KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Sumar dan Ramidi memanen tembakau di Desa Caturanom, Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Kamis (1/9/2011). Panenan tembakau tahun ini dihargai tinggi oleh para pemilik gudang produsen rokok yang mempunyai perwakilan di Temanggung. Cuaca cerah dan panas yang merata menyebabkan tembakau dapat kering dalam sehari sehingga kualitasnya terjaga.
Fakta Singkat
Sejarah Tembakau Nusantara
- Mulai dikenal pada abad ke-16
- Didukung kebiasaan mengunyah sirih dan pinang di Nusantara
- Berkembang menjadi candu bagi segala lapisan masyarakat, baik dikunyah maupun dihisap
- Mulai diusahakan secara masif di lahan milik petani di Jawa pada abad ke-19
- Pihak swasta mulai membuka area tanam secara masif pada akhir abad ke-19
Industri Rokok
- Muncul rokok kretek (campuran tembakau dan cengkeh) pada akhir abad ke-19
- Berbagai perusahaan kretek berkembang pada awal abad ke-20
- Kudus menjadi daerah utama penghasil rokok kretek yang kemudian disebarkan ke berbagai daerah di Jawa.
Tanaman tembakau diperkirakan masuk ke kepulauan Nusantara pada awal abad ke-16. Selanjutnya, tembakau dan olahannya berkembang menjadi candu masyarakat dari berbagai kelas sosial, baik bangsawan maupun rakyat kecil.
Mulai dari para raja hingga rakyat kecil di perdesaan memanfaatkan tembakau dengan caranya masing-masing, baik dengan dikunyah mauh dihisap. Tembakau telah menjadi candu jauh sebelum pemerintahan Hindia Belanda terbentuk.
Perlahan tapi pasti, tembakau dan olahannya (terutama rokok) menjelma sebagai komoditas bisnis yang menggiurkan bagi masyarakat lokal maupun pengusaha asing di era kolonial. Area perkebunan pun dibuka secara masif, baik oleh petani rakyat maupun oleh pihak swasta.
Di samping sektor pertanian, tembakau juga menggerakkan sektor industri. Kemunculan rokok kretek, yakni campuran tembakau dengan cengkeh, turut mendorong perkembangan industri rokok secara masif di Jawa. Besarnya permintaan akan rokok kretek mendorong kemunculan berbagai perusahaan rokok kretek, baik dari kalangan pengusaha pribumi, keturunan Arab, maupun Tionghoa di Jawa.
Hal itu berdampak pada kondisi sosial dan ekonomi di sejumlah wilayah. Kota-kota industri pengolahan tembakau jamak bermunculan, salah satunya adalah Kudus yang hingga kini dikenal sebagai kota kretek.
[Catatan: Tulisan ini pernah disajikan secara berseri di laman Kompas.id dengan judul “Candu Tembakau di Nusantara” (30 Januari 2021), “Wangi Tembakau nan Memukau di Era Kolonial” (31 Januari 2021), dan “Kudus, Kretek, dan Gerakan Sosial” (1 Februari 2021).]
Sejarah Tembakau di Indonesia
Tembakau (Nicotiana tabacum) adalah tanaman yang telah dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak berabad-abad silam. Tanaman ini menjelma sebagai kebutuhan primer dalam konsumsi sehari-hari bagi sebagian masyarakat.
Sejarawan Onghokham dan Amen Budiman dalam bukunya yang berjudul Hikayat Kretek (2016) menuliskan, setidaknya ada beberapa teori yang menyatakan asal mula tembakau masuk ke Indonesia.
Pertama, tembakau diperkirakan dibawa oleh bangsa Portugis saat tiba di kepulauan Nusantara. Pandangan ini disampaikan oleh sinolog Belanda, G. Schlegel, yang menilai bahwa penggunaan nama tembakau erat kaitannya dengan kata “tabaco” atau “tumbaco”. Jika merujuk pada pandangan ini, besar kemungkinan tembakau mulai dikenal di Nusantara pada awal abad ke-16.
Pendapat yang berbeda disampaikan oleh ahli Botani asal Swiss, Augustin Pyrame de Candolle Georgius, dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Thomas Stamford Raffles. Keduanya berkesimpulan bahwa tembakau masuk ke Indonesia sekitar awal abad ke-17 yang dibawa oleh bangsa Eropa.
