Peserta Sidang Tahunan MPR di Kompleks Gedung Parlemen, Jakarta (14/08/2015). Sidang tersebut dihadiri Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pada sidang tersebut, Joko Widodo melaporkan pencapaian dan kinerja lemba-lembaga negara
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Menilik kembali perjalanan pembentukan parlemen Indonesia akan terlihat bahwa keberadaannya mampu mengikuti transisi dan dinamika politik yang menyertai. Parlemen Indonesia bermula dari mulai diikutsertakannya perwakilan tokoh pergerakan di dalam dewan rakyat bentukan Belanda (Volksraad) meskipun peran mereka masih dibatasi. Namun, hal tersebut cukup memberi peluang bagi kaum pergerakan untuk menyuarakan pendapat, terlebih setelah adanya hak otonomi kepada daerah jajahan pada tahun 1922.
Keinginan untuk memiliki lembaga perwakilan baru terwujud setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, yaitu dengan dibentuknya suatu lembaga yang dapat mewakili aspirasi rakyat bernama Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Keberadaan lembaga parlemen tersebut dipertegas dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945. Maklumat tersebut memutuskan kedudukan KNIP setara dengan presiden yaitu menyusun Undang-Undang dan ikut menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Karena menjadi tonggak lahirnya parlemen di Indonesia, tanggal dikeluarkannya maklumat tersebut ditetapkan menjadi Hari Parlemen Indonesia.
Pada masa selanjutnya, pembangunan lembaga legislatif mengalami dinamika yang tak mudah. Sistem parlemen yang diterapkan di Indonesia berubah seiring dengan perubahan berlakunya konstitusi. Berikut perjalanan parlemen di Indonesia dari masa ke masa.
Masa Kolonialisme
16 Desember 1916
Indische Staatsregeling (IS) dibentuk sebagai lembaga konstitusi baru bagi Hindia Belanda. Di dalam pasal 53 sampai dengan pasal 80 bagian kedua IS terdapat ketentuan yang mengatur kekuasaan legislatif pembentukan dan kelembagaan Volksraad.
18 Mei 1918
Volksraad atau Dewan Rakyat dibentuk Gubernur Jenderal Graaf van Limburg Stirum. Volksraad mempunyai hak petisi, hak interpelasi, hak inisiatif, hak amendemen, dan hak angket.
23 Juli 1925
Indische Staatsregeling (IS) diperbarui dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1926. Hal tersebut termuat dalam Staatsblad 1925 Nomor 415.
16 Mei 1927
Sebuah badan pembentuk undang-undang bernama College van Gedelegeerden (lembaga delegasi) dibentuk untuk keperluan dalam bidang legislasi dan anggaran.
27 Januari 1930
Sepuluh anggota bumiputra di Volksraad membentuk Fraksi Nasional. Kesepuluh anggota ini merupakan wakil dari daerah Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Fraksi Nasional diketuai oleh Muhammad Husni Thamrin.
15 Juli 1936
Anggota Volksraad Soetardjo Kartohadikoesoemo mengajukan petisi kepada Ratu Wilhelmina dan Parlemen Belanda (Staten Generaal). Salah satu isinya meminta pembentukan Dewan Kerajaan yang beranggotakan wakil Indonesia dan Belanda.
21 Mei 1939
Gabungan Politik Indonesia (GAPI) mengajukan tuntutan Indonesia Berparlemen. GAPI merupakan federasi sepuluh partai politik kala itu.
14 September 1940
Pemerintah Belanda membentuk Komisi Visman yang diketuai oleh Dr. H Visman. Kewenangan komisi ini terbatas hanya untuk mempelajari perubahan ketatanegaraan sehingga memunculkan kekecewaan Indonesia.
1 Agustus 1943
Dibentuk Chuo Sangi-in atau Dewan Pertimbangan Pusat yang bertugas mengajukan usul kepada pemerintah militer Jepang. Diketuai oleh Soekarno dan Wakil Ketua RMAA Kusumo Utoyo dan Buntaran Martoatmojo.
Awal Kemerdekaan
22 Agustus 1945
Lima hari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
29 Agustus 1945
Sebanyak 137 anggota KNIP dilantik oleh Presiden Soekarno sebagai parlemen. Selanjutnya, tanggal 29 Agustus diresmikan sebagai hari jadi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.
7 Oktober 1945
Sebanyak 50 anggota KNIP meminta Presiden Soekarno agar lembaga itu diberikan kewenangan legislatif.
16 Oktober 1945
Dalam sidang pleno KNIP kedua di Jakarta, Wakil Presiden mengeluarkan maklumat Nomor X tahun 1945 yang menyerahkan kekuasaan legislatif kepada KNIP sebelum terbentuknya DPR dan MPR.
17 Oktober 1945
Badan Pekerja (BP-KNIP) dibentuk untuk menjalankan perkerjaan harian komite nasional. BP-KNIP ini diketuai oleh Sutan Sjahrir dengan Sjarifuddin sebagai wakilnya.
11 November 1945
BP-KNIP mengusulkan perubahan pertanggungjawaban menteri kepada KNIP.
14 November 1945
Usulan BP-KNIP disetujui oleh Presiden Soekarno dengan dikeluarkannya maklumat pemerintah yang isinya menyatakan prinsip pertanggungjawaban menteri kepada parlemen. Maklumat juga menganjurkan pembentukan partai politik.
23 November 1945
Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah disahkan. Peraturan ini dikenal sebagai produk undang-undang pertama yang dihasilkan atas usul parlemen.
27 November 1945
Pada Sidang Pleno ketiga di Jakarta, KNIP mengeluarkan resolusi dan protes keras kepada Inggris atas penyerangan di Kota Surabaya, Semarang dan Magelang.
3 Maret 1946
Pada sidang pleno KNIP keempat di Solo, Soekarno secara resmi mengumumkan pembubaran Kabinet Sjahrir. Pada sidang ini juga mulai dibahas terkait pembaharuan susunan keanggotaan KNIP.
29 Desember 1946
Usulan Presiden Soekarno terkait penambahan anggota KNIP dari sebelumnya 200 menjadi 514 disahkan dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1946 yang memicu kontra dari oposisi.
27 Febuari 1947
Sidang pleno kelima di Malang berlangsung alot karena adanya penentangan langkah diplomasi pemerintah yang menandatangani Perjanjian Linggarjati. Namun, pada akhir sidang separuh anggota KNIP memberikan mosi percaya kepada putusan pemerintah.
15 Desember 1949
Sidang pleno keenam KNIP menerima baik hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), Persetujuan KNIP itu kemudian dituangkan dalam sebuah maklumat dan undang-undang.
Masa Republik Indonesia Serikat (RIS)
15 Febuari 1950
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS) dan Senat RIS dilantik oleh Presiden RIS Soekarno.
21 Febuari 1950
DPR RIS dan Senat RIS memilih ketua dan wakil ketua masing-masing, yaitu Sartono sebagai ketua serta AM Tambunan dan Arudji Kartawinata sebagai wakil ketua I dan wakil ketua II. Ketua senat terpilih adalah MA Pallaupessy dengan Teuku Moh. Hasan sebagai wakilnya.
Masa Dewan Perwakilan Rakyat sementara (DPRS)
16 Agustus 1950
235 Anggota DPRS (Dewan Perwakilan Rakyat Sementara) dilantik oleh Presiden Soekarno.
17 Agustus 1950
RIS dibubarkan dan NKRI dibentuk kembali. Bersamaan dengan itu berlaku pula UUDS 1950.
4 April 1953
DPRS menetapkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang pemilihan anggota konstituante dan anggota dewan perwakilan rakyat (DPR).
29 Desember 1955
Pemilu tahap pertama untuk memilih calon anggota DPR. Sebanyak 36 partai politik, 34 organisasi massa, dan 48 calon perorangan mengikuti ajang pesta demokrasi pertama ini. Mereka merebutkan 260 kursi di DPR.
15 Desember 1955
Tahap kedua pemilu ditujukan untuk memilih anggota konstituante. Pemilihan konstituante ini diikuti oleh 39 partai politik, 23 organisasi massa, 29 calon perseorangan. Ada 52 kursi yang diperebutkan
Masa Demokrasi Terpimpin
5 Juli 1959
Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang isinya pembubaran konstituate, tidak berlakunya UUDS dan kembali kepada UUD 1945. Selain itu, dibentuk pula dua lembaga, yaitu MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) dan DPAS (Dewan Pertimbangan Agung Sementara).
5 Maret 1960
Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1960 yang berisi penghentian tugas dan pekerjaan anggota DPR dan pembaruan susunan DPR berdasarkan UUD 1945.
24 Juni 1960
DPR Gotong Royong (DPR-GR) dibentuk oleh Presiden Soekarno melalui Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1960. DPR-GR terdiri dari wakil-wakil dari golongan politik dan utusan daerah.
15 September 1964
Presiden Soekarno menerbitkan Tata Tertib DPR-GR melalui Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 1964. Tujuannya agar selaras dengan perkembangan Demokrasi Terpimpin.
16 Mei 1966
Presiden Soekarno mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 1966 tentang peraturan tata tertib DPR-GR. Peraturan presiden ini mencabut Tata Tertib DPR-GR 1964.
4 Juni 1966
Tata Tertib DPR-GR 1966 disahkan. Dalam tata tertib 1966 ini terjadi perubahan signifikan.
9 Juni 1966
Rapat pleno DPR-GR menyetujui secara bulat usulan memorandum DPR-GR mengani Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundangan RI dan Skema Susunan Kekuasaan di dalam negara.
5 Juli 1966
Memorandum DPR-GR selanjutnya ditetapkan oleh MPRS menjadi Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR.
19 November 1966
Kelembagaan MPRS dan DPR-GR diatur melalui undang-undang Nomor 10 Tahun 1966 menjelang pemilu. DPR-GR mulai masa transisi menuju Masa Orde Baru.
Masa Orde Baru
12 Maret 1967
Sidang istimewa MPR mengeluarkan Keputusan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno.
17 Desember 1969
Presiden Soeharto mengatur kelembagaan parlemen melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Undang-Undang ini dikenal dengan UU Susduk 1969.
28 Oktober 1971
DPR hasil Pemilu 1971 menghasilkan DPR gabungan. Sebanyak 360 orang dipilih oleh rakyat dan sebanyak 100 orang anggota dipilih oleh Presiden Soeharto.
24 November 1975
UU Susduk 1969 direvisi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975 (UU Susduk 1975). Isinya untuk mengatur dan menyelidiki latar belakang calon anggota dewan tidak tersangkut G30S/PKI.
2 Mei 1977
Pemilu tahun 1977 diikuti oleh Golkar, PPP dan PDI dengan komposisi berurutan Golkar 232 kursi, PPP 99, dan PDI 129 suara. DPR bekerja mengacu pada UU Susduk 1975.
22 Maret 1978
MPR mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978 terkait kedudukan dan hubungan tata-kerja lembaga tertinggi negara dengan antar lembaga-lembaga tinggi negara.
7 Januari 1985
UU Susduk 1969 direvisi untuk kedua kalinya melalui UU Nomor 2 Tahun 1985. Penekanannya lebih kepada hubungan DPR dengan Presiden Soeharto agar presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.
3 Juli 1995
Mendekati Pemilu 1997, dilakukan perubahan ketiga atas UU Susduk 1969 melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1995. UU Susduk 1995 ini mulai membuka lebar porsi kursi anggota dewan.
Masa Reformasi
1 Febuari 1999
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 (UU Susduk 1999) disahkan oleh Presiden BJ Habibie bersamaan dengan UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, dan UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.
19 Oktober 1999
UUD 1945 untuk pertama kali diamendemen dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ada sembilan pasal yang diamendemen terutama berkaitan dengan pembatasan kekuasaan presiden.
18 Agustus 2000
Sidang Tahunan MPR pada 18 Agustus 2000 mengamendemen UUD 1945 untuk kedua kalinya dengan menambahkan pasal-pasal yang berkaitan dengan peran, kedudukan dan kewenangan DPR.
10 November 2001
Pada Sidang Tahunan MPR 2001 kembali dilakukan amendemen pada UUD 1945. Khususnya tentang bentuk dan kedaulatan negara, aturan pemakzulan, kewenangan MPR, hingga pembentukan lembaga kehakiman dan DPD.
11 Agustus 2002
Amendemen keempat UUD 1945 disahkan dalam Sidang Tahunan MPR 2002. Hal-hal yang dirubah berkaitan dengan pemilihan anggota MPR, pendidikan, kesejahteraan, dan perekonomian serta aturan tambahan.
29 Agustus 2009
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) ditetapkan. Fungsi, tugas, wewenang, hak dan kewajiban DPR dan anggota DPR diatur lebih sistematis.
8 Juli 2014
Pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. UU MD3 2014 ini membedakan tugas dan wewenang DPR dalam masing-masing pasal.
Referensi
“Duapuluh Lima Tahun Parlemen Indonesia”, Kompas, 13 Agustus 1970 hal. 6.
- Noer, Deliar dan Akbarsyah. 2005. KNIP: Komite Nasional Indonesia Pusat. Jakarta: Yayasan Risalah.
- Mahesa, Desmond J. 2020. Fungsi-fungsi DPR RI: Teks, Sejarah, dan Kritik. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Penulis
Arief Nurrachman
Editor
Rendra Sanjaya