KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Orang-orangan sawah atau atau boneka sawah dipasang aktivis Komite Nasional Pembaruan Agraria di depan gerbang Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/9/2020). Orangan-orangan sawah ini mewakili petani dalam menyampaikan pendapat untuk memeringati Hari Tani Nasional. Sejumlah isu dibawa dalam kegiatan tersebut seperti untuk mempertahankan dan mendesak pelaksanaan UU Pokok Agraria, penyelesaian konflik agraria yang berpihak kepada masyarakat, memproteksi produksi pertanian, dan menuntut kenaikan upah dan jaminan sosial buruh tani.
Fakta Singkat
- Hampir sebanyak 30 persen dari penduduk Indonesia bekerja dalam sektor pertanian.
- UUPA menjadi undang-undang terkait pertanahan pertama di Indonesia.
- Perumusan UUPA memakan waktu 12 tahun hingga pengesahannya pada 1960.
- Rancangan UUPA yang diajukan ke DPR pada September 1960 memperoleh suara bulat dari seluruh fraksi berbeda di dalamnya, termasuk kelompok Nasionalis, Islam, Komunis, dan Golongan Karya.
- Substansi UUPA lekat dengan kesejahteraan dan keberpihakkan terhadap masyarakat kecil.
Keagrariaan dan Indonesia adalah dua konsepsi yang begitu lekat, baik dalam konteks pra-kemerdekaan hingga Revolusi 4.0. Kedekatan tersebut tak lepas dari catatan historis Indonesia dengan banyaknya penduduk yang bekerja dalam sektor pertanian. Data BPS tahun 2021 menunjukkan bahwa hampir 30 persen (atau 29,76 persen) penduduk Indonesia bekerja dalam sektor pertanian. Selain itu, posisi geografis Indonesia memberikan berkah lahan yang subur untuk mendukung pertanian. Kondisi tersebut mendukung pertanian menjadi sektor penyumbang terbesar kedua bagi PDB Indonesia. Kontribusinya mencapai Rp2,25 kuadriliun atau setara 13,28 persen dari total PDB tahun 2021.
Selain dalam dimensi produksi dan pertanian, terdapat pula kelompok-kelompok dalam masyarakat Indonesia yang melihat tanah dalam dimensi magis-kosmis atau sesuatu yang sakral. Kelompok ini merupakan bagian dari kesatuan sistem masyarakat adat yang beragam dengan masing-masing memiliki budaya panjang yang mengakar. Dalam kepercayaan kelompok masyarakat adat, tanah dipandang sebagai bentuk hubungan mereka dengan leluhur maupun Sang Pencipta. Seperti pada masyarakat adat Baduy yang memiliki ketentuan adat “Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak, sasaka teu meunang dirempak”. Kepercayaan demikian membuat tanah tidak terbatas pada status kepemilikan, namun juga penggunaan dan pemaknaannya.
Berangkat dari kondisi tersebut, dapat dipahami bahwa tanah di Indonesia memiliki fungsi yang multi-dimensional. Kehadiran tanah dalam sistem masyarakat Indonesia memiliki citra penting dalam dimensi produksi, sosial, hingga adat kebudayaan. Citra tanah yang demikian tidaklah sama dengan pandangan masyarakat Barat—di mana konsepsi atas tanah dipandang dalam konteks kepentingan ekonomi dan ilmu pengetahuan, sehingga interaksi atasnya sebatas pada corak rasionalisik dan kepentingan. Begitu berbeda dengan konsepsi masyarakat Indonesia yang lekat pada citra lingkungan masyarakat tradisional.