Baca juga: Tembakau, Euforia dalam Ekspedisi Dunia Baru
Terdapat beberapa pandangan lainnya dari sejumlah ahli tentang awal mula masuknya tembakau di Indonesia. Namun, terlepas dari perbedaan pandangan ini, yang jelas, tembakau telah membuat candu sebagian masyarakat di kepulauan Nusantara, bahkan jauh sebelum pemerintahan Hindia Belanda terbentuk. Apa yang melatarbelakangi orang-orang di Nusantara, khususnya Pulau Jawa, begitu mudah menerima tembakau?
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Para petani menjemur tembakau sebelum dirajang di Desa Deyangan, Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat (16/11/2018). Para petani berpacu untuk mengeringkan tembakau agar kualitasnya terjaga karena musim hujan mulai datang.
Sirih dan pinang
Faktor utama yang turut melatarbelakangi penerimaan terhadap tembakau adalah kebiasaan nenek moyang kita untuk mengunyah sirih dan pinang. Sejak lama, kebiasaan ini telah dimiliki oleh orang-orang Indonesia di sejumlah wilayah.
Kebiasaan ini salah satunya terekam dalam catatan pendeta Buddha dari China, I-tsing. Dalam catatan perjalanannya dari Canton ke sekitar daerah Palembang menjelang akhir abad ke-7 Masehi, ia menuliskan bahwa buah pinang telah tersaji dalam pesta yang diselenggarakan masyarakat lokal. Pinang disuguhkan bagi para tamu yang menghadiri pesta tersebut. Namun, dalam catatan ini tidak disebutkan adanya penggunaan sirih oleh masyarakat setempat.
Jejak kedekatan buah pinang dengan masyarakat juga ditemukan di Pulau Jawa, yakni dalam relief Candi Borobudur di Jawa Tengah. Pohon pinang tak luput menjadi subjek yang turut diukir pada candi yang dibangun abad ke-8 hingga abad ke-9 Masehi ini. Temuan ini membuktikan bahwa telah ada hubungan yang cukup erat antara masyarakat lokal saat itu dan buah pinang.
Bukti selanjutnya ditemukan dalam catatan Ibnu Batutah, seorang pedagang dan musafir yang mengunjungi Kerajaan Samudra Pasai, di wilayah Aceh pada pertengahan abad ke 15-Masehi. Saat melakukan kunjungan, ia menyaksikan acara pernikahan seorang putra raja.
Dalam acara pernikahan itu, pasangan pengantin saling menyuapkan buah pinang dan daun sirih. Catatan ini menguatkan dugaan bahwa konsumsi sirih dan pinang sudah jamak dikenal oleh masyarakat kala itu.
Baca juga: Mengapa Mereka Membenci Tembakau?
Kebiasaan yang sama juga ditemukan di sekitar daerah pusat Kerajaan Majapahit di Pulau Jawa. Menurut catatan Ma Huan, sekretaris Laksamana Cheng-ho, dalam catatannya pada tahun 1416, masyarakat di sekitar pusat Kerajaan Majapahit telah memiliki kebiasaan untuk mengunyah pinang dan sirih. Konsumsi pinang dan sirih dilengkapi oleh kapur yang terbuat dari kulit tiram.
Kebiasaan untuk mengunyah sirih inilah yang kemudian mempermudah penerimaan terhadap tembakau. Pada abad ke-17, tembakau mulai digunakan sebagai bahan campuran untuk mengunyah sirih. Masyarakat Jawa juga menyebutnya sebagai bako susur. Inilah titik persinggungan antara orang-orang di Pulau Jawa dan tembakau (Budiman dan Onghokham, 1987).
KOMPAS/HAMZIRWAN
Sekitar 60 pengunjuk rasa, ibu-ibu warga Jalan Ngumban Surbakti, yang Senin (28/3/2005) kemarin menuntut realisasi ganti rugi tanah mereka, makan sirih dan mengunyah tembakau. Selain merupakan kebiasaan, mereka mempersiapkan air sirih dan tembakau untuk disemburkan kepada polisi yang menghalangi mereka masuk ke Kantor Wali Kota Medan.
Menembus lapisan masyarakat
Tembakau kian menjadi candu seiring meluasnya penggunaan tanaman ini di masyarakat. Di Banten, misalnya, pada tahun 1604, telah ditemukan para petinggi di Banten yang memiliki kegemaran mengisap tembakau (Badil, 2011).
Hal serupa juga ditemukan di dalam Keraton Mataram. Petinggi kerajaan turut menikmati tembakau. Hal ini terekam saat perwakilan Perserikatan Dagang Hindia Timur (VOC), de Haen, melakukan kunjungan ke wilayah Kerajaan Mataram dan bertemu dengan Sultan Agung pada paruh pertama abad ke-17.
Saat itu, tembakau menjadi salah satu jamuan yang disediakan oleh para abdi untuk Sultan Agung. Selama pertemuan, de Haen menemui kebiasaan Sultan Agung sebagai seorang perokok yang menggunakan medium pipa berlapis perak.
Kondisi ini menggambarkan bahwa olahan tembakau telah membuat candu para petinggi kerajaan. Namun, tembakau bukanlah barang monopoli penguasa. Berbagai lapisan masyarakat dapat menikmati tembakau seperti sirih.
Simak Galeri Foto: Keranjang ”Penjaga” Rasa Tembakau
Jejak konsumsi tembakau dari masyarakat kecil tergambar dalam memoar yang ditulis oleh JW Winter. Ia tinggal di Yogyakarta sejak tahun 1799 hingga 1806 dan bekerja sebagai penerjemah. Setelah itu, sejak 1806 hingga 1820, Winter menetap di Surakarta. Pengalaman Winter selama menetap di Yogyakarta dan Surakarta mengantarkannya untuk menulis sebuah memoar berjudul Beknopte Beschrijving Van Het Hof Soerakarta in 1824.
Dalam memoar itu, terungkap kehidupan sederhana masyarakat Jawa, khususnya di Surakarta dan Yogyakarta. Sebagian penghasilan masyarakat saat itu disisihkan untuk membeli tembakau dan sirih. Tembakau yang dibeli digunakan sebagai bahan dasar rokok dengan memanfaatkan kulit jagung yang telah dikupas dan dikeringkan.
Tembakau tidak hanya dijadikan bahan untuk dikonsumsi seorang diri, tetapi juga disajikan kepada para tamu. Bahkan, tembakau yang telah dilinting merupakan salah satu wujud penghargaan tuan rumah kepada tamu kala itu. Olahan tembakau semacam ini dikenal dengan sebutan rokok klobot.
Selain jagung, linting tembakau juga dipadukan dengan daun pandan. Hal ini dituliskan oleh Pieter Bleeker, seorang dokter dari Belanda yang diterbitkan dalam sebuah majalah pada tahun 1848. Lintingan ini dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat di Semarang dan konon dapat digunakan untuk diisap selama sekitar lima menit (Budiman dan Onghokham, 1987).
Kebiasaan melinting tembakau merupakan langkah awal dari kebiasaan orang-orang di perdesaan untuk menikmati tembakau. Kondisi ini sekaligus menegaskan bahwa tembakau telah menembus dinding tebal feodalisme masyarakat Jawa pada zamannya.
Dari bangsawan, pedagang, hingga masyarakat biasa, dapat menikmati tembakau dengan caranya masing-masing. Satu-dua mengonsumsinya dengan cara mengunyah, sementara sebagian lainnya memanfaatkannya dengan cara menghisap.
KOMPAS/REGINA RUKMORINI
Sebagian petani di Kabupaten Temanggung membuat tembakau menjadi bahan untuk rokok lintingan.
Komoditas Bisnis
Setelah wangi tembakau berhasil menembus dinding-dinding kerajaan di Pulau Jawa, tanaman ini kian digandrungi oleh masyarakat dari berbagai lapisan kehidupan sosial. Perlahan tapi pasti, tembakau menjelma sebagai komoditas bisnis yang menggiurkan bagi masyarakat lokal maupun pengusaha asing di era kolonial.
Rantai pasar dari hulu hingga hilir perlahan mulai terbentuk sejalan dengan semakin banyaknya pecinta tembakau saat itu, terutama di tanah Jawa.
Baca juga: ”Tingwe” Tembakau: Pengiritan, Gaya Hidup, atau Perlawanan?
Rara Mendut
Kedekatan masyarakat Jawa dengan bisnis tembakau salah satunya terekam dalam cerita rakyat dari Jawa Tengah tentang sosok Rara Mendut. Selain sebagai simbol perlawanan, kisah ini juga mengangkat cerita tentang aktivitas jual-beli rokok antara Rara Mendut dengan kelompok masyarakat kecil.
Rara Mendut merupakan putri dari seorang abdi di Kadipaten Pati. Ketika terjadi pertempuran antara Kadipaten Pati dan Mataram, Rara Mendut turut dibawa ke Mataram oleh panglima perang Kerajaan Mataram, Tumenggung Wiraguna.
Namun, setibanya di Mataram, Rara Mendut menolak niat Tumenggung Wiraguna untuk memperistrinya. Ia dijatuhi hukuman untuk membayar pajak setiap hari karena telah membuat Wiraguna marah setelah menerima komentar negatif dari Rara Mendut.
Untuk menyiasati hukuman ini, Rara Mendut memilih untuk menjual rokok. Di luar dugaan, rokok yang ditawarkan sebagai barang dagangan laku dengan cepat. Singkat cerita, Rara Mendut tidak mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban membayar pajak sebagai konsekuensi telah menolak pinangan dari Tumenggung Wiraguna.
Sastra lisan yang berujung pada sastra tulisan dengan latar abad ke-17 Masehi ini menggambarkan adanya cerita yang berkembang di tengah-tengah masyarakat tentang aktivitas jual-beli olahan tembakau sejak zaman dahulu. Kenyataannya, tembakau memang telah menjadi komoditas bisnis, baik bagi masyarakat lokal maupun orang asing yang datang ke Nusantara.
KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Cerita kegigihan Rara Mendut melawan hegemoni kekuasaan dirangkai dalam pertunjukan musikal keroncong oleh Teater Garasi bersama Keroncong Irama Tongkol Teduh dalam sebuah pertunjukan musikal Krontjong Mendoet, Senin (27/2/2012) di Studio Teater Garasi, Yogyakarta.
Pengusahaan tembakau
Catatan tentang pengusahaan tembakau cukup banyak ditemui pada era pemerintahan kolonial Hindia Belanda, terutama setelah dibukanya Hindia Belanda bagi pihak swasta yang ingin berinvestasi jelang medio akhir abad ke-19.
Soegijanto Padmo dan Edhie Djatmiko dalam buku Tembakau: Kajian Sosial-Ekonomi (1991), menuliskan, pengusahaan tembakau di Jawa pada abad ke-19 mulai dilakukan secara masif pada tanah milik petani. Pada wilayah Tuban, Bojonegoro, dan Rembang, misalnya, jelang akhir abad ke-19 tembakau telah ditanam pada sekitar 1.200 bahu sawah atau sekitar 851,6 hektare. Setiap bahu, atau sekitar 0,7 hektare lahan, membutuhkan tenaga hingga delapan orang untuk menggarapnya.
Menurut laporan Van Gorkom, pegawai pemerintahan kolonial di Rembang pada tahun 1860-1862, saat itu hubungan antara petani dan penguasa tidak berjalan harmonis. Para petani pun terkadang menggugat para penguasa desa yang dinilai melakukan korupsi terhadap upah yang seharusnya dibayarkan kepada petani.
Simak Galeri Foto: Komoditas Tembakau di Magelang
Jelang akhir abad ke-19, tanaman tembakau kian digemari seiring meningkatnya permintaan dunia. Kondisi ini turut mendorong pihak swasta untuk membuka area tanam tembakau secara lebih masif. Bahkan, dalam kurun waktu satu tahun antara 1877 dan 1878, luas area perkebunan tembakau di Jawa, di luar Yogyakarta dan Surakarta meningkat hingga 22.363 bahu atau sekitar 15.870 hektare.
Di sisi lain, luas area perkebunan rakyat juga semakin berkembang. Pada tahun 1939, tanaman tembakau rakyat telah tersebar pada sejumlah daerah di Pulau Jawa. Area tanaman terluas adalah pada wilayah Kedu (Temanggung dan sekitarnya) dengan total luas lahan hingga 31,2 ribu hektare, Bojonegoro (20,1 ribu ha), dan Madura (12,8 ribu ha).
Selain di Jawa, usaha untuk menanam tembakau juga dilakukan pada daerah lainnya di luar Pulau Jawa. Salah satu lokasi tujuan pemerintah kolonial untuk menanam tembakau adalah di Ternate pada tahun 1875. Walakin, tingginya intensitas hujan sejak pertengahan hingga akhir tahun di wilayah itu menyebabkan buruknya kualitas tembakau yang dihasilkan.
Industri Rokok
Memasuki abad ke-20, pengusahaan tembakau semakin berkembang seiring hadirnya perusahaan kretek di Pulau Jawa. Campuran antara tembakau dan cengkeh ini mendapatkan apresiasi di tengah-tengah masyarakat saat itu. Terbukti, pada 1929-1933, jumlah perusahaan kretek kian meningkat pesat yang menandakan tingginya permintaan.
Pada daerah Kudus, misalnya, pada 1929, terdapat 37 perusahaan kretek yang dimiliki oleh orang-orang Jawa. Jumlah ini meningkat hingga 373 persen pada tahun 1933 menjadi 138 perusahaan.
Kenaikan jumlah perusahaan kretek juga dicatatkan oleh daerah lainnya pada kurun waktu yang sama. Di wilayah Pati, jumlah perusahaan kretek meningkat dari dua perusahaan pada 1930 menjadi 40 perusahaan pada 1933. Sementara di Rembang, kenaikan jumlah perusahaan kretek juga cukup tinggi dari satu perusahaan pada tahun 1930 menjadi 16 perusahaan tahun 1933.
Selain perusahaan yang dimiliki oleh pribumi, lahir pula perusahaan kretek yang dimiliki oleh keturunan Tionghoa di Jawa. Dalam kurun waktu 1929-1933, juga meningkat secara konsisten, yakni dari 29 perusahaan tahun 1929 menjadi 62 perusahaan pada 1933.
Kenaikan jumlah perusahaan ini tentu berbanding lurus dengan peningkatan kebutuhan tembakau. Peluang ini tampaknya cukup jeli dilirik oleh masyarakat lokal. Hal ini terlihat dari munculnya perkebunan tembakau rakyat. Pada 1939, perkebunan tembakau rakyat telah tersebar pada Jawa Barat (8.000 ha), Jawa Tengah (63.800 ha), dan Jawa Timur (67.500 ha).
Tingginya kebutuhan tembakau juga turut dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial untuk menghasilkan pemasukan melalui pajak tembakau. Sejak 1938-1940, tembakau secara rata-rata menyumbang 6,3 persen dari total perolehan uang dari pajak dan bea kala itu. Tampak dengan sangat jelas bahwa tembakau berhasil mencuri perhatian kalangan pebisnis, pemerintah, hingga kalangan petani lokal.
Kota Industri Rokok
Kian digemarinya tembakau di tengah-tengah masyarakat pada periode kolonial turut berdampak pada kondisi sosial dan ekonomi di sejumlah wilayah. Kota-kota industri jamak bermunculan, salah satunya adalah Kudus yang hingga kini dikenal sebagai kota kretek.
Pada dekade 1930-an, kota-kota tembakau ini jamak muncul pada daerah Jawa bagian tengah dan timur. Jika menengok pada pola sebaran rokok kretek dan penyaluran tembakau di Jawa dan Madura pada 1930, terlihat jelas betapa pentingnya peran dari daerah Kudus.
Dari sinilah kretek didistribusikan pada sejumlah wilayah di Pulau Jawa, seperti Madiun, Surakarta, dan Bojonegoro.
Simak Galeri Foto: Pengolahan Tembakau Candimulyo
Rokok Kretek
Sejak abad ke-19, tembakau mulai menjadi kebutuhan primer bagi sebagian masyarakat. Kondisi ini turut berbanding lurus dengan pemanfaatan tembakau sebagai komoditas bisnis. Perkebunan tembakau rakyat hingga perusahaan pengolahan tembakau perlahan mulai bermunculan, baik yang dimiliki oleh pribumi maupun investor asing.
Prospek bisnis ini juga tidak dapat dilepaskan oleh kebiasaan masyarakat saat itu untuk mengonsumsi tembakau dengan cengkeh. Tanaman cengkeh dari Indonesia timur, selain berhasil memancing kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia pada abad ke-16 dan abad ke-17, juga menjadi daya tarik bagi masyarakat Jawa. Jejak konsumsi tembakau dan cengkeh ini sudah ditemukan sejak sekitar abad ke-17. Namun, saat itu kebiasaan ini belum dimanfaatkan sebagai celah bisnis.
Menurut catatan Lance Castles, dalam buku Tingkah Laku Agama, Politik, dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus (1982), perkembangan tembakau dan cengkeh sebagai komoditas bisnis tidak bisa dilepaskan dari wilayah Kudus. Dari sinilah istilah kretek muncul hingga kemudian melembaga dan melekat pada daerah Kudus.
Baca juga: Harga Tembakau di Temanggung Anjlok, Sejumlah Petani Enggan Panen
Titik persinggungan antara Kudus dan kretek tidak terlepas dari sosok Haji Djamhari yang menderita penyakit dada pada abad ke-19. Untuk mengobatinya, Djamhari menggunakan cengkeh yang dicampur dengan tembakau. Caranya, cengkeh dirajang hingga halus dan dicampurkan dengan tembakau. Hasil campuran ini kemudian dibakar agar menghasilkan asap. Dengan cara ini, Djamhari merasakan kondisinya lebih membaik.
Cara ini kemudian dipopulerkan oleh Djamhari kepada koleganya sekitar tahun 1870-an. Di luar dugaan, permintaan campuran cengkeh dan tembakau meningkat hingga akhirnya Djamhari membuat dalam jumlah yang cukup banyak untuk memenuhi pesanan. Sejak saat itu, pengolahan tembakau dan kretek semakin banyak tersebar di Kudus dan beberapa wilayah lainnya.
Olahan tembakau dan cengkeh ini pertama kali disebut sebagai rokok cengkeh oleh masyarakat. Namun, saat dihisap rokok ini mengeluarkan bunyi ”kretek” seperti daun yang sedang dibakar. Bunyi itu disebabkan pemakaian rajangan cengkeh. Lambat laun, rokok ini dikenal dengan sebutan kretek.
Rokok kretek kian dikenal ketika semakin banyaknya penduduk yang menggulung tembakau di pinggir jalan untuk memenuhi permintaan konsumen. Perlahan, pengirisan cengkeh mulai dilakukan di rumah dan berkembang menjadi industri rumahan.
Sejarawan Onghokham dan Amen Budiman dalam buku Hikayat Kretek (2016), mengemukakan bahwa rokok kretek mulai jamak dikenal oleh orang-orang di Pulau Jawa setelah Djamhari mulai mengenalkannya kepada masyarakat luas. Bahkan, secara perlahan daerah di luar Pulau Jawa juga turut menikmati kretek yang dikirim langsung dari Jawa.
Kudus dan Rokok Kretek
Kenikmatan kretek yang kian banyak digemari masyarakat menjadi peluang bisnis yang menjanjikan bagi masyarakat di Kudus. Peluang serupa juga coba dimanfaatkan oleh pebisnis Tionghoa hingga menyebabkan terjadinya persaingan antara pengusaha lokal dan pribumi.
Persaingan ini menjadi salah satu pemicu terjadinya huru-hara di Kudus pada Oktober 1918. Pabrik dibakar, korban pun berjatuhan. Kondisi ini menjadi pukulan telak bagi industri kretek di Kudus kala itu.
Pada dekade 1920-an, industri kretek di Kudus perlahan kembali pulih. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya industri kretek yang muncul di wilayah ini. Hingga tahun 1928, industri kretek semakin berkembang, terutama pada daerah sekitar pusat Kabupaten Kudus.
Jumlah industri kretek di Kudus yang dimiliki oleh pribumi mencapai 37 unit usaha pada tahun 1929. Dari jumlah itu, delapan perusahaan di antaranya adalah perusahaan besar dengan jumlah produksi sekitar 50 juta batang per tahun.
Baca juga: Kudus, Kretek, dan Gerakan Sosial
Saat terjadi krisis tahun 1930, industri kretek justru mampu bertahan. Bahkan, jumlahnya semakin meningkat pesat menjadi 43 perusahaan pada tahun 1930 dan 102 perusahaan pada tahun 1932. Meski begitu, sejumlah perusahaan harus berjuang untuk bertahan di tengah gempuran krisis yang saat itu melanda dunia hingga dampaknya dirasakan di Hindia Belanda.
Penambahan perusahaan terbesar adalah pada industri kecil dengan total produksi di bawah 10 juta batang per tahun. Di daerah Kudus, jumlah unit usaha pada kategori ini meningkat dari 14 usaha pada 1929 menjadi 79 usaha pada tahun 1932. Kenaikan ini tidak terlepas dari pemanfaatan peluang oleh masyarakat lokal di tengah menjamurnya konsumsi kretek di tengah-tengah masyarakat.
Perkembangan pesat ini tidak serta-merta diikuti oleh unit usaha yang dimiliki oleh pengusaha asing. Jumlah perusahaan yang dimiliki oleh pebisnis Tionghoa memang mengalami kenaikan pesat secara persentase. Jika pada 1929 terdapat 18 usaha kretek milik Tionghoa di Kudus, jumlah ini meningkat 50 persen pada tahun 1931. Namun, secara jumlah, usaha milik pribumi saat itu masih lebih mendominasi.
Hal menarik yang perlu dicermati dari perkembangan industri kretek di Kudus adalah tumbuhnya bisnis skala kecil dari pebisnis Tionghoa. Jika pada tahun 1929 hanya terdapat dua unit usaha kretek, jumlahnya meningkat hingga 14 perusahaan pada tahun 1933. Artinya, pebisnis Tionghoa tidak hanya menjadi pemain bisnis kretek dalam skala besar, melainkan juga turut bersaing dalam bisnis skala kecil dengan penduduk lokal.
Gerakan Pengusaha di Kudus
Selain ekonomi, pesatnya perkembangan industri kretek juga turut berpengaruh pada kondisi sosial di Kudus pada medio awal abad ke-20. Perbaikan ekonomi berkat industri kretek tampaknya juga berbanding lurus dengan pertumbuhan penduduk di wilayah Kudus saat itu.
Jumlah penduduk di seluruh wilayah Kudus sejak 1861 hingga 1915 meningkat hingga dua kali lipat, lebih tinggi dibandingkat kenaikan jumlah penduduk di Jawa dan Madura pada periode yang sama (156 persen).
Kudus yang semakin ramai dan mulai dikenal dengan kreteknya, menghasilkan tokoh pengusaha yang aktif dalam pergerakan sosial di era kolonial. Salah satunya adalah Abdul Kadir, seorang pengusaha pabrik kretek yang turut berperan dalam berdirinya Muhammadiyah cabang Kudus (Castles, 1982).
Hadirnya pengusaha dalam perkembangan organisasi Islam menjadi titik persinggungan antara kehidupan sosial-keagamaan dengan industri di wilayah ini. Kondisi ini terus bertahan hingga Kudus dikenal sebagai wilayah yang memiliki dua identitas, yakni kota santri dan kota kretek.
Baca juga: Kebijakan Pengendalian Tembakau yang Kuat Menguntungkan Bangsa
Gerakan lainnya yang dilakukan oleh pengusaha adalah membentuk organisasi pengusaha pabrik kretek Kudus. Pembentukan organisasi ini dilatarbelakangi oleh kebijakan pemerintah kolonial dalam membebani pajak rokok sebagai upaya untuk menambah pemasukan pemerintah.
Namun, organisasi ini tidak melakukan perlawanan intelektual ataupun fisik, melainkan melakukan perlawanan sosial. Gerakan yang dilakukan adalah dengan melakukan penyesuaian terhadap kebijakan yang membebani pengusaha kala itu. Dengan begitu, pengusaha lokal tetap dapat menunjukkan eksistensinya di tengah tekanan kebijakan pemerintah kolonial dan saingan bisnis dengan pengusaha asing.
Sejumlah gerakan yang dilakukan oleh pengusaha serta perkembangan bisnis yang mengiringinya, semakin mengukuhkan dominasi Kudus sebagai kota kretek. Hingga kini, lebih dari satu abad berselang, Kudus kian sulit dilepaskan dari tembakau. (LITBANG KOMPAS)
KOMPAS/SUPRAPTO
Referensi
- Badil, Rudy., TR Setianto Riyadi. 2011. Kretek Jawa: Gaya Hidup Lintas Budaya. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- Budiman, Amen., Onghokham. 1987. Rokok Kretek: Lintasan Sejarah dan Artinya Bagi Pembangunan Bangsa dan Negara. Kudus: Djarum.
- Budiman, Amen., Onghokham. 2016. Hikayat Kretek. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- Castles, Lance. 1982. Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus. Jakarta: Sinar Harapan.
- Padmo, Soegijanto., Edhie Djatmiko. 1991. Tembakau: Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.