Daerah

Kota Salatiga: Sejuknya Toleransi di Simpang Joglosemar

Terhampar di kaki Gunung Merbabu, Kota Salatiga merupakan kota simpang antara Yogyakarta, Solo, dan Semarang atau Joglosemar. Kesejukan udara Kota Salatiga selaras dengan nilai-nilai toleransi warganya yang dibuktikan dengan penghargaan peringkat ketiga indeks kota toleran di Indonesia pada 2021.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Pusat Perekonomian Salatiga – Salah satu pusat kawasan perekonomian dengan pasar dan kompleks pertokoan di Kota Salatiga, Jawa Tengah, Salasa (14/4/2015). Kota Salatiga dengan luas 56,78 kilometer persegi berkembang sebagai pusat pendidikan, perdagangan dan transit pariwisata.

Fakta Singkat

Hari Jadi 
24 Juli 750

Dasar Hukum
Undang-Undang No. 17/1950

Luas Wilayah
56,79 km2

Jumlah Penduduk
193.525 jiwa (2021)

Kepala Daerah
Penjabat Wali Kota Sinoeng Noegroho Rachmadi

Instansi terkait
Pemerintah Kota Salatiga

Salatiga merupakan kota kecil di Provinsi Jawa Tengah yang diapit oleh dua kota besar, yakni Semarang dan Solo. Jika dibentangkan lagi, Kota Salatiga merupakan persimpangan antara tiga kota besar yakni Yogyakarta, Solo, dan Semarang atau Joglosemar.

Kota seluas 56,79 km2 ini juga dilalui jalan nasional dan jalan Tol Trans Jawa sehingga menjadikannya strategis. Terletak di kaki Gunung Merbabu dan pegunungan, seperti Telomoyo, Gajah Mungkur, serta Payung dan Rong membuat kota ini berhawa sejuk dengan panorama yang indah.

Salatiga adalah Staat Gemente yang dibentuk berdasarkan Staatblad 1923 No. 393 yang kemudian dicabut dengan UU 17/1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kecil Dalam Lingkungan Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Hari Jadi Kota Salatiga ditetapkan pada tanggal 24 Juli tahun 750 Masehi berdasarkan Peraturan Daerah Tingkat II Nomor 15 Tahun 1995. Pada tahun 2022, kota ini telah berusia 1272 tahun. Dengan usia tersebut, Salatiga adalah kota tertua nomor dua di Indonesia setelah Palembang.

Sebagai kota tua, di kota ini tersebar bangunan Belanda seperti Gedung Papak (Kantor Wali Kota Salatiga), Istana Djoen Eng sekarang Institute Roncali, Hotel Blommestein sekarang untuk Gedung Komando Distrik Militer (Kodim), Hotel Kalitaman, dan Hotel Kaloka.

Kota berpenduduk 193.525 jiwa (2021) ini terdiri dari empat kecamatan dan 23 kelurahan. Pemerintahan Kota Salatiga saat ini dipimpin oleh Penjabat Wali Kota Sinoeng Noegroho Rachmadi yang dilantik Gubernur Jateng Ganjar Pranowo pada 22 Mei 2022 lalu. Masa jabatan Sinoeng berlaku hingga Maret 2025 saat pelantikan Wali Kota/Wakil Wali Kota terpilih nanti.

Sebelumnya, Salatiga dipimpin oleh Wali Kota Yuliyanto, didampingi Wakil Wali Kota Muhammad Haris selama dua periode, 2011-2016 dan 2017-2022.

Salatiga pernah mendapat julukan sebagai De Schoonste Stad van Midderi-Java atau Kota Terindah di Jawa Tengah. Di kota ini, banyak dijumpai rumah peninggalan Belanda dan juga tempat wisata alam seperti Kopeng.

Salatiga memiliki julukan lain, yakni Kota Pendidikan di Jawa Tengah. Di kota ini, berdiri beberapa perguruan tinggi seperti Yayasan STIE Ama, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), dan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW).

Kota Salatiga juga merupakan “Indonesia mini” karena berbagai entis dan suku dari wilayah nusantara tinggal di kota ini. Bahkan, Salatiga termasuk salah satu dari tiga kota paling toleran se-Indonesia menurut SETARA Institute.

Tahun 2021 lalu, Kota Salatiga mendapat skor tertinggi ketiga dalam indeks Kota Toleran. Kota dengan masyarakat yang heterogen namun saling menghargai itu mendapat nilai tertinggi bersama empat kota lainnya di Indonesia yaitu Singkawang, Manado, Kupang, dan Tomohon.

Seiring dengan dibangunnya Jalan Tol Trans Jawa, Gerbang Tol Salatiga memiliki panorama yang indah. Dengan latar belakang Gunung Merbabu yang menjulang tinggi, banyak orang yang menyamakan pemandangan di gerbang tol itu dengan pemandangan di Swiss.

Dalam sistem perkotaan nasional, Kota Salatiga ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan termasuk ke dalam Kawasan Strategis Nasional Perkotaan Kendal, Demak, Ungaran, Salatiga, Semarang, Purwodadi (Kedungsepur).

Sejarah pembentukan

Seperti dilansir dari laman resmi Pemerintah Kota Salatiga dan buku “Asal Usul Kota-Kota di Indonesia Tempo Doeloe” yang ditulis Zaenuddin HM, disebutkan ada beberapa sumber yang dijadikan dasar untuk mengungkap asal usul Salatiga, yaitu yang berasal dari cerita rakyat, prasasti, maupun penelitian dan kajian yang cukup detail.

Dari beberapa sumber tersebut, Prasasti Plumpungan menjadi dasar asal usul Kota Salatiga. Berdasarkan prasasti ini, Hari Jadi Kota Salatiga kemudian ditetapkan pada tanggal 24 Juli 750 melalui Peraturan Daerah Tingkat II Kota Salatiga Nomor 15 Tahun 1995 tentang Hari Jadi Kota Salatiga.

Prasasti Plumpungan, cikal bakal lahirnya Salatiga, tertulis dalam batu besar berjenis andesit berukuran panjang 170 sentimeter, lebar 160 sentimeter dengan garis lingkar 5 meter yang selanjutnya disebut Prasasti Plumpungan.

Berdasarkan prasasti di Dukuh Plumpungan, Desa Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo, maka Salatiga sudah ada sejak tahun 750 Masehi. Pada waktu itu, Salatiga merupakan perdikan, yaitu suatu daerah dalam wilayah kerajaan tertentu. Daerah ini dibebaskan dari segala kewajiban pajak atau upeti karena daerah tersebut memiliki kekhususan tertentu, daerah tersebut harus digunakan sesuai dengan kekhususan yang dimiliki. Wilayah perdikan diberikan oleh Raja Bhanu meliputi Salatiga dan sekitarnya.

Menurut sejarahnya, di dalam Prasasti Plumpungan berisi ketetapan hukum, yaitu suatu ketetapan status tanah perdikan atau swantantra bagi Desa Hampra. Pada zamannya, penetapan ketentuan Prasasti Plumpungan ini merupakan peristiwa yang penting, khususnya bagi masyarakat di daerah Hampra. Penetapan prasasti merupakan titik tolak berdirinya daerah Hampra secara resmi sebagai daerah perdikan atau swantantra.

Desa Hampra, tempat prasasti itu berada, kini masuk wilayah administrasi Kota Salatiga. Dengan demikian daerah Hampra yang diberi status sebagai daerah perdikan yang bebas pajak pada zaman pembuatan prasasti itu adalah daerah Salatiga sekarang ini. Menurut sejarahwan, penulisan Prasasti Plumpungan dilakukan oleh seorang citralekha (penulis) disertai para pendeta (resi).

Sebagaimana halnya kota-kota lain di Indonesia, Kota Salatiga dulu juga tak lepas dari kekuasaan kolonial Belanda. Pada era penjajahan Belanda telah cukup jelas batas dan status Kota Salatiga. Berdasarkan Staatsblad 1917 No. 266, mulai 1 Juli 1917 didirikan Staadsgemeente Salatiga yang daerahnya terdiri dari 8 desa.

KOMPAS/IRWAN JULIANTO

Salatiga berbenah diri: Dari kubangan kotoran kuda, “kota bunga” yang diimpikan. Hingga akhir tahun lalu, jika Anda kebetulan tertidur waktu naik bis, begitu memasuki kota Salatiga, otomatis Anda pasti terbangun. Ini disebabkan karena parahnya kondisi jalanan. Ironisnya, yang mulus hanyalah sepenggal jalan di depan rumah dinas kediaman Walikota. Jika musim hujan tiba, bopeng-bopeng di jalanan berubah jadi kubangan air bercampur kotoran kuda. Padahal hujan hampir sepanjang tahun menghguyur kota di kaki gunung Merbabu ini. Keadaan ini amat kontras dengan keadaan duapuluh atau belasan tahun yang lampau. Pada tahun 1961, Salatiga pernah terpilih sebagai Kota Terbersih di seluruh Jawa Tengah. Keteduhan dan keindahan yang ditimbulkan oleh jajaran pohon mahoni, kenari, asam dan tanjung yang berjajar sepanjang jalan raya, membuat orang kerasan tinggal di Salatiga.

