KOMPAS/RIZA FATHONI
Peringatan Bahaya Merokok. Tulisan peringatan bahaya merokok kendaraan di lingkungan kantor Kementerian Kesehatan RI, Jakarta, Jumat (30/11/2018). Hasil studi beban penyakit di Indonesia 1990-2016 yang sudah dipublikasikan dalam jurnal the Lancet Juni 2018, menunjukkan, terdapat beberapa penyakit terkait rokok yang dalam satu dekade terakhir menempati 10 besar penyebab kematian di Indonesia, yakni stroke, penyakit jantung, dan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).
Fakta Singkat
- Hari Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Sedunia merupakan inisiasi lembaga internasional Global Initiative Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) bekerja sama dengan berbagai profesional, organisasi medis, dan masyarakat di lebih dari 50 negara.
- Tanggal peringatan Hari PPOK Sedunia beragam. GOLD menetapkan Hari PPOK Sedunia pada tanggal 16 November. Kemenkes menetapkan penyelenggaraannya di Indonesia pada 17 November.
- Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan penyakit paru-paru dalam bentuk peradangan dalam jangka panjang yang menyebabkan penderitanya kesulitan bernafas, kecacatan jangka panjang, hingga kematian dini.
- Pasien PPOK memiliki kemungkinan 21,3 persen lebih tinggi terkena kanker paru.
- PPOK tidak menular, namun hingga kini belum ada obat bagi penyakit ini.
- Penyebab utama dan pertama dari PPOK adalah asap rokok. Faktor penyebab lainnya, yakni udara yang buruk dan penuaan.
- Pada tahun 2010, jumlah penderita PPOK di Indonesia mencapai 4,8 juta jiwa.
- PPOK merupakan penyakit penyebab kematian ketiga terbanyak di dunia. Tahun 2019, PPOK membunuh 3,23 juta orang.
- Pada 2018, penderita PPOK di Indonesia mencapai 5 persen dari total penduduk. Terjadi peningkatan 3 juta kasus PPOK dalam rentang waktu 2013 sampai 2018.
- Populasi perokok pasif di Indonesia mencapai 96,9 juta jiwa pada 2013. Sebanyak 26,7 juta adalah anak-anak usia 0–9 tahun.
- Penderita PPOK di Indonesia diprediksi terus meningkat. Dalam satu dekade (2011–2021), terjadi penambahan 8,8 juta perokok aktif.
- Lima penyakit utama yang ditimbulkan rokok (PPOK, jantung, stroke, diabetes, dan kanker) menghabiskan Rp596 triliun atau seperempat dari APBN.
Peringatan Hari Penyakit Paru Obstruktif Kronik Sedunia dirayakan setiap tahun. Peringatan yang digelar setipa tahun ini bukan semata sebagai seremonial, melainkan peringatan atas pentingnya kesehatan paru-paru.
Hari Penyakit Paru Obstruktif Kronik Sedunia (PPOK) Sedunia merupakan hasil inisiasi dari lembaga internasional Inisiatif Global untuk Penyakit Paru Obstruktif Kronik atau Global Initiative Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Lembaga kesehatan ini menjalin kerja sama dengan tenaga kesehatan profesional, pejabat kesehatan, dan kelompok pasien PPOK di seluruh dunia.
Setiap tahunnya, GOLD menentukan beberapa tema yang berbeda pada peringatan Hari PPOK Sedunia. Pada tahun 2022 ini, tema yang diambil adalah “Paru-Parumu untuk Kehidupan”.
Tema tersebut dipilih dengan tujuan menyoroti pentingnya kesehatan paru-paru seumur hidup. Selain pemilihan tema, GOLD juga akan mengoordinasikan persiapan dan distribusi materi untuk penyelenggaraan Hari COPD Sedunia.
Dengan tema tersebut, maka materi yang akan didistribusikan berfokus pada faktor-faktor yang berkontribusi terhadap PPOK, dari sejak manusia lahir hingga dewasa. Selain itu, materi Hari PPOK Sedunia 2022 juga berisi promosi terhadap kesehatan paru-paru secara umum untuk seumur hidup dan perlindungan terhadap kelompok yang rentan.
Penyelenggaraan Hari PPOK Sedunia dilakukan di berbagai penjuru dunia dan diikuti oleh para profesional kesehatan, pendidik, dan anggota masyarakat yang memiliki perhatian pada masalah terkait.
Hari PPOK Sedunia pertama kali diadakan pada 2002. Hingga kini, sudah lebih dari 50 negara merayakannya, dengan menjadikan hari tersebut sebagai salah satu kegiatan kesadaran dan pendidikan PPOK.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Warga yang peduli pada kanker paru mengikuti Kampanye Kepedulian Kanker Paru yang digelar Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia di Kawasan Kemang, Jakarta, Minggu (18/12/2016). Kanker paru merupakan salah satu kanker yang sering menyebabkan kematian, mencapai 13,4 persen dari seluruh kasus kanker.
Sejarah Lembaga GOLD
Lembaga Global Initiative Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) didirikan secara pada 1997 dengan tujuan utama meningkatkan kualitas kehidupan para pasien PPOK di seluruh dunia.
Peluncuran GOLD merupakan hasil kerja sama dengan berbagai lembaga lainnya, yakni National Heart, Lung, and Blood Institute, National Institutes of Health, dan World Health Organization (WHO). Pedoman perawatan dan program GOLD dibentuk oleh komite yang terdiri atas berbagai ahli dari seluruh dunia.
Mengacu pada laman resminya (goldcopd.org), tujuan lembaga terhadap PPOK dicapai dengan dua cara besar. Yang pertama adalah lewat peningkatan kesadaran akan PPOK. Cara ini dilakukan melalui pengembangan dokumen strategi berbasis bukti untuk manajemen PPOK.
Sementara cara kedua ditempuh dengan membagun pencegahan dan pengobatan penyakit paru-paru ini. Salah satu perwujudan konkret dari cara ini adalah melalui perayaan tahunan Hari PPOK Sedunia.
Lebih jauh, tujuan Hari PPOK Sedunia tidaklah tunggal. Penyelenggaraannya juga ditujukkan untuk membuka ruang edukasi terkait PPOK, melalui pembagian pengetahuan dan diskusi cara mengurangi beban PPOK di seluruh dunia.
Pada laman resminya, GOLD menetapkan Hari PPOK Sedunia pada tanggal 16 November tiap tahunnya. Meski begitu, berbagai negara menetapkan kebijakan waktu yang berbeda-beda, antara tanggal 16 hingga 18 November 2022. Di Indonesia sendiri, Kementerian Kesehatan atau Kemenkes meletakkan hari peringatan PPOK ini pada tanggal 17 November.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Para pengunjung warung kopi di Banda Aceh, Aceh sedang merokok, Sabtu (20/7/2019). Perokok pasif yang terpapar asap rokok dalam waktu yang lama berpotensi mengalami kanker paru, penyakit jantung, dan gangguan kehamilan. Meski telah dibuat aturan kawasan tanpa rokok, namun di area publik masih mudah ditemukan perokok.
Apa itu Penyakit PPOK?
Mengacu pada laman resmi Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM), Kemenkes (p2ptm.kemkes.go.id), dunia medis maupun media massa di Indonesia juga kerap menyebut PPOK sebagai penyakit paru kronik. Dulu, penyakit ini juga disebut sebagai Penyakit Paru Obstrukstif Menahun.
Penyakit paru kronik atau PPOK merupakan penyakit paru-paru dalam bentuk peradangan dalam jangka panjang dan menyebabkan penderitanya kesulitan bernafas. “Kronik” mengacu pada lamanya penyakit tersebut merupakan dampak jangka panjang yang ditimbulkan.
Secara umum, PPOK terjadi ketika oksigen tidak sepenuhnya dapat mengalir ke seluruh tubuh. Aliran udara di dalam tubuh mengalami perlambatan dalam waktu-waktu tertentu. Perlambatan sendiri dikarenakan adanya halangan terhadap aliran udara, yakni oleh pembengkakan maupun lendir atau dahak. Akhirnya, sang pasien akan mengalami kesulitan bernafas dan karena menyerang dalam jangka panjang, PPOK dapat menimbulkan penyakit pada organ tubuh lain.
Laman resmi Rumah Sakit Ciputra (ciputrahospital.com) menuliskan bahwa PPOK sendiri merupakan lingkup penyakit yang luas, yang terdiri dari sejumlah jenis penyakit paru. Penyakit paru yang tergolong dalam PPOK adalah emfisema, bronkitis kronis, dan asma refrakter.
Penyakit yang disebutkan pertama terjadi dalam rupa kerusakan kantong-kantong udara atau alveoli di dalam paru-paru. Pengidapnya akan memiliki lapisan dinding kantong udara yang hancur. Dampaknya, peredaran darah akan mengalami kekurangan asupan oksigen.
Kondisi bronkitis kronis akan bertahan hingga lebih dari tiga bulan hingga dua tahun berturut-turut. Penyakit ini berupa kesulitan mengeluarkan lendir ketika batuk karena hilangnya silia dalam saluran bronkial yang berguna untuk membantu pengeluaran lendir. Sementara asma refrakter bukanlah penyakit asma biasa. Tipe asma ini tidak dapat diobati dengan obat-obat asma yang biasa dan biasa juga disebut sebagai “asma non-reversible”.
Rumah Sakit Ciputra juga menuliskan bahwa PPOK dapat menyebabkan kecacatan jangka panjang yang serius bahkan kematian dini. Hingga saat ini, penyakit PPOK belum ada obatnya, padahal jumlah kematian akibat PPOK sendiri terus meningkat.
Karena menyerang organ penting tubuh dan akan terus berkembang, penyakit ini harus segera diidentifikasi sedini mungkin. Direktorat P2PTM, Kemenkes, mencatat sejumlah gejala PPOK, antara lain:
- Sesak napas
- Batuk-batuk kronis (terus batuk hingga dua minggu)
- Batuk berdahak (tubuh terus memproduksi sputum atau lendir/dahak)
- Seiring berkembangnya penyakit, dahak berubah warna menjadi kuning kehijauan dan sangat kental
- Berat badan tiba-tiba menurun
- Napas tersengal sengal, terutama pada saat melalukan aktivitas fisik
- Mengalami nyeri di dada
- Terjadi pembengkakan di tungkai dan kaki
- Mengalami lesu, lemas, susah tidur, mudah lelah, hingga depresi
Tidak hanya menimbulkan gejala-gejala seperti di atas, penyakit PPOK juga menjadi pintu bagi kehadiran penyakit-penyakit lain dalam tubuh. Beberapa komplikasi yang bisa ditimbulkan adalah infeksi pernafasan, penyakit jantung, kanker paru, dan tekanan darah tinggi.
Infeksi pernapasan terjadi oleh karena PPOK menyebabkan kondisi paru-paru yang tidak lagi sehat. Jaringan paru pun menjadi rentan terhadap serangan virus seperti influenza atau pnemonia.
Penyakit jantung timbul karena PPOK memengaruhi kerja jantung. Hambatan yang terjadi pada aliran darah menyebabkan kinerja jantung bertambah keras secara konstan dan terus menerus. Selain itu, PPOK yang tidak juga membaik akan berdampak pada kehilangan fungsi dari paru-paru. Kondisi ini akan menimbulkan serangan sel kanker terhadap paru yang sudah terinfeksi.
Laman resmi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia atau PDPI menuliskan bahwa pasien PPOK memiliki kemungkinan 21,3 persen lebih tinggi terkena kanker paru dalam 10 tahun dibandingkan dengan orang yang tidak mengidap PPOK. Persentase demikian akan bertambah secara signifikan ketika orang tersebut juga memiliki kebiasaan merokok.
Dalam penjabaran tersebut, PPOK menunjukkan diri sebagai penyakit komorbid yang sangat berbahaya. Penyakit paru ini bahkan masuk sebagai lima penyakit utama komorbid yang paling berbahaya, di mana selain PPOK juga terdapat penyakit hipertensi, diabetes melitus, obesitas, dan kardiovaskular (CVD).
Dampak makro dari penyakit komorbid ditunjukkan secara nyata pada tingginya kasus Covid-19 tahun 2020 lalu. Lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia disebabkan secara langsung oleh faktor penyakit komorbid. Hingga setidaknya Oktober 2020 lalu, Kemenkes mencatat bahwa komorbid menjadi salah satu pemicu kematian tertinggi Covid-19.
Kondisi tersebut terutama terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Setidaknya 95 persen pasien meninggal akibat Covid-19 memiliki penyakit penyerta paru-paru, diabetes, obesitas, dan jantung (Kompas, 26/12/2020, “Covid-19 dan Ancaman Serius Komorbid Kelompok Lansia”).
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Penyuluhan tentang bahaya merokok diberikan kepada anak-anak sejak usia sekolah dasar. Murid-murid SDN Sambirejo Timur, Solo, menyimak penjelasan petugas dari Balai Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta yang memberi penyuluhan bahaya merokok di sekolah mereka di Kelurahan Kadipiro, Kota Solo, Kamis (15/7/2010). Penyuluhan sejak dini dilakukan untuk mencegah anak-anak dan keluarga mereka teracuni dampak rokok yang dapat menimbulkan beragam penyakit.
Faktor Penyebab PPOK
Berbagai literatur menuliskan bahwa penyebab utama PPOK adalah asap rokok. Orang yang memiliki risiko terbesar mengidap PPOK adalah mereka yang memiliki kebiasaan merokok.
Direktorat P2PTM Kemenkes bahkan menuliskan bahwa “kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya”. Dalam catatannya, disebutkan bahwa satu dari empat orang perokok aktif mengidap PPOK.
Hal ini disebabkan oleh banyaknya kandungan senyawa kimia beracun dalam satu batang rokok. Setidaknya, terdapat 4.000 jenis senyawa kimia beracun dalam satu batangnya, dengan 43 di antaranya mengandung sifat karsinogenik. Termasuk senyawa yang paling berbahaya di dalamnya adalah nikotin (zat berbahaya penyebab kecanduan), tar (karsinogenik), dan karbon monoksida (menurunkan kandungan oksigen dalam darah).
Selain berdampak buruk bagi kesehatan perokok itu sendiri, asap rokok juga menyebarkan bahayanya pada orang lain atau perokok pasif. Kehadiran Asap Rokok Orang Lain (AROL) dikarenakan dua pertiga atau lebih dari 65 persen asap dari rokok tak dihirup oleh si perokok, melainkan menyebar ke udara di sekitarnya.
Kehadiran gangguan asap rokok orang lain biasa juga disebut sebagai AROL. Masuk dalam ketegori AROL tidak hanya asap yang dikeluarkan oleh ujung rokok yang membara, melainkan juga asap yang dihembuskan dari si perokok. Pada konteks paparan AROL, tidak pernah ada batas aman saat terpapar asap rokok.
Selain rokok, penyebab-penyebab sampingan dari PPOK adalah paparan udara yang berpolusi dan penuaan. Termasuk dalam paparan polusi udara adalah asap kendaraan bermotor, debu jalanan, gas buangan industri, briket batu bara, debu vulkanik gunung meletus, asap kebakaran hutan, asap obat nyamuk bakar, asap kayu bakar, hingga asap kompor.
Secara medis, paparan terus-menerus dalam udara berpolusi akan mengakumulasi partikel asing masuk ke dalam paru-paru. Padahal, meski ada mekanisme pembersihan paru-paru secara alami melalui batuk, tidak semua partikel asing yang terhirup dapat dikeluarkan secara alami. Partikel yang mengendap di paru-paru berbahaya bagi saluran pernapasan.
Salah satu sumber polusi udara terbesar berasal dari kebakaran hutan. Di daerah-daerah dengan hutan yang lebat dan penegakan hukum yang tumpul, masyarakat kerap menyaksikan pembakaran hutan. Hal demikian menimbulkan risiko yang begitu buruk bagi kesehatan organ pernapasan mereka. Kondisi tersebut terjadi secara masif di daerah Kalimantan, salah satunya Palangkaraya.
Dokter spesialis paru di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Doris Sylvanus, Palangkaraya, Jeanette Siagian, menuturkan, asap karhutla sangat memengaruhi kesehatan masyarakat di daerah tersebut.
Hal ini dibuktikan dari banyaknya pasien di RSUD Doris Sylvanus yang mengalami penurunan fungsi paru. “Banyak sekali bahan kimia dalam asap kebakaran tak dikenali dan akumulasi dalam tubuh jangka panjang sehingga memicu penyakit kronis. Jika seseorang sering sakit, usianya tidak akan panjang,” kata Jeanette.
Ia menegaskan bahwa dampak kesehatan dari polusi udara memang kerap tidak tampak dalam waktu dekat. Konsekuensi kematian dari asap kebakaran akan muncul dalam jangka menengah, setidaknya 10 tahun mendatang. Dampak polusi kebakaran hutan yang menyebabkan PPOK pun tidak akan tampak langsung.
Meski begitu, dampak tersebut dapat diprediksi oleh tenaga medis untuk membantu pencegahan dan penanganan sedari dini. “Prediksi itu untuk jangka panjang. Sama seperti prediksi orang terkena PPOK. Kita tidak bisa memprediksi detik ini, tetapi diprediksi 10 tahun akan datang,” ujar Jeanette (Kompas, 10/9/2020, “Antisipasi Risiko Covid-19 dan Karhutla”).
Sementara faktor yang paling kecil bagi PPOK adalah penuaan. PPOK akan berkembang secara perlahan tanpa disadari selama bertahun-tahun. Gejala penyakit baru mulai terasa oleh pengidapnya ketika memasuki usia 35 hingga 40 tahun. Lebih lanjut, pada usia tua, manusia akan semakin merasakan PPOK sebagai penyakit komorbid secara signifikan.
Dengan demikian, semakin tua usia seseorang, semakin besar kemungkinannya mengidap PPOK. Hal demikian disebabkan oleh keterkaitan antar-organ tubuh yang mulai melemah. Kualitas pertahanan tubuh sebagai pencegah penyakit yang juga mengalami penurunan.
Dalam logika medis tersebut, kelompok lanjut usia atau lansia menjadi populasi masyarakat yang paling rentan terhadap PPOK. Indonesia pun tercatat memiliki populasi populasi penduduk yang rentan dengan komorbid dalam jumlah besar.
Pada 2017 saja, populasi lansia di Indonesia mencapai 36 persen dari total 63,97 juta warga lansia di Asia Tenggara (Kompas, 26/12/2020, “Covid-19 dan Ancaman Serius Komorbid Kelompok Lansia”).
KOMPAS/EVY RACHMAWATI
Tim medis tengah melaksanakan tindakan terapi cryo (pendinginan pada suhu hingga minus 100 derajat Celsius untuk membekukan sel-sel kanker pada pasien kanker paru, Jumat (14/3/2008), di Rumah Sakit Gading Pluit, Jakarta Utara.
Statistik PPOK di Indonesia
Penyelenggaraan Hari PPOK Sedunia tak lepas dari latar belakang data dan situasi keberadaan penyakit tersebut. Tak hanya memiliki bahaya yang begitu signifikan bagi kehidupan manusia, namun juga penyebarannya yang begitu luas. Situasi demikian juga tampak di Indonesia sehingga menjadi alasan urgensitas penyelenggaraan Hari PPOK Sedunia di tanah air.
Laman resmi Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan (rsuppersahabatan.co.id), menuliskan bahwa pada tahun 2010 saja, jumlah penderita PPOK di seluruh dunia telah mencapai 384 juta kasus.
Jumlah tersebut meningkat drastis bila dibandingkan dengan data pada tahun 1990 yang berada pada kisaran 227 juta kasus. Dengan jumlah demikian, setidaknya 11,7 persen populasi penduduk dunia mengidap PPOK.
Dari angka tersebut, ditemukan bahwa prevalensi tertinggi berada di Amerika dan Asia Tenggara. Di Indonesia, sebagai negara dalam kawasan Asia Tenggara, ditemukan 4,8 juta jiwa penderita PPOK pada tahun yang sama. Dari jumlah tersebut, prevalensi pengidap PPOK lebih tinggi pada pria dan akan semakin meningkat seiring dengan pertambahan usia atau menua.
Data PPOK yang lebih aktual dipaparkan oleh laman resmi Kemenkes dalam artikel “Merokok, Penyebab Utama Penyakit Paru Obstruktif Kronis” (kemkes.go.id). Dengan mengutip sumber dari Badan Kesehatan Dunia atau WHO, dipaparkan bahwa PPOK merupakan penyakit yang menjadi penyebab kematian ketiga terbanyak di dunia. Pada tahun 2019, PPOK membunuh 3,23 juta orang, dengan merokok menjadi alasan utamanya.
Kemenkes juga mengutip data GOLD pada tahun 2020. Dituliskan bahwa GOLD memperkirakan, secara epidemiologis, pada tahun 2060 angka prevalensi PPOK akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah orang yang merokok.
Hal tersebut telah ditampilkan secara konkret di Indonesia melalui peningkatan prevalensi PPOK. Pada tahun 2013, prevalensi PPOK telah mencapai 3,7 persen dari total populasi penduduk.
Dalam perhitungan tersebut, berarti setidaknya 9,2 juta jiwa penduduk Indonesia mengidap PPOK. Dengan membandingkannya pada data tahun 2010 yang telah disebutkan sebelumnya, maka hanya dalam waktu tiga tahun telah terjadi peningkatan sebanyak 4,4 juta pengidap PPOK di Indonesia.
Peningkatan yang terjadi secara masif dan terus menerus ini kian dipertegas melalui data yang disampaikan Kompas (16/12/2019, “Kilas Iptek: Penderita Paru Obstruktif Kronis Bertambah”). Dengan mengutip Riset Kesehatan Dasar, disampaikan bahwa prevalensi PPOK penduduk Indonesia pada tahun 2018 mencapai 5 persen. Terjadi peningkatan lebih dari 3 juta penderita PPOK dalam kurun waktu lima tahun.
Meski terus meningkat, jumlah penderita PPOK diprediksi akan terus bertambah seiring juga kian bertambahnya perokok pemula di Indonesia.
“Di dunia, kematian akibat PPOK saat ini berada di peringkat keempat dan diprediksi naik menjadi ketiga pada 2020,” kata Kepala Divisi Asma PPOK Departemen Paru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSUP Persahabatan Budhi Antariksa pada acara peringatan Hari PPOK Sedunia 2019 lalu.
Menurut Budhi, gejala PPOK sering kali tidak disadari masyarakat. “Sesak napas dan batuk berdahak dianggap sebagai hal normal dan konsekuensi wajar.”
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Pedagang membaca brosur yang dibagikan Relawan Wanita Indonesia Tanpa Tembakau (WITT) Jawa Timur saat peringatan Hari Anti tembakau Sedunia di Pasar Keputran di Surabaya, Selasa (31/5/2016). Melalui brosur yang dibagikan dijelaskan mengnai bahaya merokok serta cara praktis untuk berhenti merokok bagi perokok.
Merokok penyebab utama PPOK
Sebagai penyebab utama PPOK, merokok harus menjadi perhatian jika masyarakat maupun negara ingin menghindari ancaman dari penyakit tersebut. Perhatian tidak hanya penting diberikan kepada perokok aktif, melainkan juga perokok pasif sebagai kelompok yang memiliki kerentanan tinggi. Saat ini, situasi perokok aktif dan pasif di Indonesia sama-sama berada pada batas yang begitu berbahaya.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, ditemukan bahwa populasi perokok pasif di Indonesia mencapai 96,9 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 66,7 juta perokok pasif adalah perempuan dan 30,2 juta jiwa lainnya adalah laki-laki.
Kondisi lebih parah ditunjukkan oleh paparan AROL yang ternyata juga mengancam anak-anak. Sebanyak 12 juta anak dalam rentang usia 0–4 tahun terpapar AROL. Selain itu, sebanyak 14,7 juta anak usia 5–9 tahun juga menjadi perokok pasif.
Sebagai dampaknya, perokok pasif memiliki risiko mengidap berbagai penyakit paru lebih besar. Untuk penyakit konkret kanker paru saja, perokok pasif memiliki 30 persen risiko lebih besar menjadi penderita dibandingkan dengan kelompok yang tidak terpapar asap rokok.
Di saat bersamaan, situasi perokok aktif di Indonesia tidak lebih baik. Meski jumlah populasinya lebih sedikit dari perokok aktif, penambahannya dari waktu ke waktu terus terjadi secara signifikan.
Hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 yang diluncurkan Kemenkes menunjukkan penambahan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang dalam satu dekade. Dari jumlah 60,3 juta perokok pada 2011 menjadi 69,1 juta pada 2021.
“Ini adalah tantangan yang penting bagi kita semua untuk melakukan upaya-upaya dalam penghentian merokok,” jelas Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono saat peluncuran hasil data GATS 2021 pada Mei lalu.
Dalam kondisi demikian, tren perokok pemula di Indonesia justru terus mengalami peningkatan. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes, Siswanto menilai hal ini disebabkan oleh belum adanya intervensi spesifik yang efektif untuk mencegah perokok pemula memulai merokok sejak awal.
“Upaya menaikkan cukai rokok 15 persen belum mampu mencegah penduduk usia anak dan remaja membeli dan mencoba rokok. Cukai seharusnya dinaikkan dua kali dari kenaikan saat ini. Jumlah ini tak akan menurunkan pendapatan negara,” ujarnya dalam seminar yang diprakarsai Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) pada Juni 2019 lalu.
Siswanto menuturkan bahwa pencegahan perokok pemula harus disikapi serius karena beban penyakit yang ditimbulkan amat besar. Rokok telah menjadi faktor risiko utama bagi lima penyakit tak menular, yakni PPOK, jantung, stroke, diabetes, dan kanker. Kelima penyakit tersebut kini masuk ke dalam pembiayaan terbesar bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Hal ini lantas berdampak signifikan pada ekonomi nasional. Menurut hitungan, biaya konsumsi tembakau untuk merokok telah menyebabkan kerugian ekonomi di Indonesia akibat kematian dini dan penyakit yang ditimbulkan rokok mencapai Rp 596 triliun atau seperempat dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Selain itu, rokok juga berdampak pada 120.000 kematian dari hitungan usia harapan hidup penduduk selama 70 tahun (Kompas, 19/6/2019, “Perokok Pemula Bertambah”).
Perhitungan dampak yang ditimbulkan rokok terhadap kematian manusia juga ditunjukkan oleh survei Global Youth Tobacco Survey 2019 yang dirilis WHO. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa 225.700 orang Indonesia meninggal tiap tahunnya akibat rokok atau penyakit lain yang berkaitan dengan asap rokok. Bagi perokok pasif seperti bayi, paparan asap rokok juga bisa menyebabkan sindrom kematian mendadak.
Dampak langsung lainnya adalah terus bertambahnya pasien penyakit paru. Bahkan, jumlah pasien paru dengan usia muda kian meningkat. Hal ini disampaikan oleh dokter spesialis penyakit paru dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSUP Persahabatan Sita Andarini mengenai jumlah pasien kanker paru yang berobat ke RSUP Persahabatan.
Situasi telah berbeda dengan waktu 10 tahun lalu, di mana rata-rata pasien kanker paru berusia 60 tahun. Kini, sebagaimana dipaparkan Sita, banyak pasien berusia 30–40 tahun. “Dari kunjungan yang ada, 85 persen didiagnosis sudah stadium lanjut. Deteksi dini kanker paru sulit. Upaya pencegahan dengan tak merokok jadi cara paling efektif,” katanya (Kompas, 19/6/2019, “Perokok Pemula Bertambah”).
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Bahaya Merokok – Sejumlah aktivis dari Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau (Sapta Indonesia) dan Forum Warga Kota jakarta (FAKTA) menggelar aksi di kawasan hari bebas hambatan bermotor Bunderan Hotel Indonesia (HI), Thamrin, Jakarta, Minggu (21/5/2017). Aksi ini untuk menginggatkan dan melindungi serta menyelamatkan Indonesia bahkan Dunia dari bahaya asap rokok.
Mengatasi PPOK
Sebagaimana dituliskan sebelumnya, hingga kini PPOK masih belum dapat disembuhkan. Belum ada obat yang dapat secara absolut meniadakan penyakit paru tersebut dari penderitanya. Untuk itu, laman resmi Rumah Sakit Hermina (herminahospitals.com) menuliskan sejumlah cara untuk semata meredakan gejala penyakit PPOK ini.
Yang pertama adalah dengan mengonsumsi obat-obatan. Obat yang bisa digunakan untuk meredakan gejala penyakit yang ditimbulkan PPOK adalah obat hirup atau inhaler berupa Bronkodilator (seperti salbutamol, terbutaline, dan salmeterol) dan Kortikosteroid (seperti budesonide dan fluticasone).
Terhadap kondisi penderita, dokter dapat meresepkan obat-obatan tersebut secara sekaligus ataupun tunggal. Jika obat hirup belum juga dapat meredakan gejala, maka dokter juga dapat meresepkan obat minum berupa tablet atau kapsul.
Selain itu, cara yang kedua adalah dengan melakukan terapi oksigen. Terapi ini bertujuan untuk memberikan pasokan oksigen ke paru-paru portabel. Sebagian penderita PPOK hanya perlu menggunakan bantuan tabung oksigen saat sedang beraktivitas ataupun tidur. Namun, banyak juga penderita PPOK yang harus menggunakannya sepanjang hari. Kembali lagi, kebutuhan mengacu pada kondisi sang penderita PPOK.
Cara ketiga adalah dengan menggunakan alat ventilator. Pilihan ini digunakan ketika gejala pasien sudah cukup serius. Kehadiran mesin ventilator menjadi alat bantu napas bagi pasien PPOK. Ventilator sendiri merupakan mesin dengan fungsi mepompa udara ke dalam tubuh pasien sehingga membantunya bernapas. Ventilator terhubung dengan saluran pernapasan pasien melalui selang yang dimasukkan begitu dalam, hingga ke bagian tubuh trakea dengan cara intubasi.
Pada titik yang sudah fatal, penderita PPOK dapat sampai pada titik operasi. Pilihan keempat ini dapat dilakukan apabila gejala PPOK pada pasien tidak lagi dapat diredakan dengan resep obat-obatan maupun terapi. Jenis operasi yang dilakukan sendiri adalah operasi pengurangan volume paru.
Operasi ini dilakukan untuk mengangkat bagian paru-paru pasien yang sudah mengalami kerusakan. Dengan diangkat sebagian, harapannya jaringan paru-paru yang sehat bisa berkembang dengan baik. Selain itu, operasi ini juga bisa diikuti dengan transplantasi paru-paru. Transplantasi dilakukan ketika operasi pengangkatan paru yang rusak, dengan cara menggantikan bagian yang diangkat dengan paru-paru sehat dari pendonor.
Meski begitu, cara terbaik untuk menghadapi PPOK memanglah melalui pencegahannya. Oleh karena PPOK bukan penyakit menular, cara yang utama adalah dengan kesadaran hidup sehat. Bagi kelompok usia dewasa dan produktif, hal terpenting yang dapat dilakukan adalah menghindari akibat asap rokok dan tidak jatuh pada konsumsi rokok. Bagi kelompok lansia dengan komorbid, pengurangan penyakit bawaan juga dapat dijawab melalui kesadaran akan hidup sehat (Kompas, 26/12/2020, “Covid-19 dan Ancaman Serius Komorbid Kelompok Lansia”).
Laman resmi RSUP Persahabatan juga menambahkan sejumlah cara lain mengatai PPOK. Selain berhenti merokok, juga dapat dilakukan latihan fisik secara teratur, tidur yang cukup, melatih pikiran positif, menjaga pola makan yang sehat dengan gizi seimbang. Kepada penderita PPOK, juga diperingatkan untuk patuh pada pengobatan yang diberikan, melakukan program rehabilitasi paru, menghindari stress yang berlebihan, lebih baik dalam menikmati hidup, dan menjaga bahagia.
Akhirnya, persoalan utama atas PPOK kembali pada masyarakat sendiri. Bagaimana pemahaman dan kesadaran para anggota masyarakat mengenai faktor PPOK dan komorbid menjadi kuncinya. Persoalannya, kesadaran tersebut masih rendah sehingga sebagian besar masyarakat juga masih memelihara budaya hidup yang tidak sehat. Pada titik ini, tanggung jawab hidup sehat harus dilihat pada dampaknya secara jangka panjang. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- “Kilas Iptek: Penderita Paru Obstruktif Kronis Bertambah”. Kompas, 16 Desember 2019. Hlm 9.
- “Perokok Pemula Bertambah”. Kompas, 19 Juni 2019. Hlm 10.
- “Antisipasi Risiko Covid-19 dan Karhutla”. Kompas, 10 September 2020. Hlm 12.
- “Covid-19 dan Ancaman Serius Komorbid Kelompok Lansia”. Kompas, 26 Desember 2020. Hlm A.
- Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular. (2018, April 16). Faktor Risiko Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). Diambil kembali dari p2ptm.kemkes.go.id: https://p2ptm.kemkes.go.id/infographic-p2ptm/penyakit-paru-kronik/page/42/faktor-risikopenyakitparuobstruktif-kronis-ppok
- Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). (t.thn.). Diambil kembali dari goldcopd.org: https://goldcopd.org/
- Kementerian Kesehatan. (2021, November 23). Merokok, Penyebab Utama Penyakit Paru Obstruktif Kronis. Diambil kembali dari kemkes.go.id: https://www.kemkes.go.id/article/view/21112300001/merokok-penyebab-utama-penyakit-paru-obstruktif-kronis.html
- Kementerian Kesehatan. (2022, Mei 31). Perokok Dewasa di Indonesia Meningkat Dalam Sepuluh Tahun Terakhir. Diambil kembali dari litbang.kemkes.go.id: https://www.litbang.kemkes.go.id/perokok-dewasa-di-indonesia-meningkat-dalam-sepuluh-tahun-terakhir/#:~:text=Hasil%20Global%20Adult%20Tobacco%20Survey,%25%20menjadi%201%2C6%25.
- Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2018, November 16). Apakah PPOK menyebabkan Kanker Paru? Diambil kembali dari klikpdpi.com: https://klikpdpi.com/index.php?mod=article&sel=8711#:~:text=PPOK%20jadi%20penyebab%20kanker%20paru%2Dparu&text=Seseorang%20yang%20mengalami%20PPOK%20dan,paru%2Dparu%20di%20masa%20mendatang.
- Rumah Sakit Ciputra. (2022, Januari 24). Kenali Bahaya Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). Diambil kembali dari ciputrahospital.com: https://ciputrahospital.com/kenali-bahaya-penyakit-paru-obstruktif-kronis/
- Rumah Sakit Hermina. (2021, November 30). Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). Diambil kembali dari herminahospitals.com: https://www.herminahospitals.com/id/articles/penyakit-paru-obstruktif-kronis-ppok
- Triya Damayanti. (2021, Januari 18). Hidup Berkualitas Dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (Ppok). Diambil kembali dari rsuppersahabatan.co.id: https://rsuppersahabatan.co.id/artikel/read/hidup-berkualitas-dengan-penyakit-paru-obstruktif-kronik-ppok