Fakta Singkat
Dinamika Penentuan Bentuk Negara dan Wilayah Indonesia
Sidang BPUPKI 10 Juli 1945
Bentuk Negara
- Pilihan 1: Republik
- Pilihan 2: Kerajaan
Komisi Pemilihan
- AM Dasaad (ketua)
- Abdulrahim Pratalykrama
- Ah Sanusi
Hasil Pemilihan
- 55 memilih republik
- 6 memilih kerajaan
- 2 memilih lain-lain
- 1 blangko (kosong)
- Total: 64 suara
Sidang BPUPKI 11 Juli 1945
Wilayah Indonesia
- Pilihan 1: Hindia Belanda dahulu
- Pilihan 2: Hindia Belanda dahulu, ditambah Malaka, Borneo Utara, Papua, Timor, dan kepulauan sekelilingnya
- Pilihan 3: Hindia Belanda dahulu, ditambah Malaka dipotong Papua
Komisi Pemilihan
- Otto Iskandardinata (Ketua)
- Abiskuno Tjokrosujono
- Lahuharhary
Hasil Pemilihan
- 39 suara memilih pilihan 2
- 19 suara memilih pilihan 1
- 6 suara memilih pilihan 3
- 1 suara memilih lain-lain
- 1 suara blanko (kosong)
- Total: 66 suara
Diskusi penentuan bentuk dan wilayah Indonesia dibahas dan diputuskan dalam rangkaian sidang kedua Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yakni pada sidang tanggal 10 dan 11 Juli 1945. Akan tetapi, wacana tentang bentuk dan wilayah negara sebenarnya telah mulai disampaikan sejak rangkaian sidang pertama BPUPKI pada tanggal 29 Mei hingga 1 Juni 1945.
Beberapa pidato yang disampaikan sepanjang sidang pertama BPUPKI telah menyinggung bentuk negara republik bagi Indonesia merdeka. Dalam pidatonya tanggal 29 Mei 1945, Muhammad Yamin menyatakan, “…dasar-dasar yang kita perbincangkan memberi dorongan kepada kita bahwa negara yang akan dibentuk ialah: Suatu Negara Rakyat Indonesia yang tersusun dalam suatu Republik Indonesia…”
Demikian pula, dalam pidato Soepomo pada tanggal 31 Mei 1945, dimunculkan persoalan tentang pilihan republik atau monarki sebagai bentuk susunan negara yang akan dipilih. Soepomo menegaskan, “Tentang persatuan negara atau negara serikat atau tentang republik atau monarki, itu sebetulnya menurut pendapat saya, soal bentuk susunan negara….”
Dalam pidato tersebut, Soepomo juga menyinggung tentang daerah yang akan masuk dalam negara Indonesia. Ia menyatakan, “…saya mufakat dengan pendapat yang menyatakan: pada dasarnya Indonesia, yang harus meliputi batas Hindia Belanda. Akan tetapi jikalau misalnya daerah Indonesia lain, umpamanya negeri Malaka, Borneo Utara hendak ingin juga masuk lingkungan Indonesia, hal itu kami tidak keberatan….”
Wacana tentang daerah Indonesia juga disampaikan oleh Muhammad Yamin dalam pidatonya pada tanggal 31 Mei 1945. Di dalamnya, Yamin menyebutkan secara perinci, tumpah darah nusantara (Indonesia) atau daerah yang delapan, yakni seluruh Jawa, seluruh Sumatera, seluruh Kalimantan, seluruh Semenanjung Melayu (Malaka), seluruh Nusa Tenggara, seluruh Sulawesi, seluruh Maluku, dan seluruh Papua.
Bentuk Negara Republik
Secara konkret, bentuk negara dibicarakan atas usul dari Soekarno dalam putaran sidang kedua BPUPKI, yakni pada tanggal 10 Juli 1945. Sebagai ketua panitia kecil pembahas usulan anggota BPUPKI selama masa reses, Soekarno mengusulkan, salah satunya, agar sidang besar BPUPKI kali ini juga menentukan bentuk negara dan menyusun hukum dasar negara.
Sebagai bahan pembicaraan sidang tersebut, panitia kecil yang diketuai Soekarno sebelumnya telah membentuk panitia kecil lain yang menghasilkan usulan rancangan pembukaan (preambule) undang-undang. Dalam rancangan pembukaan tersebut, disebutkan, ”..disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia…”
KOMPAS/KARTONO RYADI
Foto reproduksi Pembukaan Undang-Undang Dasar di koran Tjahaja.
