 2021)

Ekonomi

Kota Bandar Lampung terletak pada tempat yang strategis sebagai daerah transit kegiatan perekonomian antarpulau Sumatra dan pulau Jawa, sehingga menguntungkan bagi pertumbuhan dan pengembangan Kota Bandar Lampung sebagai pusat perdagangan, jasa, industri, dan pariwisata.

Produk domestik regional bruto (PDRB) Kota Bandar Lampung pada tahun 2020 mencapai Rp59,07 triliun. Kontributor utama perekonomian Kota Bandar Lampung adalah sektor industri pengolahan. Pada tahun 2020, sektor ini menyumbang senilai Rp12,39 triliun atau sekitar 20,97 persen dari total kegiatan ekonomi.

Kopi kering olahan menjadi subsektor industri yang paling dominan. Hasil bumi yang sering dijumpai dan diperdagangkan di Bandar Lampung, antara lain, kopi, lada, dan pisang. Kopi dari Lampung terutama jenis robusta sudah mampu menembus pasar internasional. Kopi tersebut dikirim dalam bentuk kering.

Selain industri pengolahan, sektor perdagangan besar dan eceran (reparasi mobil dan sepeda motor), serta transportasi dan pergudangan termasuk sektor yang berkontribusi besar terhadap PDRB Kota Bandar Lampung, yakni masing-masing 13,30 persen dan 13,34 persen.

Di sektor perdagangan, pada tahun 2020 di Bandar Lampung terdapat 33 pasar tradisional dan 31 pasar modern yang tersebar di 20 kecamatan.

Di sisi keuangan daerah, pada APBD tahun 2020, dari total pendapatan sebesar Rp3,0 triliun, kontribusi dari pendapatan asli daerah (PAD) senilai Rp1,13 triliun. Adapun dana perimbangan dari pemerintah Pusat sebesar Rp1,45 triliun dan pendapatan lain-lain sebesar Rp420 miliar.

KOMPAS/VINA OKTAVIA

Sejumlah penari dalam acara Peluncuran Kalender Wisata Provinsi Lampung 2020, Minggu (9/2/2020).

Di sektor pariwisata, ibu kota Provinsi Lampung ini adalah kota yang strategis bagi kunjungan wisata ke berbagai obyek wisata di wilayah itu. Kota ini dapat dicapai dalam 1,5 jam dari Bakauheni dan 30 menit dari Bandar Udara Radin Intan.

Kota ini memiliki beragam tempat wisata, mulai dari wisata alam, wisata budaya, maupun wisata buatan. Menurut BPS, tercatat ada 63 tempat wisata di kota ini, yang terdiri dari 10 wisata alam, 13 wisata budaya dan 40 wisata buatan.

Destinasi wisata yang terkenal di Bandar Lampung, antara lain kawasan Batu Putuk, Air Terjun Batu Putuk, Pantai Puri Gading, Taman Kupu-kupu Gita Persada, Taman Wisata Bumi Kedaton, Taman Rekreasi Pantai Duta Wisata, Taman Wisata Hutan Kera, dan Pulau Pasaran.

Adapun untuk wisata sejarah dan budaya, antara lain, terdapat Masjid Al Yaqin, salah satu masjid tertua di Bandar Lampung yang dibangun tahun 1923; Gereja Katedral Kristus Raja; Vihara Than Hin Bio; Makam Tubagus Makhdum, salah satu ulama yang menyiarkan Islam di Bandar Lampung dan sekitarnya pada abad 18; serta Museum Lampung yang memiliki 3.233 koleksi peninggalan sejarah, Hindu, Budha, dan Islam.

Untuk mendukung sektor wisata, Kota Bandar Lampung tercatat memiliki 118 hotel dan 792 restoran atau rumah makan.

KOMPAS/VINA OKTAVIA

Pie pisang yang dijual di salah satu gerai oleh-oleh di Kota Bandar Lampung, Lampung, Jumat (28/4/2017). Olahan berbahan dasar pisang dipadu dengan adonan pastry dan aneka toping ini banyak diminati sebagai oleh-oleh khas Lampung.

Referensi

Arsip Berita Kompas
  • “Kota Bandar Lampung *Otonomi”, Kompas, 03 Juli 2001, hlm. 08
  • “Rakyat Miskin Tambah Banyak *Otonomi”, Kompas, 03 Juli 2001, hlm. 08
  • “Melepas Jenuh di “Jawa Utara” *Wisata”, Kompas, 12 April 2003, hlm. 31
  • “Kota Bandar Lampung: Melestarikan Warisan Budaya”, Kompas, 27 Mei 2015, hlm. 22
Buku dan Jurnal
Aturan Pendukung
  • UU 22/1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri Didaerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri
  • UU Darurat 5/1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota Besar dalam Lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Selatan
  • UU 1/1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
  • UU 18/1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
  • UU 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
  • PP 3/1982 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Tanjung Karang-Teluk Betung

Editor
Topan Yuniarto