Paparan Topik | Ibu Kota Baru

Pemindahan Ibu Kota Negara dan Etika Pembangunan

Meski dilakukan dalam cita-cita pemerataan nasional, mega proyek pemindahan IKN Indonesia memiliki konsekuensi dampak ekosistem dan lingkungan. Paradigma etika pembangunan menjadi penting untuk mencapai pembangunan yang berkeadilan sosial dan ekologis.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Hamparan lahan hutan tanaman industri yang dikelola oleh PT ITCI Hutani Manunggal di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Rabu (28/8/2019). Pemerintah berencana membangun ibu kota baru di kawasan tersebut.

Fakta Singkat

IKN dan Etika Pembangunan

  • Pemerataan dan keadilan adalah cita-cita utama yang mendorong pemindahan IKN Indonesia ke Kalimantan Timur.
  • Etika pembangunan adalah paradigma yang memasukkan elemen moral baik ataupun buruk dalam proyek pembangunan.
  • Meski pernah mencatatkan pertumbuhan tahunan rata-rata 4,5 persen, pembangunan era Orde Baru mencatatkan angka kemiskinan hingga 60 persen pada tahun 1970.
  • Model democratic developmental state atau negara pembangunan demokrasi sesuai untuk etika pembangunan bagi IKN baru.
  • Sepanjang tahun 2015–2018, Kalimantan Timur telah kehilangan 1,3 persen tutupan hutannya.
  • Tiga perempat lebih responden survei Kompas yakin bahwa pemindahan IKN akan meningkatkan ekonomi di Kalimantan dan Indonesia Timur.
  • Keadilan sosial dan ekologis menjadi poin penting sekaligus tantangan mencapai etika pembangunan IKN baru.

“Dengan memohon ridho Allah SWT, dengan meminta izin dan dukungan dari Bapak Ibu Anggota Dewan yang terhormat, para sesepuh dan tokoh bangsa terutama dari seluruh rakyat Indonesia, dengan ini saya mohon izin untuk memindahkan ibu kota negara kita ke Pulau Kalimantan,” ungkap Presiden Joko Widodo dalam Pidato Kenegaraan dalam HUT Kemerdekaan Indonesia ke-74 di hadapan DPRdan DPD pada Jumat (16/8/2019). Rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) Indonesia pun diputuskan dengan Undang-undang.

Perencanaan IKN memproyeksikkan pembagian luas total lahan seluas 256.180,87 hektare ke dalam dua kawasan. Yang pertama, dengan luas 5.644 hektare ditujukkan bagi Kawasan Inti Pusat Pemerintahan. Luasan tersebut akan dipergunakan bagi gedung-gedung inti pemerintahan, termasuk Istana Negara, Kantor Diplomat, dan Markas Besar TNI maupun Polri. Sedangkan 56.180,87 hektare lainnya diperuntukkan bagi Kawasan IKN yang akan digunakan bagi pemukiman aparatur negara, fasilitas umum, pangkalan militer, dan sarana/prasarana lainnya.

Langkah konkret pemindahan IKN telah dimulai sejak dimasukannya mega proyek ini pada 2020 dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) tahun 2020–2024. Pada tahun 2021, langkah awal dimulai dengan perencanaan detail engineering design (DED). Pada 18 Januari 2022, rapat paripurna DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara.

Pemerataan dan keadilan ekonomi menjadi dua alasan utama yang kerap digaungkan dalam narasi tujuan pemindahan IKN baru Indonesia. Pemindahan ini, dipandang sebagai upaya konkret untuk mewujudkan persebaran aktivitas ekonomi dalam latar spasial Indonesia secara keseluruhan. “… ada risikonya dari situ, tapi kita tahu kita ingin pemerataan bukan Jawa-sentris tapi Indonesia-sentris,” jelas dalam kesempatan berbeda Presiden Joko Widodo (Kompas.com, 02/03/2022, “Pemindahan Ibu Kota Negara: Gagasan Soekarno, Mimpi Soeharto, dan Upaya Jokowi”). Berangkat dari alasan tersebut pula, IKN baru nantinya dinamakan Nusantara – sebagai representasi keseluruhan cakupan wilayah Indonesia.

Sebagai pengganti Jakarta, Provinsi Kalimantan Timur terpilih menjadi lokasi IKN baru. Lebih spesifik, wilayah yang dipilih adalah Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kecamatan Samboja dan Kecamatan Muara Jawa, Kabupaten Kutai Kartanegara. Lokasi tersebut berbatasan langsung dengan kota-kota besar di Kalimantan, seperti Samarinda di arah Utara dan Balikpapan di arah Timur.

Kabupaten Penajam Paser Utara memiliki potensi alam dan kultural yang kaya dan beragam. Sumber daya perkebunan, pertanian, kehutanan, hingga perikanan melimpah di daerah yang berbatasan langung dengan Selat Makassar ini. Selain itu, daerah ini juga dihuni oleh masyarakat dari berbagai agama dan budaya, dengan dua suku besarnya adalah suku Paser Tunan dan suku Paser Balik. Ketergantungan pada alam masih menjadi identitas jenis pekerjaan penduduk lokal, dimana mayoritas dari mereka berprofesi sebagai nelayan dan petani.

Multikulturalisme yang hadir di Kecamatan Sepaku secara spesifik juga disebabkan oleh penetapannya sebagai daerah tujuan transmigrasi. Pada masa pemerintahan Orde Baru, Sepaku yang pada saat itu secara administratif masih menjadi bagian dari Kecamatan Balikpapan, menjadi daerah tujuan transmigrasi bagi masyarakat Jawa Tengah. Para transmigran didatangkan pada dekade 1970-an dalam beberapa gelombang untuk menggarap lahan dan menjadi petani di daerah tersebut. Hasil dari trasmigrasi tersebut adalah terbentuknya delapan desa transmigran berdasarkan tahapan transmigrasi: Desa Sepaku (Satu sampai dengan Empat); dan Desa Semoi (Satu sampai dengan Empat). Para transmigran bertani padi, palawija, lada, juga beternak sapi.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Foto udara kawasan hutan tanam industri PT ITCI Hutani Manunggal yang pernah dikunjjungi oleh presiden Joko Widodo pada Desember 2019 di kelurahan Pemaluan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Kamis (11/3/2021). Kawasan tersebut menjadi calon lokasi ibu kota negara baru. Jalan negara yang menjadi akses utamanya kini telah mulus.

Narasi Kontra Pemindahan IKN

Dalam konteks pembangunan IKN, benturan narasi dan kepentingan kian sering terjadi. Salah satu narasi yang paling terdengar adalah benturan antara kebijakan pembangunan ambisius dengan nilai-nilai masyarakat setempat. Persoalan pemindahan IKN menghasilkan dua variasi kepentingan besar, antara kepentingan makro negara dan kepentingan unsur-unsur lokal setempat.

Pada Februari 2022, sebanyak 45 tokoh menggalang petisi di change.org untuk menolak pemindahan IKN. Di antara tokoh tersebut terdapat pula ekonom Faisal Basri, Guru Besar Ekonomi Sri Edi Swasono, dan mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas. Argumen utama mereka adalah pemindahan IKN pada masa pandemi Covid-19 akan berpotensi menyebabkan gangguan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Alokasi yang besar untuk pemindahan IKN dirasa mereka dapat digunakan untuk pemulihan negara dan bantuan Covid-19. Hingga Kamis (31/03/2022), petisi tersebut telah memperoleh 35.677 tanda tangan.

Narasi kontra atau kritik yang juga jamak disampaikan adalah soal inklusifitas IKN bagi masyarakat lokal dan juga lingkungan hidup. Hal ini disoroti baik dalam konteks pembangunannya maupun keberlanjutannya kedepan. Dalam kondisinya saat ini, dimana IKN belum secara operasional dan demografis berpindah, Kabupaten Penajam Paser Utara telah memiliki sejumlah tantangan.

Salah satu contoh spesifik terkait kondisi penduduk adalah kekhawatiran akan ketersediaan air bagi masyarakat lokal. Saat ini, mayoritas masyarakat di daerah tersebut menggunakan air tanah. Namun, sangat sering terjadi air yang diperoleh berwarna keruh dan mengandung kelebihan kadar zat besi. Artikel di Harian Kompas (24/12/2019) berjudul Ibukota Baru: Lingkungan Berubah, Air Bersih Makin Susah  mencatat bahwa kadar zat besi dari air tanah di Sepaku dapat mencapai 1.881, jauh melewati ambang batas mutu yang ditetapkan sebesar 0,3. Kehadiran IKN baru berikut fasilitas, sarana/prasarana, dan penduduk baru tentu akan menambah permasalahan ini.