Usulan panitia kecil tersebut lantas ditanggapi oleh sidang BUPKI, terutama penggunaan istilah republik bagi negara Indonesia karena belum menjadi keputusan sidang besar.
Salah seorang anggota BPUPKI, Wongsonegoro, menanggapi penggunaan istilah republik dalam preambule yang diusulkan panitia kecil. Ia mengatakan,”…ada sebuah perkataan di dalamnya [preambule] yang menurut keyakinan, barangkali dapat bertentangan dengan perasaan rakyat, yaitu perkataan ‘republik’…”
Pendapat lain dimunculkan oleh Ki Bagus Hadikusumo. Ia menyatakan bahwa sidang tidak perlu terlalu mendiskusikan pilihan bentuk republik atau kerajaan karena hanya akan menimbulkan pertentangan. Selanjutnya, menurut Ki Bagus, “…Hendaknya tujuannya saja yang diambil, dan jangan ditambah dengan republik yang tidak tuan sukai. Gambarkan saja apa yang tuan sukai yaitu bahwa negara dikepalai oleh seorang pemimpin yang tidak turun-temurun dan dimufakati oleh rakyat…”
Di sisi lain, muncul pendapat dari Susanto. Ia menjelaskan bahwa rakyat kebanyakan tidak mengenal bentuk republik, tetapi negara harus segera dibentuk. Oleh karena itu, ia menyatakan, “…Maka untuk menjamin persatuan, kami merancangkan…bentuk negara yang tidak disebut republik…”
Pendapat yang mendukung bentuk kerajaan dikemukakan oleh PF Dahler. Ia menegaskan bahwa dirinya adalah seorang republikan sejati. Akan tetapi, ia memilih bentuk kerajaan bagi negara Indonesia merdeka dengan menimbang bahwa rakyat Indonesia masih bertalian teguh dengan adat istiadat dahulu. Oleh karena itu, ia menyatakan, “…saya minta bentuk negara itu hendaknya kerajaan….Jadi kalau sekarang bangsa Indonesia sendiri dengan keyakinan tentang haknya sendiri akan meminta bentuk republik, tentu tidak sekali-kali akan saya larang….malahan dengan segala tenaga akan saya sokong dan dorong…”
Mengulangi pidatonya pada tanggal 29 Mei 1945, pada sidang ini pula, Muhammad Yamin menegaskan kembali bentuk republik. Ia menyatakan, “…saya yakin bahwa rakyat Indonesia menghendaki republik dan republiklah yang memberi jiwa kepada bangsa Indonesia, bukannya bentuk lain yang manapun.”
Pertimbangan lain dimunculkan oleh Singgih. Baginya, bentuk negara bukan hal yang penting bagi negara Indonesia karena bentuk adalah bahan mati. Yang lebih penting adalah yang menjiwai bentuk itu, yakni pemimpinnya, kepala negara. Oleh karena itu, ia mengusulkan, “…Jadi apakah dipilih bentuk monarki atau republik, atau bentuk lain dengan memakai nama Kepala Negara, itu baiklah diserahkan kepada suara rakyat …”
Sukardjo Wirjopranoto memberi pertimbangan perlunya penggunaan istilah tegas sejak awal tentang bentuk negara. Oleh karena itu, ia menyatakan, “…jika sekarang ini kita sudah dipersoalkan bentuk republik atau monarki, kita harus mengeluarkan suara kita, harus memilih satu dari dua,….saya sendiri akan memilih bentukan republik….”
Anggota Sukiman berpendapat bahwa menentukan bentuk negara, entah republik atau kerajaan, merupakan hal yang sebenarnya sudah diketahui umum. Baginya, “…Kalau pimpinannya tidak turun-temurun, sesungguhnya negara itu sudah bukan lagi berprinsip kerajaan, akan tetapi sudah memakai prinsip republik…”
Sudut pandang agama Islam dimunculkan oleh Haji Ah Sanusi dalam mempertimbangkan bentuk negara. Menurutnya, “…membangun negara kerajaan adalah sangat berat karena bilamana seseorang diangkat menjadi raja, ia sudah menjadi wakil mutlak daripada Tuhan…oleh karena itu, seperti sudah saya tinjau, mudah-mudahan kemungkinan yang begitu ditiadakan.”
Setelah mendengarkan berbagai pendapat di atas, ketua sidang sekaligus ketua BPUPKI, Radjiman Wediodiningrat, memutuskan untuk mengadakan pemilihan tentang bentuk negara secara voting (setem menurut istilah Radjiman). Pemilihan dilakukan secara tertulis dengan kertas tanpa harus ditandatangani, kemudian dikumpulkan dan dihitung.
Sebagai komisi pemilihan, Wakil Ketua BPUPKI Suroso, menugaskan Abdulrahim Pratalykrama, Ah Sanusi, dan AM Dasaad. Dasaad diminta menjadi ketua panitia pemilihan. Sebelum melakukan pemilihan, anggota AK Muzakkir mengusulkan agar para anggota mengheningkan cipta karena pemilihan bentuk negara dianggap sebagai saat yang penting. Usul tersebut disetujui oleh ketua sidang dengan meminta Ki Bagus Hadikusumo untuk memimpin doa.
Setelah dikumpulkan dan dihitung, ketua komisi pemilihan, Dassad, mengumumkan bahwa terdapat 64 suara yang terkumpul. Dari jumlah tersebut, sejumlah 55 suara memilih bentuk negara republik, enam suara memilih bentuk negara kerajaan, dua suara memilih bentuk lain-lain, dan satu suara blangko (kosong).
Ketua sidang, Radjiman, mengulangi hasil pemilihan tersebut sehingga bentuk negara republik menjadi keputusan sidang.
Artikel Terkait
Batas Negara
Dalam sidang BPUPKI tanggal 10 Juli 1945 dibahas pula tentang batas wilayah negara Indonesia. Sebelum dijadikan topik bahasan dalam sidang, Mohammad Hatta menyatakan bahwa batas negara tidak perlu dibahas dalam Undang-Undang Dasar. Pendapat tersebut didukung oleh Soekarno. Pendapat lain disampaikan oleh Ah Sanusi dengan menyerahkan perlu tidaknya topik batas negara dibahas pada panitia.
Menurut Wurjaningrat, sebenarnya, batas-batas negara sudah pernah dibicarakan dalam sidang yang pertama, antara lain Hindia Belanda. Namun, sidang pertama BPUPKI belum menghasilkan suatu keputusan.
Anggota AK Muzakkir mengusulkan untuk memasukkan tanah Melayu dan Papua dalam tanah air Indonesia. Akan tetapi, ia juga menyatakan bahwa dalam menentukan wilayah Indonesia Merdeka,”…janganlah didasarkan pada soal apakah kita sanggup atau tidak sanggup, tetapi pula apakah akan timbul kesanggupan akan merdeka atau tidak.”
Sebagai bahan pertimbangan sidang, Muhammad Yamin mengulangi pidatonya pada tanggal 31 Mei 1945. Menurutnya, wilayah Indonesia adalah, “daerah kepulauan delapan dengan pulau-pulau kecil sekelilingnya, yaitu: Sumatera dan pulau-pulau kecil sekelilingnya, Melaju dengan pulau-pulau kecil sekelilingnya, Borneo [Kalimantan] dengan pulau-pulau kecil sekelilingnya, Jawa dengan pulau-pulau kecil sekelilingnya, Sulawesi dengan pulau-pulau kecil sekelilingnya, Sunda Kecil [Nusa Tenggara] dengan pulau-pulau kecil sertanya, Maluku dengan pulau-pulau kecil di antaranya, dan Papua dengan pulau-pulau kecil sekelilingnya…”
Anggota Abdul Kaffar menyetujui usulan yang disampaikan oleh Yamin. Namun, sebagai seorang yang berlatar belakang militer, ia juga mempertanyakan ada tidaknya penjagaan terhadap terhadap daerah-daerah yang telah disebutkan oleh Yamin. Selanjutnya, ia menyatakan, “…alangkah baiknya bila penetapan batas negara ini kita serahkan kepada panitia….”
Pertimbangan lain muncul dari Sumitro Kolopaking. Menurutnya, yang terpenting adalah supaya selekasnya Indonesia merdeka. Oleh karena itu, persoalan daerah juga harus masuk dalam urusan panitia kecil yang merancang Undang-Undang Dasar Indonesia Merdeka demi mempercepat pekerjaan. Ia mengusulkan, “…Indonesia Merdeka ialah seluas Indonesia Belanda dahulu….” Selanjutnya, apabila ada permintaan dari Malaya Selatan dan Borneo Utara masuk ke wilayah Indonesia, perlu diterima.
Penetapan wilayah dan batas negara tak juga diputuskan hingga sidang berakhir pada pukul 18.00. Ketua sidang memutuskan bahwa pembahasan batas negara akan dilanjutkan pada sidang hari berikutnya.
IPPHOS
Ketua BPUPKI, dr. KRT. Radjiman Wediodiningrat
Rangkaian sidang kedua BPUPKI tanggal 11 Juli 1945 dibuka pukul 10.50. Pada awal sidang, Ketua Radjiman mempersilakan beberapa orang untuk menyampaikan pendapatnya.
Giliran pertama adalah Mohammad Hatta. Ia menyatakan bahwa batas negara bukanlah suatu soal yang dapat ditetapkan secara eksak, tetapi disesuaikan dengan tujuan yang tepat. Ia mengusulkan wilayah Indonesia, “ialah lingkungan Indonesia yang dahulu dijajah oleh Pemerintah Belanda.” Di luar wilayah tersebut, apabila ingin masuk atau diserahkan kepada Indonesia, akan diterima dengan tangan terbuka.
Pendapat berbeda disampaikan oleh Soekarno. Menurut Soekarno, dirinya tidak pernah menuntut bahwa Indonesia itu hanyalah Hindia Belanda saja. Bahkan, menurutnya, Jepang tak pernah menyatakan bahwa Indonesia (To Indo) ialah Hindia Belanda. Malahan, Jepang menanyakan, apakah daerah To Indo itu? Dengan alasan tersebut, Soekarno menyatakan, “saya setuju sekali dengan pendirian anggota yang terhormat Mr. Yamin kemarin…”
Pendapat Soekarno di atas ditegaskan oleh Sutardjo Kartohadikusumo. Ia menambahkan bahwa wakil-wakil rakyat di Malaya berpesan,”…supaya kalau Indonesia Merdeka, Malaya dimasukkan dalam daerah Indonesia…” Selain itu, agar kemudian tidak menjadi pertikaian, Sutardjo berpendapat, “Papua hendaknya dimasukkan dalam daerah Indonesia….”
Anggota lain yang berbicara adalah Haji Agus Salim. Ia mengusulkan, “bahwa daerah Indonesia Merdeka pertama-tama ialah segala daerah Hindia Belanda Timur yang telah dibebaskan oleh Dai Nippon daripada kekuasaan Belanda…” Di luar itu, daerah lain akan dimasukkan ke dalam wilayah negara Indonesia merdeka dengan syarat, “apabila suara rakyat daerah-daerah itu menyatakan kehendaknya masuk ke dalam Indonesia… ”
AA Maramis memberikan pertimbangan lain dalam menetapkan wilayah negara Indonesia merdeka. Menurutnya, “…kita tidak hanya harus melihat kepada sejarah bangsa Indonesia, tetapi kita harus melihat juga kepada hukum internasional.”
Pendapat lain disampaikan oleh Ah Sanusi. Menurutnya, sidang harus mengurungkan ketetapan batas negara hingga waktu peperangan selesai.
Setelah mendengarkan berbagai pendapat, Ketua Radjiman meminta untuk segera diadakan voting. Yang diusulkan untuk divoting adalah: Pertama, Hindia Belanda dahulu. Kedua, Hindia Belanda dahulu, ditambah Malaka, Borneo Utara, Papua, Timor, dan kepulauan sekelilingnya. Ketiga, Hindia Belanda dahulu, ditambah Malaka dipotong Papua.
Wakil Ketua Suroso menunjuk Otto Iskandardinata, Abikusno Tjokrosujono, dan J Latuharhary sebagai anggota komisi pemilihan.
Setelah dikumpulkan, terdapat 66 suara, di antaranya sejumlah 39 suara memilih nomor 2, sejumlah 19 suara memilih nomor 1, sejumlah 6 suara memilih nomor 3, sejumlah 1 suara memilih lain-lain, dan 1 suara blangko (kosong).
Dengan demikian, Ketua Sidang Radjiman menyampaikan, “Yang diputuskan, yang disahkan hari ini oleh persidangan, yaitu bahwa daerah yang masuk Indonesia Merdeka: Hindia Belanda dulu ditambah dengan Malaya, Borneo Utara, Papua, Timor-Portugis, dan pulau-pulau sekitarnya.”
Dengan demikian, pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, terdapat minimal dua hal yang sudah tergambar di antara para pendiri bangsa terhadap negara yang diproklamasikan. Pertama, negara Indonesia adalah negara dengan bentuk republik. Kedua, wilayah negara Indonesia meliputi bekas jajahan Hindia Belanda, ditambah wilayah Malaka, Kalimantan Utara, Papua, Timor-Portugis, dan pulau-pulau di sekitarnya. (LITBANG KOMPAS)
Artikel Terkait
Catatan Akhir
Pengurus
- Ketua: dr. KRT. Radjiman Wediodiningrat
- Ketua muda pertama: Ichibangase (shucokan Cirebon)
- Ketua muda kedua: RP Suroso (fuku shucokan Magelang)
- Kepala Sekretariat: Toyohito Masuda dan Mr. Abdul Gafar Pringgodigdo
Anggota
- Abikoesno Tjokrosoejono, Haji Ah. Sanusi, KH Abdul Halim, Prof. Dr. Asikin Widjajakoesoemo, M. Aris, Abdul Kadir, Dr. B. Boentaran Martoadmodjo, BPH Bintoro, Ki Hadjar Dewantara, AM Dasaad, Prof. Dr. PAH Djajadiningrat, Drs. Moh. Hatta, Ki Bagoes hadikoesoemo, Mr. R. Hindromartono, Mr. Muh. Yamin, RAA Soemitro Kolopaking Probonegoro, Mr. Dr. R. Koesoemah Atmadja, Mr. J. Latuharhary, R. Margono Djojohadikoesoemo, Mr. AA Maramis, KH Masjkoer, KHM Mansoer, Moenandar, AK Moezakir, R. Otto Iskandardinata, Parada Harahap, BPH Poeroebojo, R. Abdoelrahim Pratalykrama, R. Roeslan Wongsokoesoemo, Prof. Ir. P. Rooseno, H. Agus Salim, Dr. Samsi, Mr. RM Sartono, Mr. R. Samsoedin, Mr. R. Sastromoeljono, Mr. R. Singgih, Ir. R. Soekarno, R. Soediman, R. Soekardjo Wirjopranoto, Dr. Soekiman, Mr. A Subardjo, Prof. Mr. Dr. Soepomo, Ir. RMP Soerahman, Sutardjo Tjokroadisoerjo Kartohadikoesoemo, RMTA Soeryo, Mr. Soesanto, Mr. Soewandi, Drs. KRMA Sosrodiningrat, KHA Wachid Hasjim, KRMTH Woerjaningrat, RAA Wiranatakoesoemo, Mr. KRMT Wongsonagoro, Ny. Mr. Maria Ulfa Santoso, Ny. RSS Mangoenpoespito, Oei Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei, Liem Koen Hian, Mr. Tan Eng Hoa, PF Dahler, dan A. Baswedan.
Anggota Tambahan (Sidang Kedua)
- KH Abdul Fatah Hasan, R. Asikin Natanegara, BKPA Soerjo Hamidjojo, Ir. M. Pangeran M. Noer, Mr. M. Besar, dan Abdul Kaffar.
Radjiman, Suroso, Soekarno, Wongsonegoro, Wurjaningrat, Ki Bagus Hadikusumo, Susanto, Dahler, Muhammad Yamin, Singgih, Sukardjo, Sukiman, Sanusi, Muzakkir, Muhammad Yamin, Abdul Kaffar, Sumitro Kolopaking (Muhammad Yamin, 1959: 143)
Radjiman, Hatta, Soekarno, Sutardjo, Agoes Salim, Maramis, Sanoesi, Besar, Parada Harahap, Simotri Kolopaking, Lien Koen Hian, Wongsonegoro, Muh. Yamin, Wiranatakusuma, Oei Tjiang Tjoei, Oei Tjong Hauw, Baswedan, Otto Iskandardinata, Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Besar, dan Rooseno (Muhammad Yamin, 1959: 199)
Referensi
- Sekretariat Negara. Himpunan Risalah Sidang-Sidang dari BPUPKI dan PPKI yang Berhubungan Dengan Penyusunan UUD 1945. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
- Yamin, Muhammad. 1959. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Siguntang.