Dengan kondisi faktual demikian, diperlukan landasan hukum otonom yang mampu mengakomodir sifat-sifat tanah demikian. Sebab tanah merupakan masalah yang fundamental bagi hajat hidup masyarakat Indonesia. Selain itu, sistem kultural dan kemasyarakatan di Indonesia memiliki kebutuhan yang khas terhadap tanah. Hal ini selaras dengan empat fungsi hukum yang diutarakan akademisi hukum Roscoe Pound, yaitu pemelihara ketertiban masyarakat; mempertahankan status quo dalam masyarakat; menjamin kebebasan individu; dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Tanah sebagai bagian dari kebutuhan individu dan kelompok menjadi aspek penting yang dimaktubkan dalam hukum perundang-undangan Indonesia.
UUPA bagi Keagrariaan Indonesia
Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur masalah keagrariaan nasional, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Kehadiran UUPA dalam masyarakat agraris Indonesia membuka pintu lebar bagi penyeragaman keadilan dan perwujudan hukum agraria di seluruh negara. Selain itu, kehadiran produk hukum ini juga menjadi pengejawantahan atas kehadiran negara Indonesia sebagai negara hukum yang memberikan afirmasi terhadap kesatuan sistem masyarakat adat. Pengakuan tersebut, terdahulu telah termaktub dalam landasan konstitusi negara, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Secara khusus, poin pengakuan tersebut terletak pada Pasal 18B ayat (2) yang berisi:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang–undang.”
Melalui ayat tersebut, tampak bahwa dalam landasan hukum yang paling mendasar Indonesia mengakui adanya kehadiran masyarakat adat bersamaan dengan kepentingan kultural mereka dan dengan tegas memberikan perlindungan atas terselenggaranya sistem adat dalam wilayah adatnya masing-masing. Lebih lanjut, roh landasan konstitusional tersebut terpatri dalam kelahiran UUPA yang hadir secara lebih konkret. UUPA hadir secara khusus untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat Indonesia seluruhnya. Secara tegas hal ini dituliskan pada Pasal 3 sebagai berikut:
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”
Selain pengakuan atas masyarakat adat, kehadiran mendasar UUPA juga ditujukkan bagi tercapainya kemakmuran rakyat Indonesia. Pasal 2 ayat (3) menuliskan bahwa penguasaan dan regulasi tanah oleh negara adalah upaya untuk mewujudkan “kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan” yang merupakan bagian dari kemakmuran rakyat.
Dengan poin-poin yang demikian, UUPA dianggap sebagai produk hukum yang baik dan berpihak pada masyarakat. Ahli hukum Indonesia, Profesor R. Subekti menilai UUPA sebagai sebuah produk hukum yang hebat dengan landasannya yang sesuai falsafah negara. Masyhud Asyhari dalam artikel “UUPA: Antara Idealita dan Realita” menyoroti bahwa kehadiran hukum ini memiliki tujuan besar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Selain itu, Kurnia Warman dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komite I DPD Jakarta pada 2015 lalu menyoroti tujuan UUPA sebagai dasar pemberian kepastian hukum akan hak tanah seluruh masyarakat. Oleh karenanya, dosen hukum agraria ini melihat perlunya UUPA menjadi undang-undang pokok.
KOMPAS/NINA SUSILO
Presiden Joko Widodo berdialog dengan dua warga penerima lahan reforma agraria. Kamis (5/9/2019), di Taman Digulis Pontianak, pemerintah menyerahkan lahan dari tanah objek reforma agraria (TORA) seluas lebih dari 19.000 ha kepada 760 penerima di Kalimantan. Presiden pun menanyakan apa yang akan dilakukan warga dengan lahan yang diperolehnya.
Artikel terkait
Keselarasan Landasan Ideologis UUPA
Guru Besar bidang Hukum Agraria Universitas Indonesia Arie Sukanti Hutagalung, menyoroti bahwa UUPA telah sesuai dengan falsafah kenegaraan Indonesia: Pancasila. Dalam artikel “Konsistensi dan Korelasi Antara UUD 1945 dan UUPA 1960”, ia menjelaskan bagaimana substansi tiap-tiap sila pada Pancasila terkandung dan terpenuhi oleh pasal-pasal dalam UUPA.