Selain itu, dalam konteks lingkungan hidup, kehadiran hutan alami kian menyempit. Data Persentase Luas Tutupan Lahan Hutan di Kalimantan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2015-2018, deforestasi telah menghilangkan 1,3 persen tutupan hutan di Kalimantan Timur. Pembangunan IKN baru yang memerlukan lahan luas akan mendorong pembukaan lahan yang masif dan modifikasi penampakan lingkungan hidup alamiah.

Dengan persoalan-persoalan demikian, etika pembangunan menjadi unsur yang penting untuk diperhatikan sekaligus dijadikan acuan. Dalam proses pemindahan dan pembangunan IKN baru, etika pembangunan dapat menjadi sarana refleksi yang konstruktif dan acuan esensial bagi pengambilan kebijakan yang lebih berkeadilan bagi komponen-komponen terkait.

Sumber: Kanal Youtube Harian Kompas, Tanah dan Air 34 Provinsi Disatukan di Titik Nol Ibu Kota Nusantara, 14 Maret 2022

Apa itu Etika Pembangunan?

Berangkat dari struktur katanya, etika pembangunan terdiri atas dua konsep yang masing-masing telah memperoleh fokus pembahasannya tersendiri. Etika, secara mendalam telah begitu lama menjadi kajian dalam diskusi-diskusi filsafat, secara khusus filsafat moral. Pembahasannya bahkan telah hadir dalam catatan-catatan Plato hingga Aristoteles. Secara etimologis, etika berasal dari istilah Yunani “ethos” yang berarti kebiasaan atau adat-istiadat. Dalam tradisi pemikiran Yunani kuno, etika menjurus pada kebiasaan atau way of life untuk mencapai kebahagiaan. Hal serupa disampaikan Aristoteles dimana ia merumuskan tindakan atas etika merupakan arah menuju kebaikan.

Frans Magnis-Suseno dalam buku Etika Politik mendefinisikan etika sebagai “norma-norma moral yang seharusnya menentukan sikap dan tindakan antarmanusia”. Dalam pemahaman tersebut, pemaknaan akan moral terdapat di dalam konsep etika itu sendiri. Moral dipahami sebagai kualitas baik individiu sebagai seorang manusia – bagaimana seseorang menjadi baik sebagai manusia. Guru Besar Hubungan Internasional UGM Budi Winarno dalam buku Etika Pembangunan merumuskan etika sebagai refleksi kritis atas orientasi hidup baik/buruk manusia dan pedoman atas upaya kebaikan itu sendiri. Oleh karenanya, etika adalah tindakan etis dalam preferensi menuju kebaikan moral.

Di sisi lain, pembangunan merupakan tindakan kebijakan, yang dalam konteks ini dipilih oleh negara. Dalam pelaksanaannya, para negarawan akan dihadapkan pada pilihan-pilihan untuk pengambilan kebijakan. Variasi pilihan tersebut diperoleh dari beragam konteks pertimbangan, baik secara ekonomi, politik, sosial, hingga ekologi. Oleh karenanya, pembangunan tidak pernah berada dalam ruang vakum dimana pelaksanaannya dipicu oleh situasi faktual.

Dari pemahaman demikian, Budi Winarno menyimpulkan etika pembangunan sebagai “suatu bidang kajian yang senantiasa menanyakan baik buruk, memberikan penilaian atas suatu proyek pembangunan”. Sebagai indikator objektif akan pembangunan yang baik, Winarno menuliskan bahwa tujuan pembagunan terbaik adalah dengan memanusiakan manusia. Suatu pembangunan adalah baik ketika mampu menjadi pembangunan yang menghasilkan pertumbuhan dalam koridor-koridor kualitas kemanusiaan. Para teoritisi pembangunan sepakat, terlepas dari definisi suatu pembangunan, adalah kewajiban utama untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Dalam buku Kuasa & Moral, Franz Magnis-Suseno menyampaikan bahwa dimensi etis dari suatu pembangunan akan tampak dari bagaimana tujuan dan latar belakangnya tidak semata formalitas atau kosong belaka. Magnis-Seseno menekankan pentingnya manusia sebagai sentral pembangunan – secara khusus untuk berorientasi pada Hak Asasi Manusia (HAM). Mengacu pada pemahaman demikian, dalam konteks proyek pembangunan IKN ke Kalimantan Timur, jika tujuannya adalah mencapai keadilan dan pemerataan sebagaimana yang diutarakan Presiden Joko Widodo, maka perlu sekali dijabarkan secara konkret bagaimana proyek strategis yang nyata untuk mencapai cita-cita tersebut.

Proyek pemindahan IKN yang berorientasi pada etika pembangunan perlu untuk memberikan perhatian pada kelompok paling rentan. Dituliskan oleh Magnis-Suseno bahwa “… dari segi etika bahwa suatu pembangunan pertama-tama harus diarahkan pada mereka yang paling sulit keadaannya”. Dalam konteks demikian, pemerintah perlu memetakan unsur-unsur paling rentan dari pembangunan IKN di Kalimantan Timur. Manusia, ekologi, dan sistem sosial tradisional yang ada, jelas akan merasakan dampak langsung dari modernitas dan modifikasi yang dilahirkan dari proyek IKN baru. Menciptakan nilai keadilan menjadi pilihan etis pertama dalam pembangunan ini. Melalui pilihan-pilihan strategis pembangunan, maka baru akan tampak bagaimana proyek IKN baru sungguh merupakan hasil dari usaha negara mencapai pemerataan dan keadilan.

Sumber: Kanal Youtube Harian Kompas, Penampakan Istana Presiden di Ibu Kota Negara Baru, 9 Januari 2022

Negara Pembangunan dan Demokrasi Akomodatif

Dalam pembangunan IKN baru di Kalimantan Timur, akan terdapat variasi cara dan model akan pembangunannya. Pemilihan implementasi model pembangunan juga penting untuk berorientasi pada etika pembangunan karena tidak hanya menentukan hasil akhir dari pembangunan tersebut, tetapi juga menakar nilai moral dari pembangunan itu sendiri. Para teoritisasi pembangunan telah mengonsepkan berbagai variasi metode. Dalam catatan historis, pada era Orde Baru, Indonesia tercatat mengadopsi metode pembangunan “developmental state” atau negara pembangunan.

Sebagaimana dituliskan Adrian Leftwich dalam artikel ilmiah Bringing politics back in: Towards a model of the developmental state pada 1995, metode ini mengacu pada partisipasi dominan negara sebagai aktor politik yang menggunakan kekuatan dan kekuasaanya secara optimal untuk mencapai tujuan dari pencapaian pembangunan. Melalui metode ini, negara harus memfokuskan pembangunan pada segelintir elit yang hadir dalam wujud teknokrat maupun birokrat, menjadi sosok yang kuat, dan tegas. Perlu dibangun pula kedekatan dengan pihak swasta dan keterlibatan aktif dalam pasar.

Melalui metode pembangunan negara pembangunan, Indonesia berhasil mencapai tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata hingga 4,5 persen pada periode tahun 1965 sampai dengan 1990. Berdasarkan laporan World Bank pada tahun 1992, pencapaian tersebut adalah luar biasa. Dalam kisaran waktu tersebut, tidak banyak negara-negara berkembang di Asia dan Afrika yang mampu mencatatkan pertumbuhan hingga angka demikian. Adrian Leftwich melihat bahwa capaian tersebut merupakan hasil keberhasilan pemerintah Orde Baru dalam menerapkan negara pembangunan.

Akademisi politik Amerika Serikat Samuel Philips Huntington menjadi salah satu sosok yang mengembangkan metode negara pembangunan. Ia berpendapat bahwa demi pencapaian pembangunan, negara harus berani untuk secara represif menyingkirkan institusi-institusi kultural dan tradisional – yang ia pandang sebagai penghambat bagi modernitas dan pembangunan negara.

Oleh karena semata berorientasi pada pembangunan ekonomi dan infrastruktur, negara merasa pentingnya stabilitas yang kuat untuk mendukung pembangunan. Hal ini menjadi argumentasi yang kuat untuk kemudian menciptakan otoritarianisme politik pembangunan melalui pengikutsertaan militer. Stabilitas politik nasional, sebagai sarana mengundang investasi dan menjaga laju pertumbuhan, dinomorsatukan. Dampaknya, demokrasi dipandang sebagai ancaman penghambat dan harus dikorbankan.

Dalam model pembangunan demikian, diutarakan oleh Budi Winarno, konflik sosial dan politik bukanlah tidak ada. Kehadirannya tetap ada sebagai akibat dari perubahan-perubahan yang tercipta dalam upaya pembangunan, namun terus ditekan melalui dominasi negara dan kekuatan militer. Akhirnya, ketegangan tersebut menjadi masalah laten yang tidak kunjung terkelola. Sikap demikian jelas merupakan paradigma yang berlawanan dengan etika pembangunan.

Pada akhirnya, pembangunan masa Orde Baru yang di atas kertas meningkatkan pendapatan nasional tinggi, ternyata menghasilkan jurang kemiskinan yang tinggi. Berdasarkan catatan artikel Membandingkan Angka Kemiskinan dari Era Soeharto hingga Jokowi (Kompas.com, 31/07/2018), dalam masa Orde Baru, tepatnya tahun 1970 Indonesia mengalami angka kemiskinan tertinggi dengan 60 persen atau 70 juta jiwa penduduk masuk dalam kategori miskin. Di era Reformasi yang lebih demokratis, tepatnya pada Maret 2018, untuk pertama kalinya angka kemiskinan di Indonesia berada di bawah angka 10 persen, yakni 9,82 persen atau 25,95 juta penduduk miskin.

Dalam konteks pemindahan dan pembangunan IKN Indonesia, model negara pembangunan tidak dapat lagi menjadi acuan. Pembangunan dalam model ini tampak menegasikan demokrasi dan unsur-unsur humanis lainnya dalam nama akumulasi kapital dan pertumbuhan ekonomi. Padahal, kawasan yang akan dipergunakan sebagai IKN baru nantinya banyak diisi oleh kelompok adat dan multikultur. Untuk mengakomodasi ini, model negara pembangunan yang tidak cukup digantikan oleh model negara pembangunan demokrasi.

Pada hakikatnya, model negara pembangunan demokrasi adalah gagasan untuk memasukkan elemen demokrasi dalam pembangunan. Wujud pembangunan demikian tidak hanya berfokus pada fungsi regulasi dan infrastruktul dalam pembangunan, sebagaimana paragidma negara pembangunan – melainkan lebih daripada itu, juga menekankan fungsi redistribusi. Fungsi redistribusi menjadi alat vital dalam mengatasi fenomena sosial yang merusak, secara khusus kemiskinan struktural, ketidakadilan, dan ketimpangan. Filsuf dan sosiolog Jerman Jurgen Habermas mengingatkan akan pentingnya kualitas ruang publik. Menurut Habermas, negara demokrasi yang sehat ditentukan dari ruang publik yang sehat.

Dalam pembangunan IKN secara konkret, demokrasi perlu tetap dijalankan dalam upaya merangkul masyarakat dan kelompok-kelompok lokal. Kehadiran IKN baru, berikut segala dinamika, masyarakat pendatang, infrastruktur, dan sistemnya, akan menyebabkan perubahan yang radikal dalam masyarakat Kalimantan Timur. Penting untuk merangkul kehadiran mereka dengan mendengarkan masukan dan kebutuhan. Negara dalam model negara pembangunan demokrasi, sebagaimana Budi Winarno mengutip Gordon White, harus hadir mengoordinasikan alokasi sumber-sumber dan distribusi pendapat secara tepat.

Pembangunan, apalagi dalam konteks penciptaan ruang publik kota seperti IKN, tidak dapat dilihat semata sebagai suatu proses pada dimensi teknokratis maupun birokratis semata. Di dalamnya, juga terdapat dimensi distribusi kekuasaan dan politik. Ruang tidak berada dalam ruang vakum, hidup, dan diisi oleh aktor-aktor yang berdinamika aktif. Konflik sosial dan politik yang jelas akan muncul, harus dikelola – bukan ditekan oleh dominasi politik dan militer negara. Dengan penerapan demikian, maka implementasi pembangunan IKN baru akan semakin selaras dengan etika pembangunan yang inklusif dan berkeadilan.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Bendungan yang dibangun Pertamina di kawasan Hutan Lindung Sungai Wain di Kelurahan Karang Joang, Kecamatan Balikpapan, Kota Balikpapan, Kalimantan Timut, Jumat (30/8/2019). Bendungan tersebut mengandalkan cabang aliran Sungai Wain. Hutan Lindung Sungai Wain seluas 11.000 hektar berfungsi sebagai daerah resapan air untuk pasokan air minum masyarakat Balikpapan dan pengolahan minyak Pertamina. Hutan ini juga berfungsi sebagai habitat satwa dilindungi diantaranya seperti Beruang Madu, Owa, Orangutan, Macan Dahan, Kucing Batu, Burung Enggang dan Trenggiling. Daerah ini berbatasan langsung dengan Kecamatan Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara yang akan digunakan sebagai lokasi ibukota baru.

Etika Lingkungan dalam Pembangunan

Selain mengacu pada keadilan sosial, ekonomi, dan budaya, pembangunan IKN juga harus mengacu pada keadilaan ekologi. Dalam etika pembangunan, juga penting untuk memasukkan nilai etis terhadap lingkungan hidup. Etika lingkungan hidup pun menjadi elemen harus juga disoroti dalam usaha pencapaian etika pembangunan. Dengan etika lingkungan, pembangunan memasukkan mahluk non-manusia ke dalam perhatian moral manusia.

Menteri Negara Lingkungan Hidup Alexander Sonny Keraf dalam buku Etika Lingkungan mendefinisikan etika lingkungan sebagai “hubungan moral antara manusia dengan lingkungan atau alam semesta”. Fokus perhatian daripada etika lingkungan adalah bagaimana manusia seharusnya berperilaku terhadap lingkungan hidup. Dengan adanya unsur moral dalam paradigma ini, maka pembangunan pun melihat hubungan kausal baik/buruk dalam relasinya terhadap lingkungan hidup.

Etika lingkungan hidup menjadi bagian penting dalam etika pembangunan yang perlu menjadi perhatian pembangunan IKN di Kalimantan Timur. Sebabnya, sebagaimana narasi-narasi kontra yang muncul, alam acap menjadi korban dari pembangunan. Dalam kondisinya saat ini, hutan alam atau primer di kawasan calon IKN nantinya sudah hampir habis. Dalam kondisi demikian, kegiatan ekstraksi seperti pertambangan, perkebunan, hingga penciptaan hutan produksi (penanaman hutan sawit), baik legal maupun ilegal, masih terjadi dalam jumlah yang masif. Padahal, deforestasi dan perusakan alam yang masif tersebut terjadi dalam lingkungan satwa-satwa endemik, seperti bekantan, orangutan, dan pesut, yang hingga saat ini memiliki status terancam. Segala fenomena kelingkunganan tersebut terjadi dalam lingkungan spasial IKN baru nantinya (Kompas, 05/04/2021, Menakar Asa Ibu Kota Baru).

Sebagai contoh konkret, kehadiran pesut terancam dengan letak habitatnya di perairan Teluk Balikpapan. Di lokasi tersebut, habitatnya terganggu oleh lalu lalang kapal penumpang dan kapal batu bara. Disinyalir, pada kemudiannya, Teluk Balikpapan akan menjadi kian sibuk dengan dibangunnya pelabuhan di Pulau Balang yang merupakan upaya terkait pembangunan IKN. Pun, habitat pesut akan kian hancur dalam kondisi IKN yang sudah pindah.

Terkait potensi-potensi masalah ekologis yang ada, kelompok masyarakat adat Dayak Paser, Dayak Mului, dan komunitas pegiat lingkungan lainnya telah berulang kali mengingatkan posisi Kalimantan sebagai paru-paru dunia. Mereka menegaskan bahwa wilayah konservasi di Kaltim tidak boleh dikorbankan dalam rencana pemindahan IKN.

Sonny Keraf merumuskan sembilan prinsip etika lingkungan hidup yang dapat diakomodir dalam pelaksanaan pembangunan IKN di Kalimantan Timur. Kesembilan prinsip tersebut adalah: (1) sikap hormat terhadap alam; (2) tanggung jawab moral pada alam; (3) solidaritas kosmis, dengan mengacu pada pandangan bahwa manusia adalah bagian integral dengan alam; (4) kepedulian terhadap alam; (5) prinsip No Harm; (6) hidup selaras dengan alam; (7) prinsip keadilan; (8) prinsip demokrasi, dimana dalam pembuatan kebijakan harus mengakomodir keanekaragaman alam dan menjamin relasi yang harmonis antara masyarakat adat dengan alam; dan terakhir (9) integritas moral.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar sendiri telah meninjau lokasi IKN di kawasan PT ITCI Hutani Manunggal, Sepaku pada Sabtu (3/4/2021) lalu. Dalam konteks kelingkunganan, Siti mengatakan bahwa “Mesti dilihat posisinya dengan desain yang ada. Lalu, perspektif lingkungannya bagaimana dan progress lahannya”. Meski begitu Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan/Bappenas Arifin Rudiyanto mengatakan bahwa kunjugan tersebut dilakukan dalam upaya pemerintah dan negara untuk memastikan pembangunan IKN nantinya tidak memberikan gangguan terhadap keseimbangan satwa dan lingkungan hidup.

Sumber: Kanal Youtube Harian Kompas, Kepala IKN Nusantara Blak-blakan Soal Dana Pembangunan Ibu Kota Nusantara, 21 Maret 2022

Mewujudkan Pembangunan yang Beretika

Melalui jajak pendapat Kompas pada akhir Maret 2021, diperoleh hasil tiga perempat lebih responden yakin bahwa pemindahan IKN dapat memberikan dampak positif bagi peningkatan roda perekonomian, baik di Kalimantan maupun di kawasan Timur Indonesia. Dalam konteks dukungan pembangunan yang demikian, menjadi tanggung jawab negara untuk secara nyata menghidupkan harapan masyarakat – secara khusus dalam konteks keadilan dan pemerataan.

Pembangunan IKN, sebagai megaproyek nasional yang berangkat pada cita-cita meininggalkan konsep Jawa-sentris dan mencapai pemerataan nasional, harus mengacu pada etika pembangunan. Dalam paradigma tersebut, terpatri elemen-elemen keberpihakan pada masyarakat kecil, inklusi terhadap masyakat lokal, model pembangunan yang demokratis, hingga etika lingkungan hidup. Dengan mengacu pada prinsip-prinsip moral dalam berbagai dimensi, pembangunan IKN dapat mencapai cita-citanya secara nyata. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • Rosalina, M. P., & Laksmi, D. (2020, Januari 8). Ibukota Baru: Lingkungan Berubah, Air Bersih Makin Susah. Diambil kembali dari kompas.id: https://www.kompas.id/baca/riset/2019/12/24/lingkungan-berubah-air-bersih-makin-susah/
  • JP, Slamet. (2021, April 1). Rencana Kawasan ‘IKN’ Baru di Kalimantan Timur. Diambil dari Kompaspedia.kompas.id: https://kompaspedia.kompas.id/baca/infografik/peta-tematik/rencana-kawasan-ikn-baru-di-kalimantan-timur
  • “Gerak Cepat demi Ibu Kota Negara Baru”, Kompas, 08 Januari 2022, hlm. 03
  • “Tajuk Rencana: Ibu Kota Negara Jangan Cacat”, Kompas, 17 Januari 2022, hlm. 06
  • “Perpindahan Ibu Kota Negara Disepakati dalam 43 Hari”, Kompas, 19 Januari 2022, hlm. 01, 15
  • “Presiden: Istana Negara Pindah 2024”, Kompas, 20 Januari 2022, hlm. 01, 15
  • “Ibu Kota Negara Baru untuk Siapa? * Satu Meja”, Kompas, 21 Januari 2022, hlm. 03
  • “Otorita IKN Kental Orientasi Investasi”, Kompas, 23 Januari 2022, hlm. 01, 15
  • “Ibu Kota Negara: Otorita Diatur Detail di PP dan Perpres”, Kompas, 25 Januari 2022, hlm. 02
  • “Menjemput Asa Kota Baru Nusantara”, Kompas, 25 Januari 2022, hlm. 07
  • “Polemik Pembiayaan Ibu Kota Negara dari PEN”, Kompas, 26 Januari 2022, hlm. A
  • “Ibu Kota Negara: Teka-teki Presiden Jokowi dan Kebutuhan Otorita Nusantara”, Kompas, 27 Januari 2022, hlm. 04
  • “IKN dan Pertahanan Strategis Matra Darat”, Kompas, 27 Januari 2022, hlm. 06
Buku dan Jurnal
  • Leftwich, A. (1995). Bringing politics back in: Towards a model of the. The Journal of Development Studies, 400-427.
  • Suseno, F. M. (1994). Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Triana, N. (2021). Menakar Asa Ibu Kota Baru. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
  • Winarno, B. (2013). Etika Pembangunan. Jakarta: Center for Academic Publishing Service.
Internet

Rizaty, M. A. (2021, 4 24). Tutupan Hutan Kalimantan Turun Sepanjang 2015-2018. Diambil kembali dari databoks.katadata.co.id: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/04/24/tutupan-hutan-kalimantan-turun-sepanjang-2015-2018

Aturan Pendukung