Kronologi | Kemerdekaan RI

BPUPKI dan PPKI: Mempersiapkan Kemerdekaan Indonesia

Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) didirikan oleh penjajah Jepang. Kedua badan itu masing-masing diresmikan pada 29 April 1945 dan tanggal 12 Agustus 1945. BPUPKI memulai sidang pertama pada tanggal 28 Mei 1945, PPKI tanggal 18 Agustus 1945. BPUPKI otomatis bubar dengan berdirinya PPKI, dan PPKI bubar setelah sidang selesai pada tanggal 22 Agustus 1945. Persidangan BPUPKI berlangsung dalam status negara terjajah, sedangkan PPKI bersidang dalam suasana kemerdekaan.

Panitia Persiapan Kemerdekaan

Rapat PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Foto: IPPHOS

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, pemerintah Jepang mengatakan kepada para pemimpin di negeri ini jika pembentukan BPUPKI merupakan salah satu wujud dari janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada rakyat Indonesia.

Jepang berpendapat, kemerdekaan harus disiapkan secara saksama. Oleh karena itu, BPUPKI diharapkan bisa menjadi sarana memperoleh gambaran tentang bentuk negara, sistem pemerintahan, dan dasar hukum negara yang merdeka.

Mengenai PPKI, Jepang mengatakan, badan ini bertindak sebagai badan yang mempersiapkan penyerahan kekuasaan pemerintah dari tentara Jepang kepada badan tersebut. Badan ini juga wajib menyelesaikan dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Dasar dan Falsafah Negara Indonesia Merdeka yang sudah disiapkan oleh BPUPKI. Selain itu, bertugas pula memusyawarahkan dan menetapkan tata cara pelaksanaan pernyataan Kemerdekaan Indonesia.

Rencana awalnya, PPKI akan mengadakan rapat pertama pada tanggal 16 Agustus 1945. Surat-surat undangan sudah dikirim kepada para anggota terutama yang berada di luar Jawa. Namun, yang terjadi adalah di luar skenario. Jepang sudah menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Rakyat Indonesia khususnya para pemuda Indonesia sudah tidak sabar menunggu. Mereka menghendaki Proklamasi Kemerdekaan segera diselenggarakan dan harus keluar dari bayang-bayang Jepang. PPKI masih mereka anggap sebagai bayang-bayang Jepang.

Sementara para tokoh bangsa Indonesia seperti Soekarno dan Hatta, masing-masing sebagai Ketua dan Wakil Ketua PPKI, merencanakan Proklamasi Kemerdekaan diselenggarakan setelah tanggal 16 Agustus, karena sudah terlanjur mengundang rapat. Selain itu kondisi Indonesia masih status quo dan vakum kekuasaan.

Menjelang sidang PPKI, berbagai peristiwa begitu cepat terjadi dan tak terduga seperti kesiagaan kaum muda mengantisipasi kontak senjata dengan Jepang, peristiwa Rangasdengklok, penyusunan naskah Proklamasi, hingga upacara Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Sidang PPKI pun mundur dan terlaksana dengan lancar pada tanggal 18 Agustus 1945.

Apa yang sudah dihasilkan pada sidang BPUPKI akhirnya menjadi bahan penyelesaian tugas-tugas PPKI, sama seperti yang dirancang oleh Jepang. Perbedaannya, PPKI tidak menjadi badan penerima penyerahan kekuasaan, tetapi badan yang memperoleh mandat dari sebuah negara yang baru saja merdeka.

Sidang-sidang BPUPKI

1 Maret 1945

Panglima Tentara (Saiko Syukikan) ke-16 Jepang di Jawa, Letnan Jenderal Kumakici Harada, mengumumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) atau Dokuritsu Junbi Cosakai. Pembentukan BPUPKI ini merupakan salah satu wujud janji kemerdekaan bagi Indonesia yang pernah disampaikan oleh Jenderal Kuniaki Koiso pada September 1944.

29 April 1945

Bertepatan dengan HUT Kaisar Jepang, Tenno Haika, pengurus dan anggota BPUPKI diangkat. Jumlah keseluruhan anggota BPUPKI adalah 62 orang Indonesia ditambah 8 orang Jepang. Struktur BPUPKI terdiri atas dua bagian, yakni badan perundingan (persidangan) dan kantor tata usaha (sekretariat).

Badan perundingan terdiri atas seorang ketua (kaico), dua orang ketua muda (fuku kaico), dan 60 anggota (iin).

KRT Radjiman Wediodiningrat terpilih sebagai ketua. Ketua Muda Pertama dijabat oleh Ichibangase Yosio (shucokan Cirebon). Ketua Muda Kedua dijabat RP Soeroso (fuku shucokan Magelang). Sedangkan Kepala Sekretariat dijabat oleh Toyohito Masuda dan Abdoel Gafar Pringgodigdo.

Ketua BPUPKI, dr. KRT. Radjiman Wediodiningrat. Foto: IPPHOS

28 Mei 1945

BPUPKI  memulai sidang pertama di Gedung Tyuuoo Sangi-In (sekarang Gedung Pancasila) Jalan Pejambon 6 Jakarta. Acara tersebut diisi dengan pengibaran bendera Hinomaru dan Sang Saka Merah Putih.

29 Mei 1945

Rangkaian sidang BPUPKI yang berlangsung hingga 1 Juni 1945 dikenal dengan rapat mencari Dasar Negara Indonesia. Rangkaian sidang pertama ini dimulai dengan membahas dan merumuskan Undang-Undang Dasar (UUD) dan persoalan mendasar tentang Negara Indonesia Merdeka.

Muhammad Yamin mengemukakan lima “Azas Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia” yang terdiri dari peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ke-Tuhan-an, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.

31 Mei 1945

Soepomo dalam siang BPUPKI mengajukan dasar-dasar untuk Indonesia merdeka adalah persatuan, kekeluargaan, keseimbangan lahir batin, musyawarah, dan keadilan rakyat.

1 Juni 1945

Soekarno mengusulkan tentang dasar negara dengan nama Pancasila, Trisila, dan Ekasila. Rumusan lima dasar bagi negara Indonesia merdeka menurut Soekarno adalah kebangsaan Indonesia, internasionalisme dan perikemanusiaan, mufakat dan demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ke-Tuhan-an yang Maha Esa. Pidato Soekarno ini kemudian dikenal dengan lahirnya Pancasila.

Dalam sidang tersebut dibentuk Panitia Delapan di bawah pimpinan Soekarno. Panitia kecil ini beranggotakan Mohammad Hatta, Soetardjo Kartohadikoesoemo, Wachid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, Otto Iskandardinata, Muhammad Yamin, dan AA Maramis. Tugas Panitia Delapan ini adalah menampung dan mengidentifikasi rumusan dasar negara pada sidang BPUPKI.

Hingga akhir sidang pertama BPUPKI, belum diperoleh kesepakatan utuh tentang rumusan dasar negara.

22 Juni 1945

Panitia kecil mengadakan pertemuan di gedung Kantor Besar Jawa Hokokai, Lapangan Banteng. Pertemuan yang dimulai pada pukul 10.00 itu dihadiri juga oleh sejumlah anggota BPUPKI yang lain sehingga terdapat total 38 peserta rapat.

Dalam rapat tersebut, panitia kecil menampung 40 usulan dari anggota BPUPKI yang dapat dikelompokkan menjadi 32 hal. Selanjutnya, 32 hal tersebut disarikan kembali menjadi 9 golongan. Usulan terbanyak, yakni dari 26 orang mengusulkan agar Indonesia merdeka segera dilaksanakan.

Rapat tersebut menyepakati pembentukan panitia kecil lain yang bertugas menyusun rumusan dasar negara. Panitia penyusun dasar negara tersebut beranggotakan sembilan orang, yakni Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Ahmad Soebardjo, AA Maramis, Abdulkahar Muzakkir, Wachid Hasjim, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso.

Panitia Sembilan kemudian mengadakan pertemuan di rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta hingga pukul 20.00. Pertemuan tersebut menghasilkan rumusan pembukaan UUD yang menggambarkan maksud dan tujuan pembentukan negara Indonesia merdeka yang dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Rumusan pembukaan UUD tersebut kemudian disetujui panitia kecil.

10 Juli 1945

BPUPKI kembali bersidang dimulai pada pukul 10.00. Sidang ini juga menghasilkan keputusan tentang bentuk negara republik bagi Indonesia merdeka. Keputusan tentang bentuk negara ini dihasilkan dengan cara voting—atau setem sesuai istilah Radjiman—oleh 64 anggota. Sejumlah 55 suara memilih bentuk negara republik, 6 suara memilih bentuk kerajaan, dan 2 suara memilih bentuk lain, dan 1 suara belangko.

11 Juli 1945

Sidang yang dibuka pada pukul 10.50 dan berakhir pada pukul 16.40 ini mengangkat topik mengenai wilayah negara. Dari 66 anggota belum ada kesepakatan tentang batas-batas Negara Indonesia. Muncul tiga pendapat sidang terkait batas-batas wilayah Indonesia merdeka. Pertama, Indonesia adalah Hindia Belanda dahulu. Kedua, Hindia Belanda dahulu ditambah Borneo Utara, Papua, dan Timor semuanya. Ketiga, Hindia Belanda dahulu, ditambah Malaka, Borneo Utara, Papua, Timor dan kepulauan sekelilingnya.

Setelah melalui perdebatan, akhirnya sebuah komisi ditentukan oleh Wakil Ketua Suroso yang terdiri tiga orang, yaitu Otto Iskandardinata, Abikusno, dan Latuharhary. Tugasnya mengatur pemungutan suara dengan surat. Hasilnya, ada 66 suara yang sah. Keputusan terbanyak, yakni 39 suara, memilih batas wilayah negara adalah Hindia Belanda dulu, ditambah Malaya, Borneo Utara, Papua, Timor Portugis, dan pulau-pulau sekitarnya.

Rapat kecil panitia perancang UUD menyetujui isi pembukaan (preambule) UUD dan membentuk panitia kecil perancang UUD yang terdiri atas Soepomo, Wongsonegoro, Subardjo, Maramis, Singgih, Salim, dan Sukiman. Soepomo diangkat menjadi ketua. Kewajiban panitia adalah merancang UUD dengan memperhatikan pendapat dari rapat besar dan kecil. Hasil kerja panitia Supomo dilaporkan dalam rapat kecil tanggal 13 Juli 1945.

14 Juli 1945

Rapat BPUPKI membahas hasil Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yakni pernyataan Indonesia merdeka, pembukaan undang-undang dasar, serta batang tubuh undang-undang dasar. Sidang ini menerima pembukaan UUD dengan suara bulat dengan sedikit perubahan kata-kata.

15 Juli 1945

Sidang pembahasan rancangan UUD. Mengingat banyaknya pendapat saat membahas rancangan UUD, sidang yang dibuka pada pukul 10.20 ini baru ditutup pada pukul 23.25. Hingga akhir sidang, tidak dihasilkan suatu keputusan dan menunggu sidang selanjutnya.

16 Juli 1945

Sidang BPUPKI yang dimulai pukul 10.30 sepakat menerima rancangan UUD yang diusulkan oleh panitia perancang UUD.

7 Agustus 1945

BPUPKI dianggap bubar dan diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi Linkai. Anggota PPKI berjumlah 21 orang dari berbagai pulau, yakni 12 dari Jawa, tiga dari Sumatera, dua dari Sulawesi, satu dari Kalimantan, satu dari Sunda Kecil (Nusa Tenggara), satu dari Maluku, dan satu dari golongan China. Selain 21 orang tersebut, terdapat enam anggota tambahan atas usul Soekarno. Soekarno ditunjuk menjadi ketua PPKI dengan wakil Mohammad Hatta, dan Mr. Ahmad Soebardjo menjadi penasihat khusus.

Sidang-sidang PPKI

18 Agustus 1945

PPKI mulai bersidang di bekas gedung Volksraad, Pejambon, Jakarta Pusat. Sidang ini mengesahkan pembukaan (gabungan pernyataan Indonesia Merdeka dan pembukaan), batang tubuh, serta aturan peralihan Undang-Undang Dasar. Dasar negara Indonesia, yakni Pancasila, masuk dalam pembukaan UUD yang disahkan. Selain itu, ditetapkan Soekarno sebagai presiden dan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden. Diusulkan pula pembentukan Komite Nasional untuk membantu presiden.

19 Agustus 1945

Sidang PPKI membahas prioritas program, susunan daerah, dan pembentukan departemen. Diputuskan terbentuknya kabinet presidensial dengan 12 kementerian, dibaginya wilayah RI menjadi 8 provinsi (Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Maluku, Selawesi, dan Kalimantan) yang masing-masing dikepalai seorang gubernur. Diputuskan pula pembubaran Heiho, Peta di Jawa dan Bali, serta pembubaran Laskar Rakyat di Sumatera. Sebagai gantinya segera dibentuk Tentara Kebangsaan Indonesia oleh Presiden. Selanjutnya, Soekarno menunjuk Abdul Kadir, Kasman, dan Otto Iskandardinata untuk menyiapkan pembahasan tentang tentara kebangsaan dan kepolisian. Abdul Kadir menjadi ketua panitia kecil tersebut.

Pada malam hari, tanggal 19 Agustus 1945, rapat PPKI dilanjutkan di Jalan Gambir Selatan Nomor 10 untuk membicarakan pembentukan Komite Nasional. Disepakati bahwa anggota Komite Nasional berjumlah 60 orang dan rapat pertama akan dilaksanakan pada 29 Agustus 1945 di Gedung Komidi, Jalan Pos, Pasar Baru, Jakarta.

22 Agustus 1945

Rapat PPKI menghasilkan tiga keputusan, yakni pembentukan Komite Nasional, Partai Nasional, dan Badan Keamanan Nasional. Komite Nasional di pusat dan daerah akan dipimpin oleh seorang ketua dan dan beberapa anggota.

29 Agustus 1945

PPKI dibubarkan dalam rapat pertama Komite Nasional. Komite Nasional yang disebut Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) betugas untuk membantu presiden.

Baca juga: Napak Tilas Kemerdekaan Melalui Pidato Presiden

Referensi

Arsip Kompas
  • “Dari Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI (1). BK: Indonesia Merdeka, Sekarang!”. Kompas, 20 Juni 1995.
  • “Dari “Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI” (2-Habis): KRT Radjiman: Baiklah Segera Kita Setem Saja”. Kompas, 21 Juni 1995.
Buku
  • Sularto, St. dan D. Rini Yunarti. 2010. Konflik di Balik Proklamasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Penulis
Rendra Sanjaya

Editor
Inggra Parandaru