Sila pertama, “Ketuhanan yang Maha Esa,” terkandung oleh UUPA dengan mengantarkan arah hukum pertahanan nasional pada afirmasi atas suasana dan kebutuhan keagamaan di masyarakat. Pemenuhan UUPA atas sila ini juga menjadi pemebuhan terhadap konsep “komunalistik-religius”. Konsep tersebut mengacu pada kehadiran masyarakat adat, pandangan mereka atas tanah ulayat sebagai pemberian Yang Kuasa, dan kepemilikan bersama atasnya. Suasana keagamaan yang dimaksud pada UUPA terkandung sebagai contoh sedari Pasal 1 Ayat 2 sebagaimana tertulis:
“Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.”
Sila kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,” selaras dalam kandungan UUPA yang menolak ketimpangan kekuasaan dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Pada pasal 10 ayat (1) dituliskan bahwa perorangan atau badan hukum yang mengerjakan suatu bidang tanah haruslah mengerjakannya dengan terhindari dari tindakan pemerasan. Sementara di pasal 11 ayat (1) hal serupa kembali ditekankan dengan menggarisbawahi larangan pekerjaan yang melampaui batas.
Sila ketiga, “Persatuan Indonesia,” terpatri pada UUPA dengan menghadirkan karakter Wawasan Nusantara. Hal tersebut tampak pada pasal 1 ayat (1) yang menuliskan “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.” Melalui pernyataan tersebut, tampak bahwa pembentukan UUPA didasarkan pada semangat persatuan dan kesatuan bangsa.
Sila keempat, “Kerakyatan yang Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan” sebagai dasar demokrasi dan kerakyatan bernegara juga terkandung dalam UUPA. Dalam pembuatan rancangan UUPA, para anggota perempuan dalam Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Hasilnya, Pasal 9 Ayat (2) berisikan ketentuan atas kepemilikan dan kesempatan yang sama bagi laki-laki maupun perempuan dalam konteks perolehan hak tanah dan hasil daripadanya. Pasal tersebut menunjukkan demokrasi hukum tanah bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Terkahir, sila kelima “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” menjadi salah satu karakter yang paling menonjol dalam substansi UUPA. Keberpihakan dan keadilannya pada golongan ekonomi lemah menjadi cirinya. Salah satu ciri tersebut dapat tampak pada Pasal 11 Ayat (2) yang memberikan pengakuan akan adanya kelas-kelas dalam masyarakat dan oleh karenanya, perlu untuk diberikan perlindungan terhadap kelas ekonomi yang lemah. Hal ini diuraikan lagi pada Pasal 15 yang menekankan pelaksanaan perhatian terhadap pihak ekonomi lemah. Selain itu, dalam konteks demokrasi hukum keagrariaan, UUPA memberikan pengakuan yang luas bagi kepentingan masing-masing daerah dan masyarakat adat. Pada Pasal 14 Ayat (2), UUPA memberi wewenang pada pemerintah daerah setempat untuk mengatur sendiri pemanfaatan tanah dan sumber daya di daerahnya selama dilakukan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan daerah tersebut. terkait legitimasi atas hukum adat tanah, pada Pasal 56 tertulis:
“Selama Undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat 1 belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam pasal 20 ”
KOMPAS/HER SUGANDA
Seusai panen padi di Karawang, Jawa Barat, para buruh tani dengan riang gembira menanti bagian hasilnya Padi yang mereka terima tidak banyak karena enam bagian untuk pemilik sawah, sementara satu bagian dibagi ramai-ramai di antara pemanen. Foto diambil pada tahun 1984.
Artikel terkait
Sejarah pembentukan UUPA
Salah satu alasan di balik pujian “hebat” yang diberikan Profesor R. Subekti pada UUPA adalah karena perundang-undangan tersebut merupakan produk otentik yang diproduksi sendiri oleh bangsa Indonesia. Dengan hadirnya undang-undang pertanahan yang merupakan buatan asli bangsa, Indonesia telah memiliki hukum tanah yang seragam. Hal ini sekaligus juga berarti menyingkirkan determinasi dan ketergantungan terhadap hukum tanah Belanda yang selama ini diberlakukan bagi tanah Indonesia.
Sebagai produk hukum, UUPA sendiri baru mendapat pengesahan pada tanggal 24 September 1960 dan berlaku hingga sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa baru dalam kurun waktu 15 tahun, bangsa Indonesia untuk pertama kalinya memiliki dasar perundang-undangan lebih lanjut yang mengatur pertanahan nasional sendiri dengan didasarkan pada landasan otentik negara: Pancasila dan UUD 1945. Sebelumya, peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah berasal dari peraturan pertanahan Belanda. Kehadiran UUPA menjadi angin segar bagi unifikasi hukum tanah dari Sabang sampai Merauke. Selain itu, UUPA juga membebaskan warisan peraturan agraria yang bersifat feodalisme maupun kolonialisme ke arah strutur peraturan yang berpihak pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Perumusan UUPA sendiri telah melalui jalan nan panjang dengan berangkat dari pembentukan Panitia Agraria Yogyakarta (PAY) melalui Surat Ketetapan Presiden No. 16 pada 12 Mei 1948. Dalam surat tersebut, Soekarno meminta penyusunan hukum agraria dan kebijaksanaan politik agraria yang berlandaskan pada karakter bangsa sendiri. Anggota dari PAY sendiri berisikan para pejabat, akademisi hukum (terkhusus hukum adat), perwakilan dari petani, hingga buruh perkebunan. Hasil dari PAY yang diketuai Sarimin Reksodiharjo adalah sebuah laporan yang disampaikan ke Soekarno pada 3 Februari 1950. Pada 9 Maret 1950, PAY dibubarkan dengan berpindahnya pusat pemerintahan ke Jakarta. Sebagai gantinya, didirikanlah Panitia Agraria Jakarta (PAJ) dengan ketua dan tugas utama yang sama.
Pada 29 Maret 1955, Indonesia akhirnya memiliki Kementerian Agraria pada era Kabinet Ali Sastoamidjojo I. Dengan mengacu pada Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS), kementerian ini memiliki tugas untuk mewujudkan visi yang terkandung ke dalam sebuah undang-undang agraria nasional. Di saat yang bersamaan, PAJ tetap hadir dengan ketua barunya Singgih Praptodihardjo. Setelah satu tahun berselang, PAJ dibubarkan karena dianggap tidak mampu menghasilkan rancangan undang-undang dan digantikan oleh Panitia Negara Urusan Agraria dengan diketuai Soewahjo Soemodilogo yang pada waktu itu menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria.
Hasil positif muncul melalui kepanitiaan yang kemudian dikenal sebagai Panitia Soewahjo, di mana dengan laporan dari panitia-panitia sebelumnya, mereka berhasil merumuskan Rancangan Undang-Undang pada 6 Februari 1958. Hasil tersebut segera diserahkan ke Kementerian Agraria dan Panitia Soewahjo pun dibubarkan karena dianggap telah purna tugas. Dari Panitia Soewajho ini pulalah nama “Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria” muncul. Wacana awal yang ingin menamakannya sebagai “Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Dasar Hukum Tanah” dianggap terlalu sempit dalam merepresentasikan cakupan isi rancangan undang-undang yang sedang dibuat.
Draf hukum tersebut mengalami sejumlah perubahan akan sistematika dan rumusan pasal sebelum kemudian dikenal sebagai Rancangan Soenarjo-–berangkat dari nama Menteri Agraria pada masa itu, Soenarjo, yang mengajukan draf tersebut ke Dewan Menteri pada 15 Maret 1958. Melalui sidang Dewan Menteri pada 1 April 1958, Rancangan Soenarjo mendapatkan persetujuan dan selanjutnya diajukan kepada DPR. DPR melihat perlunya penyusunan lebih lanjut terhadap rancangan hukum tanah yang diajukan Soenarjo sehingga kemudian membentuk panitia adhoc.
Pada 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang pada salah satu poinnya mencabut keberlakuan UUDS untuk kembali pada UUD 1945. Hal ini memberikan dampak pada Rancangan Undang-Undang Soenarjo yang menggunakan UUDS sebagai dasar. Oleh karenanya, rancangan tersebut ditarik kembali pada 23 Mei 1960. Barulah oleh Menteri Agraria selanjutnya, Sadjarwo Djarwonaogoro, dilakukan penyesuaian ulang rancangan undang-undang agraria dengan mengacu pada UUD 1945 dan Manifesto Politik Soekarno pada 17 Agustus 1959. Proses ini menghasilkan Rancangan Sadjarwo dan segera disetujui oleh Kabinet Kerja I pada Agustus 1960.
Setelah persetujuan tersebut, rancangan undang-undang diajukan kepada DPR-GR di bulan yang sama. Sidang pleno DPR-GR pada 14 September 1960 menerima baik rancangan UUPA. Yang menarik adalah rancangan tersebut memperoleh suara bulat dari seluruh golongan DPR-GR, yang di dalamnya terdapat Golongan Nasionalis, Islam, Komunis, dan Golongan Karya. Setelah persetujuan tersebut, pada 24 September 1960, rancangan undang-undang yang telah disetujui DPR-GR disahkan oleh Soekarno untuk menjadi Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Demikianlah, tanggal tersebut menjadi Hari Jadi UUPA—di mana sekaligus juga ditetapkan sebagai Hari Tani, dengan mengacu pada kedekatan tanah bagi petani. Kelahiran undang-undang ini menandakan pula hadirnya produk legislatif agraria pertama bagi Indonesia.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Aktivis dan petani menggelar aksi solidaritas dalam rangka peringatan Hari Tani Nasional, Selasa (6/10/2015), di depan Kantor Kejaksaan Tinggi Negeri Jawa Tengah, Kota Semarang. Mereka menuntut penyelesaian persoalan hukum, seperti kasus korupsi yang merugikan petani, konflik agraria, dan kesejahteraan petani.
Aktualisasi UUPA
Dalam konteks saat ini, nyatanya kehadiran dan pelaksanaan UUPA masih acap menjadi polemik. Salah satu poin kritik terhadap UUPA adalah cakupannya yang terlalu luas dengan mengacu pada Pasal 1 Ayat (2) yang mengatur ranah yuridisnya pada “bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”. Abdurahman dalam Sedikit tentang UUPA dan Praktek Pelaksanaannya menuliskan bahwa cakupan luas yang demikian membuat posisi UUPA harus tertutup oleh kehadiran undang-undang sektoral baru yang lebih konkret dan terperinci. Kemajuan zaman dan dimensi yang semakin luas tidak dapat terakomodasi oleh pasal-pasal pada UUPA. Sektor-sektor semacam pertambangan, perikanan, pertanian, hingga kehutanan pun telah memiliki landasan yuridisnya sendiri masing-masing.
Dalam pandangan ini, Mahfud MD dalam buku Politik Hukum di Indonesia melihat bahwa memang pada hakitkatnya kehadiran UUPA ditujukan sebagai undang-undang pokok, bukan sebuah produk hukum yang spesifik. UUPA hadir untuk memberikan pokok-pokok landasan dalam menyikapi masalah sumber daya alam dan agraria di Indonesia. Untuk itu, memang sejatinya diperlukan undang-undang yang lebih spesifik lainnya untuk mengisi kekosongan yang belum terangkul oleh UUPA. Dengan kapasitas hukum demikian, Mahfud MD melihat bahwa adalah selarasnya UUPA dijadikan sebagai payung hukum bagi masalah pertanahan di Indonesia. Roh kesejahteraan dan keadilan dalam pasal-pasalnya itulah yang harus menjadi patokan bagi produksi hukum terkait kedepannya.
