Paparan Topik | Kerusuhan 27 Juli

Kerusuhan 27 Juli 1996, Tantangan Berdemokrasi Masa Orde Baru

Dualisme kepemimpinan dan ikut campurnya pemerintah Orde Baru menjadi pemantik kerusuhan 27 Juli 1996. Peristiwa ini tidak hanya menjadi catatan kelam demokrasi masa Orde Baru, namun juga merupakan babak awal reformasi.

KOMPAS/EDDY HASBY

Penyerbuan kantor PDI di Jalan Diponegoro oleh pendukung kubu Soerjadi berakhir dengan bentrokan antara massa dan aparat keamanan di kawasan Jalan Salemba, Jakarta Pusat, 27 Juli 1996. Sebelumnya, kantor PDI diduduki massa pendukung Megawati.

Presiden Soeharto dalam masa pemerintahannya lebih fokus pada pembangunan ekonomi dan pembenahan politik Indonesia yang karut-marut akibat peristiwa 1965. Untuk mencapai cita-cita tersebut, Soeharto perlu menjamin stabilitas politik agar pemerintahannya tidak diganggu oleh lawan-lawan politiknya. Salah satunya adalah dengan cara mempersempit ruang gerak partai-partai politik di luar pemerintahannya.

Oleh karena itu, pada 7 Februari 1970 menjelang Pemilu 1971, Presiden Soeharto memanggil sembilan partai peserta pemilu untuk melakukan konsultasi mengenai ide penggabungan beberapa partai. Presiden Soeharto melontarkan gagasan untuk mengelompokkan partai dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah golongan partai berpandangan nasionalis, sedangkan kelompok kedua adalah golongan partai Islamis. Meskipun beberapa partai sulit untuk menerima ide fusi tersebut, dalam prosesnya mereka akhirnya menyetujuinya. Kelompok nasionalis yang terdiri dari Partai Nasional Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Murba, dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia bersepakat untuk bergabung pada 10 Januari 1973 dalam wadah yang baru bernama Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Hal ini kemudian membuat kebijakan peserta partai politik yang berhak mengikuti pemilu hanyalah tiga kontestan, yakni Golongan Karya (Golkar), PPP, dan PDI.

Aturan ini mulai diberlakukan pada Pemilu 1977 hingga Pemilu 1997. Namun, PPP dan PDI tidak dapat leluasa dalam bergerak dibandingkan dengan Golkar akibat kontrol pemerintah yang cukup besar dalam mengatur setiap partai untuk mewujudkan stabilitas politik.

KOMPAS/EDDY HASBY

Kerusuhan dimunculkan oleh perpecahan antara pendukung Megawati Soekarnoputri dan Soerjadi untuk menjadi pemimpin tertinggi partai tersebut hasil dari Kongres Medan sebelumnya. Bentrokan terjadi di sekitar Jalan Diponegoro (Kantor DPP PDI) dan Jalan Salemba, Jakarta Pusat. Tampak Gedung Departemen Pertanian di Salemba dibakar massa (27/07/1996).

Fakta Singkat

Fusi PDI

  • Kelompok nasionalis terdiri dari Partai Nasional Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Murba, dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
  • PDI dibentuk pada 10 Januari 1973

KLB Surabaya

  • 2–6 Desember 1993
  • Terselenggara akibat gagalnya Kongres IV PDI 1993 di Medan
  • Terpilihnya Megawati Soekanoputri sebagai Ketua Umum PDI periode 1993–1998

Kongres PDI Medan versi Soerjadi

  • 20–24 Juni 1996
  • Terselenggara karena tidak puas atas kepemimpinan Megawati
  • Terpilihnya Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI periode 1996–1998
  • Dianggap illegal karena tidak sesuai dengan AD/ART PDI

Kerusuhan 27 Juli 1996

  • Bentrokan antara massa pendukung Megawati dan Soerjadi
  • Pemerintah menuduh PRD sebagai penggerak kerusuhan
  • Kerugian material terdiri dari terbakarnya 56 gedung, 197 mobil, bus, dan kendaraan bermotor
  • Korban terdiri dari lima orang tewas, 149 orang cedera, dan 23 orang hilang
  • 200 orang ditangkap diantaranya 124 pendukung Megawati
  • Total kerugian mencapai Rp100 miliar

Kongres Medan 1993

Kebijakan fusi partai oleh pemerintah tidak memberikan dampak besar bagi PPP dan PDI dalam kancah mereka di gelaran pemilu. Kedua partai tersebut selalu berada di urutan di bawah Golkar yang selalu mendapatkan suara terbanyak. Fusi partai juga menimbulkan banyak konflik di dalam tubuh partai yang disebabkan baik oleh internal maupun pengaruh eksternal dari pemerintah.

PDI pada awal pembentukannya hingga beberapa kali penyelenggaraan kongres selalu terjadi konflik terutama dalam pemilihan ketua umum. Banyak dari tokoh-tokoh PDI masih membawa-bawa kebanggan partainya terdahulu sebelum penerapan fusi partai. Konflik di dalam tubuh PDI ini selalu tidak pernah tuntas terselesaikan, yang justru berakibat pada terpecahnya partai dan berujung pada peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 atau biasa disingkat Kudatuli.

Peristiwa Kudatuli berawal dari Kongres IV PDI pada 21–25 Juli 1993 di Medan dalam pemilihan Ketua Umum PDI periode 1993–1998. Soerjadi yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Umum PDI maju kembali dalam kongres ini. Namun, beberapa kalangan partai menolak pencalonan kembali Soerjadi. Panglima ABRI, Jenderal Feisal Tanjung juga mengatakan bahwa Soerjadi tidak layak sebagai calon Ketua Umum PDI karena tuduhan penculikan yang tengah disidangkan. Namun, tuduhan tersebut tidak ditanggapi oleh Soerjadi dan para pendukungnya.

Kongres IV PDI tetap berjalan dengan dibuka oleh Presiden Soeharto, namun dalam prosesnya justru terjadi banyak kericuhan antaranggota partai. Pada kongres hari pertama tiba-tiba ada kelompok yang memaksa untuk masuk ke ruang sidang padahal sudah dicegah oleh pihak keamanan. Kelompok ini adalah DPP Peralihan PDI dan Kelompok 17 yang merupakan kumpulan orang-orang PDI yang sebelumnya disingkirkan oleh Soerjadi.

Yakob Nuwa Wea yang mengaku sebagai fungsionaris DPP Peralihan mengatakan bahwa tindakan tersebut sebagai bentuk protes bahwa mereka tidak diizinkan mengikuti kongres. Kericuhan dapat segera teratasi setelah beberapa anggota DPD PDI membuka dialog dengan kelompok yang memaksa masuk. Hal ini kemudian membuat sidang pada hari pertama dapat dilanjutkan kembali.

Pada kongres hari yang kedua kericuhan terjadi kembali setelah Soerjadi terpilih sebagai Ketua Umum PDI masa jabatan 1993–1998 secara aklamasi. Sebelumnya, pernyataan Feisal Tanjung mengenai kriteria calon ketua umum partai haruslah yang tidak cacat hukum dibantah oleh Soerjadi dan pendukungnya. Mereka membantah bahwa Soerjadi cacat hukum dan pernyataan Feisal Tanjung dianggap sebagai pernyataan umum yang tidak menunjuk salah satu partai.

Suasana persidangan semakin kacau dengan tidak diterimanya Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI oleh kelompok Yakob Nuwa Wea. Keadaan ini terus memanas hingga hari terakhir kongres pada 25 Juli 1993, dengan tidak tercapainya kesepakatan antara kubu Soerjadi dengan kelompok yang menolak Soerjadi.

Terpilihnya Soerjadi dalam Kongres IV PDI tidak diterima oleh pemerintah sebelum terjadi kesepakatan di antara kedua kubu. Wakil Presiden Try Sutrisno yang direncanakan bakal menutup kongres menolak untuk hadir dan menyatakan bahwa Kongres IV PDI gagal. Pemerintah kemudian meminta kepada PDI untuk membentuk caretaker, yakni lembaga perantara selama masa kevakuman PDI.

Baca juga: Menanti Solusi PDI-P Pasca-27 Juli 1996

  KOMPAS/JB SURATNO

Presiden Soeharto menerima sebelas anggota Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia (DPP PDI) Kamis (26/7/1996) di Bina Graha, Jakarta. Ketua Umum PDI Soerjadi bersalaman dengan Kepala Negara, diikuti Sekjen PDI Buttu Hutapea dan pengurus lainnya hasil kongres PDI di Medan.

Kongres Luar Biasa Surabaya

Caretaker yang telah terbentuk pada Agustus 1993 berencana untuk mengadakan Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Surabaya pada 2–6 Desember 1993. Rencana ini juga telah disetujui oleh 27 DPD PDI, sambil berharap tidak ada kericuhan lagi dalam kongres.

Menjelang KLB PDI, beberapa calon ketua umum yang baru muncul perlahan-lahan, salah satunya adalah Megawati Soekarnoputri. Megawati merupakan sosok orang baru di dalam tubuh partai berlambang kepala banteng ini. Putri kedua Soekarno ini, pertama kali terjun ke dunia politik pada tahun 1987 setelah diajak bergabung oleh Soerjadi. Ketika itu PDI berencana untuk memanfaatkan nama Megawati yang merupakan keluarga Bung Karno untuk menaikkan suara PDI dalam pemilu.

Menurut Ahmad Bahar dalam Biografi Politik Megawati Soekarnoputri 1993–1996, nama Megawati mencuat dalam persaingan Ketua Umum PDI ketika ia sedang menyelenggarakan ulang tahun putrinya pada September 1993. Ketika itu ada tamu yang tidak diundang mengaku berasal dari 70 cabang PDI di delapan provinsi. Pada awalnya mereka hanya bersilaturahmi, namun kemudian meminta Megawati untuk bersedia dicalonkan sebagai Ketua Umum PDI.

Langkah pencalonan Megawati sebagai Ketua Umum PDI mendapatkan sambutan yang cukup baik. Beberapa anggota partai menyetujui Megawati maju sebagai calon ketua umum. Hal ini juga didukung oleh beberapa tokoh seperti Frans Seda dan Adnan Buyung Nasution yang secara terang-terangan mendukung Megawati.

Megawati yang semakin diunggulkan dalam pemilihan ketua umum tanpa disadari juga mulai digembosi pada hari pertama KLB PDI tanggal 2 Desember 1993. Beberapa pendukung Megawati yang berasal dari DPC di berbagai daerah dicegat untuk masuk dalam arena KLB. Kemudian, masalah KTP Megawati digunakan sebagai senjata penjegal. Megawati memegang KTP Jakarta Pusat, padahal Mega merupakan utusan dari Jakarta Selatan.

Pemerintah juga khawatir dengan kemunculan Megawati dalam perpolitikan PDI. Hal ini disebabkan karena Megawati merupakan anak biologis dari Soekarno yang pada saat itu cukup tabu membicarakan presiden pertama Indonesia itu. Beberapa kalangan pemerintah merasa was-was apabila Megawati naik sebagai Ketua Umum PDI sehingga dapat menyebabkan berkembangnya kembali pemikiran Soekarno.

Pengaruh buruk dari luar nyatanya tidak berdampak pada keterpilihan Megawati. Sebanyak 256 utusan DPC PDI menyatakan untuk memilih Megawati sebagai ketua. Angka ini tidak berubah sampai hari terakhir KLB pukul 24.00 yang menyatakan bahwa Megawati terpilih sebagai Ketua Umum PDI periode 1993–1998.

Terpilihnya Megawati sebagai Ketua Umum PDI kemudian diterima oleh pemerintah. Namun, Menteri Dalam Negeri, Yogie S. Memed memberikan syarat bahwa Megawati baru sah memimpin PDI melalui Musyawarah Nasional yang diadakan tanggal 22–23 Desember 1993.

Munas akhirnya dilaksanakan di Hotel Garden, Jakarta. Pada tanggal 22 Desember 1993 ditetapkanlah Megawati sebagai Ketua Umum PDI. Kemudian disusunlah kepengurusan DPP PDI dengan menggabungkan antara pendukung Megawati dengan kelompok yang menolaknya. Ini juga sebagai jalan rekonsiliasi supaya tidak terjadi lagi permasalahan di dalam partai.

Baca juga: Kudatuli, Luka Demokrasi, dan Penantian atas Sikap Negara

KOMPAS/MARULI TOBING/JULIAN SIHOMBING/HASANUDDIN ASSEGAFF

Foto pertama: Kongres IV Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Asrama Haji Pangkalan Masyhur, Medan, Sumatera Utara. (26/7/1993). Foto kedua: Ketua Umum DPP PDI 1993-1998 Megawati Soekarnoputri mengumumkan personalia kepengurusan DPP PDI dalam hari terakhir Munas PDI Kamis (23/12/1993) malam di Garden Hotel, Jakarta Selatan. Foto Ketiga: Kehadiran Megawati Soekarnoputri sejak awal KLB, selalu menjadi perhatian. Dukungan bagi putri dari Ir Soekarno, presiden pertama RI itu juga terus mengalir. (4/12/1993)

Kongres PDI versi Soerjadi

Terpilihnya Megawati sebagai Ketua Umum PDI belum membuat partai tersebut terhindar dari konflik. Megawati pun mengingatkan kepada seluruh anggota partai untuk berhati-hati terhadap pihak eksternal maupun internal yang mencoba untuk memecah belah partai. Hal ini tampaknya menjadi kenyataan ketika tanggal 3 Juni 1996 sekitar 50 pengurus DPC PDI yang mengaku mewakili 215 cabang partai dari 21 DPD menemui Dirjen Sosial Politik Departemen Dalam Negeri, Soetoyo NK.

Dalam pertemuan itu, mereka menyatakan keinginan untuk menyelesaikan permasalahan partai melalui sebuah kongres. Rencana ini tentunya juga sebagai bagian untuk menyingkirkan Megawati sebagai pimpinan partai.

Situasi ini tampaknya juga didukung oleh beberapa kalangan pemerintah yang merasa terancam dengan kehadiran Megawati. Sikap ini terlihat dari pernyataan Soetoyo NK, yang mengatakan bahwa pemerintah mempersilahkan PDI untuk menyelenggaraan kongres untuk menyelesaikan masalah partai sesuai dengan AD/ART seperti yang diinginkan oleh anggota partai.

Namun, rencana kongres tersebut ditolak oleh DPP PDI dan dengan tegas mengatakan tidak akan menyelenggarakan kongres dalam waktu dekat. DPP PDI beralasan bahwa partai ingin menjaga stabilitasnya untuk menyongsong Pemilu 1997.

Di tengah kebuntuan ini pemerintah mencoba untuk menyusun berbagai skenario supaya Megawati bisa diturunkan sebelum Pemilu 1997. Pemerintah beralasan bahwa PDI pimpinan Megawati dapat menggerus suara Golkar dalam pemilu. Peter Kasenda dalam bukunya Peristiwa 27 Juli 1996, Titik Balik Perlawanan Rakyat, menulis bahwa pemerintah kemudian menggandeng sosok Soerjadi yang dahulu tergusur kekuasaannya dalam Kongres IV PDI di Medan 1993. Mereka berencana untuk menyelenggarakan Kongres PDI di Medan pada 20–24 Juni 1996. Rencana Kongres PDI di Medan yang diumumkan oleh para fungsionaris partai yang mengatasnamakan DPP PDI.

Namun, DPP PDI versi Megawati menolak rencana tersebut. Penegasan tersebut disampaikan oleh Mohammad Isnaeni, Sabam Sirait, Abdul Madjid, dan Ben Mangrengsay yang menyatakan bahwa rencana Kongres PDI di Medan telah menyalahi AD/ART partai. Sesuai dengan Anggaran Dasar PDI pasal 29 ayat 1, kongres diadakan lima tahun sekali dan sesuai jadwal akan terselenggara setelah Pemilu 1997.

Rencana Kongres PDI Medan 1996 yang tetap berjalan malah memunculkan sikap solidaritas terhadap Megawati di daerah-daerah. Hal ini terlihat di Jawa Timur di mana terdapat ribuan orang pendukung Megawati melakukan aksi long march dari Surabaya ke Jakarta untuk menemui Departemen Dalam Negeri agar mendesak mereka membatalkan kongres di Medan. Sedangkan, di Bali juga diadakan renungan di Makam Pahlawan Pancaka Tirta Tabanan sebagai wujud dukungan kepada Megawati.

Kongres PDI versi Soerjadi tetap digelar di Wisma Haji, Pangkalan Mansyur, Medan tanggal 20–24 Juni 1996, dibuka oleh Mendagri, Yogie S. Memed. Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung turut hadir. Keduanya  memberikan pidato yang intinya mengatakan bahwa Kongres PDI 1993 belum mampu menyelesaikan konflik di dalam partai berlambang kepala banteng ini sehingga perlu diadakan Kongres PDI Medan 1996.

Kongres ini berlangsung dengan tertib dan lancar tanpa gangguan apapun dari luar. Hal ini juga semakin menguatkan posisi Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI periode 1996–1998. Sementara itu, Megawati sebagai Ketua Umum PDI hasil KLB Surabaya 1993 tidak mengakui keberadaan kongres di Medan itu dan tetap mengklaim dirinya sebagai pucuk pimpinan PDI yang sah, legal, dan konstitusional.

Terpilihnya Soerjadi dalam kongres di Medan membuat pemerintah mengakui kepemimpinan Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang dianggapnya sah. Pemerintah juga menyatakan bahwa tidak akan mengakui dan melayani lagi DPP PDI pimpinan Ketua Umum Megawati. Hal ini kemudian memicu reaksi para pendukung Megawati di berbagai daerah.

Simak Video: Kudatuli, Sebuah Catatan Kelam Demokrasi

Infografik: Kronologi Peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996. Sumber: pemberitaan Kompas dan SETARA Institute, diolah Litbang Kompas/EDR, dimuat Kompas 28 Juli 2020

Kerusuhan 27 Juli 1996

Pengambilan kekuasaan oleh Soerjadi secara tidak sah dalam partai banteng ini memicu aksi penolakan di berbagai daerah oleh kelompok pro Megawati. Megawati juga melancarkan gugatan perdata kepada para penyelenggara Kongres Medan versi Soerjadi. Gugatan ini dikuasakan kepada para pengacara senior yang diberi nama Tim Pembela Demokrasi Indonesia.

Para penggugat meminta kepada hakim untuk mengakui kepemimpinan Megawati dalam status quo sehingga tidak terjadi kepemimpinan yang lain kecuali Megawati dan pendukungnya. Selain itu juga melarang tergugat, yakni kelompok Soerjadi untuk mengambil alih kepemimpinan dari tangan tergugat sampai putusan hakim memiliki kekuatan hukum. Bagi yang melanggar diharuskan membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp51 triliun.

Selain itu, Megawati juga melakukan aksi mimbar bebas yang digelar hampir setiap hari di depan kantor DPP PDI, Jakarta Pusat. Aksi ini didukung oleh ribuan mahasiswa dan kader PDI yang menyerukan penolakan kepada Soerjadi dan ketidaksetujuannya kepada pemerintah yang ikut campur masalah internal PDI.

Aksi ini menyulut kalangan ABRI dan pemerintah yang saat itu mengakui kepemimpinan Soerjadi. Panglima ABRI, Jenderal Feisal Tanjung bahkan menuduh bahwa aksi-aksi mimbar bebas sudah mengarah ke tanda-tanda makar yang hendak menggulingkan pemerintah. Tuduhan ini dijawab oleh Megawati yang mengatakan bahwa mimbar bebas bukanlah tindakan makar karena kegiatannya sangatlah jelas dan tidak ada yang ditutup-tutupi. Menurut Megawati aksi ini sebagai bentuk kekecewaan masyarakat dan para kader PDI terhadap terselenggaranya Kongres Medan versi Soerjadi.

Namun, jawaban Megawati tidak ditanggapi dengan baik oleh pihak ABRI. Oleh karena itu, ABRI bersama dengan kepolisian berencana untuk membubarkan mimbar bebas. Rencana ini didukung oleh Buttu Hutapea, Sekjen DPP PDI di bawah pimpinan Soerjadi yang mengatakan akan segera mengambil alih kantor DPP PDI yang diduduki oleh massa pendukung Megawati secara damai. Namun, Megawati langsung membalas bahwa gedung tersebut akan tetap terus dipertahankannya bersama para pendukungnya.

Pada 25 Juli 1996, Presiden Soeharto menerima DPP PDI versi Soerjadi dan tidak lagi menganggap Megawati sebagai Ketua Umum PDI. Presiden Soeharto berharap Soerjadi dan kelompoknya dapat melakukan konsolidasi terutama kepada para pendukung Megawati supaya tidak terpecah kembali. Namun, menurut Peter Kasenda dalam bukunya Peristiwa 27 Juli 1996, Titik Balik Perlawanan Rakyat, restu dari Presiden Soeharto merupakan langkah selanjutnya untuk menyusun skenario merebut kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro Jakarta Pusat.

Sumber: Kanal Youtube harian Kompas, 29 Juli 2020

Sabtu pagi tanggal 27 Juli 1996, ratusan orang berkaos warna merah bertuliskan Pendukung Kongres IV Medan mendatangi markas DPP PDI di Jalan Diponegoro. Pada awalnya para kader PDI pendukung Mega menganggap mereka adalah kawan, namun setelah itu mereka sadar bahwa ratusan orang yang menggenggam batu-batu sebesar kepalan tangan dan tongkat kayu seukuran satu meter adalah pendukung Soerjadi. Mereka melemparkan batu ke arah kantor pusat PDI sambil mencaci-maki Megawati dan pendukungnya. Sontak kelompok Megawati kaget dan berlarian menyelamatkan diri. Beberapa dari mereka juga melakukan perlawanan dari dalam pagar kantor PDI.

Setelah sepuluh menit terjadi perang batu antara pendukung Soerjadi dan Megawati, datang rombongan pasukan antihuru-hara dengan perlengkapan tamengnya. Namun, pasukan tersebut malah memblokir Jalan Diponegoro di perempatan Jalan Surabaya dan Jalan Pegangsaan serta di bawah jembatan layang kereta api Cikini. Mereka seakan-akan melindungi massa pendukung Soerjadi.

Tidak lama kemudian datang massa pendukung Megawati untuk membantu kawan-kawannya di dalam gedung PDI. Namun, mereka terhalang oleh pasukan antihuru-hara dan sepasukan tentara Kodim yang mencegah mereka untuk mendatangi markas PDI. Praktis, di depan kantor PDI, massa Soerjadi semakin menjadi-jadi menghujani batu dan lemparan kain yang disulut api ke gedung tersebut.

Kapolres Jakarta Pusat, Letkol Abu Bakar yang datang bersama dengan pasukan antihuru-hara mencoba berunding dengan pendukung Mega yang berada di dalam gedung. Abu Bakar meminta mereka untuk keluar dari gedung tersebut. Namun, kubu Megawati menolak permintaan itu. Mereka hanya mau keluar dari markas PDI jika diperintah oleh Megawati. Hal ini kemudian membuat Abu Bakar semakin khawatir apabila Megawati datang maka suasana akan semakin kacau.

Ketika keadaan dirasa agak tenang, pendukung Megawati kemudian mencoba untuk keluar gedung. Ada yang naik ke atas atap dan menyanyikan lagu-lagu kebangsaan. Namun, tak berapa lama tiba-tiba kubu Soerjadi menyerang kembali dan semakin membabi-buta. Mereka lantas menjebol pagar besi markas PDI dan memaksa masuk ke dalam gedung. Massa Megawati mencoba untuk meloloskan diri, namun ada juga yang bertahan di dalam gedung sehingga menjadi sasaran pukulan dari pendukung Soerjadi.

Sekjen PDI kubu Soerjadi, Buttu Hutapea yang selama penyerbuan bersembunyi tiba-tiba muncul di depan markas PDI. Ia dipanggul dan dielu-elukan oleh pendukung Soerjadi dan memberikan keterangan setelah sukses mengambilalih gedung PDI yang menurutnya selama ini dipakai untuk kegiatan yang tidak benar.

Kantor DPP PDI telah sepenuhnya dikuasai oleh aparat, namun di luar gedung di seputaran kawasan Megaria, Cikini, dan Diponegoro semakin tidak terkendali. Massa pendukung Megawati semakin banyak yang datang. Mereka memaksa untuk mendekati markas PDI, namun ditahan oleh aparat sehingga terjadi bentrokan di antara mereka. Massa Megawati kemudian membuat mimbar bebas darurat yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan markas PDI. Banyak dari mereka kemudian berorasi dan meneriakkan nama Megawati.

Sumber: Kanal Youtube harian Kompas, 27 Juli 2021

Soetardjo Soerjogoeritno, salah seorang Ketua DPP PDI Megawati, datang ke arena dan berusaha untuk bernegosiasi dengan aparat. Namun, upaya negoisasi tidak membuahkan hasil sehingga massa semakin marah. Bentrokan fisik antara pendukung Megawati dengan aparat tidak bisa dihindarkan. Massa semakin berani menghadapi barikade aparat sehingga pasukan Brimob terdesak oleh massa yang tak gentar.

Tidak berselang lama datanglah ratusan tentara dengan sedikitnya enam belas panser membantu aparat yang semakin terdesak. Aparat keamanan kemudian berhasil membubarkan massa yang berlari tercerai-berai. Mereka terus mengejar massa yang mundur ke arah Salemba sampai depan RS Cipto Mangunkusumo. Aparat kemudian menangkapi massa dan memukuli mereka dengan rotan militer.

Hal ini memicu kemarahan massa melihat perlakuan aparat kepada massa aksi. Tidak jauh dari RSCM, massa kemudian membakar bus yang berhenti di tengah jalan. Suasana semakin tegang setelah massa juga membakar beberapa gedung di sekitarnya. Tercatat seperti gedung Departemen Pertanian, Bank Mayapada, Wisma Honda, gedung Toyota, dan masih banyak lagi tidak luput dari aksi pembakaran massa.

Tidak hanya pembakaran gedung, suasana semakin kacau ketika banyak dari massa melakukan penjarahan ke beberapa pertokoan dan perkantoran. Aparat keamanan berusaha untuk membubarkan massa dan menyerukan kepada mereka untuk kembali ke rumah masing-masing. Sekitar pukul 19.00 keadaan di tempat kerusuhan dapat dikendalikan oleh aparat. Namun hingga tengah malam aparat keamanan masih berjaga-jaga untuk mengawasi keadaan.

Sehari setelah peristiwa kelabu di depan kantor DPP PDI, Panglima ABRI, Jenderal Feisal Tanjung menyatakan bahwa kerusuhan tersebut ditunggangi oleh oknum/golongan/kelompok yang tidak bertanggung jawab dengan melakukan tindakan anarkis. Feisal Tanjung menolak pernyataan bahwa kelompok Soerjadi adalah penyulut dari kerusuhan tersebut.

Senada dengan Jenderal Feisal Tanjung, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM, Soesilo Soedarman juga menegaskan bahwa kerusuhan 27 Juli 1996 digerakkan oleh kelompok yang bernama Partai Rakyat Demokratik (PRD). Soesilo Soedarman menuduh PRD menggunakan cara-cara PKI untuk melawan Orde Baru.

Simak Video: Menenggelamkan Megawati melalui Kudatuli

KOMPAS/EDDY HASBY

Kerusuhan di Jakarta pada tanggal 27 Juli 1996 merupakan dampak dari pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi (Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan) serta dibantu oleh aparat dari kepolisian dan TNI.

Penyelesaian kasus HAM

Pada 12 Oktober 1996, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang membentuk Tim Pencari Fakta atas peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli) mengumumkan hasil temuannya. Setidaknya dalam peristiwa kerusuhan tersebut terdapat lima orang tewas, 149 orang mengalami cedera, dan 23 orang dinyatakan hilang. Namun, Komnas HAM tidak menutup kemungkinan bertambahnya jumlah korban Kudatuli.

Selain itu, juga tercatat kerugian material akibat kerusuhan massa, yakni terbakarnya 56 gedung, 197 mobil, bus, dan kendaraan bermotor. Aparat keamanan juga menangkap 200 orang yang dianggap terlibat dalam kerusuhan, di antaranya terdapat 124 orang pendukung Megawati yang ditangkap. Gubernur DKI Jakarta, Soerjadi Soedirja memperkirakan total kerugian mencapai Rp100 miliar.

Peristiwa kelam 25 tahun silam tersebut masih menyisakan tanda tanya besar penyebabnya dan siapa pihak yang bertanggungjawab. Meskipun Megawati pernah menjabat sebagai presiden pada periode 2001–2004, namun aktor gerakan penyerangan kantor DPP PDI pada 27 Juli 1996 belum pernah diungkap. Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM, Amiruddin al Rahab dalam wawancara Kompas pada 26 Juli 2020 mengatakan bahwa pelanggaran HAM di kasus Kudatuli masih belum mendapatkan perhatian pemerintah.

Baca juga: Jejak Dualisme Partai Politik: Tragedi Berdarah di Ibu Kota

Referensi

Buku
  • Ajidarma, Gibran, dkk. 1997. Peristiwa 27 Juli. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi dan Aliansi Jurnalis Independen.
  • Bahar, Ahmad. 1996. Biografi Politik Megawati Soerkanoputri 1993–1996. Yogyakarta: PT Pena Cendekia.
  • Haris, Syamsuddin. 1998. Menggugat Politik Orde Baru. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
  • Jatman, Darmanto (ed.). 2001. Membongkar Misteri Sabtu Kelabu 27 Juli 1996. Semarang: Lubuk Raya.
  • Kaligis, Retor A.W. 2014. Marhaen dan Wong Cilik: Membedah Wacana dan Praktik Nasionalisme bagi Rakyat Kecil dari PNI sampai PDI Perjuangan. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
  • Kasenda, Peter. 2018. Peristiwa 27 Juli 1996, Titik Balik Perlawanan Rakyat. Yogyakarta: Media Pressindo.
  • Zulkifli, Arif. 1996. PDI di Mata Golongan Menengah Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Arsip Kompas
  • “Kelompok demokrasi pembangunan siap berfusi”. KOMPAS, 3 Januari 1973, hal. 1.
  • “Partai Demokrasi Indonesia”. KOMPAS, 12 Januari 1973, hal. 1.
  • “Bursa Calon Ketua Umum DPP PDI”, KOMPAS, 15 Juli 1993, hal. 1.
  • “Pangab: Pimpinan PDI Jangan Cacat Hukum * Soerjadi Jangan karena Kepentingan Tertentu”. KOMPAS, 20 Juli 1993, hal. 1.
  • “Kongres IV PDI Hari Ini Dibuka Presiden * Soerjadi: Saya tidak akan Mundur”. KOMPAS, 21 Juli 1993, hal. 1.
  • “Kongres IV PDI Ricuh”. KOMPAS, 22 Juli 1993, hal. 1.
  • “Presiden Membuka Kongres IV PDI * Hendaknya Diselesaikan Secara Demokratis”. KOMPAS, 22 Juli 1993, hal. 1.
  • “Tragedi Bagi Partai Politik”. KOMPAS, 22 Juli 1993, hal. 1.
  • “Bersifat Umum, Pernyataan Pangab tentang Cacat Hukum”. KOMPAS, 23 Juli 1993, hal. 6.
  • “Soerjadi Terpilih Secara Aklamasi Jadi ketua Umum”. KOMPAS, 23 Juli 1993, hal. 1.
  • “Belum Menentu, Nasib Kongres PDI dan Soerjadi * Kongres Diambil Alih Lagi”. KOMPAS, 24 Juli 1993, hal. 1.
  • “Kelompok 17 dan DPP PDI Peralihan”. KOMPAS, 25 Juli 1993, hal. 1.
  • “Kongres PDI Tidak Diperpanjang * Wapres Tidak Akan Menutup Kongres”. KOMPAS, 25 Juli 1993, hal. 1.
  • “Kongres IV PDI Hanya Hasilkan Surat Pernyataan * Selesai Tanpa Penutupan dan Kemelut Kian Kusut”. KOMPAS, 26 Juli 1993, hal. 1.
  • “Mendagri Yogie SM: Kepemimpinan PDI Vakum, Anggota F-PDI Diminta Ikuti Aturan Lama”. KOMPAS, 5 Agustus 1993, hal. 1.
  • “KLB PDI Hendaknya Tak Diwarnai Balas Dendam”. KOMPAS, 31 Agustus 1993, hal. 1.
  • “15 DPC PDI Sulsel Mendukung Megawati”. KOMPAS, 11 November 1993, hal. 15.
  • “Megawati Bertemu Frans Seda Pemerintah Diharap Beri Kepercayaan Penuh KLB PDI”. KOMPAS, 15 November 1993, hal. 15.
  • “Menjelang KLB PDI Jatim Belum Punya Calon, Buyung Dukung Megawati”. KOMPAS, 24 November 1993, hal. 1.
  • “Kongres PDI Dibuka Hari Ini * Penggembosan Megawati Makin Mencolok”. KOMPAS, 2 Desember 1993, hal. 1.
  • “Mega Hampir Pasti Terpilih”. KOMPAS, 5 Desember 1993, hal. 1.
  • “Megawati Nyatakan Diri sebagai Ketua Umum DPP PDI 1993-1998 * Tepat Pukul 24.00 KLB Dibubarkan Polisi”. KOMPAS, 7 Desember 1993, hal. 1.
  • “Bijaksana Jika Pemerintah Akui Mega Ketua Umum PDI”. KOMPAS, 9 Desember 1993, hal. 1.
  • “Munas PDI Diselenggarakan Hari Ini di Garden Hotel Jakarta”. KOMPAS, 22 Desember 1993, hal. 1.
  • “Wajah-wajah Baru Mendominasi DPP PDI Periode 1993-1998”. KOMPAS, 24 Desember 1993, hal. 1.
  • “Silakan Adakan Kongres PDI * Asal Sesuai AD ART”. KOMPAS, 4 Juni 1996, hal. 1.
  • “DPP PDI Tolak Adakan Kongres”. KOMPAS, 5 Juni 1996, hal. 1.
  • “Deklarator PDI Penyelenggaraan Kongres Saat Ini Melanggar Konstitusi”. KOMPAS, 6 Juni 1996, hal. 1.
  • “Kemungkinan Besar, Kongres PDI 20 Juni”. KOMPAS, 7 Juni 1996, hal. 1.
  • “Dukungan bagi Megawati dari Berbagai Daerah, Terus Mengalir”, KOMPAS, 8 Juni 1996, hal. 14.
  • “Ribuan Warga PDI Jatim akan Long March Surabaya-Jakarta Tiga Puluh LSM ke DPR”. KOMPAS, 15 Juni 1996, hal. 14.
  • “Pendukung Megawati Berdoa di Jalan-jalan”. KOMPAS, 18 Juni 1996, hal. 14.
  • “Mendagri Kongres PDI: Modus Lain Selesaikan Permasalahan”. KOMPAS, 21 Juni 1996, hal. 1.
  • “Megawati: Saya Tetap Ketua Umum”. KOMPAS, 22 Juni 1996, hal. 1.
  • “Soerjadi Hampir Pasti Terpilih”. KOMPAS, 22 Juni 1996, hal. 1.
  • “Pemerintah tak Layani PDI Pimpinan Megawati * Soetardjo Soerjogoeritno: Tindakan Sepihak, Contoh tidak Baik”. KOMPAS, 28 Juni 1996, hal. 1.
  • “TPDI Serahkan Berkas Gugatan PDI”. KOMPAS, 5 Juli 1996, hal. 13.
  • “Pangab: Mimbar Bebas PDI Mengarah ke Makar”. KOMPAS, 23 Juli 1996, hal. 1.
  • “Kapolda Bubarkan Mimbar Bebas PDI – Menlu AS Bertemu Komnas HAM”. KOMPAS, 24 Juli 1996, hal. 1.
  • “Usai Diterima Presiden, Soerjadi Mempercepat Proses Konsolidasi”. KOMPAS, 27 Juli 1996, hal. 14.
  • “Kronologi Kerusuhan 27 Juli”. KOMPAS, 29 Juli 1996, hal. 1.
  • “Pangab Jangan Terpancing Hasutan Oknum yang tak Bertanggung Jawab”. KOMPAS, 29 Juli 1996, hal. 1.
  • “Presiden Minta Penjelasan Enam Pejabat Tinggi”. KOMPAS, 30 Juli 1996, hal. 1.
  • “Pemerintah akan Tindak Pelaku Kerusuhan 27 Juli”. KOMPAS, 31 Juli 1996, hal. 1.
  • “Kerugian Kerusuhan 27 Juli Ditaksir Rp 100 Milyar Lebih * Surat Panggilan untuk Megawati Sudah Dikirim”. KOMPAS, 3 Agustus 1996, hal. 1.
  • “Pernyataan Komnas HAM Mengenai Kerusuhan 27 Juli * Lima Tewas, 149 Luka, 23 Hilang”. KOMPAS, 13 Oktober 1996, hal. 1.
Internet