Paparan Topik | Hari Tani

Sejarah Hari Tani dan Perjalanan Undang-Undang Pokok Agraria

Peringatan Hari Tani setiap tanggal 24 September tidak bisa dilepaskan dengan fungsi tanah bagi petani. Bahkan, pemilihan tanggal Hari Tani bertepatan dengan disahkannya UU 5/1960 tentang Peraturan Pokok Agraria.

KOMPAS/RATIMAN SUTARDJO

Sejumlah 800 petani penggarap bekas perkebunan Sinagar Cirohani Nagrak, Sukabumi resah karena tanah garapan mereka akan diambil oleh sebuah perusahaan swasta dari Jakarta untuk dijadikan objek “hutan wisata”. Foto diambil pada tahun 1985.

Fakta Singkat

Hari Tani

  • Diperingati setiap 24 September
  • Bertepatan dengan pengesahan UU 5/1960 tentang Peraturan Pokok Agraria
  • Semangat UU 5/1960: Membebaskan petani dari berbagai macam bentuk penghisapan manusia atas manusia dengan alat tanah.

Masa Orde Lama

  • UU 5/1960 tentang Peraturan Pokok Agraria
  • Keppres 169/1963 tentang Hari Tani.
  • Pembentukan Musyawarah Besar Tani (Mubes Tani)

Masa Orde Baru

  • Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) menjadi satu-satunya organisasi petani yang diakui pemerintah.
  • Revolusi Hijau
  • Perubahan paradigma dari pertanian ke industri.

Masa Reformasi

  • Tap MPR No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
  • Keppres 34/2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan
  • Perpres 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Kepentingan Umum
  • Perpres 65/2006 tentang Perubahan Atas Perpres 36/2005
  • Perpres 88/2017 tentang Penyelesaikan Penguasaan tanah di Kawasan Hutan
  • Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) merupakan produk hukum yang disusun dengan semangat membangun kedaulatan negara atas tanah sesuai amanat UUD 1945 pasal 33.

Produk hukum ini menggantikan Hukum Agraria Kolonial yang mengatur tentang kepemilikan kekayaan alam. Pasal 1 ayat 3 UUPA menjelaskan bahwa bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah Republik Indonesia merupakan kekayaan nasional. Bahkan disebutkan, hubungan antara Indonesia dengan kekayaan nasional ini bersifat abadi.

Dengan adanya UU Pokok Agraria, hak rakyat, termasuk petani, atas tanah mendapatkan kepastian hukum. Secara umum, hak menguasai bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya berada di tangan negara.

Negara dapat memberikan hak tersebut kepada perorangan, bersama-sama, maupun badan hukum. Akan tetapi, agar tidak merugikan kepentingan umum, pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Bahkan, dikatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

Dalam perkembanganya, cara pandang pemerintah terhadap UU Pokok Agraria dapat menjadi cerminan sikap pemerintah memperjuangkan dan melindungi hak-hak petani, terutama hak atas tanah.

Masa Orde Lama

Perhatian pemerintah Orde Lama terhadap petani dapat dilihat dari penetapan aturan yang mendukung petani, penetapan Hari Tani, pembentukan kelompok tani, hingga pemberian lahan kepada petani.

Aturan yang disusun untuk memberikan kepastian hukum atas hak tanah bagi petani adalah UU Pokok Agraria. Sebagai payung hukum bagi peraturan yang lain, UU Pokok Agraria 1960 hanya mengatur hal-hal agraria secara garis besar. UU ini disahkan oleh Presiden Soekarno dengan tiga tujuan. Pertama, meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan menjadi alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.

Kedua, meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan. Ketiga, meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Di bagian awal, UU ini mencabut empat aturan kolonial terkait kepemilikan tanah dan kekayaan alam. Pertama, Agrarische Wet yang terbit pada tahun 1870. Kedua, Domien Verklaring yang mencakup beberapa daerah di Hindia Belanda yang terbit mulai tahun 1870 hingga 1888. Ketiga, Koninklijk Besluit yang terbit pada tahun 1872. Terakhir, Buku Kedua Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia mengenai bumi, air serta kekayaan alam.

Pertanian menjadi salah satu isu penting dalam UUPA. Misalnya, pasal 10 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap orang atau badan hukum yang mempunyai hak atas tanah pertanian wajib mengerjakan atau mengusahakan sendiri tanpa melakukan pemerasan. Bagian ini ditambahkan dalam bagian penjelasan bahwa baik usaha swasta maupun usaha pemerintah yang bersifat monopoli harus dicegah sebab merugikan rakyat umum.

Selanjutnya, sebagaimana disebut dalam pasal 14 aturan ini, rencana umum mengenai persediaan, peruntukan serta pengunaan bumi, air dan ruang angkasa, termasuk di dalamnya produksi pertanian, menjadi wewenang pemerintah.

Penetapan UU Pokok Agraria diikuti dengan penetapan Hari Tani setiap tanggal 24 September. Penetapan ini lakukan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1963 dengan Keppres Nomor 169 Tahun 1963 tentang Hari Tani.

Penetapan tanggal 24 September sebagai Hari Tani dianggap sebagai momentum yang tepat. Bukan hanya bertepatan dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria, tetapi juga karena bulan September merupakan bulan awal musim hujan di Indonesia, musim ketika petani mulai menanam.

UUPA menjadi landasan kebijakan pemerintah terkait kepemilikan tanah pertanian, salah satunya dengan menghilangkan sistem pemerasan oleh tuan tanah. Tindakan konkret dilakukan adalah dengan membentuk Musyawarah Besar Tani (Mubes Tani).

Dalam salah satu pertemuan Mubes Tani, Menko Pertanian dan Agraria kala itu, Sadjarwo, sekaligus Ketua Kehormatan Panitia Nasional Musyawarah Besar Tani, menyatakan bahwa Pemerintah berusaha untuk meningkatkan pertanian dan daya beli rakyat tani (Kompas, 23/7/1965).

Petani menjadi perhatian pemerintah sebab 80 persen rakyat Indonesia adalah petani. Selain itu, sebagai sebagian besar dari petani tersebut hidup melarat. Kemelaratan ini menurut pemerintah terjadi akibat 60 persen petani berstatus sebagai buruh tani yang menggarap lahan pertanian milik ‘’tuan tanah”, bukan milik sendiri.

Melihat situasi tersebut, pemerintah memberikan kepemilikan tanah kepada petani atau disebut dengan istilah landreform. Salah satu contoh terjadi di Jawa Tengah. Menurut catatan Kompas, hingga akhir tahun 1964, tanah seluas 32.117,921 hektare telah dibagikan kepada sebanyak 128.453 orang petani (Kompas, 20/7/1965).

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Orang-orangan sawah atau atau boneka sawah dipasang aktivis Komite Nasional Pembaruan Agraria di depan gerbang Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/9/2020). Orangan-orangan sawah ini mewakili petani dalam menyampaikan pendapat untuk memeringati Hari Tani Nasional. Sejumlah isu dibawa dalam kegiatan tersebut seperti untuk mempertahankan dan mendesak pelaksanaan UU Pokok Agraria, penyelesaian konflik agraria yang berpihak kepada masyarakat, memproteksi produksi pertanian, dan menuntut kenaikan upah dan jaminan sosial buruh tani.

Masa Orde Baru

Perhatian pemerintah Orde Baru terhadap petani dalam implementasi UU Pokok Agraria mengalami pergeseran, tak menyentuh persoalan penguasaan tanah sebagai inti dari Reforma Agraria melainkan fokus pada peningkatan produksi pangan dengan mengikuti gerakan Revolusi Hijau.

Selama pemerintahan Orde Baru, satu-satunya organisasi petani yang diakui oleh pemerintah adalah Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Hal ini disepakati dalam sidang majelis pleno HKTI pada tahun 1975. HKTI yang dibentuk pada 27 April 1973 merupakan gabungan berbagai organisasi tani yang ada di Indonesia (Kompas, 18/3/1975).

Dalam sidang pleno HKTI di atas, Undang-Undang Pokok Agraria masih menjadi diskusi pokok sidang. UUPA dinilai sudah baik. Yang menjadi persoalan adalah implementasinya. Untuk itu, pemerintah didesak untuk merealisasikan hal-hal yang tertuang dalam UUPA.

Pemerintah menindaklanjuti masukan HKTI pada tahun 1979 dengan mengingat banyaknya kasus soal tanah yang mulai meresahkan. Oleh karena itu, pemerintah menganggap harus segera mulai mengidentifikasi sejumlah permasalahan tanah.

Jenis-jenis persoalan tanah yang muncul meliputi masalah pembebasan tanah, penetapan ganti rugi, pendaftaran tanah, pengurusan dan pemberian hak atas tanah, landreform, penguasaan tanah tanpa hak, serta sengketa rumah-rumah bekas Belanda. Permasalahan tanah yang menyangkut juga soal pertanian pada masa itu ditangani oleh Kementerian Dalam Negeri, secara khusus pada Ditjen Agraria yang berada di bawahnya (Kompas, 14/2/1979).

Akan tetapi, menginjak tahun 1980-an, diskusi mengenai persoalan tanah tertutup dengan keberhasilan pemerintah dalam swasembada beras yang berhasil dicapai tahun 1984. Keberhasilan tersebut dianggap merupakan hasil dari Revolusi Hijau yang telah mulai digalakkan sejak tahun 1969 di Indonesia.

Tujuan dari Revolusi Hijau adalah meningkatkan produksi total dalam negeri melalui peningkatan produksi pertanaman padi per hektare. Di satu pihak, Revolusi Hijau membawa berkah bagi para pemilik lahan karena panen bertambah. Akan tetapi, petani lahan sempit dan buruh tani tak mendapatkan keuntungan langsung dari Rovolusi Hijau (Kompas, 24/3/1976).

Revolusi Hijau dianggap menghilangkan persoalan pokok pertanian menyangkut kepemilikan tanah. Oleh karena itu, Revolusi Hijau dianggap tidak dapat menggantikan Reforma Agraria dalam memecahkan masalah pertanahan. Alasannya, pembangunan pertanian bukan hanya masalah agronomi dan ekonomi melainkan juga masalah perbaikan kerangka kerja kelembagaan dengan satu faktor pentingnya yakni sistem penguasaan tanah. Peningkatan produksi dalam susunan penguasaan tanah yang timpang tidak akan dapat memperbaiki kehidupan sebagian besar rakyat desa yang miskin (Kompas, 30/9/1984).

Selain hanya menguntungkan para pemilik lahan yang luas, Revolusi Hijau dianggap hanya menghasilkan angkatan kerja dengan produktivitas rendah. Hal itu membuat revolusi Hijau perlu dilihat kembali (Kompas, 18/2/1992).

Belakangan, Revolusi Hijau juga digugat karena dianggap ikut serta merusak lingkungan. Pertanian modern menggunakan pestisida dan bahan kimia berakibat buruk bagi kesehatan manusia (Kompas, 10/8/1996).

Hingga tahun 1990, diskusi mengenai pertanahan kembali berlanjut. UUPA menjadi pegangan utama dalam melihat masalah pertanahan. Meski demikian, terdapat perbedaan paradigma pemerintah dalam melihat bidang pertanian yang disesuaikan dengan zamannya.

UUPA yang lahir pada tahun 1960 dilatarbelakangi paradigma pemerintah Orde Lama bahwa masyarakat Indonesia mayoritas adalah petani. Sementara hingga tahun 1990, pemerintahan Orde Baru melihat pergeseran yang terjadi dalam masyarakat. Kehidupan rakyat tidak hanya soal pertanian yang utama, tetapi juga menyentuh bidang perindustrian (Kompas, 24/9/1990).

Faktanya, hingga ulang tahun UUPA yang ke-30 pada 24 September 1990, pergeseran situasi masyarakat ini mempersulit pemerintah dalam pengaturan tanah. Hal ini disebabkan alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan industri ataupun permukiman. Konsekuensinya, pemerintah kesulitan membuat peta lengkap pengelolaan tanah di Indonesia.

Akan tetapi, pergeseran situasi ini tidak menghentikan kebijakan landreform yang menjadi salah satu roh dari UUPA. Meskipun demikian, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 1990, Soni Harsono, berpendapat, ketentuan absentee masih perlu disesuaikan. Pasalnya, ketentuan ini menjadi dasar pengambilan hak tanah perorangan menjadi milik negara untuk kemudian dibagikan kepada rakyat (Kompas, 24/9/1990)

Hingga tahun 1995, beberapa tahun menjelang berakhirnya masa Orde Baru, UUPA masih menjadi aturan pokok soal tanah. Pemerintah menilai belum perlu dilakukan perubahan atau pembaruan signifikan terhadap aturan tersebut (Kompas, 26/9/1995).

KOMPAS/HER SUGANDA

Seusai panen padi di Karawang, Jawa Barat, para buruh tani dengan riang gembira menanti bagian hasilnya Padi yang mereka terima tidak banyak karena enam bagian untuk pemilik sawah, sementara satu bagian dibagi ramai-ramai di antara pemanen. Foto diambil pada tahun 1984.

Masa Reformasi

Di masa Reformasi, ide tentang pembaruan Undang-Undang Pokok Agraria dimunculkan pertama kali oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Gagasan tersebut tertuang dalam Keppres Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan (Kompas, 12/6/2003).

Disebutkan di bagian awal Keppres tersebut, pertimbangan Megawati mengeluarkan keputusan ini adalah penyesuaian UU Pokok Agraria dengan perkembangan zaman serta Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Gagasan pemerintah, sebagaimana tertulis dalam pasal 1 keppres di atas, diwujudkan dengan percepatan penyusunan dua Rancangan Undang-Undang. Pertama, RUU Penyempurnaan UU 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Kedua, RUU tentang Hak Atas Tanah.

Selanjutnya, demi pendataan yang lebih utuh, pemerintah berencana membangun sistem informasi dan manajemen pertanahan dengan memanfaatkan teknologi. Rencana itu pertama dilakukan dengan menyusun basis data aset negara di seluruh Indonesia.  Selanjutnya, menyiapkan data tekstual dan spasial untuk melayani pendaftaran penguasaan dan pemilikan yang terhubung dengan e-government, e-commerce dan e-payment.

Selain itu, demi menunjang pelaksanaan landreform, digunakan teknologi citra satelit untuk inventarisasi dan registrasi. Terakhir, dalam rangka memelihara ketahanan pangan nasional, dikembangkan pemanfaatan sistem informasi geografi untuk mengelola pemanfaatan tanah. Prioritasnya adalah penetapan zona sawah beririgasi.

Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, muncul Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Kepentingan Umum. Melalui produk hukum ini, dengan pertimbangan kepentingan umum, kebutuhan pemerintah atas pengadaan tanah dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah maupun pencabutan hak atas tanah.

Adapun yang dimaksud pemerintah dengan pembangunan untuk kepentingan umum dijelaskan dalam pasal 5 perpres ini. Pembangunan tersebut meliputi jalan umum, jalan tol, rel kereta api saluran air, bangunan-bangunan pengairan, rumah sakit umum dan puskesmas, pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal, tempat ibadah, sekolah, pasar umum, pemakaman umum, pos dan telekomunikasi, sarana olahraga, stasiun penyiaran, dan kantor-kantor pemerintahan

Namun, di lain pihak, penetapan perpres ini disusul penolakan oleh beberapa organisasi nonpemerintah yang tergabung dalam Koalisi Ornop Penolak Perpres 36/2005. Alasannya, perpres ini tidak sesuai dengan semangat UU Pokok Agraria yang lebih memperjuangkan dan melindungi hak petani atas tanah. Kebijakan ini dinilai represif dan berpotensi menghidupkan otoriterianisme dalam soal agraria (Kompas, 18/5/2005).

Menanggapi penolakan yang ada, Presiden SBY akhirnya merevisi perpres di atas pada 5 Juni 2006 dengan mengeluarkan Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 36 Tahun 2005. Perpres revisi ini mengatur secara lebih rinci mengenai sistem ganti rugi.

Selain itu, jenis kepentingan umum yang dimaksud pemerintah juga dipangkas menjadi tujuh bidang saja, yakni pembangunan jalan dan saluran air, bangunan pengairan, stasiun transportasi umum, penanggulangan bencana, tempat pembuangan sampah, cagar alam dan budaya, serta pembangkit listrik.

Kebijakan yang diambi pemerintah belum memberi solusi konkret untuk nasib petani. Dalam peringatan Hari Tani 2010 misalnya, masih muncul unjuk rasa memperjuangkan hak atas lahan yang dilakukan oleh Serikat Petani Karawang, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Karawang.

Melalui unjuk rasa tersebut, para demonstran menilai, pemerintah gagal membangun sektor pertanian, menjebak petani pada kemiskinan, pengangguran dan urbanisasi. Pemerintah dianggap gagal mencegah semakin banyak lahan yang dikuasai oleh pemilik modal (Kompas, 25/9/2010).

Dalam masa pemerintahan Presiden Jokowi, keberpihakan pada petani dengan menggarap reformasi agraria diwujudkan dengan kebijakan yang tertuang dalam dua peraturan presiden. Pertama, Perpres Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah di Kawasan Hutan. Kedua, Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria yang diterbitkan pada tanggal 24 September 2018 bertepatan dengan Hari Tani Nasional 2018.

Yang dimaksud oleh pemerintah tentang reforma agraria dalam produk hukum ini adalah penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan. Tujuan utamanya adalah kemakmuran rakyat Indonesia.

Istilah penting baru yang tertuang dalam Perpres 86/2018 adalah Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). TORA merupakan tanah yang dikuasasi negara dan/atau tanah yang telah dimiliki oleh masyarakat untuk diredistribusi maupun dilegalisasi.

Secara implisit, aturan ini menunjukkan keberpihakan kepada petani. Disebutkan dalam pasal 2 bahwa salah satu tujuan reforma agraria adalah meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan. Aturan tentang reforma agraria yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi ini sekaligus melengkapi Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 untuk disesuaikan dengan kondisi saat ini. (LITBANG KOMPAS)

KOMPAS/NINA SUSILO

Presiden Joko Widodo berdialog dengan dua warga penerima lahan reforma agraria. Kamis (5/9/2019), di Taman Digulis Pontianak, pemerintah menyerahkan lahan dari tanah objek reforma agraria (TORA) seluas lebih dari 19.000 ha kepada 760 penerima di Kalimantan. Presiden pun menanyakan apa yang akan dilakukan warga dengan lahan yang diperolehnya.

Referensi

Arsip Kompas
  • “Mubes Tani Forum Besar Nasakom” (Kompas, 23 Juli 1965, hlm. 1)
  • “Menurut Perhitungan, Djateng Sudah Bersih dari Tuan Tanah” (Kompas, 20 Juli 1965, hlm. 2)
  • “HKTI Satu-satunya Organisasi Tani di Indonesia” (Kompas, 18 Maret 1975, hlm. 1)
  • “Mendagri Janjikan Tahun Ini Berbagai Kelengkapan UUPA Mulai ‘Dibereskan'” (Kompas, 14 Februari 1979, hlm. 1)
  • “Petani kita dalam revolusi hijau *produksi meningkat sedang kesempatan kerja tak seberapa *akibat sampingan dapat melebarkan jurang antara yang “punya” dan “tidak” di pedesaan”, (Kompas, 24 Maret 1976, hlm. 6)
  • “Tinjauan buku: Revolusi hijau bukan pengganti reforma agraria” (Kompas, 30 September 1984, hlm. 8)
  • “Pengaturan Tanah Sulit Akibat Peta Lengkap belum Tersedia” (Kompas, 24 September 1990, hlm. 1)
  • “Revolusi Hijau Digugat Kembali” (Kompas, 18 Februari 1992, hlm. 4)
  • “Soni Harsono : UUPA Belum Perlu Diubah” (Kompas, 26 September 1995, hlm. 1)
  • “Menguggat Revolusi Hijau” (Kompas, 10 Agustus 1996, hlm. 1)
  • “Presiden Menugaskan BPN Susun Revisi UU Pokok Agraria” (Kompas, 12 Juni 2003, hlm. 13)
  • “Perpres No 36/2005 Potensial Picu Konflik” (Kompas, 18 Mei 2005, hlm.14)