Lembaga

Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi berperan sebagai lembaga pengawal konstitusi yang menjamin tidak ada ketentuan dalam suatu undang-undang yang bertentangan UUD 1945. Lembaga ini juga berperan sebagai pengawal demokrasi yang menjamin proses demokrasi berjalan sesuai dengan prinsip konstitusi.

Fakta Singkat

Dibentuk
13 Agustus 2003

Ketua MK Pertama
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H (19 Agustus 2003 – 3 Maret 2009)

Ketua MK
Dr. Anwar Usman, S.H., M.H
(2 April 2018 – 2023)

Dr. Suhartoyo, S.H, M.H
(13 November 2023 – saat ini)*

*artikel diperbarui pada November 2023

Kewenangan:
• Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945
• Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945
• Memutus pembubaran partai politik
• Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum

Jumlah Registrasi Perkara (2003 – 2019):
• 3.005 perkara

Jumlah Putusan (2014 – 2019):
• 297 perkara perselisihan hasil Pilkada
• 262 perkara PHPU Legislatif, PHPU Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2019
• 592 perkara pengujian undang-undang (PUU) dan sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN)

Regulasi:
• UU No 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Situs website:
https://www.mkri.id/

Anggaran:
Rp 266,8 miliar (2021)

Penegakan Konstitusi

Berdasarkan ketentuan Pasal 24 UUD 1945, Mahkamah Konstitusi (MK) adalah salah satu lembaga kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. MK lahir pada perubahan ketiga UUD 1945 yang dilakukan pada kurun waktu 1999-2002. Namun, MK baru melaksanakan kewenangannya setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) pada 13 Agustus 2003.

MK merupakan lembaga negara yang mendapat kewenangan langsung dari Pasal 24C UUD 1945 (organ konstitusi). Kewenangan konstitusional MK mencakup lima hal. Pertama, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang. Kedua, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar. Ketiga, memutus pembubaran partai politik. Keempat, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Kelima, memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut undang-undang dasar.

Tugas dan peran MK menjadi semakin penting dan strategis ketika kewenangan tambahan yang sifatnya non-permanen atau sementara diamanatkan kepada Mahkamah Konstitusi, yaitu mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada). Di samping itu, berbagai dinamika yang muncul juga turut memengaruhi keberadaan dan pelaksanaan kewenangan MK. Oleh karenanya, dinamika tersebut semestinya dihadapi dengan cara elegan dan sesuai dengan aturan.

Selain tugas dan peran tersebut, MK juga memiliki fungsi-fungsi yang merupakan derivasi dari kewenangannya. Pertama, sebagai lembaga pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) yang berfungsi menjamin bahwa tidak ada ketentuan dalam undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi.

Kedua, fungsi MK sebagai pengawal demokrasi (the guardian of democracy) yang berfungsi menjamin bahwa penyelenggaraan proses demokrasi sesuai dengan prinsip konstitusi dan konstitusionalisme. Ketiga, MK sebagai penafsir akhir konstitusi (the final interpreter of the constitution) yang berfungsi menjamin dan mengarahkan UUD 1945 sebagai konstitusi yang hidup yang dapat memenuhi perubahan zaman, perkembangan hukum, dan perubahan masyarakat.

Keempat, sebagai pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of citizen constitutional right) yang menjamin terpenuhinya perlindungan hak konstitusional terhadap warga negara. Kelima,  sebagai pelindung ideologi negara (the protector of state’s ideology) yang menjamin bahwa produk hukum yang dibuat pembentuk undang-undang berkesesuaian dan tidak bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa.

Sejarah

KOMPAS/DANU KUSWORO

Puluhan pengunjung terlihat menghadiri sidang pertama Mahkamah Konstitusi di Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (4/11). Sidang pertama Mahkamah Konstitusi itu mengagendakan pengujian Undang-Undang Ketenagalistrikan, Undang-Undang Migas, dan Undang-Undang Surat Utang Negara,

Mahkamah Konstitusi pertama kali diperkenalkan pada tahun 1919 oleh pakar hukum Hans Kelsen dari Austria (1881-1973). Hans Kelsen mengatakan bahwa pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin apabila suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji suatu produk hukum konstitusional serta tida memberlakukannya jika menurut organ ini tidak konstitusional. Maka dari itu dibutuhkan suatu organ khusus dengan nama Mahkamah Konstitusi.

Pada perjalanan berdirinya Indonesia  dalam sejarah penyusunan UUD 1945 pengujian undang-undang  usulan dari Muhammad Yamin pada sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ternyata selaras dengan ide Hans Kelsen.

Usulan Muhammad Yamin yaitu bahwa seharusnya Balai Agung (Mahkamah Agung) diberikan wewenang dalam melakukan judicial review dengan membandingkan undang-undang. Soepomo menyanggah dari usulan tersebut karena menurutnya konsep dasar yang dianut dalam UUD yang telah disusun bukan konsep pemisah kekuasaan (separation of power) namun merupakan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power).

Tugas hakim berikutnya yaitu menerapkan undang-undang, bukan malah menguji undang-undang, dan alasan Soepomo yang terakhir yaitu kewenangan hakim untuk melakukan pengujian undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat(MPR), dan pada saat itu usulan ide Yamin untuk melakukan pengujian undang-undnag terhadap UUD tidak diadopsi pada UUD 1945.

Pada ketatanegaraan Republik Indonesia seiring berjalannya waktu,  kebutuhan mekanisme judicial review makin diperlukan. Kemudian perubahan UUD 1945 mengalami perubahan dalam empat tahap ketika terjadi Reformasi. Pada perubahan ketiga UUD 1945 dirumuskan Pasal 24C berisi tentang Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya untuk merinci dan menindaklanjuti amanat Konstitusi ini, pemerintah bersama DPR membahas terkait Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi.

Setelah melalui pembahasan yang cukup lama, dalam Sidang Paripurna DPR pada 13 Agustus 2003 maka UU tentang Mahkamah Konstitusi dimuat dalam Lembaga Negara dan menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri. Momentum tanggal 13 Agusutus 2003 ditetapkan sebagai hari lahir Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

KOMPAS/ALIF ICHWAN

Calon presiden dan calon wakil presiden Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto hadir dalam sidang perdana gugatan pemilu presiden di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (4/8/2009). Pasangan Megawati-Prabowo bersama kuasa hukum mereka meminta MK membatalkan keputusan Komisi Pemilihan Umum yang menetapkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono sebagai pemenang Pemilu Presiden-Wakil Presiden 2009. Mereka juga menilai terjadi penggelembungan suara dan agar pemilu presiden-wapres kembali dilakukan menjadi dua putaran.

Berdasarkan UUD 1945 Pasal 24C ayat ke 3 terdapat tiga lembaga negara yaitu DPR, Presiden dan Mahkamah Agung yang mengajukan hakim konstitusi yang masing-masing tiga orang. Terdapat sembilan hakim konstitusi pertama dengan masa jabatan 2003 – 2008 yang dipimpin oleh Jimly Asshiddiqie dan wakilnya Laica Marzuki. Dalam pelaksanaan tugas konstitusional MK membutuhkan dukungan administrasi aparatur pemerintah yang bersifat administrasi ataupun adminsitrasi yustisial.

Dukungan administrasi umum dilaksanakan oleh Sekretaris Jenderal MPR untuk pertama kalinya. Selanjutnya ditetapkan Kepaniteraan MK yang memiliki tugas dalam membantu kelancaran tugas Ketua dan Hakim MK pada bidang administrasi yustisial. Panitera memiliki tanggung jawab dalam menangani perihal seperti pendaftaran pemohonan dari para pemohon, pemeriksaan kelengkapan permohonan, pencatatan permohonan yang sudah lengkap dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi hingga mempersiapkan serta membantu pelaksanaan persidangan MK.

Pada masa dipimpin Mohammad Mahfud MD, lembaga ini menjadi pusat perhatian publik karena putusan-putusannya yang dianggap dapat memecah kebuntuan hukum ketatanegaraan serta mengedepankan prinsip keadilan substansial. Dalam putusan-putusan tersebut  sangat menarik perhatian diskurus akademis pada bidang Hukum Tata Negara yang memicu lahirnya lembaga-lembaga studi hukum tata negara di kampus ataupun organisasi. Kemudian ketertarikan masyarakat terhadap pengembangan hukum konstitusi disambut secara positif oleh MK dengan didirikannya Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh Mahfud MD (tengah), didampingi para hakim konstitusi, menyampaikan paparan mengenai kinerja MK tahun 2009 dan proyeksi tahun 2010 di Auditorium MK, Jakarta, Selasa (29/12/2009). Selama tahun 2009, MK telah menangani sejumlah sengketa pemilihan umum (pemilu) legislatif dan pemilu presiden serta berperan besar dalam kasus Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah dengan Kepolisian Negara RI.

Kemudian MK mendapat pengalihan kewenangan mengadili sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dari MA. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Dalam perkembangannya, kewenangan mengadili sengketa perselisihan hasil pilkada ke MK. Regulasi tersebut tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Pada ranah Internasional kiprah MK meningkat dengan keterlibatannya dalam mendirikan The Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutionst (AACC) yang dideklarasikan pada 2010 di Jakarta. Pada 11 – 12 Juli 2011 MK menyelenggarakan kegiatan Simposium Internasional dengan tema Constitutional Democratic State atau negara demokrasi konstitusional dengan peserta dari 23 negara.

Pada era kepemimpinan Akil Mochtar, MK menjadi sorotan publik. Pada 2 Oktober 2013, Akil Mochtar ditangkap KPK di rumah dinasnya di Jakarta terkait dugaan menerima suap dalam penanganan gugatan pemilukada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Kabupaten Lebak, Banten. Kasus ini meruntuhkan harapan publik terhadap MK.

Kemudian pada era kepemimpinan MK oleh Hamdan Zoelva, MK mengeluarkan putusan yaitu menghapus penanganan perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah dari kewenangan MK. Alasannya, pilkada bukanlah bagian dari rezim pemilu. Karena itu, penanganan perselisihan hasil pilkada diserahkan kepada pembuat undang-undang. Pada era ini, MK membentuk Dewan Etika Hakim Konstitusi yang betugas menjaga martabat serta keluhuran hakim konstitusi.

Selanjutnya pada era kepemimpinan Arief Hidayat, MK mendapat kewenangan lagi untuk menangani perkara perselisihan hasil Pilkada dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Kewenangan yang diberikan bersifat hanya sementara selama badan peradilan khusus pilkada belum dibentuk. MK menangani perkara terkait perselisihan hasil pilkada yang mulai tahun 2015 dilaksanakan secara serentak bertahap.

Pada 2 April 2018 Anwar Usman terpilih sebagai Ketua MK hingga periode saat ini. Anwar Usman didampingi oleh Aswanto sebagai Wakil Ketua MK. Di masa kepemimpinannya, dari 171 pilkada serentak 2018 terdapat 72 perkara Perselisihan Hasil Pilkada (PHPKada) Serentak yang diajukan dan ditangani MK.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman mengetuk palu hasil sidang putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2019 yang diajukan oleh pasangan calon nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno di Gedung MK Jakarta, Kamis (27/6/2019). Majelis hakim konstitusi menolak seluruh gugatan sengketa hasil Pemilu Presiden 2019 yang diajukan oleh pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Visi, Misi, dan Kewenangan

Visi

Mengawal Tegaknya Konstitusi Melalui Peradilan Modern dan Terpercaya

Misi

  • Membangun Sistem Peradilan Konstitusi yang mampu mendukung Penegakan Konstitusi
  • Meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai hak Konstitusional warga negara

Kedudukan

Mahkamah Konstitusi adalah salah satu lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Kewenangan

Mahkamah Konstitusi memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 :

  • Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945
  • Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945
  • Memutus pembubaran partai politik
  • Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum

Sejak berdiri pada 2003 hingga akhir 2019, MK telah melaksanakan tiga kewenangannya, yakni kewenangan melakukan pengujian undang-undang (PUU), sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN), dan peselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). Sedangkan dua kewenangan lainnya, hingga detik ini belum pernah dilakukan. Yakni kewenangan memutus pembubaran partai politik dan memberikan putusan dalam proses pemberhentian presiden atau wakil presiden dalam masa jabatannya. Kedua kewenangan ini belum pernah dilakukan karena memang belum pernah ada permohonan yang masuk ke MK terkait dua perkara ini.