Nama Salatiga mencuat kembali ke permukaan sewaktu digelar perundingan segitiga antara Kasunan Surakarta, VOC, dan Raden Said atau Pangeran Sambernyawa. Perjanjian itu digelar di Kalicacing, satu desa yang berada di wilayah Salatiga. Perjanjian ini dikenal sebagai Perjanjian Salatiga. Perundingan itu dipicu oleh perlawanan bersenjata Pangeran Sambernyawa terhadap VOC maupun Kasunaan.

Akhirnya, pada 17 Maret 1757, ditandatangani naskah perjanjian yang menyebutkan bahwa Pangeran Sambernyawa berhak memakai gelar Kanjeng Gusti Adipati Mangkunegara I. Gelar yang sama berhak dipakai keturunan Pangeran Sambernyawa.

Sejak pertengahan abad ke-19 hingga memasuki abad ke-20, Salatiga dikenal sebagai tempat peristirahatan bagi para pejabat pemerintah kolonial maupun orang-orang Eropa. Tempatnya yang berada di perbukitan dengan hawa yang sejuk memungkinkan Salatiga menjadi kawasan favorit untuk berlibur dan beristirahat.

Di masa kemerdekaan, Salatiga  pernah dijadikan salah satu basis tentara NICA-Belanda yang berniat menduduki kembali Indonesia. Bersama Ambarawa dan Semarang, Salatiga menjadi salah satu kawasan yang paling bergejolak. Kota ini menjadi salah satu titik serangan udara yang dilakukan oleh kadet-kadet AURI pada 29 Juli 1947.

Dengan menggunakan pesawat Churen yang diterbangkan dari Maguwo, Yogyakarta, kadet AURI itu berhasil menggelar serangan udara selama satu jam. Serangan ini memberi efek psikologis yang strategis karena menunjukkan pada dunia internasional bahwa kekuatan militer Indonesia masih eksis, kendati baru saja diserang oleh Belanda lewat Agresi Militer I.

Kota Salatiga  yang awalnya dibentuk berdasarkan Staatblad 1923 No. 393, kemudian setelah kemerdekaan dicabut dengan UU 17/1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kecil Dalam Lingkungan Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Berdasarkan UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, Kotamadya Daerah Tingkat II Salatiga berubah penyebutannya menjadi Kota Salatiga.

KOMPAS/ANTONY LEE

Rosa Darwanti, istri Wali Kota Salatiga, menunjukkan bagian belakang rumah dinasnya. Rumah tersebut dahulu merupakan kediaman asisten residen dan diyakini menjadi tempat menginap Arthur Rimbaud, penyair besar Perancis, selama dua pekan pada Agustus 1876.

Geografis

Salatiga adalah kota berhawa sejuk karena letaknya berada di cekungan lereng timur Gunung Merbabu dan diantara gunung-gunung kecil antara lain Gajah Mungkur, Telomoyo, Payung dan Rong. Ketinggian wilayahnya antara 450-825 mdpl dengan suhu ± 230C – 280C, sehingga cukup sejuk.

Batas wilayah Kota Salatiga sangat unik karena semua berbatasan dengan Kabupaten Semarang baik sisi Barat, Timur, Utara, maupun Selatan.

Luas wilayah Kota Salatiga tercatat sebesar 54,98 km² yang terdiri dari 4 kecamatan dan 23 kelurahan. Secara umum luas masing-masing kecamatan hampir sama tetapi kecamatan terbesar adalah Argomulyo dengan luas 18,14 km2 dan kecamatan terkecil adalah Tingkir dengan luas 10,43 km2

Dari kondisi geografisnya yang dikelilingi oleh gunung-gunung kota Salatiga pada sisi barat terdapat danau alam berupa Danau Rawa Pening menjadikan bentang alam di kota Salatiga lengkap antara pegunungan, dataran rendah, dan wilayah perairan.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Menjelang Pembukaan Jalan Tol Bawen-Salatiga – Jalan Tol Bawen-Salatiga di Kota Salatiga, Jawa Tengah, terlihat dari udara, Senin (21/8/2017). Ruas jalan tol sepanjang 17,6 kilometer yang memiliki pemandangan indah ini rencananya akan dibuka dan beroperasi penuh pada 28 Agustus 2017 mendatang.

Pemerintahan

Sejak Indonesia merdeka, Kota Salatiga sudah dipimpin oleh 18 kepala daerah. Ke-18 kepala daerah itu adalah R. Patah (1950-1950), M.S. Handjojo sebagai Penjabat (1950-1950), Mas Soedijono (1950-1957), Soewandi Martosoewojo (1957-1961), Bakri Wahab (1961-1966), Letkol S. Soegiman (1966-1976), Kol. Pol. S. Ragil Pudjiono (1976-1981), Djoko Santoso (1981-1986), Doelrachman Prawiro Soediro (1986-1991), dan Indra Suparno (1991-1996).

Kemudian dilanjutkan oleh Soewarso (1996-2001), H. Totok Mintarto (2001-2007), John Manuel Manoppo (2007-2011), Yuliyanto (2011-2016), Agus Rudianto sebagai Penjabat (2016-2016), Achmad Rofai sebagai Penjabat (2016-2017), Yuliyanto (2017-2022), dan Sinoeng Noegroho Rachmadi sebagai Penjabat Wali Kota (2022-sekarang)

Menurut wilayah administrasinya, Kota Salatiga terdiri dari 4 kecamatan, 23 kelurahan, 207 rukun warga (RW) dan 1.128 rukun tetangga (RT). Keempat kecamatan itu, yaitu Kecamatan Argomulyo, Kecamatan Tingkir, Kecamatan Sidomukti, dan Kecamatan Sidorejo.

Untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan, terdapat 3.318 aparatur sipil negara (ASN) yang bekerja. Rinciannya, sebanyak 1.451 pegawai laki-laki dan sebanyak 1.867 pegawai perempuan.

Menurut tingkat pendidikan, ASN yang berpendidikan dasar (SD dan SMP) paling sedikit, yaitu sebesar 4,40 persen. ASN yang berpendidikan hingga SMA/sederajat sebesar 11,24 persen dan ASN yang sudah mengenyam bangku perguruan tinggi sebesar 84,36 persen.

KOMPAS.COM/DIAN ADE PERMANA

Wali Kota Salatiga Yuliyanto memeluk Wakil Wali Kota Salatiga Muh Haris di hari terakhir menjabat.

Politik

Peta politik di Kota Salatiga dalam tiga kali pemilihan umum legislatif menunjukkan besarnya dukungan masyarakat terhadap PDI Perjuangan. Hal itu tampak dari perolehan kursi partai politik (parpol) di DPRD Kota Salatiga.

Di Pemilu Legislatif 2009, terdapat sembilan partai politik yang meraih kursi di DPRD Kota Salatiga. Dari 25 kursi yang diperebutkan, PDI Perjuangan, PKS, Demokrat, dan Golkar masing-masing memperoleh empat kursi. Kemudian PKPI tiga kursi, PAN dan PIS sama-sama memperoleh dua kursi, serta PPP dan PPRN masing-masing satu kursi.

Di Pemilu Legislatif 2014, PDI Perjuangan menjadi partai politik peraih kursi terbanyak di DPRD Kota Salatiga, yakni delapan kursi. Kemudian disusul PKS dan Gerindra masing-masing empat kursi, Demokrat tiga kursi, PKB dan Golkar sama-sama meraih dua kursi serta Nasdem dan PPP masing-masing mendapatkan satu kursi.

Terakhir di Pemilu Legislatif 2019, terdapat tujuh partai yang mendapatkan kursi di DPRD Kota Salatiga. PDI Perjuangan masih mendominasi perolehan kursi dengan meraih delapan kursi. Kemudian disusul PKS, PKB, dan Gerindra masing-masing empat kursi, Demokrat tiga kursi, serta Golkar dan Nasdem sama-sama meraih satu kursi.

DOKUMENTASI DPRD KOTA SALATIGA

Rapat Paripurna Istimewa DPRD Kota Salatiga Dalam Rangka Peringatan Hari Jadi Ke-1272 Salatiga  di Tahun 2022 diselenggarakan di Ruang Bhinneka Tunggal Ika DPRD Kota Salatiga  pada Minggu (24/07/2022).

Kependudukan

Kota Salatiga pada tahun 2021 dihuni oleh 193.525 jiwa. Rinciannya, 95.601 penduduk laki-laki dan 97.924 penduduk perempuan. Dengan perbandingan itu, maka rasio jenis kelamin senilai 97,63. Artinya, setiap 100 penduduk perempuan berbanding 98 penduduk laki-laki.

Kepadatan penduduk Kota Salatiga sebesar 3,520 jiwa per km2 dengan laju pertumbuhan sebesar 0,83 persen pada tahun 2021. Secara umum kepadatan penduduknya merata di setiap kecamatan.

Berdasarkan kelompok umur, pada tahun 2021, penduduk usia produktif (15-64 tahun) tercatat lebih besar dibanding penduduk usia non produktir. Penduduk usia produktif  sebanyak 136.237 jiwa sedangkan penduduk usia non produktif sebanyak 57.288 jiwa. Adapun angka ketergantungan penduduk Kota Salatiga sebesar 42,05, artinya setiap 100 penduduk usia produktif menanggung 42 penduduk usia non produktif.

Kota Salatiga terkenal dengan sebutan “Indonesia Mini karena kota ini dihuni oleh beragam suku bangsa. Sebagai kota multikultural, kota ini dihuni oleh beragam etnis, seperti Jawa, Sunda, Manado, Batak, Bali, dan Flores.

Setara Institute for Democracy and Peace menyebut Kota Salatiga sebagai salah satu Kota Tertoleran ketiga setelah Kota Singkawang dan Manado pada tahun 2021. Dengan komposisi pemeluk agama yang variatif, Salatiga memberi ruang yang sama bagi seluruh masyarakat untuk beribadah, berekspresi, dan mengaktualisasikan diri.

Di kota ini, terdapat pula rumah ibadah yang berdiri dan berdampingan. Contohnya, masjid dan gereja yang dibangun bersebelahan di seputaran Lapangan Pancasila di tengah kota Salatiga.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Idul Fitri 1438 Hijriah – Pastor beserta sejumlah warga Katolik memberi ucapan selamat kepada umat Islam yang melintasi Gereja Katolik Paulus Miki seusai menunaikan ibadah Shalat Idul Fitri 1438 Hijriah di halaman Kantor Komando Resor Militer 073/Makutarama, Kota Salatiga, yang bersebelahan dengan gereja tersebut, Minggu (25/6/2017). Ibadah puncak hari raya Idul Fitri yang berbarengan dengan pelaksanaan misa ekaristi mingguan di gereja tersebut berlangsung khidmat.

Indeks Pembangunan Manusia
83,60 (2021)

Angka Harapan Hidup 
77,55 tahun (2021)

Harapan Lama Sekolah 
15,42 tahun (2021)

Rata-rata Lama Sekolah 
10,66 tahun (2021)

Pengeluaran per Kapita 
Rp15,84 juta (2021)

Tingkat Pengangguran Terbuka
7,26 persen (2021)

Tingkat Kemiskinan
5,14 persen (2021)

Kesejahteraan

Tingkat kesejahteraan penduduk Kota Salatiga dari tahun ke tahun semakin membaik. Hal itu tecermin dari indeks pembangunan manusia (IPM) yang sudah masuk kategori sangat baik sejak tahun 2016. Pada tahun 2016, IPM Salatiga sudah mencapai 81,14. Setiap tahun terus meningkat hingga pada tahun 2021 mencapai nilai 83,60, tertinggi di Provinsi Jawa Tengah.

Menilik dari masing-masing dimensinya, usia harapan hidup tercatat selama 77,55 tahun pada 2021. Pada dimensi pendidikan, harapan lama sekolah selama 15,42 tahun dan rata-rata lama sekolah selama 10,66 tahun. Sedangkan pengeluaran per kapita per tahun sebesar Rp15,84 juta.

Dari sisi ketenagakerjaan, pada tahun 2021, tercatat sebanyak 70,36 persen merupakan angkatan kerja. Kemudian sebesar 7,26 persen dari angkatan kerja tergolong pengangguran terbuka. Angka pengangguran itu turun dibandingkan tahun 2020 sebesar 7,44 persen.

Adapun tingkat kemiskinan di Kota Salatiga pada tahun 2021 tercatat sebesar 5,14 persen atau sebanyak 10,14 ribu orang. Tingkat kemiskinan ini naik jika dibandingkan tahun 2020, yakni sebesar 4,94 persen atau sebanyak 9,69 ribu orang. Tingkat kemiskinan Kota Salatiga masih berada di bawah rata-rata tingkat kemiskinan Provinsi Jawa Tengah, yakni 11,25 persen (September 2021).

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Pedagang Pisang Lokal – Penjual pisang menunggu pelanggannya di Jalan Pattimura, Kota Salatiga, Jawa Tengah, Rabu (4/12/2013). Indonesia merupakan salah satu penghasil pisang terbesar di dunia dengan kapasitas 6,3 juta ton per tahun. Hingga saat ini komoditas buah lokal tersebut sebagian besar masih dikelola secara tradisional belum berorientasi ekspor.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) 
Rp299,73 miliar (2021)

Dana Perimbangan 
Rp534,24 miliar (2021)

Pendapatan Lain-lain 
Rp131,24 miliar  (2021)

Pertumbuhan Ekonomi
3,33 persen (2021)

PDRB Harga Berlaku
Rp14 triliun (2021)

PDRB per kapita
Rp72,37 juta/tahun (2021)

Ekonomi

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Salatiga tercatat senilai Rp14 triliun pada tahun 2021. Struktur ekonominya didominasi oleh tiga sektor utama, yaitu sektor industri pengolahan 32,75 persen, Konstruksi 13,78 persen, serta sektor perdagangan besar dan eceran: reparasi mobil dan sepeda motor 13,02 persen.

Sektor lainnya yang cukup besar dalam perekonomian adalah penyediaan akomodasi dan makan minum 7,16 persen, jasa pendidikan 5,30 persen, serta administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib 5,04 persen.

Dalam satu dekade terakhir, industri manufaktur skala besar dan sedang di Kota Salatiga tumbuh positif. Dari 26 perusahaan pada 2011, berkembang menjadi sebanyak 51 perusahaan di tahun 2021. Hampir separuh dari seluruh perusahaan tersebut terletak di Kecamatan Argomulyo. Separuh lainnya tersebar di tiga kecamatan lainnya.

Dari 51 perusahaan tersebut, terbanyak bergerak di industri pengolahan makanan, yakni 20 perusahaan/usaha. Diikuti oleh industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia serta industri pakaian masing-masing sebanyak 4 perusahaan. Kemudian diikuti industri karet, barang dari karet dan plastik serta industri barang galian bukan logam masing-masing sebanyak 3 perusahaan.

Berkembangnya sektor industri di Salatiga ikut memacu kegairahan dunia perdagangan. Setidaknya di kota ini, ada 15 pasar tradisional dan puluhan pasar swalayan. Banyaknya pusat perbelanjaan ini menjadi bukti ramainya orang berdagang. Pasar Jetis, Blauran, Pasar Raya I dan II, serta pertokoan di sepanjang Jalan Makutarama adalah beberapa nama lokasi perbelanjaan di sana.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Pedagang berjualan di Jalan Jenderal Sudirman, Kota Salatiga, Jawa Tengah, pada hari pertama penataan Pasar Pagi Salatiga, Senin (27/4/2020). Penataan dengan penerapan jarak satu meter antar pedagang tersebut berlangsung mulai pukul 01.00 hingga pukul 06.30. Sebanyak 853 pedagang pasar itu mengikuti upaya penataan yang dilakukan untuk mencegah penyebaran pandemi Covid-19 tersebut.

Di sisi pendapatan, Kota Salatiga mampu membukukan pendapatan sebesar Rp965,22 miliar pada tahun 2021. Porsi terbesar masih berasal dari dana perimbangan sebesar Rp534,24 miliar (55,35 persen),  diikuti dengan pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp299,73 miliar (31,05 persen) dan lain-lain pendapatan yang sah sebesar Rp131,24 miliar (13,60 persen).

Di sektor pariwisata, Salatiga memiliki berbagai tempat wisata baik wisata alam maupun buatan. Lokasinya yang berada di kaki gunung Merbabu memberikan udara yang sejuk dan cenderung dingin dengan panorama yang indah membuat banyak orang yang datang ke Salatiga untuk singgah sebentar sebelum melanjutkan perjalanan.

Beberapa destinasi wisata itu adalah wisata alam agrowisata Salib Putih, wisata Rawa Pening, situs sejarah Prasasti Plumpungan, wisata kolam renang Kalitaman, dan desa wisata Tingkir Lor.

Salatiga memiliki beberapa ritual yang sampai sekarang masih dipertahankan seperti Budaya Saparan, Budaya Tirakitan, Budaya Kirab, dan Budaya Suran. Ada juga motif Batik Plumpungan yang merupakan motif batik khas Salatiga.

Salatiga juga memiliki makanan khas yang sering dijadikan sebagai oleh-oleh yaitu enting-enting gepuk, abon, keripik paru, gethuk kethek dan masih banyak lagi. Salatiga memiliki wisata kuliner bercitarasa manis khas Jawa Tengah yang unik seperti sambel tumpang dengan tempe bosoknya yang khas, nasi pecel belut, pecel keong, dan lain-lain. Salah satu makanan khas Salatiga yang terkenal adalah Ronde.

Adapun fasilitas yang menunjang pariwisata di Salatiga juga cukup memadahi. Setidaknya terdapat 38 akomodasi, lima di antaranya hotel bintang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Seorang anak meloncat ke mata air Benoyo di Kelurahan Kutowinangun Lor, Tingkir, Salatiga, Jawa Tengah, Rabu (30/6/2021). Benoyo merupakan salah satu dari tiga mata air utama di Salatiga yang keberadaannya terus berusaha dilestarikan sejak masa kolonial. Selain aliran airnya dimanfaatkan untuk budidaya ikan air tawar, lingkungan di sekitar mata air Benoyo juga dikembangkan untuk sarana wisata. Salatiga memiliki puluhan mata air lainnya yang debit airnya terus menyusut seiring laju pembangunan pada kawasan di sekitarnya.

Referensi

Arsip Berita Kompas
  • “Kota yang Berhawa Sejuk dan Sedang Berubah *Otonomi”, Kompas, 13 Februari 2002, hlm. 08
  • “Kota Salatiga *Otonomi”, Kompas, 13 Februari 2002, hlm. 08
  • “HUT Kota Salatiga: Hemat Energi, Dirayakan Sederhana”, Kompas Jawa Tengah, Kompas Jawa Tengah, 23 Juli 2005, hlm. 01
  • “HUT Salatiga: Kota Tua yang Terimpit Jalan Kecil dan Ribuan Kendaraan, Kompas Jawa Tengah, 23 Juli 2005, hlm. 01
  • “Karakter Kota Salatiga Perlu Dipertahankan: Pengembangan Sektor Industri Harus Memerhatikan Modal Sosial yang Telah Ada *Bincang Kompas”, Kompas Jawa Tengah, 21 Juli 2006, hlm. 03
  • “HUT Ke-1.256 Kota Salatiga: Berharap Salatiga yang Kembali Nyaman”, Kompas Jawa Tengah, 22 Juli 2006, hlm. 03
  • “Saatnya Restorasi Bangunan Tua di Salatiga *kota Kita”, Kompas Jawa Tengah, 25 Juli 2006, hlm. 03
  • “HUT ke-1.257 Kota Salatiga: Hidup dari Industri dan Peternakan”, Kompas Jawa Tengah, 24 Juli 2007, hlm. 03
  • “Sejarah: Menengok Prasasti Plumpungan* Jalan-jalan”, Kompas Jawa Tengah, 16 Februari 2008, hlm. 10
  • “Multikultural: Akulturasi di Ultah Hok Tek Bio”, Kompas Jawa Tengah, 16 November 2009, hlm. 12
  • “Cagar Budaya Makin Berkurang * Salatiga Terancam Kehilangan Jati Diri Kota”, Kompas Jawa Tengah, 22 Desember 2009, hlm. 09
  • “Kota Salatiga: Perpusda Jadi Tulang Punggung * Indeks Kota Cerdas Indonesia 2015”, Kompas, 24 Juli 2015, hlm. 22
  • “Strategi Pembangunan: Menjadi Kota Bermartabat * Indeks Kota Cerdas Indonesia 2015”, Kompas, 24 Juli 2015, hlm. 22
Buku dan Jurnal
Aturan Pendukung
  • UU 17/1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kota Kecil dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat
  • UU 18/1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
  • UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah
  • UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah

Editor
Topan Yuniarto