KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Petani menjemur tembakau di Desa Girirejo, Ngablak, Magelang, Jawa Tengah, Minggu (10/10/2021). Setelah dijemur selama sekitar tiga hari, tembakau yang telah dikeringkan laku dijual ke pengepul dengan harga berkisar Rp 40.000 per kilogram.
Fakta Singkat
- Tarif cukai rokok kembali mengalami kenaikan untuk dua tahun, yakni tahun 2023 dan 2024, mencapai rata-rata 10 persen pada berbagai golongan produk tembakau.
- Kenaikan tarif cukai didorong pada pertimbangan usaha menurunkan prevalensi perokok anak, kerugian kesehatan, dan kerugian ekonomi nasional dan rumah tangga yang besar.
- Pemerintah menargetkan kenaikan cukai rokok untuk menurunkan prevalensi perokok anak menjadi 8,7 persen pada 2024, di mana prevalensi saat 2021 mencapai 9 persen.
- Di masyarakat miskin kota, 12,21 persen ongkos rumah tangga dihabiskan untuk rokok. Sementara di masyarakat desa, jumlah tersebut berada pada level 11,63 persen.
- Dalam konsumsi yang demikian besar, konsumsi rokok hanya lebih kecil dari beras dan lebih besar daripada pangan dengan kandungan protein seperti tempe dan tahu.
- Pengeluaran untuk kesehatan yang terkait langsung dengan konsumsi rokok di Indonesia mencapai US$1,2 miliar per tahun. Sementara kerugian ekonomi tidak langsung mencapai US$6,8 miliar.
- Pada tahun 2021, total pengeluaran masyarakat Indonesia untuk merokok mencapai Rp365,7 triliun.
- Industri tembakau tidak berdampak baik pada petani dan buruh di dalamnya yang harus menghadapi tantangan cuaca, keterbatasan teknologi, hingga penyakit green tobacco sickness.
- Solusi bagi petani tembakau: pemerintah mengembangkan kualitas skill para petani dan buruh rokok serta melakukan pelatihan untuk mengembangkan keahlian.
Setelah terus ramai menimbulkan perdebatan di berbagai media dan kelompok masyarakat, pada Kamis (3/11/2022) wacana kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) resmi diumumkan pemerintah.
Kenaikan tarif cukai akan beragam sesuai golongannya. Untuk golongan yang paling umum, yakni sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek tangan (SKT), ditetapkan kenaikan rata-rata sebesar 10 persen untuk 2023 dan 2024 (Kompas, 4/11/2022, “Kilas Ekonomi: Tarif Cukai Hasil Tembakau Dinaikkan”).
Kenaikan ini dijelaskan langsung oleh Sri Mulyani dalam keterangan pers usai rapat terbatas terkait kebijakan cukai hasil tembakau tahun 2023 yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo pada hari yang sama, di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat. “Dalam keputusan hari ini, Presiden telah menyetujui untuk menaikkan cukai rokok sebesar 10 persen untuk tahun 2023 dan 2024,” kata Sri Mulyani.
Laman resmi Sekretariat Kabinet (setkab.go.id) melaporkan keterangan pers Sri Mulyani dan detail kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) ini. Dituliskan, penetapan kenaikan tarif CHT kali ini dititikberatkan pada tujuan menurunkan prevalensi perokok anak usia 10–18 tahun.
Pemerintah menargetkan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) akan mendorong penurunan jumlah perokok pada usia tersebut menjadi menjadi 8,7 persen sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020–2024.
Selain masalah anak-anak sebagai konsumen rokok, terdapat dua aspek lain yang menjadi bahan pertimbangan pemerintah. Pertama adalah konsumsi rokok yang justru menjadi komoditas utama kedua yang dikonsumsi rumah tangga miskin. Di masyarakat miskin kota, 12,21 persen ongkos rumah tangga dihabiskan untuk rokok. Sementara di masyarakat desa, jumlah tersebut berada pada level 11,63 persen. Kedua, adalah bahayanya rokok bagi kesehatan dan keberlanjutan bangsa. Di Indonesia, rokok telah menjadi pendorong utama bagi stunting dan kematian.
Oleh karena itu, sebagaimana disampaikan Sri Mulyani, kenaikan cukai rokok diharapkan dapat menurunkan keterjangkauan rokok di masyarakat. “Pada tahun-tahun sebelumnya, di mana kita menaikkan cukai rokok yang menyebabkan harga rokok meningkat, sehingga affordability atau keterjangkauan terhadap rokok juga akan makin menurun. Dengan demikian diharapkan konsumsinya akan menurun,” ucapnya.
Meski begitu, berbagai pertimbangan multi-dimensi tersebut tidak lantas dapat diterima begitu saja oleh masyarakat. Kanal media sosial dan pemberitaan media massa terus menunjukkan adanya polemik dan perdebatan terkait kenaikan tarif cukai rokok – bahkan telah terjadi jauh sebelum wacana ini diresmikan.
Dalam berbagai penolakan yang muncul, kelompok pro-rokok kerap mengajukan ragam argumentasi untuk menyanggah kebijakan ini. Salah satu yang kerap disampaikan adalah argumentasi bahwa kenaikan tarif CHT akan berdampak pada kesejahteraan dan pendapatan petani tembakau kecil. Narasi advokasi ini menjadi yang paling umum disampaikan oleh berbagai kalangan.
Artikel terkait
Definisi Cukai dan Pajak Rokok
Kenaikkan tarif cukai bukanlah sebuah kebijakan baru. Di Indonesia, bahkan dunia sekalipun, kebijakan cukai telah biasa dilakukan untuk mengontrol komoditas rokok. Namun, pada saat bersamaan, pemerintah juga tetap menarik pajak rokok. Untuk itu, perlu dipahami perbedaan atas cukai rokok dan pajak rokok di Indonesia.
Mengacu pada laman resmi Badan Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Barat (Bapenda.Jabarprov.go.id), konsep atas pajak rokok mengacu pada pungutan atas cukai rokok yang oleh pemerintah daerah yang berwenang bersamaan dengan pemungutan cukai rokok. Besaran pajak rokok sendiri ditetapkan 10 persen dari nilai cukai.
Dengan ketentutan tersebut, maka Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2009 menetapkan bahwa objek pajak rokok adalah konsumsi rokok, termasuk sigaret, cerutu, dan rokok daun. Pemberlakuan pajak rokok dikenakan langsung kepada pengguna objek pajak (konsumen rokok), atau disebut juga subjek pajak rokok. Sementara wajib pajak rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai.
Nantinya, penerimaan pajak rokok akan dialokasikan paling sedikit 50 persen untuk alokasi terhadap pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang. Penegakan hukum dalam koridor industri rokok terutama ditujukan untuk mengatasi pererdaran rokok ilegal. Kehadiran pajak rokok menjadi modal untuk pemerintah mengoptimalkan kesehatan masyarakat yang lebih baik.
Sementara itu, cukai rokok adalah biaya pungutan resmi yang secara spesifik dikenakan kepada barang dengan karakteristik khusus, terutama barang impor dan barang konsumsi. Lembaga konsultan pajak Directorate of Defense Trade Controls (DDTC) memetakan perbedaan cukai rokok dengan pajak rokok di Indonesia. Yang menjadi objek cukai adalah berbagai hasil tembakau, terutama produk-produk rokok. Oleh karena itu, baik dikonsumsi maupun tidak, produk rokok sendiri sudah dikenakan tarif cukai.
Untuk subjek cukai sendiri adalah pengusaha pabrik/importir, sebagai pihak yang memproduksi maupun mendistribusikan rokok sebagai objek pajak. Pihak ini jugalah yang lantas menjadi wajib pajak. Meski begitu, dalam kelanjutannya, pihak pabrik maupun importir rokok dapat mengenakan beban biaya ini pada konsumen atau pembeli rokok.
Dengan nilai operasional produksi maupun distribusi rokok yang bertambah, maka pihak wajib pajak akan menaikkan harga jual daripada rokok itu sendiri. Pada titik inilah, kenaikan cukai rokok lantas dapat berimbas pada kenaikan harga rokok – yang berujung pada penolakan masif masyarakat.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pekerja menjemur tembakau di Desa Banyuurip, Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, Senin (26/8/2013). Cuaca cerah memungkinkan para petani menjemur rajangan tembakau dalam waktu sehari dan mengurangi risiko pembusukan sehingga hasil panen mereka maksimal. Tembakau tersebut mereka jual kepada pengepul dengan harga berkisar Rp 40.000-Rp 50.000 per kilogram.
Kenaikan Cukai
Meski kebijakan menaikkan tarif cukai telah beberapa kali dilakukan oleh pemerintah yang juga selalu memperoleh reaksi penolakan dari masyarakat, namun terdapat perbedaan detail kebijakan dari yang pernah dilakukan sebelumnya. Perbedaan tersebut terutama terletak pada besaran kenaikan tarif.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, masing-masing golongan dan jenis rokok sebagai produk turunan dari tembakau, memiliki kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang beragam. Angka 10 persen sendiri merupakan rata-rata kenaikan tarif cukai untuk golongan rokok yang paling umum. Untuk tarif cukai jenis sigaret kretek mesin (SKM), akan meningkat rata-rata sebesar 11,5–11,75 persen. Sementara tarif cukai jenis sigaret putih mesin (SPM) akan naik 11–12 persen dan tarif CHT jenis sigaret kretek tangan (SKT) mengalami kenaikan rata-rata lima persen.
Sementara itu, golongan rokok elektronik dan hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) juga akan mengalami kenaikan tarif CHT. Untuk golongan rokok yang pertama disebutkan mengalami kenaikkan 15 persen hingga tahun 2027 mendatang. Sementara untuk kenaikan tarif cukai pada golongan HTPL adalah sebesar enam persen. Untuk kedua tarif cukai ini, Sri Mulyani menambahkan, “Ini berlaku selama setiap tahun naik 15 persen selama lima tahun ke depan.”
Dibandingkan dengan kenaikan tarif cukai rokok pada waktu-waktu sebelumnya, kenaikan untuk tahun 2023 nanti masihlah lebih kecil. Kenaikan tarif cukai tertinggi dalam satu dekade terakhir terjadi pada 2020. Pada tahun tersebut, kenaikan tarif cukai rokok mencapai 23 persen atau lebih dari dua kali lipat kenaikan pada tahun 2023 nanti.