Kemudian dalam perkembangannya, MK juga mengemban kewenangan untuk mengadili perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota. Namun sejak MK mengeluarkan Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 pada Mei 2014 MK, kewenangan MK mengadili Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota sifatnya hanya sementara hingga terbentuknya badan peradilan khusus yang menangani perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota.

Kewajiban

MK wajib memberikan sebuah putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Prsoden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang Undang Dasar. Pelanggaran yang dimaksud yaitu telah disebutkan serta diatur dalam ketentuan Pasal 7A UUD 1945 yaitu melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Petugas kepolisian yang berjaga di depan Gedung Mahkamah Konstitusi saat digelar sidang perdana gugatan perselisihan hasil pemilu (PHPU) Presiden 2019 di Gedung MK, Jakarta, Jumat (14/06/2019). Gugatan PHPU ini diajukan pasangan Calon Presiden-Wakil Presiden 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Organisasi

Organisasi

Hakim Konstitusi

  • Anwar Usman (Ketua)
  • Aswanto (Wakil Ketua)
  • Arief Hidayat
  • Wahiduddin Adams
  • Suhartoyo
  • Manahan M.P. Sitompul
  • Saldi Isra
  • Enny Nurbaningsih
  • Daniel Yusmic Pancastaki Foekh

Ketua MK dari masa ke masa

  • Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H (19 Agustus 2003 – 3 Maret 2009)
  • Dr. Mahfud MD, S.H., S.U (19 Agustus 2009 – 1 April 2013)
  • H.M.Akil Mochtar, S.H., M.H (5 April 2013 – 5 Oktober 2013)
  • Hamdan Zoelva, S.H., M.H (6 November 2013 – 7 Januari 2015)
  • Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S (12 Januari 2015 – 2 April 2018)
  • Anwar Usman, S.H., M.H (2 April 2018 – saat ini)

Struktur

  • Ketua Mahkamah Konstitusi / Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi
  • Hakim Konstitusi
  • Dewan Etik
  • Inspektorat
  • Sekretaris Jenderal
  • Biro Perencanaan dan Keuangan
  • Biro Sumber Daya Manusia dan Organisasi
  • Biro Hukum dan Administrasi Kepaniteraan
  • Biro Hubungan Masyarakat dan Protokol
  • Biro Umum
  • Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara dan Pengelolaan Perpustakaan
  • Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi
  • Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi
  • Panitera

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) membacakan putusan perkara nomor 56/PUU-XVII/2019 Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Rabu (11/12/2019). Dalam sidang itu, MK mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota yang diajukan oleh dua lembaga swadaya masyarakat Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Indonesia Corruption Watch (ICW). MK menyatakan bahwa mantan narapidana harus menunggu selama 5 tahun setelah bebas jika ingin maju Pilkada.

Ketatanegaraan dan Demokrasi

Sejak berdiri pada 2003 – 31 Desember 2019, MK meregistrasi sebanyak 3.005 perkara. Sebanyak 1.321 perkara (43,96%) mengenai Pengujian Undang-Undang (PUU), serta 26 perkara (0,87%) untuk Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN), 982 perkara (32,68%) terkait Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan (PHPKada) Gubernur, Bupati, Walikota, 671 perkara (22,33%) terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Legislatif DPR, DPD, DPRD, 5 perkara (0,17%) terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Presiden/Wakil Presiden.

Pada kurun waktu 2014-2019, misalnya, Mahkamah Konstitusi banyak berkonstribusi bagi kehidupan ketatanegaraan dan demokrasi di Indonesia. Beberapa catatan penting dalam kurun waktu tersebut, antara lain MK menurut berbagai lembaga swadaya masyarakat telah berkonstribusi pada pemajuan hak asasi manusia, pluralisme, dan demokrasi konstitusional.

Selama kurun waktu tersebut, untuk penanganan perkara perkara pengujian undang-undang (PUU), sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN), dan perkara lainnya, MK telah meregistrasi sebanyak 623 perkara dan telah diputus sebanyak 592 perkara. Dalam kurun waktu yang sama, tidak terdapat permohonan perkara pembubaran partai politik dan pendapat DPR terkait pelanggaran konstitusi oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden.

Salah satunya terlihat pada putusan uji materi terhadap UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang menyatakan anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mengikuti pilkada diwajibkan mengundurkan diri terhitung sejak pencalonannya disahkan oleh KPU/KPUD.

Selain itu, pada tahun 2014 Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di Sidang Paripurna MPR menyatakan bahwa MK telah mengadili perkara perselisihan tentang hasil pemilu tahun 2014, sehingga berhasil mengawal dan mengantar prosesi pergantian kepemimpinan di atas konstitusi yang berlangsung damai.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Petugas memeriksa berkas yang dijadikan sebagai alat bukti pihak yang berperkara dalam sidang perselisihan hasil pemilihan kepala daerah 2020 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (29/1/2021). Pada hari terakhir sidang pemeriksaan pendahuluan, MK memeriksa sebanyak 28 permohonan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah 2020.

Pada 2015 putusan penting MK seperti UU Sumber Daya Air, dan UU Ketenagalistrikan berdampak positif bagi masyarakat luas. Petani tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya air dan konsumen listrik yang tidak memiliki sertifikat laik operasi tidak terancam sanksi kurungan penjara.

Putusan MK lainnya menyatakan calon tunggal boleh ikut Pilkada, keluarga petahana berhak maju dalam pilkada, dan berbagai putusna penting lainnya. Di samping menyelesaikan perkara judicial review, MK juga harus menyelesaikan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah di tahun 2015 sebanyak 152 perkara yang telah berhasil diadili dan diputus dengan lancar dan tepat waktu.

Sementara pada 2016 beberapa putusan penting juga dikeluarkan oleh MK, antara lain putusan terhadap UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang grasi yang dimohonkan terpidana hukuman mati kasus Asabri, Su’ud Rusli. MK menyatakan jangka waktu pengajuan grasi dapat dilakukan lebih dari satu tahun sejak putusan memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht).

Di tahun 2017 MK melakukan berbagai terobosan positif. Penguatan kelembagaan melalui penataan struktur organisasi dan memperkuat sumber daya manusia dilakukan guna memberikan dukungan yang lebih optimal kepada para Hakim Konstitusi dalam menerima, memeriksa, dan memutus berbagai perkara konstitusi.

KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI

Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman membacakan laporan akhir tahun Mahkamah Konstitusi tahun 2020, Kamis (21/1/2021). Sidang pleno tahunan itu diselenggarakan secara daring karena masih dalam situasi pandemi Covid-19.

MK juga mengeluarkan putusan fenomenal terkait dengan pengakuan identitas penghayat kepercayaan. Melalui putusannya, MK menyatakan kata ‘agama’ dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk ‘kepercayaan’.

Di sela-sela kesibukan menangani pengujian undang-undang, pada tahun 2017, MK jug menjalankan kewenangan mengadili perkara perselisihan hasil pilkada. Sebanyak 60 perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHPkada) berhasil diputus oleh MK.

Peran MK mewujudkan Indonesia sebagai negara demokrasi berdasar hukum dan negara hukum demokratis disampaikan secara transparan dan akuntabel. Hal ini terbukti pada 2018, MK untuk sekian kalinya menjalankan kewenangan mengadili perkara PHPkada.  Melalui putusannya, MK meneguhkan posisi rakyat berdaulat dalam menentukan pemimpin-pemimpin daerah. Terdapat 72 putusan perkara PHPkada yang telah diputus oleh MK. Sukses pilkada serentak 2018 merupakan hasil kerja keras seluruh pihak, termasuk di dalamnya peran MK sebagai lembaga pengawal konstitusi dan demokrasi.

Dengan demikian tercatat sejak 2014 – 2019, MK telah menangani sebanyak 297 perkara perselisihan hasil Pilkada. Pada tahun 2014 MK menerima sejumlah 13 perkara, selanjutnya pada tahun 2015 sebanyak 152 perkara, pada tahun 2017 sebanyak 60 perkara dan 2018 sebanyak 72 perkara. Sedangkan pada tahun 2019, tidak ada pilkada, melainkan pemilu serentak.

KOMPAS/YOLA SASTRA

Ketua KPU Sumatera Barat Yanuk Sri Mulyani menandatangani Surat Keputusan Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumbar Terpilih di Padang, Sumbar, Jumat (19/2/2021). Pasangan Mahyeldi-Audy Joinaldy ditetapkan KPU Sumbar sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Sumbar terpilih setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan sengketa hasil pilkada yang didaftarkan oleh dua pasangan calon gubernur, yaitu Nasrul Abit-Indra Catri dan Mulyadi-Ali Mukhni.

Sengketa Pemilu 2019

Pada 2019, MK menghadapi hiruk pikuk pelaksanaan pemilihan umum serentak. Pemilu menjadi ajang kontestasi politik bagi calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan 16 partai politik nasional dan 4 partai politik lokal Aceh sebagai peserta Pemilu 2019. KPU juga telah menetapkan sebanyak 807 orang yang masuk Daftar Calon tetap (DCT) anggota DPD dari 34 daerah yang berkompetisi menduduki 136 kursi yang tersedia.

Pemilu 2019 yang telah dilaksanakan pada 17 April 2019 berbeda dengan Pemilu 2014 dan Pemilu-pemilu sebelumnya. Salah satu perbedaan mendasar adalah dari segi pelaksanaan. Pada Pemilu 2014, pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD dilaksanakan secara terpisah dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Mahkamah Konstitusi telah menangani sebanyak 262 perkara pada 2019. Rinciannya, 251 perkara perselisihan hasil pemilu anggota DPR dan DPRD, 10 perkara perselisihan hasil pemilu anggota DPD, dan 1 perkara perselisihan hasil pemilu presiden dan wakil presiden.

Pada 27 Juni 2019, Mahkamah Konstitusi telah memutus perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden yang dimohonkan oleh pasangan calon Prabowo-Sandi dengan amar menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya.

KPU kemudian menetapkan pasangan Joko Widodo dan KH. Ma’ruf Amin (Jokowi-Ma’ruf) sebagai presiden dan wakil presiden terpilih pada Pemilu 2019. Pasangan Jokowi-Ma’ruf diusulkan oleh koalisi tujuh parpol, yakni PKB, PKPI, PDIP, Partai Nasdem, Partai Hanura, PPP, dan Partai Golkar. Sementara pesaingnya yakni pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno (Prabowo-Sandi) didukung koalisi empat parpol, yakni Partai Demokrat, PKS, Partai Gerindra, dan PAN.

Bersamaan dengan itu, MK telah pula memutus perselisihan hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2019 dengan rincian amar putusan: sebanyak 12 perkara (5%) dikabulkan, 101 perkara (39%) ditolak, tidak dapat diterima sebanyak 105 perkara (40%), dan gugur atau ditarik kembali sebanyak 43 perkara (17%).

Dalam konteks pembangunan hukum nasional, putusan MK merupakan pedoman bagi pembentuk undang-undang dalam upaya pembentukan dan pembaruan hukum nasional. Materi muatan pasal, ayat, atau bagian dari undang-undang yang telah dinyatakan batal dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK hendaknya tidak dimuat kembali oleh pembentuk undang-undang dalam perubahan atau revisi undang-undang dimaksud.

Hal ini dikarenakan sifat final dan mengikat putusan MK sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Artinya, pembentuk undang-undang, dalam hal ini Presiden dan DPR terikat pada putusan MK dalam melakukan pembangunan dan pembaruan hukum nasional, sehingga undang-undang yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan putusan MK yang merupakan cerminan tafsir atas UUD 1945 sebagai hukum tertinggi (the supreme law of the land).

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Perwakilan pihak yang berperkara dalam sidang perselisihan hasil pemilihan kepala daerah 2020 membawa berkas untuk dijadikan sebagai alat bukti di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (29/1/2021). Pada hari terakhir sidang pemeriksaan pendahuluan, MK memeriksa sebanyak 28 permohonan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah 2020.

Referensi

Dokumen
  • UU No 7 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
  • UU No. 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang
  • UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
  • UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi