Paparan Topik | Tahun Baru Imlek

Dinamika Perayaan Imlek Dari Orde Baru Hingga Reformasi

Perayaan Tahun Baru Imlek sempat dilarang selama tiga dekade pada masa Orde Baru. Peristiwa Oktober 1965 dan dugaan keterlibatan Tiongkok menjadi penyebabnya. Namun, pada masa reformasi Presiden Gus Dur mulai menjamin hak-hak kultural komunitas Tionghoa hingga terjaga kini.

KOMPAS/EMANUEL EDI SAPUTRA

Persiapan di salah satu kelenteng di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, jelang Imlek, Rabu (7/2/2024).

Fakta Singkat

Kronologi Singkat Pelarangan Perayaan Tahun Baru Imlek Masa Orde Baru

Januari 1966
Aksi demonstrasi ke kantor-kantor perwakilan Tiongkok

Maret 1966
Pemerintah menutup kantor berita Hsin Hua

April 1966
Sekolah-sekolah Tionghoa dilarang di Indonesia

Mei 1966
Banyak warga keturunan Tionghoa yang masih berstatus warga Negara Tiongkok berpindah menjadi warga Negara Indonesia

Juni 1966
Gerakan asimilasi warga keturunan Tionghoa dimulai dengan pergantian nama menjadi nama-nama Indonesia

Desember 1967
Pemerintah membatasi kebudayaan Tionghoa lewat Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina

1978
Pemerintah mulai tidak mengakui Konghucu sebagai salah satu dari agama resmi di Indonesia

September 1998
Presiden B.J. Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 26 tahun 1998 yang isinya tentang penghentian istilah pribumi dan non-pribumi dalam pemerintahan

Mei 1999
Presiden B.J. Habibie juga mengizinkan kembali pendidikan Tionghoa dan dihapuskannya persyaratan surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia melalui Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1999

Januari 2000
Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina

Februari 2000
Presiden Gus Dur mengizinkan perayaan Tahun Baru Imlek dilaksanakan secara terbuka

Januari 2001
Presiden Gus Dur menetapkan perayaan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur fakultatif

Februari 2002
Presiden Megawati menetapkan perayaan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional

Pascaperistiwa Oktober 1965, beberapa warga komunitas Tionghoa mengalami banyak kekerasan dari warga lokal. Kekerasan tehadap warga komunitas Tionghoa diduga akibat militer menuduh Tiongkok terlibat dan bekerja sama dengan kelompok kiri. Akibatnya, kantor-kantor perwakilan Tiongkok banyak yang diserang dan diusir kembali ke negaranya.

Kekerasan terhadap warga komunitas Tionghoa tidak berhenti. Pemerintah ternyata membatasi segala bentuk kebudayaan Tionghoa tumbuh subur di Indonesia. Warga Indonesia keturunan Tionghoa kemudian diminta mengganti namanya menjadi nama bernuansa Indonesia. Mereka tidak diperbolehkan menjalankan praktik kebudayaan Tionghoa secara terbuka seperti Perayaan Tahun Baru Imlek.

Pada masa reformasi, warga keturunan Tionghoa akhirnya dapat menghirup udara kebebasan. Pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan antidiskriminasi terhadap komunitas Tionghoa. Pada era Presiden Abdurrahaman Wahid warga Tionghoa juga dipenuhi hak-haknya dan derajatnya sama dengan etnis lainnnya. Bahkan, perayaan Tahun Baru Imlek dapat diselenggarakan secara terbuka dan dijadikan hari libur nasional pada era Presiden Megawati.

KOMPAS/KARTONO RYADI

Perayaan Tahun Baru Cina di Vihara Dharma Bakti Jakarta Barat (26/01/1990).

Kekerasan Anti-Tionghoa Pasca-1965

Setelah peristiwa Oktober 1965, beberapa kalangan militer menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang dari tragedi berdarah tersebut. Mereka juga menuduh Tiongkok yang juga dekat dengan PKI. Namun, menurut Leo Suryadinata dalam bukunya yang berjudul Dilema Minoritas Tionghoa, tuduhan ini masih belum terbukti kebenarannya.

Dampak dari tuduhan terhadap Tiongkok menjadi sangat serius. Pada awal tahun 1966 aksi demonstrasi mahasiswa banyak yang mengincar kelompok-kelompok Tionghoa. Beberapa kantor perwakilan dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menjadi sasaran amukan massa. Mereka menuntut kantor-kantor tersebut ditutup dan para delegasi dari RRT kembali ke negerinya.

Kantor berita asal Tiongkok Hsin Hua juga diserbu oleh ratusan pemuda pelajar dalam demonstrasi besar-besaran pada Maret 1966. Mereka beralasan bahwa Hsin Hua sering menulis berita-berita yang menyimpang dari pemberitaan seputar peristiwa Oktober 1965. Persatuan Wartawan Indonesia mendukung langkah para pelajar karena pemberitaan dari media asing tersebut dianggap menganggu ketenteraman dan keamanan. Maka pada 25 Maret 1966, Menteri Luar Negeri Adam Malik memerintahkan kepada kantor berita Hsin Hua ditutup dan menghentikan semua kegiatannya.

Demonstrasi ternyata meluas. Pendemo tidak hanya menyerang kantor-kantor perwakilan dari negeri Tiongkok, namun beberapa komunitas Tionghoa Indonesia juga menjadi sasaran. Harian Kompas mencatat pada 28 Maret 1966 beberapa toko-toko milik Tionghoa menjadi obyek demonstrasi oleh kelompok pelajar. Mereka melakukan ini dengan alasan barang-barang yang dijual oleh toko-toko Tionghoa terlampau tinggi di tengah krisis ekonomi Indonesia saat itu.

Alasan ekonomi menjadi penyulut kekerasan terhadap komunitas Tionghoa di Indonesia. Sasaran demonstrasi tidak hanya ditujukan kepada golongan Tionghoa yang bekerja sebagai perwakilan dari RRT, namun juga golongan Tionghoa peranakan asal Indonesia. Padahal komunitas Tionghoa peranakan merupakan keturunan yang sudah bercampur dengan masyarakat bumiputra atau yang sudah lama tinggal di Indonesia. Namun, hal ini tidak dipedulikan oleh kelompok-kelompok demonstran. Kondisi ini terlihat ketika kelompok demonstran dan militer mendesak kelompok Baperki (Badan Pemusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) yang mengurusi kewarganegaraan golongan Tionghoa di Indonesia untuk dibubarkan. Dalam buku Tionghoa Indonesia dalam Krisis yang ditulis oleh Charles Coppel menyatakan bahwa Baperki yang keanggotaannya terdiri dari WNI keturunan Tionghoa dibubarkan dengan alasan dapat menganggu keamanan karena kegiatan-kegiatan politiknya.

Di Jakarta pada 5 April 1966, Panglima Daerah V/Jayakarta Brigadir Jenderal Amir Machmud menutup semua sekolah-sekolah Tionghoa baik dari tingkat dasar, lanjutan, hingga perguruan tinggi. Selain itu, Amir Machmud juga membubarkan badan-badan yayasan yang menyelenggarakan sekolah tersebut. Amir Machmud beralasan bahwa semua sekolah yang berada di wilayah Indonesia haruslah dilandasi serta berkepribadian Pancasila, untuk itu pendidikan Tionghoa dilarang di Indonesia.

Peristiwa-peristiwa demonstrasi sepanjang tahun 1966 yang menyasar golongan Tionghoa membuat hubungan diplomasi antara pemerintah Indonesia dengan Tiongkok semakin memanas. Pemerintah RRT menarik semua warganya yang tinggal di Indonesia untuk kembali ke Tiongkok karena banyak yang menjadi sasaran demonstrasi. Sementara, pemerintah Indonesia memanggil pulang para mahasiswanya yang berkuliah di negeri Tiongkok. Namun, ada beberapa mahasiswa Indonesia yang menolak untuk kembali. Sikap ini kemudian ditanggapi oleh Menteri Luar Negeri Adam Malik dengan ancaman pencabutan paspor.

Artikel berjudul “6662 WNI keturunan Tionghoa ganti nama”. KOMPAS, 3 Juni 1966, hal. 1.

Asimilasi

Pada April 1966 terjadi gelombang protes dari warga negara Indonesia keturunan Tionghoa kepada pemerintah RRT. Sebelumnya, mereka telah bersumpah setia kepada Pancasila pada apel siaga di Lapangan Banteng Jakarta pada 16 April 1966. Kemudian, mereka bergerak menuju Kedutaan Besar RRT supaya memutus hubungan diplomatik dengan Negara Indonesia.

Dijelaskan dalam arsip Kompas 18 April 1966, kelompok warga negara Indonesia keturunan Tionghoa yang melakukan aksi ini tergabung dalam barisan LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa). Kelompok LPKB diisi mayoritas dari golongan Tionghoa peranakan, namun pasca-1965 kelompok ini dekat dengan pihak militer sehingga banyak yang terselamatkan. Apalagi pembentukan LPKB adalah untuk menyaingi Baperki yang terlalu dekat dengan kelompok kiri.

Lewat aksi demontrasi ke Keduataan Besar RRT, Barisan LPKB di bawah pimpinan Mayor Sindhunata SH hendak membuktikan bahwa mereka merupakan warga negara dan bangsa Indonesia. Mereka menolak dengan keras segala usaha yang mengarah pada pemecahan keutuhan bangsa. Kelompok LPKB juga menyatakan bahwa warga negara Indonesia keturunan Tionghoa sama sekali bukanlah warga Tionghoa perantauan yang mempunyai loyalitas berganda dan menurut pada negara leluhurnya.

Sejak saat itu, muncul gerakan asimilasi oleh warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Indonesia. Ong Hok Ham dalam bukunya yang berjudul Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa menjelaskan bahwa asimilasi adalah menghilangkan identifikasi sebagai anggota golongan minoritas. Artinya, golongan peranakan harus melebur seratus persen menjadi orang Indonesia “asli”. Gerakan ini juga didukung oleh Menteri Pertahanan dan  Keamanan Jenderal Soeharto.

Salah satu jalan untuk melaksanakan gerakan asimilasi ini adalah pergantian nama Tionghoa dengan nama-nama Indonesia. Sebelumnya pada bulan Mei 1966 banyak warga negara keturunan Tionghoa mengubah status kewarganegaraan dari RRT menjadi Indonesia. Apalagi saat itu status dwi kewarganegaraan telah dihentikan sehingga mereka diharuskan memilih satu kewarganegaraan. Setelah itu, barulah mereka dapat mengganti nama.

Menurut Leo Suryadinata dalam bukunya yang berjudul Dilema Minoritas Tionghoa dijelaskan mengenai prosedur pergantian nama bagi warga keturunan Tionghoa. Sebelumnya mereka diharuskan untuk memasukkan permohonan kepada gubernur/bupati/wali kota di mana mereka berdomisili. Untuk pendaftaran tersebut ditarik biaya sekadarnya. Permohonan kemudian diteruskan ke Departemen Kehakiman. Apabila dalam waktu tiga bulan tidak ada keberatan dari masyarakat setempat, maka nama baru itu menjadi sah.

Pada awal gerakan asimilasi ini dimunculkan banyak dari warga keturunan Tionghoa berbondong-bondong untuk mengganti nama mereka. Kompas mencatat pada 1 Juni 1966 terdapat 6.662 warga negara Indonesia keturunan Tionghoa di Sukabumi melaporkan untuk mengganti nama mereka dengan nama-nama Indonesia. Selain itu, beberapa toko-toko milik Tionghoa yang dulu memakai nama Tionghoa juga berganti nama dengan nama-nama Indonesia.

Tidak hanya pergantian nama sebagai bentuk asimilasi yang dilakukan oleh komunitas Tionghoa di Indonesia. Seiring dengan dilarangnya beberapa kebudayaan Tionghoa yang ditampilkan, mereka kemudian mulai belajar mengenai kebudayaan lokal setempat. Salah satunya adalah penggunaan Bahasa Tionghoa yang juga mulai dilarang. Sejak gerakan asimilasi seluruh warga Tionghoa mulai menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari.

KOMPAS/KARTONO RYADI

Suasana di Vihara Dharma Bakti, Jalan Kemenangan III (Petak Sembilan), Jakarta Barat, hari Jumat (26/1/1990) malam. Warga yang merayakan Tahun Baru Imlek memadati halaman Vihara untuk menyalakan lilin dan shio (alat sembahyang), untuk memohon keberuntungan dan kebahagiaan.

Pembatasan Tahun Baru Imlek

Pemerintahan Indonesia yang mulai dikuasai oleh Pejabat Presiden Soeharto mulai gencar untuk membatasi segala bentuk kebudayaan Tionghoa. Pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Mereka beralasan bahwa kebudayaan Tionghoa dapat menimbulkan pengaruh psikologis, mental, dan moral yang tidak wajar bagi warga Negara Indonesia. Bagi pemerintah hal ini dapat menggangu proses gerakan asimilasi yang sudah berjalan sejak tahun 1966.

Di dalam peraturan tersebut semua kegiatan peribadatan Tionghoa yang berpusat di negeri leluhur harus dibatasi. Hal ini juga termasuk perayaan Tahun Baru Imlek tidak diperbolehkan untuk dirayakan secara publik. Mereka hanya diperbolehkan untuk merayakan perayaan-perayaan pesta agama Tionghoa di dalam lingkungan keluarga. Peraturan-peraturan ini kemudian diatur oleh Departemen Agama atas rekomendasi dari Jaksa Agung.

Tidak hanya itu saja, dalam setiap perayaan Tahun Baru Imlek setiap warga keturunan Tionghoa tidak diperbolehkan menonjolkan pernak-pernik khas kebudayaannya. Beberapa kelenteng juga mengalami perubahan. Tanda-tanda yang menjadi simbol kebudayaan Tionghoa di kelenteng banyak yang dicopot. Seperti liong samsi atau barongsai yang identik dengan perayaan Imlek tidak diperbolehkan. Bahkan, bahasa Mandarin beserta dengan aksaranya juga dilarang.

Tekanan dan juga gerakan asimilasi terhadap komunitas Tionghoa membuat beberapa dari mereka turut berganti agama. Sebelumnya, kebanyakan dari warga Tionghoa keturunan memeluk agama Konghucu. Namun, setelah muncul aturan pembatasan kebudayaan Tionghoa dan gerakan asimilasi membuat mereka berbondong-bondong berpindah agama.

Charles Copper dalam bukunya yang berjudul Tionghoa Indonesia dalam Krisis menuliskan sejak tahun 1966–1968 terjadi perpindahan para penganut agama Konghucu. Dalam data tersebut penganut agama Konghucu pada tahun 1966 terdapat 50% namun pada tahun 1968 turun menjadi 35%. Kebanyakan para penganut agama Konghucu berpindah ke agama Kristen Protestan maupun Katolik.

Munawir Aziz dalam bukunya yang berjudul Bapak Tionghoa Nusantara: Gus Dur, Politik Minoritas, dan Strategi Kebudayaan, menjelaskan bahwa sejak tahun 1978 pemerintahan Soeharto mulai mengambil jarak dengan agama Konghucu. Kebijakan ini disusul dengan diterbitkannya surat edaran Menteri Dalam Negeri pada akhir 1978 yang isinya adalah pengakuan pemerintah terhadap lima agama di Indonesia. Konghucu tidak termasuk di dalamnya. Pada awal tahun 1979, Presiden Soeharto dalam rapat kabinet menyatakan Konghucu bukanlah agama.

Sehingga, banyak dari warga keturunan Tionghoa yang sebelumnya masih memeluk agama Konghucu ramai-ramai berpindah ke agama yang diakui pemerintah. Akibatnya, perayaan Tahun Baru Imlek semakin terbatas di kalangan warga keturunan Tionghoa. Apalagi beberapa Kelenteng-kelenteng agama Konghucu mulai berganti menjadi wihara tempat beribadah agama Buddha. Perayaan Tahun Baru Imlek dilaksanakan kemudian hanya dilaksanakan di wihara.

KOMPAS/TJAHJA GUNAWAN

Presiden Abdurrahman Wahid disertai Ibu negara Sinta Nuriyah, menghadiri Perayaan Tahun Baru Imlek 2552 yang diadakan oleh Majelis Tinggi Khonghucu Indonesia di Lapangan Tennis Indoor, Senayan-Jakarta, Minggu (28/01/2001). Hadir pula antara lain Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, Ketua MPR Amin Rais, dan lain-lain.

Dibebaskan Gus Dur

Masa reformasi yang ditandai dengan naiknya Presiden B.J. Habibie sebagai Presiden membuat beberapa kebijakan tentang komunitas Tionghoa masa Orde Baru tidak diberlakukan lagi. Pada tanggal 16 September 1998, Presiden B.J. Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 yang isinya tentang penghentian istilah pribumi dan nonpribumi dalam pemerintahan. Inilah peraturan pertama yang berpihak kepada komunitas keturunan Tionghoa setelah jatuhnya Orde Baru.

Selain itu, Presiden B.J. Habibie juga mengizinkan kembali beberapa kebudayaan Tionghoa yang sempat dilarang pada masa Presiden Soeharto. Melalui Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1999, etnis Tionghoa diperbolehkan kembali melakukan pengajaran bahasa Mandarin. Selain itu, ikut dihapus pula semua peraturan perundang-undangan tentang syarat bagi warga Tionghoa menunjukkan surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia untuk kepentingan tertentu.

Pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, komunitas Tionghoa di Indonesia dapat bernafas dengan lega. Pada Januari 2000, Presiden Gus Dur mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Gus Dur menjamin bahwa semua komunitas Tionghoa Indonesia dapat menjalankan praktik-praktik kebudayaan dan religinya secara bebas. Presiden Indonesia ketiga ini juga menempatkan warga etnis Tionghoa sama dengan etnis-etnis lainnya di Indonesia.

Pada 5 Februari 2000, menjadi perayaan Tahun Baru Imlek yang pertama kalinya dilakukan secara bebas dan terbuka setelah dilarang selama tiga puluh tahun. Saat itu beberapa kebudayaan dan pernak-pernik khas Imlek diperbolehkan untuk ditunjukkan secara terbuka.  Atraksi khas liong dan barongsai digelar kembali di berbagai kelenteng. Perayaan Tahun Baru Imlek di DKI Jakarta bahkan dipusatkan di Museum Fatahilah. Atraksi barongsai dan liong dipadu dengan kesenian setempat, misalnya gambang kromong dan tanjidor.

Langkah lebih maju dilakukan Presiden Gus Dur pada Januari 2001 di mana Gus Dur mengumumkan Imlek sebagai hari libur fakultatif. Hal ini juga atas saran dari masyarakat Tionghoa yang menginginkan bahwa Tahun Baru Imlek dapat dijadikan hari libur nasional. Akhirnya, pada era Presiden Megawati Tahun Baru Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional mulai tahun 2003. Hingga kini warga komunitas Tionghoa di Indonesia dapat merayakan Tahun Baru Imlek secara damai dan bebas.

Referensi

Buku
  • Aziz, Munawir. 2021. Bapak Tionghoa Nusantara: Gus Dur, Politik Minoritas, dan Strategi Kebudayaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
  • Chang Yau Hoon. 2012. Identitas Tionghoa Pasca Soeharto: Budaya, Politik, dan Media. Jakarta: Yayasan Nabil dan LP3ES.
  • Coppel, Charles A. 1994. Tionghoa Indonesia dalam Krisis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
  • Ong Hok Ham. 2005. Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa. Depok: Komunitas Bambu.
  • Suryadinata, Leo. 1984. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: PT Grafiti Pers.
  • ——. 2010. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia: Sebuah Bunga Rampai 1965-2008. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Arsip Kompas
  • “Kantor “Hsin Hua” Diserbu Pemuda Peladjar”. Kompas, 11 Maret 1966, hal. 1.
  • “Nasib gedung Konsulat dan Kebudajaan RRT Djakarta”. Kompas, 11 Maret 1966, hal. 1.
  • “PWI tuntut “Hsin Hua” ditutup”. Kompas, 21 Maret 1966, hal. 1.
  • “Instruksi Menlu a.i. Adam Malik: K.B. “Hsin Hua” Ditutup & dihentikan kegiatannja”. Kompas, 26 Maret 1966, hal. 1.
  • “Toko2 Tionghoa djadi sasaran demonstrasi”. Kompas, 28 Maret 1966, hal. 2.
  • “Sekolah2 Tionghoa Di Djakarta Terlarang”. Kompas, 6 April 1966, hal. 1.
  • “Pendjelasan Ttg Penutupan Sekolah2 Tionghoa”. Kompas, 9 April 1966, hal. 1.
  • “20.000 WNI Turunan Tionghoa Tuntut Putuskan Hubungan Dengan RRT”. Kompas, 11 April 1966, hal. 2.
  • “RRT Ingin Tarik Warganja Dari Indonesia”. Kompas, 14 April 1966, hal. 1.
  • “Bangsa Indonesia Turunan Tionghoa Protes Keras RRT”. Kompas, 15 April 1966, hal. 1.
  • “Saluut Pd Bangsa Indonesia Keturunan Tionghoa”. Kompas, 18 April 1966, hal. 1.
  • “Demonstrasi Orang Tionghoa Menentang RRT”. Kompas, 14 Mei 1966, hal. 1.
  • “Permintaan Djadi Warga Negara Indonesia Meningkat”. Kompas, 17 Mei 1966, hal. 1.
  • “Mahasiswa Indonesia Di RRT Dipanggil Pulang”. Kompas, 23 Mei 1966, hal. 1.
  • “Dwi Kewarganegaraan Distop”. Kompas, 25 Mei 1966, hal. 1.
  • “6662 WNI keturunan Tionghoa ganti nama”. Kompas, 3 Juni 1966, hal. 1.
  • “Akan ditjabut paspornja”. Kompas, 16 Juni 1966, hal. 1.
  • “Djendral Suharto dan Assimilasi”. Kompas, 3 November 1966, hal. 1.
  • “Ganti Nama Nama-nama Cina”. Kompas, 14 November 1966, hal. 1.
  • “Pelajaran Bahasa Mandarin Diizinkan”. Kompas, 7 Mei 1999, hal. 7.
  • “Setelah Tiga Dekade: Imlek Dirayakan Terbuka”. Kompas, 6 Februari 2000, hal. 1.
  • “Masyarakat Tionghoa Minta Imlek Jadi Hari Libur Nasional”. Kompas, 17 Januari 2001, hal. 6.
  • “Imlek Jadi Hari Libur Fakultatif”. Kompas, 23 Januari 2001, hal. 6.
  • “Presiden Tetapkan Imlek Hari Nasional”. Kompas, 18 Februari 2002, hal. 1.