Sebelum itu, kenaikan tarif cukai rokok sendiri terakhir ditetapakan oleh pemerintah pada Desember 2021. Kenaikan tarif tersebut mencapai 12 persen dan mulai berlaku sejak hari pertama pada tahun 2022. Kenaikan ini lantas berkontribusi pada penurunan produksi rokok hingga tiga persen, dari 320,1 miliar batang menjadi 310,4 miliar batang. Kenaikan tarif cukai ini terbukti membuat harga jual rokok juga naik.
Sementara dalam 10 tahun terakhir, kenaikan cukai terendah terjadi pada tahun 2013. Kenaikan tarif pada tahun tersebut berkisar pada angka 8,5 persen. Kebijakan menaikkan tarif cukai terbukti menjadi cara utama bagi pemerintah untuk memperoleh peningkatan pendapatan negara. Dalam 10 tahun terakhir, hanya dua kali pemerintah tidak menaikkan tarif cukai, yakni pada 2014 dan 2019.
Sumber: Badan Pusat Statistik
Selama tahun 2015 hingga 2021, Kompas (15/1/2022, “Kenaikan Cukai Tak Cukup Kendalikan Perokok”) mencatat bahwa pemerintah telah menaikkan cukai rokok dengan rata-rata 12,3 persen tiap tahunnya. Kenaikan demikian nyatanya mampu berdampak signifikan pada penerimaan negara. Pada 2015, dengan kenaikan tarif cukai sebesar 8,72 persen, penerimaan negara mencapai setidaknya Rp139,5 triliun. Angka tersebut lantas meroket pesat ketika terjadi kenaikan cukai tertinggi pada 2020, dengan mencapai Rp179,8 triliun.
Alasan Kenaikan Cukai Rokok
Kenaikan tarif cukai rokok untuk 2023 dan 2024 didasarkan pada tiga alasan utama. Sebagaimana disampaikan Sri Mulyani, pengurangan jumlah perokok anak dengan target pada RPJM menjadi latar belakang yang utama. Berikutnya, terdapat alasan akan dampak rokok pada kesehatan, yang dapat berdampak pada kualitas SDM manusia Indonesia, dan alasan kerugian ekonomi pada skala rumah tangga bahkan nasional.
1. Tingginya Perokok Anak
Perokok anak menjadi perhatian utama yang mendorong kenaikan cukai. Pasalnya, industri rokok telah begitu merasuki tumbuh kembang anak Indonesia hingga mendorong mereka sebagai bagian dari konsumennya. Situasi perokok anak di Indonesia begitu mengkhawatirkan, hingga negara ini mendapat julukan baby smoker country.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada tahun 2022, sebanyak 3,44 persen perokok di Indonesia berada pada usia 10 sampai dengan 18 tahun. Pada tahun tersebut, dari seluruh anak usia 16–18 tahun, sebanyak 8,92 persen telah merokok. Selain itu, tren data persentase perokok anak juga belum menunjukkan penurunan yang signifikan.
Tren perokok anak ini didorong oleh tingginya jumlah perokok pemula yang mulai merokok pada usia muda. Data Global Youth Tobacco Survey menyebutkan bahwa tiga dari empat orang Indonesia mulai merokok di usia kurang dari 20 tahun.
Sementara Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan bahwa lebih dari 30 persen anak Indonesia telah mulai merokok sebelum usia 10 tahun. Dalam artikel yang dipublikasikan pada 2017 ini, diungkapkan setidaknya angka persentase tersebut mencapai jumlah 20 juta anak.
Infografik: Persentase Perokok Usia 10-18 Tahun
Selain itu, Kementerian Kesehatan turut mempublikasikan data terkait prevalensi perokok anak pada populasi usia 10–18 tahun di Indonesia. Melalui laman resminya (kemkes.go.id), dipaparkan bahwa prevalensi perokok anak justru mengalami kenaikkan setiap tahunnya. Data prevalensi demikian menunjukkan kontradiksi dari data BPS yang menggunakan populasi perokok di Indonesia secara keseluruhan.
Sumber: Kementerian Kesehatan
Pada 2013, prevalensi perokok anak mencapai 7,2 persen. Lantas pada tahun 2016, angka tersebut naik menjadi 8,80 persen dan 9,1 persen pada 2018. Pada tahun 2019, angka tersebut sudah mencapai 10,7 persen dan hanya turun tipis pada 2021 menjadi 9 persen. Kementerian Kesehatan memproyeksikkan apabila tidak segera dikendalikan, maka prevalensi perokok anak akan mencapai 16 persen pada tahun 2030.
Dari data tersebut, kemudian pemerintah melalui RPJMN 2020–2024 menetapkan target prevalensi 8,7 persen. Angka tersebut dinilai sebagai capaian realistis sebagai target untuk mulai mengintervensi pasar rokok. Angka inilah yang juga dikejar Sri Mulyani lewat kebijakan kenaikan tarif CHT pada 2023 dan 2024.
Namun, target tersebut dinilai begitu konservatif, apalagi bila mengingat pentingnya menjaga kualitas “Generasi Emas Indonesia” pada 2045 nantinya. Sebelumnya, pemerintah sendiri memang telah menetapkan target penurunan serupa dalam RPJMN 2015–2019. Sayangnya, target tersebut berujung pada kegagalan yang begitu jauh dari kata tercapai.
Prevelensi perokok anak dicanangkan untuk turun hingga 5,4 persen pada 2019. Namun, alih-alih tercapai, angka prevalensi perokok anak justru terus melonjak hingga 2019, dan turun tipis menjadi 9 persen pada 2021 (Kompas, 29/9/2022, “Rokok Ancam Generasi Emas”).
2. Faktor Kesehatan dan Kualitas SDM
Telah menjadi pengetahuan umum bahwa sejatinya, merokok memberikan beragam masalah kesehatan. Masalah tersebut tidak hanya berdampak bagi konsumennya, namun juga bagi perokok pasif sebagai korban asap rokok. Hal ini disampaikan oleh Kementerian Kesehatan pada 2018 dalam sebuah artikel WHO, “Rokok Tetap Jadi Sebab Utama Kematian dan Penyakit”.
Sebagaimana dipaparkan, kelima penyebab utama kematian di Indonesia terkait dengan produk tembakau. Kelimanya adalah penyakit jantung iskemik, penyakit serebrovaskular, tuberkulosis, diabetes, dan penyakit pernapasan kronis. Tak hanya itu, morbiditas dari penyakit terkait merokok menyumbang lebih dari 21 persen dari semua kasus penyakit kronis di negara ini.
Selain itu, Kementerian Kesehatan juga mengutip data yang dipaparkan oleh WHO bahwa penggunaan tembakau juga membantu memicu epidemi tuberkulosis global, dan memperburuk masalah seperti penyakit jiwa, infeksi HIV, dan penyalahgunaan alkohol.
3. Ekonomi Nasional dan Rumah Tangga
Lebih lanjut, baik perokok aktif maupun pasif, yang mengalami penyakit yang ditimbulkan rokok, menjangkau berbagai layanan kesehatan yang telah disediakan pemerintah, terutama sekali subsidi jaminan kesehatan. Oleh karenanya, berbagai fasilitas kesehatan pun mengalami dampak baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyediaan subsidi pun menjadi tercurah pada hal yang seharusnya dapat dihindari.
Laporan InfoBPJS Kesehatan Edisi 104 tahun 2021 menuliskan bahwa rokok menjadi salah satu faktor utama penyakit katastropik. Penyakit jenis ini termasuk dalam kategori penyakit tidak menular (PTM) yang sesungguhnya dapat dicegah dengan perilaku hidup sehat. Yang termasuk dalam pengelompokan katastropik pada Program JKN, antara lain, penyakit jantung, gagal ginjal, kanker, stroke, sirosis hati, thalasemia, leukimia, dan hemofilia.
Berdasarkan data biaya jaminan pelayanan kesehatan pada tahun 2016 sampai 2020, biaya pelayanan kesehatan mencapai Rp374,86 triliun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 83,31 persennya adalah biaya layanan rujukan untuk penyakit katastropik. Penyakit katastropik merupakan penyakit yang membutuhkan perawatan medis yang lama dan berbiaya tinggi.
Tak hanya menelan biaya terbesar, penyakit ini juga menjadi salah satu kelompok penyakit terbesar yang ditanggung Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
Selain memakan porsi besar bagi alokasi jaminan kesehatan, rokok juga berdampak signifikan pada ekonomi nasional. Menurut hitungan biaya tembakau, kerugian ekonomi di Indonesia akibat kematian dini dan penyakit yang ditimbulkan rokok mencapai Rp596 triliun atau seperempat dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dampak langsung lainnya adalah terus bertambahnya pasien penyakit paru. Bahkan, jumlah pasien paru dengan usia muda kian meningkat. Hal ini disampaikan oleh dokter spesialis penyakit paru dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSUP Persahabatan Sita Andarini mengenai jumlah pasien kanker paru yang berobat ke RSUP Persahabatan.
Situasi telah berbeda dengan waktu 10 tahun lalu, di mana rata-rata pasien kanker paru berusia 60 tahun. Kini, sebagaimana dipaparkan Sita, banyak pasien berusia 30–40 tahun. “Dari kunjungan yang ada, 85 persen didiagnosis sudah stadium lanjut. Deteksi dini kanker paru sulit. Upaya pencegahan dengan tak merokok jadi cara paling efektif,” kata Andarini.
Perhitungan dampak yang ditimbulkan rokok terhadap kematian manusia juga ditunjukkan oleh survei Global Youth Tobacco Survey 2019 yang dirilis WHO. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa 225.700 orang Indonesia meninggal tiap tahunnya akibat rokok atau penyakit lain yang berkaitan dengan asap rokok. Bagi perokok pasif seperti bayi, paparan asap rokok juga bisa menyebabkan sindrom kematian mendadak (Kompas, 19/6/2019, “Perokok Pemula Bertambah”).
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pekerja mengatur tembakau yang telah dikeringkan selama 24 hari di los (gudang pengeringan) di Desa Sumyang, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Selasa (23/8/2011). Bahan baku cerutu itu akan diproses lebih lanjut sebelum diekspor.
Peneliti Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine, turut memaparkan ongkos kerugian nasional yang diberikan oleh industri rokok. Dalam laporan “Sebuah Perspektif Kebijakan terhadap Perkebunan Tembakau dan Kesehatan Masyarakat di Indonesia”, ia menuliskan bahwa industri rokok bertanggung jawab atas munculnya kerugian ekonomi yang sangat besar.
Pengeluaran untuk kesehatan yang terkait langsung dengan konsumsi rokok di Indonesia mencapai kisaran US$1,2 miliar per tahun. Sementara untuk kerugian ekonomi tidak langsung mencapai US$6,8 miliar.
Tak hanya berdampak pada ekonomi nasional, konsumsi rokok juga memberikan dampak buruk pada ekonomi di level rumah tangga. Menurut ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, konsumsi rokok kian membawa masyarakat ke garis kemiskinan.
Faisal mengutip data BPS pada Maret 2022 yang menunjukkan bahwa konsumsi rokok kretek filter di perkotaan dan perdesaan berkontribusi terhadap garis kemiskinan, masing-masing sebesar 12,21 persen dan 11,63 persen. Data ini menjadikan rokok sebagai komoditas terbesar kedua penyumbang kemiskinan setelah beras.
“Pada 2019, ada 52,8 persen masyarakat Indonesia dalam kondisi insecure (tidak aman), yaitu miskin, nyaris miskin, dan rentan miskin. Bila konsumsi rokok dibiarkan meningkat, dikhawatirkan masyarakat masuk garis kemiskinan,” katanya (Kompas.id, 4/8/2022, “Negara Kehilangan Rp 108,4 Triliun akibat Cukai Rokok Tidak Optimal”).
Dengan konsumsi rokok yang demikian besar, mengalahkan kebutuhan yang lebih utama bagi rumah tangga. Meski masih berada di bawah beras, namun konsumsi rokok lebih tinggi dibandingkan pengeluaran untuk protein seperti daging, telur, tempe, serta ikan.
Siaran pers Cukai Hasil Tembakau untuk Sumber Daya Manusia Sehat dan Produktif oleh Kementerian Keuangan mengutip laporan Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia. Dipaparkan bahwa 1 persen peningkatan pengeluaran untuk rokok meningkatkan kemungkinan rumah tangga menjadi miskin sebesar 6 persen.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), jumlah perokok pada 2019 adalah 57,2 juta orang. Pada 2021, angka tersebut bertambah sebanyak 2,1 juta orang menjadi 59,3 juta perokok. Dengan tambahan tersebut, pengeluaran masyarakat untuk rokok pun ikut meningkat, dari Rp344,4 triliun menjadi Rp365,7 triliun.
Kerugian-kerugian yang ada ini tidak sebanding dengan pendapatan yang dihasilkan oleh industri rokok. Situasi tersebut dipaparkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Dalam Negeri Peneliti (litbang.kemendagri.go.id). Mengutip Soewarta Kosen selaku peneliti dari Kementerian Kesehatan, dipaparkan bahwa kerugian makro-ekonomi akibat rokok pada 2015 saja mencapai Rp 596,61 triliun atau 45,9 miliar dolar Amerika Serikat.
KOMPAS/AUFRIDA WISMI WARASTI
Para pekerja menyaring daun Tembakau Deli sebagai bagian dalam proses penyortiran daun di Gudang Fermentasi dan Sortir Tembakau Deli Gudang Klumpang, PT Perkebunan Nusantara II, di Deli Serdang, Senin (18/3/2013). Dari 12 Kebun dan Gudang yang awalnya dimiliki PT PN II, kini tinggal tiga yang bertahan.
“Kerugian itu termasuk untuk belanja rokok, kerugian masa produktif karena morbiditas, disabilitas dan kematian dini, dan belanja karena penyakit akibat tembakau,” tulis Soewarta. Paparan Soewarta ini dimuat dalam buku Health and Economic Cost of Tobacco in Indonesia yang diluncurkan Kementerian Kesehatan.
Soewarta mengatakan konsumsi rokok rata-rata orang Indonesia pada tahun 2015 tersebut mencapai 12,3 batang per hari atau 369 batang per bulan. Bila harga rokok rata-rata diasumsikan Rp700 per batang, belanja per kapita untuk rokok dalam satu bulan mencapai Rp258.300 dan Rp3.099.600 dalam setahun. Diperkirakan pada 2015 total belanja seluruh orang Indonesia untuk membeli rokok mencapai Rp208,83 triliun.
Data tersebut lantas disandingkan dengan belanja kesehatan sebagai dampak dari penyakit yang ditimbulkan rokok. Belanja kesehatan untuk rawat inap karena penyakit akibat tembakau pada tahun 2015 mencapai Rp13,67 triliun. Angka ini didasarkan pada asumsi tarif standar asuransi kesehatan nasional pada rumah sakit kelas B.
Sementara belanja kesehatan untuk rawat jalan karena penyakit akibat tembakau pada 2015, dengan asumsi hanya satu kali kunjungan per kasus, mencapai Rp53,44 miliar.
“Tembakau adalah satu-satunya penyebab kematian yang dapat dicegah. Namun, konsumsi tembakau di Indonesia meningkat pesat dalam 30 tahun terakhir karena beberapa faktor,” katanya. Faktor-faktor penyebab tersebut antara lain pertumbuhan penduduk, harga rokok yang relatif murah, pemasaran rokok yang luas dan intensif, dan pengetahuan masyarakat yang rendah.
Tak hanya pada anak-anak, pada 2021 WHO juga melaporkan bahwa tingkat prevalensi perokok dewasa masih sangat tinggi. Pada 2020 prevalensi perokok dewasa di Indonesia mencapai 37,6 persen, tertinggi kelima di dunia. Bahkan prevalensi perokok laki-laki dewasa Indonesia menempati posisi tertinggi di dunia, yakni 71,3 persen. Dengan demikian, mayoritas besar dari laki-laki dewasa di Indonesia adalah perokok (Kompas, 29/9/2022, “Rokok Ancam Generasi Emas”).
Tak hanya pada bidang ekonomi, dampak rokok juga berpengaruh pada kerugian kesehatan dan kematian. Siaran pers “Cukai Hasil Tembakau untuk Sumber Daya Manusia Sehat dan Produktif” oleh Kementerian Keuangan memaparkan bahwa rokok telah menjadi faktor kematian terbesar kedua di Indonesia pada 2019. Selain itu, konsumsi rokok juga meningkatkan risiko stunting dan memperparah dampak kesehatan akibat Covid-19.
Untuk itu, pemerintah pun harus menggenjot peningkatan belanja untuk sektor kesehatan hingga setidaknya 5 persen. Peningkatan tersebut dilakukan baik pada upaya-upaya pencegahan, pengobatan, maupun peningkatan kualitas dan kapasitas fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan. Menyadari upaya pengobatan pada umumnya lebih mahal, upaya terbaik yang dapat dilakukan adalah pencegahan, lewat intervensi untuk untuk mengurangi konsumsi rokok yang kian mengkhawatirkan.
Untuk itu, kenaikan tarif cukai menjadi salah satu cara intervensi tersebut. Sri Mulyani menyampaikan bahwa kenaikan tarif CHT akan mendorong prevalensi merokok orang dewasa turun dari 33,2 persen pada 2022 menjadi 32,26 pada 2023.
Dari sisi penerimaan negara dari CHT, kenaikan tarif juga diestimasikan akan naik dan mencapai angka Rp193,53 triliun. Nantinya, hasil pungutan cukai tersebut akan dibagikan kembali ke daerah lewat skema Dana Bagi Hasil (DBH). Adapun 50 persen alokasi DBH akan diberikan untuk kesejahteraan petani atau buruh tani, 25 persen untuk kesehatan, dan 25 persen untuk penegakan hukum (secara khusus penegakan rokok ilegal).
Dokumen terkait
Nasib Petani Tembakau
Dengan berbagai kepentingan terhadap kontrol konsumsi rokok, masih muncul perlawanan dan sanggahan dari berbagai kelompok kepentingan. Mereka menolak kenaikan tarif cukai rokok dengan membawa narasi nasib kelompok kecil, terutama petani rokok dan buruh pabrik rokok – yang dinilai akan kian menderita dan menjadi korban pemerintah dari kenaikan cukai.
Salah satu pihak yang menyampaikan narasi ini adalah Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Komarudin. Sebagaimana dikutip dari laman resmi DPR (dpr.go.id), Puteri mempertanyakan keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai rokok untuk dua tahun ke depan (2023 dan 2024).
Puteri menghimbau pemerintah untuk berhati-hati dalam menetukan kenaikan tarif cukai rokok. “Mengingat kenaikan tarif akan berdampak pada petani tembakau dan pekerja pabrik rokok, utamanya industri rokok sigaret kretek tangan yang mayoritas pekerjanya adalah perempuan,” katanya.
Di media sosial, keputusan kenaikan tarif CHT rokok juga ramai diperbincangkan. Litbang Kompas memantau isu kenaikan tarif cukai rokok di media massa semenjak keputusan tersebut disampaikan selama empat hari (4–7 November 2022). Kata kunci “rokok” pun diperbincangkan 38.000 kali dengan interaksi 203.300 pengguna media sosial.
Di berbagai platform media sosial, hadir akun-akun pegiat rokok tembakau yang aktif mempromosikan ketidaksetujuan terhadap kenaikan cukai rokok. Narasi petani tembakau dan buruh pabrok rokok dilengkapi dengan berbagai tagar sebagai bentuk ketidaksetujuan kenaikan ini.
Pantauan Kompas menemukan bahwa sebagian besar pengguna tagar adalah akun-akun buzzer atau bot serta akun-akun oposisi pemerintah (Kompas, 7/11/2022, “Memahami Alasan Kenaikan Cukai Rokok”). Akun-aku pegiat ini menjadikan nasib petani dan buruh pabrik rokok sebagai justifikasi untuk melegalkan konsumsi rokok dan menolak kenaikan tarif cukainya.
Meski begitu, berbagai laporan dan tulisan akademik menunjukkan bahwa narasi tersebut tidaklah benar. Salah satu sumber yang mematahkan argumen advokasi petani tembakau adalah makalah kebijakan lembaga riset oleh Pingkan Audrine yang memaparkan dampak sesungguhnya dari industri rokok.
Ia menjelaskan bahwa bagaimanapun juga, industri tembakau sendiri memberikan kerugian bagi para petani dan buruh di dalamnya. Untuk itu, pemerintah justru harus mendorong kelompok rentan tersebut untuk beralih lapangan kerja. Kondisi demikian tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga negara-negara lainnya. Di negara lain tersebut, banyak petani kecil telah meninggalkan perkebunan tembakau dan beralih ke tanaman lain.
Alasan utama yang disampaikan Audrine adalah lahan pertanian tembakau yang tergolong rawan. Situasi iklim tropis Indonesia kurang cocok untuk menanam tembakau. Kehadiran musim muson dan pergantian El Niña dan El Niño merusak produktivitas tanaman tembakau yang hanya dapat tumbuh saat kemarau.
Kondisi demikian memperburuk situasi petani yang sudah kekurangan kompetensi, infrastruktur, dan teknologi. Dampaknya, kerugian gagal panen menjadi acap dan angka panen rata-rata sangatlah sedikit.
Hal serupa juga disampaikan dalam laporan “The Economics of Tobacco Farming in Indonesia: Health, Population, and Nutrition Global Practice” yang diterbitkan oleh World Bank Group. Laporan ini mencapai kesimpulan bahwa industri tembakau tidaklah menguntungkan bagi mayoritas petani.
Hal ini ditunjukkan dengan kian meluasnya kemiskinan di kalangan petani tembakau (bahkan lebih besar dari rata-rata kemiskinan nasional). Dalam perbandingan yang dilakukan, laporan tersebut menyampaikan bahwa mantan petani tembakau justru memiliki rata-rata situasi ekonomi yang lebih baik.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Petani memanen tembakau di Dusun Tampah, Desa Mekarsari, Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (11/10/2014). Harga tembakau di tingkat petani naik dari Rp 150.000 pe kuintak menjadi Rp 200.000 per kuintal. Mereka menjual tembakau kepada pengepul untuk dijual kembali ke pabrik rokok.
Tak hanya secara ekonomi, para pekerja yang bergelut pada bidang produksi rokok juga memiliki ancaman kesehatan, yakni penyakit green tobacco sickness. Penderitanya akan mengalami gejala seperti sakit kepala, kram perut, kesulitan bernapas, hingga fluktuasi tekanan darah. Hal demikian dapat terjadi sebagai akibat yang menyebabkan penyerapan nikotin oleh kulit pada petani tembakau dan pekerja pertanian, terutama ketika bersentuhan dengan daun tembakau hijau selama proses penanaman dan pemanenan.
Meski begitu, harus diakui bahwa menaikkan tarif cukai rokok akan berdampak pada menurunnya produksi volume tembakau para petani. Kebijakan demikian akan begitu berdampak pada industri yang padat karya seperti produksi rokok. Padat karya dalam hal ini ditunjukkan dari jumlah total tenaga kerja yang diserap oleh industri rokok.
Data Kementerian Perindustrian pada 2019 menunjukkan bahwa total serapan tenaga kerja mencapai 5,98 juta orang, dengan 4,28 juta di sektor manufaktur dan distribusi, serta sisa 1,7 juta di sektor perkebunan.
Dampak terhadap menurunnya produksi tembakau ditunjukkan secara nyata setelah kenaikan tarif cukai rokok pada awal 2022 lalu. Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia memperkirakan, serapan tembakau pada tahun 2022 hanya mampu mencapai 180.000 ton, turun sekitar 30.000 ton dibandingkan dengan tahun lalu sebelum kenaikan cukai.
Selain itu, data dari Kementerian Keuangan juga memproyeksikan bahwa kenaikan tarif CHT di 2022 berdampak pada penurunan produksi rokok sebesar 3 persen. Tepatnya, dari 320,1 miliar batang menjadi 310,4 miliar batang. Oleh karena itu, dapat dipastikan serapan tembakau petani akan merosot seiring kenaikan tarif cukai.
Meski begitu, konsekuensi pengurangan produksi maupun serapan tenaga kerja di industri tembakau memang tidak bisa dihindari, apalagi jika memang pemerintah memiliki komitment untuk memangkas prevalensi perokok di Indonesia.
Oleh karena itu, jalan keluar utama dari hal ini adalah dengan pertama-tama pemerintah memperkuat pengembangan sumber daya manusia di sektor industri rokok. Selain itu, yang kedua adalah melakukan upaya pelatihan agar para pekerja di sektor tembakau memiliki keahlian yang membuat mereka dapat terserap di sektor manufaktur lain.
Kedua jalan keluar tersebut perlu dilakukan untuk mendukung penurunan prevalensi perokok sekaligus membantu para pekerja yang telah terjebak di industri rokok. Sembari itu, pemerintah harus mempertahankan komitmen dalam mengendalikan cukai rokok dan memperluas lapangan pekerjaan untuk menjaga tingkat permintaan industri yang padat karya (Kompas, 22/12/2021, “Dua Wajah Cukai Rokok”).
Bagaimanapun, dengan alasan yang telah diberikan, kenaikan tarif cukai menjadi sumber pendanaan yang penting. Lewat kenaikan ini, pemerintah turut dapat meningkatkan dukungan di bidang kesehatan yang bersifat preventif maupun kuratif rehabilitatif untuk berbagai dampak rokok, prevalensi stunting, dan penanganan Covid-19.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Petani Panen Tembakau Petani memanen tembakau jenis grompol di Desa Margoagung, Seyegan, Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (2/9/2014). Hujan yang jarang turun membuat tembakau tumbuh maksimal sehingga dapat dipetik hingga enam kali dalam satu musim tanam. Harga jual tembakau itu ke pengepul saat ini sekitar Rp 40.000 per kilogram.
Artikel terkait
Selain itu, penggunaan CHT dialokasikan bagi kesejahteraan masyarakat. Secara khusus, alokasi ini dilakukan untuk mengembalikannya pada kesejahteraan buruh tani tembakau, buruh pabrik rokok, atau petani tembakau yang merupakan stakeholders yang telah memberikan kontribusi terkait penerimaan CHT.
Hal tersebut disampaikan oleh Hendratmojo Bagus Hudoro selaku Direktur Tanaman Semusim dan Rempah di Kementerian Pertanian dalam webinar “Sosialisasi Permenkeu Rincian DBH CHT Terbaru untuk Kesehatan Masyarakat dan Kesejahteraan Petani” oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia.
Dalam sesinya, Bagus menyampaikan bahwa perhitungan alokasi tersebut menjadi tanggung jawab Kementerian Pertanian. Secara rinci, perhitungan pemanfaatan CHT termasuk 15 persen untuk meningkatkan kesejahteraan petani tembakau dan 35 persen untuk tenaga kerja di industri tembakau atau buruh tani.
Hingga 2021, besaran dana 15 persen tersebut telah dialokasikan untuk pada kegiatan pengelolaan pasar panen, dukungan sarana produksi, penyediaan sarana prasarana pascapanen, serta pengembangan diversifikasi produk. Sementara, 35 persen alokasi dana CHT telah secara nyata diberikan kembali pada para tenaga kerja dalam bentuk asuransi kesehatan dan subsidi harga. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- “Perokok Pemula Bertambah”. Kompas, 19 Juni 2022, Hlm 10.
- “Dua Wajah Cukai Rokok”. Kompas, 22 Desember 2022, Hlm 9.
- “Kenaikan Cukai Tak Cukup Kendalikan Perokok”. Kompas, 15 Januari 2022, Hlm E.
- “Kilas Ekonomi: Tarif Cukai Hasil Tembakau Dinaikkan”. Kompas, 4 November 2022, Hlm 10.
- “Memahami Alasan Kenaikan Cukai Rokok”. Kompas, 7 November 2022, Hlm A.
- “Rokok Ancam Generasi Emas”. Kompas, 29 September 2022, Hlm 7.
- “Negara Kehilangan Rp108,4 Triliun akibat Cukai Rokok Tidak Optimal”. 4 Agustus 2022. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2022/08/03/negara-kehilangan-rp-1084-triliun-akibat-cukai-rokok-tidak-optimal
- Audrine, P. 2020. “Sebuah Perspektif Kebijakan terhadap Perkebunan Tembakau dan Kesehatan Masyarakat di Indonesia.” Jakarta: Center for Indonesian Policy Studies.
- Kementerian Keuangan. 2021. “Cukai Hasil Tembakau untuk Sumber Daya Manusia Sehat dan Produktif”. Siaran Pers.
- Badan Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Barat (Bapenda Jabar). (2021). Pajak Rokok. Diambil kembali dari bapenda.jabarprov.go.id: https://bapenda.jabarprov.go.id/pajak-rokok/#tab-id-2
- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. (2021). Info BPJS Kesehatan: Penyakit Katastropik Berbiaya Mahal Tetap Dijamin Program JKN-KIS. Jakarta: Humas BPJS Kesehatan.
- Directorate of Defense Trade Controls (DDTC). (2006). Perbedaan Cukai Rokok dan Pajak Rokok. Diambil kembali dari ddtc-cdn1.sgp1.digitaloceanspaces.com: https://ddtc-cdn1.sgp1.digitaloceanspaces.com/ori/200610073120infografispajakrokokdancukairokokrevisi.jpg
- Divisi Humas, Sekretariat Kabinet Repbulik Indonesia. (2022, November 3). Kendalikan Bahaya Merokok, Pemerintah Naikkan Cukai Hasil Tembakau. Diambil kembali dari setkab.go.id: https://setkab.go.id/kendalikan-bahaya-merokok-pemerintah-naikkan-cukai-hasil-tembakau/
- Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. (2021, Juli 10). Peningkatan Tarif Cukai Rokok Dapat Menambah Dana Kesejahteraan Petani Tembakau. Diambil kembali dari feb.ui.ac.id: https://feb.ui.ac.id/2021/07/10/peningkatan-tarif-cukai-rokok-dapat-menambah-dana-kesejahteraan-petani-tembakau/
- Kementerian Dalam Negeri. (2017, November 22). Peneliti Sebut Kerugian Akibat Rokok Capai Rp 596,61 Triliun. Diambil kembali dari litbang.kemendagri.go.id: https://litbang.kemendagri.go.id/website/peneliti-sebut-kerugian-akibat-rokok-capai-rp-59661-triliun/
- Kementerian Kesehatan. (2020, Mei 31). Peringatan HTTS 2020 : Cegah Anak dan Remaja Indonesia dari ”Bujukan” Rokok dan Penularan COVID-19. Diambil kembali dari kemkes.go.id: https://www.kemkes.go.id/article/view/20053100002/peringatan-htts-2020-cegah-anak-dan-remaja-indonesia-dari-bujukan-rokok-dan-penularan-covid-19.html#:~:text=Hal%20ini%20dibuktikan%20dengan%20meningkatnya,Riset%20Kesehatan%20Dasar%20(Riskesdas).
- Komisi XI, Dewan Perwakilan Rakyat. (2022, November 9). Kemenkeu dan Komisi XI Perlu Segera Lakukan Pembahasan Mengenai Kenaikan Tarif Cukai Rokok. Diambil kembali dari dpr.go.id: https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/41641/t/Kemenkeu+dan+Komisi+XI+Perlu+Segera+Lakukan+Pembahasan+Mengenai+Kenaikan+Tarif+Cukai+Rokok