Selain itu, kritik lainnya terhadap UUPA adalah kelekatannya pada ideologi sosialisme, baik dalam konteks politik perumusannya maupun dalam kandungan pasal-pasalnya. Masyhud Asyhari menuliskan, PKI sebagai partai pada masa itu, memberikan desakan pada Soekarno untuk memberlakukan reforma agraria dalam poin-poin UUPA. Pendasaran pada aspek ini memunculkan pertanyaan atas relevansi UUPA dalam konteks Indonesia moden. Sementara pada satu sisi masyarakat Indonesia memiliki trauma historis dengan gerakan PKI, di sisi lain konteks reforma agraria dan pembagian lahan dipertanyakan relevansinya. Meski begitu, karakter sosialis yang hadir pada UUPA justru menjadi sebuah nilai lebih dalam akomodasinya terhadap masyarakat kecil. Kelompok-kelompok tani dan kantor-kantor LBH berulangkali menyuarakan keberlangsungan UUPA dan agar pembuatan undang-undang baru diorientasikan pada UUPA.
Pada akhirnya, kehadiran UUPA secara historis telah menjadi sebuah simbol kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Kelahirannya menjadi produk hukum otentik pertama bangsa Indonesia dalam mengatur masalah keagrariaan—suatu dimensi yang sejatinya begitu dekat dengan karakter masyarakat. Namun, kehadirannya dalam konteks dewasa ini menciptakan diskusi pro dan kontra. Pada satu sisi, kehadiran undang-undang sektoral yang tumpang tindih dan nilai sosialisnya menjadi pemicu skeptisisme. Namun di sisi lain, karakter yuridis yang begitu menjunjung nilai adat, kesejahteraan, dan pembelaan terhadap golongan ekonomi lemah adlaah roh yang patut dipertahankan. Terakhir, dalam sebuah cuitan pada 2018, Mahfud MD mengingatkan masyarakat bahwa keberlakuan UUPA masih diakui. Namun untuknya dan undang-undang agraria lain, ia beranggapan hanya diperlukan penataan ulang atasnya. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Asyhari, M. 1992. “UUPA: Antara Idealita dan Realita”. Unisia No. 16 Tahun XIII Triwulan V/1992, 87-94.
- Hutagalung, A. S. 2004. “Konsistensi dan Korelasi Antara UUD 1945 dan UUPA 1960”. Jurnal Analisis Sosial Vol. 9 No. 1, 9-28.
- MD, M. M. 2006. Politik Hukum di Indonesia. Depok: Rajawali Pers.
- Wiradi, G. “Sejarah UUPA-1960 dan Tantangan Pelaksanaannya Selama 44 Tahun”. Konsorsium Pembaruan Agraria, Bogor, 2 September 2004.
- Alam, D. (2016, September 16). Diambil kembali dari dpr.go.id: https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/RJ1-20160916-102549-6280.pdf
- Annur, C. M. (2020, November 5). Sektor Pertanian Paling Banyak Menyerap Tenaga Kerja Indonesia. Diambil kembali dari Databoks.Katadata.co.id: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/11/12/sektor-pertanian-paling-banyak-menyerap-tenaga-kerja-indonesia#:~:text=Badan persen20Pusat persen20Statistik persen20(BPS) persen20menyebut,atau persen20sekitar persen2029 persen2C76 persen25.
- UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria
- Keppres Nomor 169 Tahun 1963 tentang Hari Tani
- Keppres Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan
- Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Kepentingan Umum
- Perpres Nomor 65 Tahun 2006
- Perpres Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah di Kawasan Hutan
- Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria